• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan Perlindungan adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Menurut Pasal 1 angka 4 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang dimaksud perlindungan adalah :

“ segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pelaksana lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.”

Perlindungan yang tertuang dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 Tentang Tata cara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat adalah:

“suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.”

Sedangkan pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu

      

gambaran dari fungsi hukum., yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.17

Menurut Az. Nasution, perlindungan hukum adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping itu Az. Nasution dalam bukunya yang lain menyatakan bahwa pengertian hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Jadi dibedakan pengertian antara hukum perlindungan konsumen dan hukum konsumen.

Perlindungan hukum yang penulis maksud dalam skripsi ini tentunya adalah perlindungan hukum berupa upaya – upaya yang ditetapkan dalam peraturan perundang - undangan dalam setiap proses transaksi untuk memenuhi kebutuhan konsumen tersebut, dengan kata lain adalah perlindungan hukum konsumen.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 8 Tahun 1999, pengertian dari perlindungan konsumen adalah :

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”

Dengan demikian dalam perlindungan hukum konsumen, terdapat upaya – upaya yang ditetapkan oleh perundang – undangan sebagai

      

17 “Pengertian Perlindungan Hukum” http://ntanaiu.blogspot.com/2012/09/pengertian‐

perlindungan kepada konsumen. Selain apa yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 dan KUH Perdata, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain juga yang bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum yaitu18 : 1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 Tanggal

21 Juni 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 58 tahun 2001 Tanggal 21 juli 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 59 tahun 2001 Tanggal 21 Juli 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

4. Keputusan Presiden RI Nomor 90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.

5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdaganagan RI Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 tentang Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 302/MPP/KEP/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 605/MPP/Kep/8/2002 Tentang Pengangkatan Anggota Badan

      

Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Makassar, Kota Palembang, Kota surabaya, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta dan Kota Medan.

8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 480/MPP/Kep/6/2002 Tanggal 13 Juni 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

9. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 418/MPP/Kep/4/2002 Tanggal 30 April 2002 tentang Pembentukan Tim Penyeleksi Calon Anggota Badan Perlindungan Konsumen.

10.Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

2. Pengertian Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumers dari (Inggris – Amerika), atau consument (Belanda). Pengertian dari consumers atau consument itu tertgantung dalam posisi dimana dia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula dalam

Kamus Bahasa Inggris – Indonesia memberi arti kata consumer sebagai konsumen atau pemakai.19

Dalam naskah akademik dan/atau naskah pembahasan rancangan peraturan perundang – undangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen, yaitu 20:

a. Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman (BPHN), menyusun batasan tentang konsumen akhir yaitu pemakai terakhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk diperjualbelikan.

b. Batasan konsumen dari YLKI yaitu pemakai barang atau jasa yang tersedia bagi masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

c. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI yaitu setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.

Sementara A.Z. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yaitu21:

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu

      

19 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.22 

20 Ibid., hal.23 

b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

c. Konsumen akhir, adalah setiap orang yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).

Dalam Pasal 1 angka (15) UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usahan Tidak Sehat, pengertian dari konsumen adalah :

“setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.

Dari berbagai pengertian konsumen diatas , menunjukkan bahwa sangat beragam pengertian tentang konsumen, untuk itu kita perlu melihat yang dirumuskan dalam UU No. 8 Tahun 1999, dimana dalam Pasal 1 angka 2 yaitu :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Sedangkan dalam KUH Perdata, tidak dikenal istilah consumen

atau consument . Dalam KUH Perdata kita menemukan istilah pembeli (koper, pasal 1457 – 1540), penyewa (hurder, Pasal 1548 – 1600 KUH Perdata), penitip barang (bewarrgever, Pasal 1694 – 1739 KUH Perdata), peminjam (verbruiklener, Pasal 1754 – 1769 KUH Perdata). Dan dalam KUH Dagang ditemukan istilah tertanggung (verzekerde, Pasal 246 – 308

dalam Buku I KUH Dagang), penumpang (opvarende, pasal 341 – 394 Buku II KUH Dagang).22

Jadi dalam penulisan skripsi ini, yang penulis maksud sebagai konsumen adalah pembeli (koper) sebagaimana yang diatur dalam pasal 1457 – 1540 KUH Perdata. Dengan demikian bahwa konsumen yang dirugikan yang penulis maksud dalam penulisan skripsi ini adalah konsumen yang mengalami kerugian akibat dari adanya cacat tersembunyi suatu barang dari hasil jual beli.

Perjanjian jual beli adalah perjanjian yang mengikat antara pihak penjual (selanjutnya disebut pelaku usaha) berjanji menyerahkan suatu barang/benda dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli (selanjutnya disebut konsumen) mengikat diri berjanji untuk membayar harga (ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata). Dari pengertian yang diberikan oleh Pasal 1457 KUH Perdata ini, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban, yaitu sebagai berikut23 :

a. Kewajiban pihak pelaku usaha untuk menyerahkan barang yang akan dijual kepada konsumen

b. Kewajiban pihak konsumen untuk membayar harga barang yang akan dibeli kepada pelaku usaha

3. Pengertian Pelaku Usaha

       22 Ibid., hal.62 

Dalam pengertian yuridis, istilah produsen disebut dengan pelaku usaha.24 Istilah produsen berasal dari Bahasa Belanda yakni producent,

dalam bahasa Inggris, producer yang artinya adalah penghasil. Dalam UU Nomor 8 Tahun 1999, Pasal 1 butir 3 mengartikan pelaku usaha sebagai berikut:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi.” Sedangkan dalam Pasal 1 butir 5 UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, memberikan defenisi pelaku usaha sebagai berikut :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut akan memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan barang tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik seandainya UU No. 8 Tahun 999 memberikan rincian sebagaimana Directive (pedoman bagi Masyarakat Uni Eropa), sehingga konsumen dapat lebih mudah untuk menentukan

      

kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk.25

Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk atau jenis usaha sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1999, sebaiknya ditentukan urutan – urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan – urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut26:

a. Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat barang tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan

b. Apabila barang yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UU No. 8 Tahun 1999 tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri

c. Apabila produsen maupun importir dari suatu barang tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.

Urutan – urutan pihak diatas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu barang mengalami cacat pada saat produksi. Urutan tersebut juga mempertimbangkan tentang kompetensi pengadilan maupun Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya dalam penulisan ini disingkat BPSK), karena siapapun yang digugat oleh konsumen,

      

25 Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Nusa Media: 

2005), hal.34. 

Pengadilan atau BPSK yang kompeten adalah yang mewilayahi tempat tinggal konsumen, sehingga tidak memberatkan konsumen.27

Seperti yang dijelaskan di atas, dalam penulisan skripsi ini, yang dimaksud dengan pelaku usaha yaitu penjual dalam proses jual beli. Terhadap kewajiban penjual , pengaturannya dimulai dari Pasal 1472 KUH Perdata. Pelaku usaha wajib menegaskan dengan jelas untuk apa ia mengikatkan diri dalam persetujuan jual beli. Lebih lanjut Pasal tersebut memberikan suatu “interpretasi”: segala sesuatu yang kurang jelas dalam persetujuan jual beli atau mengandung pengertian kembar harus diartikan sebagai maksud yang “merugikan” bagi pihak penjual.28

Pada dasarnya, kewajiban penjual menurut Pasal 1473 dan Pasal 1474 KUH Perdata yaitu29 :

a. Kewajiban pelaku usaha untuk menyerahkan barang yang dijual kepada konsumen

b. Kewajiban pelaku usaha untuk memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring) ; bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun baik yang berupa tuntutan maupun pembebanan.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Dokumen terkait