• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Ta`wîl Menurut Al-Ghazâlî

BAB III TENTANG TA`W Î L AL-QUR` Â N

A. Pengertian Ta`wîl Menurut Al-Ghazâlî

Dari sejumlah karya al-Ghazâlî yang disebutkan sebelumnya, tidak ditemukan penjelasan secara eksplisit tentang makna ta`wîl secara etimologis. Namun demikian, ketika membahas tentang etika dalam membaca al-Qur`ân (Âdâb Tilâwah al-Qur`ân) dalam kitabnya, Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, al-Ghazâlî menyatakan:

“Hendaknya (seseorang) memikirkan bagaimana Tuhan menunjukkan kebaikan terhadap umat manusia dalam menyampaikan kepada pemahaman mereka makna-makna firman-Nya, yang merupakan sifat abadi yang bersemayam dalam Dzat-Nya. (Dia hendaknya juga memikirkan) bagaimana sifat itu diungkapkan kepada umat manusia di bawah selimut huruf dan suara yang merupakan sifat manusia, karena umat manusia tidak mampu sampai kepada pemahaman sifat-sifat Tuhan kecuali melalui sifat-sifat mereka sendiri. Jika dzat (kunh) kemahakuasaan firman-Nya tidak disembunyikan di bawah jubah huruf, tiada tahta ataupun tanah masih bisa berdiri tegak ketika mendengar firman- Nya.”2

Keterangan di atas mendeskripsikan keyakinan al-Ghazâlî bahwa kalâm Allah, al-Qur`ân mengandung isyarat-isyarat atau simbol-simbol yang merujuk kepada-Nya; dzat, sifat, dan perbuatan Sang Pemilik Kalâm. Simbol-simbol ini, menurut al-Ghazâlî, tidak dapat terungkap melalui perangkat tafsir biasa / tekstual (zhâhir). Melainkan dapat disingkap melalui pemahaman yang mendalam terhadap

2Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî (selanjutnya ditulis al-Ghazâlî), Ihyâ` ‘Ulûm al-Dîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), jilid 1, h. 331.

114

al-Qur`ân (ta`wîl).3 Secara implisit, hal ini menunjukkan kecenderungan al-Ghazâlî memaknai ta`wîl dalam arti membawa sesuatu kembali kepada awwal-nya; membawa atau mengikuti simbol-simbol kembali kepada asal-usul yang dilambangkannya. Pemaknaan seperti ini, sejalan dengan pendapat para pakar bahasa dan ‘Ulum al- Qur`ân, di mana mereka memaknai ta`wîl secara etimologis dalam arti: “al-rujû’”, “al-mashîr”, dan “al-‘âqibah.” (kembali, tempat kembali dan akibat atau kesudahan sesuatu).4

Adapun makna ta`wîl secara istilah, dalam kitabnya, Al-Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, al-Ghazâlî mengajukan definisi ta`wîl sebagai berikut:

ﻞﻳﻭﺄﺘﻟﺍ

:

ﺮﻫﺎﻈﻟﺍﻪﻴﻠﻋﻝﺪﻳﺬﻟﺍﻌﳌﺍﻦﻣﻦﻈﻟﺍﻰﻠﻋﻪﺑﺼﻳ

ﻞﻴﻟﻩﺪﻌﻳﻝﺎﻤﺘﺣﺍﻦﻋ

ﺓﺭﺎﺒﻋ

.

5

Artinya: “Ta`wîl adalah suatu ungkapan tentang sebuah kemungkinan (makna) yang didukung oleh sebuah dalil / argumentasi sehingga lebih meyakinkan daripada makna yang ditunjukkan secara lahir.”

Definisi ta`wîl yang dikemukakan al-Ghazâlî di atas, dikritik oleh beberapa ahli Ushul, seperti al-Âmidî dalam kitabnya, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, dan diikuti

3

Ta`wîl dianggap sebagai upaya untuk memahami al-Qur`ân secara mendalam, disimpulkan dari argumentasi al-Ghazâlî tatkala meluruskan makna tafsîr bi al-ra`yî. Menurutnya, jika ta`wîl sama- sama diperoleh secara simâ’î sebagaimana al-tanzîl (al-Qur`ân), maka mengapa Ibn ‘Abbâs dido’akan secara khusus untuk mengetahui ta`wîl. Lihat al-Ghazâlî, Ihyâ`…, jilid 1, h. 341-343.

4

Lihat Muhammad Adîb Shâlih, Tafsîr al-Nushûsh fî al-Fiqh al-Islâmî: Dirâsah Muqâranah, (Kairo: Mansyûrât al-Maktab al-Islâmî, t.th.), juz 1, h. 356; Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyî, Al- Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), Juz. 2, h. 164. Kata “ta`wîl”, juga berasal dari akar kata yang sama dengan kata “awwal”, pertama atau yang pertama, sebutan yang juga diberikan kepada Sang Pencipta. Sebagai yang Pertama (al-Awwâl), Tuhan merupakan tempat kembalinya segala ciptaan. Berdasarkan hal ini, lantas perkataan ta`wîl diberi arti, “kembali atau menyebabkan kita kembali (kepada yang pertama atau yang asal) serta menemukan sesuatu yang tidak dapat dikurangkan lagi, yaitu sang makna atau hakikat yang terakhir”. Baca uraian Sachiko Murata dalam, The Tao of Islam, seperti dikutip Abdul Hadi W.M., Hermeneutika, Estetika, dan Relegiusitas Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa, (Yogyakarta: Matahari, 2004), h. 71.

5Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî (selanjutnya ditulis al-Ghazâlî), Al- Mustashfâ min ‘Ilm al-Ushûl, (t.t.: Dâr al-Fikr, t.th.), juz 1, h. 387.

115

oleh Ibn al-Hâjib dalam kitabnya, Mukhtashar al-Muntahâ sebagaimana dikutip Muhammad Adîb Shâlih. Menurut al-Âmidî, definisi yang dikemukakan al-Ghazâlî tersebut tidak benar. Alasannya: Pertama, karena yang dimaksud dengan ta`wîl, bukanlah sebuah kemungkinan yang kepadanya suatu ungkapan dipalingkan, tetapi pemalingan makna sebuah ungkapan berdasarkan sebuah kemungkinan. Kedua, karena definisi tersebut tidak mencakup keseluruhan bentuk ta`wîl; dari definisi itu tidak termasuk ta`wîl yang didasarkan kepada dalil yang qath’î, bukan zhannî.

Ketiga, karena definisi tersebut tidak bersifat umum, tidak tercakup dalam definisi itu ta`wîl yang dilakukan tanpa dalil.6

Kritik yang disampaikan al-Âmidî di atas, sebenarnya terlalu berlebihan karena alasan-alasan yang dikemukakannya akan gugur dengan sendirinya, jika diperhatikan dalam konteks apa al-Ghazâlî mengajukan definisi tersebut. Beberapa paragraf sebelum al-Ghazâlî menyebutkan definisi itu; tepatnya 13 baris sebelumnya, al-Ghazâlî telah mengungkapkan bahwa dia perlu menjelaskan perbedaan antara penggunaan lafaz “al-nash”, batasannya, batasan “al-zhâhir,” dan syarat-syarat ta`wîl yang diterima.7 Dari pernyataan ini, dapat dipastikan bahwa al-Ghazâlî memang bermaksud menjelaskan syarat-syarat ta`wîl yang dapat diterima. Oleh karenanya, dia lebih menekankan pada ada tidaknya kemungkinan (makna lain) yang didukung oleh dalil untuk pengalihan dari makna lahir.8 Bagi al-Ghazâlî, ta`wîl sudah dapat

6

Muhammad Adîb al-Shâlih, Tafsîr al-Nushûsh…, juz 1, 367-368. 7

Al-Ghazâlî, Al-Mustashfâ…, juz 1, h. 384.

8Tanpa harus menyebutkan, ta`wîl sebagai pengalihan makna itu sendiri. Sebab, hal ini sudah jelas dalam pandangan al-Ghazâlî. Dia sendiri melanjutkan keterangan dari definisinya bahwa ta`wîl

116

dilakukan jika terdapat kemungkinan yang didukung oleh dalil yang memiliki persangkaan yang kuat (aghlab ‘alâ al-zhann), lebih-lebih lagi jika dikuatkan oleh dalil yang pasti (qath’î).

Pada kitabnya yang lain, al-Ghazâlî menyebutkan definisi ta`wîl dengan ungkapan sebagai berikut:

ﻩﺎﻨﻌﻣﻥﺎﻴﺑﻮﻫﻭﻞﻳﻭﺄﺘﻟﺍ

)

ﻔﻠﻟﺍ

(

ﻩﺮﻫﺎﺔﻟﺍﺯﺇﺪﻌﺑ

.

9

Artinya: “Ta`wîl adalah penjelasan pengertian (suatu kata) dengan menghilangkan pengertian lahirnya.”

Formulasi definisi yang disebut terakhir ini, jelas memiliki cakupan makna yang lebih umum dari definisi yang pertama. Hal ini dapat dimengerti, karena sesuai dengan konteks pembicaraannya. Yaitu, ketika al-Ghazâlî menjelaskan rincian pantangan bagi kalangan publik (orang awam) dalam interaksinya dengan teks wahyu, baik ayat-ayat al-Qur`ân maupun hadis-hadis Nabi saw. Tanpa menguraikan syarat-syarat, bentuk, dan lain sebagainya berkaitan dengan ta`wîl, maka orang awam, tegas al-Ghazâlî, mesti menahan diri dari penggunaan ta`wîl dalam pengertian yang dia sebutkan.10

Berdasarkan kedua definisi yang diungkapkannya, tampak jelas bahwa makna ta`wîl menurut al-Ghazâlî, tidak jauh berbeda dengan pandangan para ulama generasi khalaf lainnya yang mendefinisikan ta`wîl sebagai:

dapat saja berbentuk pengalihan makna lafaz dari hakikat ke majâz (metafor) atau dari umum ke khusus dan lain sebagainya. Lihat Al-Ghazâlî, Al-Mustashfâ…, juz 1, h. 387.

9

Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâlî (selanjutnya ditulis al-Ghazâlî), Iljâm al- ‘Awwâm ‘an ‘Ilm al-Kalâm, dalam Majmû’ah Rasâ`il al-Imâm al-Ghazâlî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996), h. 307.

10

117

ﻔﻠﻟﺍ

ﻪﻠﻤﺘﺮﺧﺁﻌﻣﺮﻫﺎﻈﻟﺍﻩﺎﻨﻌﻣﻦﻋﻔﻠﻟﺍﺮﺻ

.

11

Artinya: “Pengalihan arti lafaz dari makna lahirnya kepada makna lain yang dikandung lafaz tersebut.”