• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dimensi yang luas, baik dari sudut medis, kesehatan, jiwa maupun psikososial. Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tidak memberikan pengertian dan penjelasan yang jelas mengeani istilah penyalahgunaan, hanya istilah penyalah guna yang terdapat di dalam undang-undang tersebut, yaitu penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau secara melawan hukum.27 Maka secara sistematis kita dapat mengambil kesimpulan dari bunyi pasal tersebut adalah penyalahgunaan narkotika merupakan penggunaan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Karena pada hakikatnya narkotika hanyalah di peruntukkan untuk hal dan tindakan medis dengan pengawasan dan izin dari seorang dokter. Pengertian penyalahgunaan narkotika yang di kemukan oleh Soedjono Dirdjosisworo adalah bentuk kejahatan berat sekaligus merupakan penyebab yang dapat menimbulkan berbagai bentuk kejahatan.28

Batasan mengenai penyalahgunaan yang diterapkan, baik oleh Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (United Nations Single Convention on Narcotic Drugs 1961) maupun Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan

27

Pasal 1 angka (14), UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

28

Peredaran Gelap Narkoba dan Psikotropika 1988 (United Nations Convention Against Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988), tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diuraikan di atas. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan nasional yang dibuat khusus di Indonesia berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika, dan merupakan wujud dan bentuk nyata dari pengesahan atau pengakuan pemerintahan Indonesia terhadap Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang telah mengubahnya.29

Konvensi Tunggal Narotika 1961 (United Nations Single Convention on Narcotic Drugs 1961) secara tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat 5 sub (b) bahwa:30

“A party shall, if in its opinion the prevailing conditions its our country render in the most appropriate means of protecting the public health and welfare, prohibit the production, manufacture, export and import of, trade in, possession or use of any such drug except for amounts which may be necessary for medical and scientific research only, including clinical trials there with to be conducted under or subject to the direct supervision and control of the party”

Yang artinya kurang lebih:

“Suatu Pihak waib, jika menurut pendapatnya berdasarkan kondisi yang berlaku di negaranya membuat itu cara yang paling tepat untuk melindungi kesehatan masyarakat dan kesejahteraan, melarang produksi, manufaktur, ekspor, impor, perdagangan, pemilikan, atau penggunaan narkoba apapun kecuali seperti untuk jumlah yang mungkin diperlukan untuk penelitian medis dan ilmiah saja, termasuk uji klinis dengannya akan dilakukan dibawah atau tunduk pada pengawasan dan control langsung dari pihak tersebut.”

Menurut Dadang Hawari menyebutkan terdapat tiga kelompok besar penyalahguna narkoba beserta resiko yang dialaminya, yaitu:31

a. Kelompok ketergantungan primer, yang ditandai dengan adanya kepribadian yang tidak stabil, mengalami gangguan, cemas, dan depresi. Mereka mencoba mengobati sendiri gangguan yang

dan Contoh Kasusnya, 08 Desember 2014, 22.00 WIB.

30 Ibid.

31

Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1991, hlm. 14

dialaminya tanpa berkonsultasi dengan dokter sehingga terjadi penyalahgunaan sampai pada tingkat ketergantungan

b. Kelompok ketergantungan simtomatis, yang ditandai dengan adanya kepribadian anti social (psikopatik). Mereka menggunakan narkoba tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga “menularkannya” kepada orang lain dengan berbagai cara sehingga orang lain dapat “terjebak” ikut memakainya hingga mengalami ketergantungan yang serupa. c. Kelompok ketergantungan reaktif, mereka merupakan yang terdapat

di kalangan remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan kelompok teman sebaya.

Namun di dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya menjelaskan lebih lanjut mengenai definisi penyalahgunaan narkotika

Pasal 1 butir 4 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya menyatakan bahwa :

Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainya yang selanjutnya disebut Penyalahgunaan NAPZA adalah pemakaian narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dengan maksud bukan untuk pengobatan dan/atau penelitian serta digunakan tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.

Sedangkan korban penyalahunaan narkotika adalah seorang yang menggunakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.32

Zat adiktif memang dapat menimbulkan sejumlah efek diantaranya:

a. Keinginan yang tak tertahankan terhadap zat tersebut, dan dengan berbagai cara akan berusaha untuk terus memperolehnya.

32

Pasal 1 (3), Peraturan Menteri Sosial No. 26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya.

b. Memiliki kecenderungan untuk menambah dosis sesuai dengan toleransi tubuh.

c. Ketergantungan psikis, sehingga jika pemakaiannya dihentikan akan menimbulkan gejala kecemasan, depresi, dan kegelisahan

d. Ketergantungan fisik, yang apabila pemakaian obat itu dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang sering disebut sebagai gejala putus obat seperti mual, sukar tidur, diare dan demam.

Meskipum zat tertentu sangat bermanfaat bagi pengobatan, namun jika disalahgunakan, atau penggunaanya tidak sesuai dengan standar pengobatan, akan berakibat sangat merugikan bagi si pemakai maupun orang lain di sekitarnya, bahkan masyarakat umum. Efek pemakaian psikotropika yaitu dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.33

Dalam hal penyalahgunaan narkotika, pemerintah telah mengatur suatu proses pembinaan yang dapat membantu masyarakat khususnya anak untuk dapat mencegah sedini mungkin diri mereka agar tidak terjerat dengan penyalahgunaan narkotika. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Atas UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di dalam Pasal 49 bahwa:

(1) Pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dilakukan oleh Menteri.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya:

a. memenuhi ketersediaan Narkotika untukkepentingan pelayanan kesehatan dan/ataupengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. mencegah penyalahgunaan Narkotika;

c. mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan Narkotika;

d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitiandan/atau pengembangan ilmu pengetahuan danteknologi yang berkaitan dengan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan; dan e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi pecandu

Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.