• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN

B. Perkawinan yang tidak dicatat perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

1. Pengertian Perkawinan yang tidak dicatatkan

55

sudah pasti pentadbiran urusan Pendaftaran Perkawinan dapat diurus dengan baik dan teratur.56

B. Perkawinan yang tidak dicatat perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

1. Pengertian Perkawinan yang tidak dicatatkan

Pengertian “perkawinan yang tidak dicatat” adalah berbeda dengan “perkawinan sirri”. Yang dimaksud dengan “perkawinan tidak dicatat” dalam tulisan ini adalah perkawinan yang memenuhi rukun dan syarat sesuai dengan Hukum Islam, tetapi tidak dicatatkan atau belum di catatkan di kantor Urusan Agama (KUA) sebagai unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Instansi Pelaksana di wilayah Kecamatan setempat, sebagaimana ditentukan dalam

Undang-undang Nommor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan.

Istilah “tidak dicatat” tidak sama dengan istilah “tidak dicatatkan”. Kedua istilah tersebut mengandung makna yang berbeda. Pada istilah “perkawinan tidak dicatat” bermakna bahwa perkawinan itu tidak mengandung unsur “dengan sengaja” yang mengiringi iktikad atau niat seseorang untuk tidak mencatatkan perkawinannya. Adapun istilah “perkawinan tidak dicatatkan” terkandung itikad atau niat buruk dari suami khususnya yang bermaksud perkawinan memang “dengan sengaja” tidak dicatatkan. Karena itu penulis penulis menyepadankan “perkawinan tidak

56 Ibrahim Lembut,”kesalahan-kesalahan dalam Akta /Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam

56

dicatat” dengan “perkawinan yang belum dicatatkan” yang berbeda dengan perkawinan tidak dicatatkan.

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa “perkawinan tidak dicatat” adalah berbeda dengan “perkawinan sirri”. Karena yang dimaksud dengan “perkawinan tidak dicatat” dalam tulisan ini adalah perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat berdasarkan Hukum Islam. Menurut Undang-undang Perkawinan di Indonesia, jika perkawinan yang sah secara syar’i maka sah pula menurut peraturan Perundang-undangan. “Perkawinan tidak dicatat” adalah sah menurut Peraturan Perundang-undangan karena sesuai dengan Hukum Perkawinan Islam yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juncto pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (sebagai ius constitutum) juncto

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2 dan 1 menyatakan bahwa :(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing Agamanya dan Kepercayaanya itu.57 (2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.58

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 di undang-undang ini tidak menjelaskan bagaimana perkawinan itu jika tidak dicatatkan di Undang-undang ini hanya membahas bahwa perkawinan itu harusnya dicatatkan. Untuk perkawinan yang tidak di catatkan dijelas di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan

57 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1)

57

Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 45 huruf (a) yang berbunyi:

“Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3,10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah59 ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah)”.60

Pasal 3 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk menjelaskan bentuk hukuman bagi pelaku yang melanggar aturan tersebut dan bentuk hukuman bagi pelaku yang tidak mencatat perkawinan tersebut ada di pasal 3 ayat (1) yang berbunyi :

“Barangsiapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di dibawah Pengawasan Pegawai yang dimaksud pada ayat (2) pasal 161 atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp.50,- (lima rupiah)”62.

59 Pasal 3, 10 ayat (3) dan 40 PP No.9 Tahun 1975 Pasal 3 berbunyi:

(1) setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.

(2) pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

(3) pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atau atas nama Bupati Kepala Daerah.

Pasal 10 ayat (3) berbunyi:

(3) dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 40 berbunyi: “apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

60 Pasal 45 a Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

61 Pasal 1 ayat (2) undang-undang Nomor 22 Tahun 1946, berbunyi:

“yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya Pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau Pegawai yang ditunjuk olehnya”

58

Bagir Manan berpendapat bahwa dikatakanya suatu perkawinan itu sah apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu sah menurut Agama, yang mempunyai akibat Hukum yang sah pula, pencatatan perkawinan sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak menunjukan kualifikasi sederajat yang bermakna sahnya perkawinan menurut Agama adalah sama dengan Pencatatan. Menurut Bagir Mannan “tidak demikian” ia berpendapat bahwa perkawinan menurut masing-masing agama (syarat-syarat Agama) merupakan syarat tunggal sahnya perkawinan , dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Pertama, pasal 2 ayat (1) dengan tegas menyebutkan , “suatu perkawinan

sah apabila dilakukan menurut masing-masing Agama”. Suatu rumusan yang sangat jelas (plain meaning), sehingga tidak mungkin ditafsirkan, ditambah atau dikurangi.

Kedua,…penjelasan pasal 2 ayat (2) menyebutkan : “ pencatatan tiap-tiap

perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian.63

Berdasarkan penjelasan dari pasal 2 ayat (2) di atas pencatatan kelahiran, pencatatan kematian, demikian pula dengan pencatatan perkawinan sekadar dipandang sebagai suatu peristiwa Penting.bukan peristiwa Hukum. Gunung meletus, tsunami adalah peristiwa penting tetapi bukan peristiwa hukum. Demikian juga dengan pencatatan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun

63 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & perkawinan yang tidak dicatatkan(Jakarta:Sinar Grafika,2010), 154

59

1974, hal itu bukan peristiwa Hukum ataupun syarat Hukum melainkan karena perkawinan sebagai peristiwa Hukum ditentukan oleh Agama, karena itu (pencatatan perkawinan) tidak perlu dan tidak akan mempunyai akibat hukum, apalagi dapat mengesampingkan sahnya suatu perkawinan.

“perkawinan yang tidak dicatatkan” seharusnya dicatatkan di KUA, tetapi pencatatan Perkawinan adalah bukan peristiwa hukum, tetapi peristiwa penting, sama halnya dengan kelahiran, kematian dan peristiwa lainya. Sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 1 angka 17 Undang-undang Nommor 23 Tahun 2006 Tentang Admistrasi Kependudukan .64

Perkawinan yang tidak dicatatkan dimasyarakat ada sebagian yang mengatakan sah ada yang tidak sah, oleh karena itu MUI mengeluarkan Fatwa tentang perkawinan di bawah tangan ini, dan menurut pandapat MUI (Majelis Ulama Indonesia) berpendapat jika perkawinan yang tidak dicatatkan atau Nikah siri itu adalah sah apabila niatnya untuk membangun keluarga yang sakinah mawaddah warrahma, dan pastinya terpenuhi syarat dan rukun Perkawinan, tapi perkawinan itu bisa saja jadi haram apabila di dalamnya ada kemadharatan atau dampak yang negatif. Ujar ketua Komisi Fatwa MUI Ma’ruf Amin dalam jumpa pers di Jakarta (30/5/2006).65

Menurut pendapat Mahfud Md selaku Ketua Mahkamah Konstitusi, beliau menyatakan bahwa setuju jika pelaku siri atau orang yang tidak mencatatkan perkawinannya dikenai Hukum Pidana, mengapa beliau setuju

64 Ibid., 158-159

65 Nindiasanda Frengky Putri, Jurnal Keabsahan Perkawinan yang tidak dicatatkan setelah ada

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, (Malang: Universitas Brawijaya

60

dengan hal ini karena atas dasar perkawinan siri atau perkawinan yang tidak dicatatkan itu merugikan anak-anak dan perempuan, konferensi pers di gedung Mahkamah (selasa/16/2). Bukan hanya itu anak-anak yang lahir dari dari pernikahan siri ini tidak diakui Hukum, bukan hanya itu meskipun hukum Islam beragam, semua aturan harus diterapkan demi mencapai kehidupan yang maslahat dan memberi manfaat bagi umat jadi aturan yang bermanfaat ini harus di dahulukan ketimbang aturan yang merugikan masyarakat.66dengan kata lain pak mahfud Md tidak setuju dengan perkawinan siri atau perkawinan yang tidak dicatatkan ini dikarena madharatnya buat anak-anak dan istri.

Kemudian menurut pendapat Doktor Harifin A. Tumpa (ketua Mahkamah Agung pada Tahun 2011 tersebut mengatakan bahwa perkawinan yang tidak dicatatkan itu merupakan suatu gejala yang umum dan didasarkan atas itikad yang baik atau karena memang ada fakor yang darurat, maka oleh Karena itu hendaklah bagi Hakim harus benar-benar mempertimbangkan dalam memutuskan perkara tersebut.67

66Imam Sukamto, Mahfud Md: Nikah Siri Bisa Dipidana, diakses Pada tanggal 30 December 2019.

67Zul Fadli Ibnu Fauzi, Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan: Sah Menurut Pakar Hukum dan Yurisprudensi, diakses pada tanggal 30 December 2019.

BAB IV

ANALISIS TERHADAP PERKAWINAN YANG TIDAK DICATATKAN

Dokumen terkait