• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Pengertian Wasiat dan Dasar Hukum Wasiat

1. Pengertian Wasiat.

Wasiat secara bahasa artinya mengambil, memanfaatkan, mendayagunakan. Secara istilah ialah mengambil harta dan memanfaatkannya setelah kematian seseorang. Biasanya menggunakan kata ‘Aishoita’ sehingga dikenal dengan sebutan berwasiat. Sesuatu yang bisa diwasiatkan itu harus dalam bentuk harta. Menurut sebagian ulama fiqh lainnya, wasiat tidak harus dalam bentuk harta, tapi juga bisa jasa yang bisa diberi upah atau nilai manfaat dari suatu hal.

Esensi dalam berwasiat ada dua, yakni akad dan nilai manfaat. Ulama fiqh memberi contoh, harta. Karena harta bisa digunakan sebelum mati namun juga berbekas amal sholih atau fa>sid setelah mati. Adapun syarat sahnya wasiat ada dua, yaitu langsung/jelas dan mempunyai batasan waktu. Sebagaimana contoh, Aku berwasiat atas barang ini... (Langsung / jelas). Aku berwasiat kepadamu setelah aku mati nanti, (berjangka waktu).1

Secara bahasa wasiat artinya berpesan. Kata wasiat disebut dalam al-Qur’an sebanyak 9 kali. Dalam bentuk kata kerja, wasiat disebut 14 kali, dan dalam bentuk kata benda jadian disebut 2 kali.

Seluruhnya disebut dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali. Dalam penggunaannya, kata wasiat berarti berpesan, menetapkan, memerintahkan (QS. Al-‘An’a>m, 6:151, 152, 153, al-Nisa>’, 4:131), mewajibkan (QS. ‘Ankabu>t, 29:8, Luqma>n, 31:14, Syu>ra>, 42:13, al-Ah}qa>f, 46:15), dan mensyariatkan (al-Nisa>’ 4:11). Sementara pendapat mengatakan, apabila suatu wasiat datang dari Allah, berarti suatu perintah sebagai suatu kewajiban yang harus dipatuhi pelaksanaannya.2

Wasiat dalam terminologi hukum perdata positif, sering disebut dengan istilah testament. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan prinsipil antara wasiat menurut hukum Islam dan testament, terutama yang menyangkut kriteria dan persyaratan.3 Pendapat lain dari pengertian wasiat adalah pesan seseorang kepada orang lain untuk mengurusi hartanya sesuai dengan pesan sepeninggalnya. Jadi, wasiat merupakan tas}arruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan setelah meninggalnya orang yang berwasiat, dan berlaku setelah orang yang berwasiat itu meninggal. Menurut asal hukumnya, wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan. Oleh karena itu, dalam syariat Islam, tidak ada suatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan.4

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, mengemukakan pengertian wasiat adalah sebagai berikut “wasiat itu adalah pemberian

2Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 438. 3Ibid., 439.

4 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris Untuk IAIN, STAIS, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 237.

seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah orang yang berwasiat mati.”5 Menurut T. M. Hasby ash Shiddieqiy, wasiat adalah suatu tas}arruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggalnya orang yang berwasiat.6

2. Dasar Hukum Wasiat.

Wasiat disyariatkan melalui al-Qur’an, Sunnah dan ijma>’. a. Al-Qur’an.7 Allah SWT, berfirman :                  

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah, 2:180)

                             

Artinya: “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal)

5Suhrawardi K. Lubis, Hukum Waris Islam (Lengkap & Praktis), (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 41.

6T. M. Hasby Ash Shiddieqiy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), 300. 7Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 440.

membiarkan mereka berbuat yang ma´ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Baqarah, 2:240)

Ayat-ayat di atas menunjukkan secara jelas mengenai hukum wasiat dan teknis pelaksanaannya, serta materi yang menjadi objek wasiat. b. Sunnah.8

ِﻦْﺑ ِﺪْﻌَﺳ ْﻦَﻋ ٍﺪْﻌَﺳ ِﻦْﺑ ِﺮِﻣﺎَﻋ ْﻦَﻋ َﻢﻴِﻫاَﺮْـﺑِإ ِﻦْﺑ ِﺪْﻌَﺳ ْﻦَﻋ ُنﺎَﻴْﻔُﺳ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ ٍﻢْﻴَﻌُـﻧ ﻮُﺑَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

َلﺎَﻗ ُﻪْﻨَﻋ ُﻪﱠﻠﻟا َﻲِﺿَر ٍصﺎﱠﻗَو ﻲِﺑَأ

َو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ُﻪﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠَﺻ ﱡﻲِﺒﱠﻨﻟا َءﺎَﺟ

َﺔﱠﻜَﻤِﺑ ﺎَﻧَأَو ﻲِﻧُدﻮُﻌَـﻳ َﻢﱠﻠَﺳ

ﺎَﻳ ُﺖْﻠُـﻗ َءاَﺮْﻔَﻋ َﻦْﺑا ُﻪﱠﻠﻟا ُﻢَﺣْﺮَـﻳ َلﺎَﻗ ﺎَﻬْـﻨِﻣ َﺮَﺟﺎَﻫ ﻲِﺘﱠﻟا ِضْرَْﻷﺎِﺑ َتﻮُﻤَﻳ ْنَأ ُﻩَﺮْﻜَﻳ َﻮُﻫَو

َﻓ َلﺎَﻗ ُﺚُﻠﱡـﺜﻟا ُﺖْﻠُـﻗ َﻻ َلﺎَﻗ ُﺮْﻄﱠﺸﻟﺎَﻓ ُﺖْﻠُـﻗ َﻻ َلﺎَﻗ ِﻪﱢﻠُﻛ ﻲِﻟﺎَﻤِﺑ ﻲِﺻوُأ ِﻪﱠﻠﻟا َلﻮُﺳَر

ُﺚُﻠﱡـﺜﻟﺎ

َسﺎﱠﻨﻟا َنﻮُﻔﱠﻔَﻜَﺘَـﻳ ًﺔَﻟﺎَﻋ ْﻢُﻬَﻋَﺪَﺗ ْنَأ ْﻦِﻣ ٌﺮْـﻴَﺧ َءﺎَﻴِﻨْﻏَأ َﻚَﺘَـﺛَرَو َعَﺪَﺗ ْنَأ َﻚﱠﻧِإ ٌﺮﻴِﺜَﻛ ُﺚُﻠﱡـﺜﻟاَو

َﻟِإ ﺎَﻬُﻌَـﻓْﺮَـﺗ ﻲِﺘﱠﻟا ُﺔَﻤْﻘﱡﻠﻟا ﻰﱠﺘَﺣ ٌﺔَﻗَﺪَﺻ ﺎَﻬﱠـﻧِﺈَﻓ ٍﺔَﻘَﻔَـﻧ ْﻦِﻣ َﺖْﻘَﻔْـﻧَأ ﺎَﻤْﻬَﻣ َﻚﱠﻧِإَو ْﻢِﻬﻳِﺪْﻳَأ ﻲِﻓ

ُﻪَﻟ ْﻦُﻜَﻳ ْﻢَﻟَو َنوُﺮَﺧآ َﻚِﺑ ﱠﺮَﻀُﻳَو ٌسﺎَﻧ َﻚِﺑ َﻊِﻔَﺘْﻨَـﻴَـﻓ َﻚَﻌَـﻓْﺮَـﻳ ْنَأ ُﻪﱠﻠﻟا ﻰَﺴَﻋَو َﻚِﺗَأَﺮْﻣا ﻲِﻓ

ٌﺔَﻨْـﺑا ﱠﻻِإ ٍﺬِﺌَﻣْﻮَـﻳ

Artinya: “Telah bercerita kepada kami Abu Nu'aim telah bercerita kepada kami Sufyan dari Sa'ad bin Ibrahim dari 'Amir bin Sa'ad dari Sa'ad bin Abi Waqosh radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam datang menjengukku (saat aku sakit) ketika aku berada di Makkah". Dia tidak suka bila meninggal dunia di negeri dimana dia sudah berhijrah darinya. Beliau bersabda; "Semoga Allah merahmati Ibnu 'Afra'". Aku katakan: "Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku". Beliau bersabda: "Jangan". Aku katakan: "Setengahnya" Beliau bersabda: "Jangan". Aku katakan lagi: "Sepertiganya". Beliau bersabda: "Ya, sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan menengadahkan tangan mereka. Sesungguhnya apa saja yang kamu

keluarkan berupa nafkah sesungguhnya itu termasuk shadaqah sekalipun satu suapan yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu. Dan semoga Allah mengangkatmu dimana Allah memberi manfaat kepada manusia melalui dirimu atau memberikan madharat orang-orang yang lainnya". Saat itu dia (Sa'ad) tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak perempuan.” BUKHARI – 2537 (HR. Bukhari)

Dengan demikian dapat dipahami bahwa wasiat itu penting, selain sebagai pelaksanaan ibadah untuk investasi kehidupan akhirat, dan wasiat akan memberi manfaat bagi kepentingan orang lain atau masyarakat pada umumnya. Meskipun realisasinya dibatasi maksimal 1/3 dari harta si pewasiat. Ini dimaksudkan agar hak-hak ahli waris tidak terkurangi, sehingga mengakibatkan kehidupan mereka terlantar.

c. Ijma>’.

Praktek pelaksanaan wasiat ini telah dilakukan oleh umat islam sejak zaman Rasulullah sampai sekarang. Tindakan yang demikian tidak pernah diingkari oleh seorangpun. Ketiadaan ingkar seseorang itu menunjukkan adanya ijma atau kesepakatan umat Islam bahwa wasiat merupakan syariat Allah SWT dan Rasulnya didasarkan atas nas}-nas} al-Qur’an maupun hadis nabi yang menerangkan tentang keberadaan wasiat.9 Ijma ulama, mengatakan bahwa semua ulama sepakat hukumnya wasiat adalah boleh.10 d. Qiyas / analogi.

9M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), 21.

Berwasiat berarti membuktikan rasa tenggang rasa dan peduli terhadap orang lain, serta bukti solidaritas antar umat manusia dalam mencari dan memperbanyak perbuatan-perbuatan yang baik.11

Dokumen terkait