• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : EFEKTIVITAS NAZIR ORGANISASI DI MAJELIS WAKIL CABANG NAHDLATUL ULAMA KECAMATAN

WAKAF, NAZIR DAN EFEKTIVITAS HUKUM

1. Pengertian Wakaf

Wakaf secara bahasa berasal dari bahasa Arab waqafa berarti menahan, berhenti, diam di tempat, atau tetap berdiri. Kata waqafa-yaqifu-waqfan sama artinya dengan habasa-yahbisu-tahbisan (menahan).1

Kata Al-Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian:

ليبستلا و سيبحتلا نىعبم فقولا

Artinya: “Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan”2

Dalam menamai wakaf, para ahli fiqh menggunakan dua kata, yaitu habas dan wakaf. Karena itu sering digunakan kata habasa atau ahbasa atau awqafa untuk menyatakan kata kerjanya. Sedang wakaf dan habas adalah kata benda, dan jamaknya adalah awqaf, ahbas dan mahbus. Dalam kamus Al-Wasith ditanyakan bahwa al-habsu artinya al-man’u (mencegah atau melarang) dan al-imsak (menahan), seperti dalam kalimat habsu

1 Tika Widiastuti, dkk., Wakaf Amerta (Surabaya: Airlangga University Press, 2019), 17.

2 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2007), 1.

sya’i (menahan sesuatu). Contoh lain adalah kalimat waqfuhu la yuba’ wa la yura (wakafnya tidak dijual dan tidak diwariskan).3

Menurut istilah syara’, wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah SWT.4 Secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul asli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul asli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.5

Adapun definisi wakaf menurut ke empat mazhab yaitu menurut Imam Abu Hanifah wakaf yaitu penahanan benda atas milik orang yang berwakaf dan menyedekahkan manfaatnya untuk tujuan kebaikan.6 Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbang manfaat”. Karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah “Tidak

3 Miftahul Huda, Mengalirkan Manfaat Wakaf Potret Perkembangan Hukum Dan Tata

Kelola Wakaf Di Indonesia (Bekasi: Gramata Publishing, 2015), 7.

4 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, Alih Bahasa Oleh Mudzakir (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1987), 153.

5 Depag RI, Paradigma Baru Wakaf Di Indonesia (Jakarta: Direktoral Jenderal Bimbigan Masyarakat Islam & Penyelenggaraan haji, 2005), 1.

6

35

melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”.7

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik di wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).8

Mazhab Imam Syafi’I mendefinisikan wakaf yaitu menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utunya barang, dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta di manfaatkan pada sesuatu yang

7 Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Fiqih Wakaf (Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, 2003), 2.

8

diperbolehkan oleh agama.9 Definisi dari mazhab Sayafi’i yang dikemukakan di atas menampakkan ketegasan terhadap status kepemilikan harta benda wakaf. Apabila wakaf dinyatakan sah, maka kepemilikanpun beralih dari pemilik harta semula kepada Allah swt., dengan pemahaman bahwa harta yang diwakafkan menjadi milik umat, bukan lagi milik orang yang mewakafkan. Dengan demikian, putuslah hubungan orang yang mewakafkan hartanya dengan harta itu. Putusnya hubungan seseorang dengan hartanya sekaligus timbulnya hubungan baru seseorang dengan pahala (tsawab) dari Allah sebab ia telah berwakaf. Diharapkan keadaan putusnya hubungan dengan sharta menjadikan seseorang lebih ikhlas dalam mewakafkan hartanya dan tidak perlu membayangkan lagi bahwa hartanta akan kembali lagi kepadanya. Sekaligus juga untuk mengajarkan manusia agar jangan terlalu cinta terhadap harta dan karena itu hendaklah cinta harta itu diletakkan di ujung jari dan cinta kepada Allah itu diletakkan di dalam hati.10

Definisi wakaf yang dikemukakan mazhab Hanbali yaitu menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta itu, sedangkan manfaatnya dipergunakan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.11 Memperhatikan definisi

9 Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan Di Indonesia (Pasuruan: PT. GBI, 1993), 2.

10 Suhrawardi K. Lubis, dkk. Wakaf & Pemberdayaan Umat (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 5.

11

37

yang dikemukakan Mazhab Hanbali di atas tampak bahwa apabila suatu wakaf sudah sah, berarti hilanglah kepemilikan wakif terhadap harta yang diwakafkannya. Hal ini berarti sama dengan pendapat mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali ini berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh dijual (la yuba’), tidak boleh dihibahkan (la yuhab), tidak boleh di wariskan (la yurats) kepada siapapun.

Dari keseluruhan definisi yang di kemukakan oleh empat mazhab istilah wakaf berarti menahan harta yang dimiliki untuk diambil manfaatnya bagi kemaslahatan umat dan agama. Akan tetapi, keempat mazhab tersebut berbeda pandangan apakah kepemilikan terhadap harta yang diwakafkan itu terputus dengan sahnya wakaf atau kepemilikan itu dapat ditarik kembali oleh wakif. Tentang kepemilikan terputus atau dapat ditarik kembali hendaknya tidak mengendorkan semangat berwakaf kecuali terus berwakaf dan terus berupaya mencari rezeki yang halal dari Allah SWT. dengan niat sebagiannya akan diwakafkan, baik wakaf benda tidak bergerak maupun benda bergerak dengan tujuan mencari ridha Allah SWT.12

Dalam Kompilasi Hukum Islam Buku III Hukum Perwakafan Bab I Ketentuan Umum Pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk

12

selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.13

Sedangkan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 2004 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebgaian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.14