GAMBARAN UMUM MENGENAI SYARAH HADIS
A. Pengertian Syarah Hadis
―Syarah hadis‖ adalah merupakan gabungan dari kata “syarah” dan ―hadis‖. Kata “syarah” berasal dari bahasa Arab sharaḥa-yashraḥu-sharḥan yang memiliki beberapa makna berikut: membuka (fataḥa); menjelaskan, (bayyana),1 menyingkap (kashafa), memutuskan (qaṭa„a), memahami (fahima), dan meluaskan (wassa„a).2 kata ini selanjutnya digunakan untuk menunjuk sebuah keterangan dan penjelasan terhadap obyek studi di segala bidang ilmu pengetahuan terutama dalam studi agama yang menggunakan bahasa Arab. Akan tetapi ketika kata ―syarah‖ ini disandarkan dengan kata ―hadis‖, maka mudah dipahami bahwa maksud dari syarah hadis adalah suatu aktifitas penyingkapan atau penjelasan terhadap makna-makna dan pemahaman terhadap segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah baik yang berupa perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan, maupun sifat-sifat kepribadiannya.
Kata syarah hadis memiliki padanan dengan istilah lain dalam bahasa Arab, seperti: fiqh al-ḥadīth, ma„ānī al-ḥadīth, dan tafsīr al-ḥadīth .3 Muhammad Ṭāhir al-Jawwābi menjelaskan bahwa istilah syarah hadis yang lebih dikenal luas saat ini merupakan transformasi dari istilah fiqh al-ḥadīth. Jika fiqh al-ḥadīth
1
Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu„jam Maqāyis al-Lughah, tahqīq: Abd al-Salam Muhammad Harun (Beirut: Dar al-Fikr, 1399 H/1979 M), III: 269.
2 Kata syarh di dalam kamus Bahasa Besar Bahasa Indonesia tertulis syarah. Dari sini kata tersebut telah dibakukan ke dalam Kamus Indonesia. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1367.
3 Pengantar Nizar Ali dalam Abdul Mustaqim, Ilmu Ma‟anil Hadis: Paradiqma Interkoneksi (Yogyakarta: IDEA Press, 2008), viii.
lebih bersifat konseptual dan disampaikan secara lisan, maka syarah hadis lebih bersifat kongkrit operasional.
Dalam kajian Islam juga terdapat perkembangan kata yang sering dipakai dalam kajian teks-teks agama, seperti syarah, tafsir, dan ḥāshiyah, pada dasarnya semua kata tersebut adalah model untuk mengungkap makna teks, namun secara umum penggunaannya berbeda. Oleh karena, hal tersebut akan menimbulkan asumsi bahwa terdapat hegemoni kata dalam salah satu kajian Islam, yang mana tafsir akan selalu diasumsikan sebagai interpretasi dari al-Qur‘an, sedangkan syarah merupakan bagian dari model pemahaman atas hadis. Namun yang harus diperhatikan bahwa antara tafsir ataupun syarah adalah salah satu bentuk usaha penafsir atau pensyarah dalam menemukan makna secara tekstual.4
Adapun istilah ―tafsir‖ untuk menyebut ―syarah‖ bisa terlihat dari beberapa karya syarah terhadap kitab al-Muwaṭṭa‟ karya Mālik pada abad awal, seperti kitab Tafsīr „alā Muwaṭṭa‟ karya Abdullah ibn Nāfi‗ (w. 186 H), Tafsīr Ḥadīth al-Muwaṭṭa‟ karya Asbag ibn al-Faraj ibn Sa‗id ibn Nāfi‗ al-Misrī (w. 225 H), Kitāb fī Tafsīr al-Muwaṭṭa‟ karya Abdul Mulk ibn Ḥabīb al-Silmī (w. 238 H), dan Tafsīr al-Muwaṭṭa‟ karya al-Qurṭubī (w. 255 H). Selain itu, istilah ini juga memiliki hubungan erat dengan ḥāshiyah (keterangan tambahan), atau ta„līq (catatan pinggir/bawah) dalam tradisi penulisan kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab.5
4
Moh. Muhtador, ―Sejarah Perkembangan Metode dan Pendekatan Syarah Hadis‖, Riwayah:Jurnal Studi
Hadis, Vol. 2, No. 2 (2016), 261.
5 A. Hasan Asy‘ari Ulama‘i, ―Sejarah dan Tipologi Syarah hadis‖, Teologia, Vol. 19, No. 2 ( Juli 2008),
27
Syarah hadis yang selanjutnya dimaksudkan disini adalah syarah hadis yang telah terkodifikasikan dalam bentuk kitab yang umumnya sampai berjilid-jilid. Objek dari aktifitas pensyarahan ini tidak lain adalah hadis Nabi saw dari segi keseluruhan kaidah-kaidahnya dan persoalan-persoalan yang terkait dengan penjelasan makna-makna hadis. Di antara yang dimaksud adalah pengungkapan maksud, tujuan, dan makna suatu hadis secara umum, penjelasan atas adanya pertentangan dan nasakh, serta penjelasan kata-kata (berdasarkan konteks disabdakannya). Setidaknya pensyarahan sebuah hadis itu mencakup empat aspek berikut: pertama: penjelasan umum (judul kitab dan bab). Kedua: aspek sanad. Ketiga: aspek matan. Keempat: aspek pemahaman isi.6
Secara umum, tujuan lahirnya karya-karya syarah hadis adalah sebagai berikut:
e. Menghidupkan kembali karya-karya hadis (kitab-kitab matan hadis) yang kelihatannya mati, karena ada rasa mungkin tidak diperlukan lagi.
f. Menguraikan makna yang terkandung di dalam hadis, baik dari segi bahasa, dan dari segi pandangan syariat, atau mungkin dari segi istilah dalam bidang-bidang tertentu seperti tasawuf, teologi, filsafat, dan sebagainya yang dianggap perlu.
g. Menyesuaikan makna-makna yang terkandung dalam matan hadis tersebut dengan pemahaman pada saat itu. Yakni dengan menggunakan ungkapan, atau bahasa yang mudah dipahami pada zamannya, sehingga memperkaya perbendaharaan makna, dan pemahaman masyarakat pada saat itu.
h. Meluruskan pemahaman yang keliru dari hal-hal yang diperbincangkan di tengah masyarakat, seputar berbagai persoalan yang terkandung di dalam hadis, pada masa penulisan kitab syarah tersebut.7
Masing-masing aspek tersebut memiliki unsur-unsur yang diuraikan sebagai berikut: pertama, penjelasan umum meliputi: penjelasan bunyi lafal (ḥarf wa shakl), kaidah bahasa (naḥwu dan ṣaraf), arti kamus (ma„nā lughawī), arti istilah atau maksud (ma„nā isṭilāhī); kedua, aspek sanad meliputi: penjelasan nama seluruh rijāl atau sebagian rijāl, penilaian terhadap rijāl dan sebab penilaian tersebut (sabab al-jarḥ wa al-ta„dīl), nilai status hadis, serta argumentasi nilai status tersebut; ketiga, aspek matan meliputi: penjelasan kata perkata, penjelasan perkalimat, penjelasan keseluruhan matan, penjelasan kata-kata yang sulit (gharīb), penjelasan matan atau redaksi lain sebagai shāhid; keempat, aspek pemahaman meliputi: penjelasan hukum yang terkandung di dalamnya, pendapat multi mazhab, pendapat aliran tertentu, pendapat satu mazhab saja, pemaparan pendapat sendiri, penjelasan dalil yang digunakan mazhab, penjelasan terkait faidah dan hikmah, dan penjelasan pendapat para shāriḥ terdahulu.8 Keseluruhan unsur (berjumlah 23 unsur menurut A. Hasan Asy‘ari Ulama‘i) kemudian menjadi parameter untuk mengukur model susunan syarah.
Sedangkan ditinjau dari segi metode pensyarahan setidaknya dikenal ada dua macam kategori, yaitu: dari segi susunan syarah dan segi pendekatan yang digunakan dalam syarah. Berdasarkan susunan syarah, ragamnya dapat diklasifikasikan kedalam tiga macam: pertama, syarah tafṣīli (penjelasan
7 Abdul Latif Razaq, ―Kedudukan syarah dalam tradisi Islam‖, dalam al-Hikmah, Vol. 2, (1998), 45.
8 A. Hasan Asy‘ari Ulama‘i, ―Sejarah dan Tipologi Syarah hadis‖, Teologia, Vol. 19, No. 2 ( Juli, 2008), 352-353.
29
terperinci) yang memuat lebih dari 13 unsur dari 23 unsur yang ada; kedua, syarah wasīṭ (penjelasan menengah) yang memuat sekurang-kurangnya tujuh unsur dari 23 unsur di atas; ketiga, syarah wajīz (penjelasan terbatas) yang mengandung kurang dari 7 unsur dari 23 unsur yang ada.9
Adapun mengenai suatu pendekatan yang digunakan, maka syarah terbagi menjadi tiga macam: pertama, syarah hukum (fikih) yang bertujuan untuk menjelaskan maksud nas yang ditandai dengan penekanan atas penjelasan hukum, serta pendapat mazhab dan dalil yang digunakan; kedua, syarah kebahasaan yang lebih menampakkan unsur-unsur penjelas bunyi lafal, kaidah bahasa, arti kamus, dan disertai penjelasan maksud (ma„nā isṭilāḥī); ketiga, syarah komprehensif yang mencakup hampir keseluruhan unsur yang ada.10
Syarah merupakan aspek yang penting dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman. Jika diteliti dan diperhatikan secara mendalam, tradisi syarah ini merupakan suatu tradisi yang simultan dan kontinu. Ia menjadi sarana konduksi antara generasi terdahulu dengan generasi yang akan datang. Pada akhirnya, akan mempertemukan dua model pemikiran dan pemahaman, antara masa lalu dan masa yang akan datang.