• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3 Uji Keabsahan Data

1.4.3 Pengetahuan Keluarga Mengenai Upaya Pencegahan Penularan Penyakit TB Paru

Hasil penelitian peneliti mengenai pengetahuan keluarga terhadap upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru diperoleh bahwa keluarga dapat menyebutkan dan melakukan beberapa upaya untuk mencegah penularan penyakit TB Paru. Menurut keluarga, tindakan atau upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru dilakukan agar tidak terjadi penularan dari penderita TB Paru ke anggota keluarga lainnya. Berikut hasil penelitian peneliti.

Pertama, mengupayakan penderita TB Paru termasuk orang sehat terutama anak-anak untuk menutup mulut dan hidung pada saat kontak langsung dan pada saat penderita TB Paru batuk. Kedua, mengupayakan penderita TB Paru agar tidak

membuang dahak/ludah sembarangan melainkan menyiapkan tempat khusus. Ketiga, mengupayakan membersihkan diri dan mengganti pakaian setelah kontak dengan penderita TB Paru serta menjaga kebersihan makanan. Keempat, tidak tidur bersama dengan pasien penderita TB Paru. Kelima, tidak menggunakan alat makan bersama dengan penderita TB Paru. Keenam, menjemur alat tidur penderita, mengupayakan penderita TB Paru untuk berjemur pada pagi hari dan mengupayakan untuk membuka pintu dan jendela pada pagi hari. Ketujuh, mengupayakan penderita TB Paru agar rutin kontrol ke rumah sakit dan kedelapan adalah mempertahankan daya tahan tubuh keluarga sendiri dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi serta sudah mendapat imunisasi BCG.

Hasil penelitian tentang pengetahuan keluarga mengenai upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru ini sesuai dengan Mandal dkk. (2006) yang mengatakan bahwa jika penderita TB Paru membuang ludah atau dahak sembarangan, ludah dan dahaknya

diterbangkan angin. Karena itu harus disiapkan tempat khusus untuk menampung dahak penderita dan diberi desinfektan.

Dengan demikian, menjadi tugas keluarga untuk mengingatkan penderita TB Paru agar menutup mulut dengan sapu tangan, tisu atau masker pada saat batuk sehingga dapat mencegah atau mengurangi bakteri tuberkulosis yang akan menyebar ke udara. Penderita TB Paru dan keluarga harus menyiapkan tempat khusus yang tertutup untuk membuang dahak penderita.

Hasil penelitian peneliti menunjukkan bahwa semua anak-anak dalam ketiga keluarga juga sudah mendapat imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin). Sedangkan para orang tua yaitu keluarga A sudah sedangkan keluarga B dan C tidak tahu sudah diimunisasi BCG atau belum. Keluarga yang belum diimunisasi BCG harus berusaha menjaga daya tahan tubuhnya dan meningkatkan upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru.

Penelitian Beresford (2010) menjelaskan bahwa satu-satunya vaksin yang saat ini digunakan untuk

penyakit TB adalah vaksin BCG. Vaksin BCG melindungi anak-anak terhadap bentuk penyakit TB yang lebih parah daripada penyakit TB Paru. Oleh karena itu, penting untuk memberikan vaksin ini pada anak-anak sejak usia dini. Sebagian besar orang yang telah mendapat vaksin BCG dan terinfeksi TB Paru tidak dapat menghilangkan patogennya tetapi mengaktifkan kembali dan meningkatkan kekebalan tubuh terhadap TB Paru saat kekebalan tubuh melemah.

Suharjo (2010) dalam bukunya mengatakan bahwa vaksin BCG (vaksin hidup yang dihilangkan virulensinya) memberi perlindungan terhadap penyakit TB Paru. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (TB meningitis dan TB milier) yang sangat mengancam nyawa. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara 50% - 80% terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak, sedangkan bagi orang dewasa manfaatnya masih kurang jelas. Daya tahan seseorang terhadap penyakit TB Paru berkaitan

di dalam darah. Vaksin BCG akan merangsang kekebalan dan meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menyebabkan kerusakan. Sesudah vaksinasi BCG, tidak menutup kemungkinan bakteri TB akan masuk ke dalam tubuh. Akan tetapi daya tahan tubuh yang baik dan meningkat akan dapat mengendalikan bahkan membunuh bakteri tuberkulosis.

Keluarga juga harus mendukung penderita TB Paru sendiri agar rutin melakukan pengobatannya dan mengupayakan agar tidak menularkan ke anggota keluarga lainnya. Penderita TB Paru dalam ketiga keluarga juga masih rutin melakukan pengobatannya.

Mandal dkk. (2006) mengatakan bahwa penderita TB Paru harus melakukan pengobatan dengan teratur. Dengan melakukan pengobatan secara rutin, maka dapat mengurangi daya penularan penyakit TB Paru ke anggota keluarga lainnya.

Dalam penelitian ini, keluarga B mengetahui dan melakukan semua upaya pencegahan penularan penyakit PB Paru. Keluarga A mengetahui semua upaya pencegahannya tetapi hanya melakukan beberapa upaya karena keluarga lebih mementingkan

menjaga perasaan daripada harus membatasi kontak dengan penderita. Keluarga C memiliki anggapan bahwa penyakit TB Paru adalah penyakit keturunan. Keluarga tahu tanda-tanda penyakit TB Paru tetapi tidak mengetahui tentang penularannya sehingga tidak ada upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru. Keluarga C hanya melakukan tindakan menutup mulut ketika batuk karena hal itu sudah menjadi kebiasaan di desa mereka demi tenggang rasa.

Berdasarkan Notoadmodjo (2007), maka tingkatan pengetahuan keluarga A adalah tahu dan memahami, tingkatan pengetahuan keluarga B adalah tahu, memahami dan aplikasi sedangkan tingkat pengetahuan keluarga C hanya sebatas tingkatan tahu. Dilihat dari observasi terhadap lingkungan rumah, keluarga A dan B memiliki jendela dan ventilasi, sedangkan keluarga C tidak memilki ventilasi. Jenis lantai keluarga A dan C adalah keramik sedangkan keluarga B adalah semen. Ventilasi merupakan masalah yang tidak dimiliki keluarga B. Dinding rumah keluarga B dan C terbuat dari papan, sedangkan

Dinding rumah yang terbuat dari papan juga dapat mengurangi hawa dingin dalam rumah. Kondisi yang demikian dapat menekan daya hidup bakteri tuberkulosis.

Keluarga dalam penelitian peneliti juga mengatakan selalu membuka jendela pada pagi hari. Berdasarkan sifat bakteri tuberkulosis yang dapat bertahan hidup di lingkungan yang lembab, maka upaya membuka jendela, pintu dan adanya ventilasi dapat membantu mensterilkan ruangan dan alat-alat yang ada dalam ruangan dengan sinar matahari. Bakteri-bakteri tuberkulosis yang keluar saat penderita TB Paru batuk dapat bertebaran ke udara terbuka dan dapat mati karena terkena sinar matahari.

Selain membuka jendela dan adanya ventilasi dalam rumah, alat tidur penderita TB Paru juga perlu disterilkan dengan sinar matahari. Keluarga juga selalu menjemur alat tidur penderita TB Paru karena alat tidur penderita juga berpotensi menjadi tempat menempelnya bakteri TB Paru. Oleh karena itu bakteri TB Paru yang menempel pada alat tersebut dapat mati

dengan sinar matahari. Penjemuran yang rutin akan membunuh bakteri TB Paru.

Ada kesalahpahaman lagi yang peneliti temukan yaitu keluarga B mengupayakan pencegahan penularan penyakit TB Paru dengan memisahkan alat makan penderita TB Paru. Alat makan tidak berpotensi menjadi sarana penularan penyakit TB Paru dan tidak ada pula teori yang mengatakan demikian. Ini sejalan dengan penelitian Khan dkk. (2006) yang menemukan bahwa memisahkan piring dengan penderita TB Paru adalah hal yang dilakukan untuk mencegah penyebaran TB Paru. Stigma dalam masyarakat menyebabkan infeksi TB paru semakin tinggi di masyarakat.

Keluarga A dan B juga berusaha meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan bergizi. Makanan bergizi perlu untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit menular seperti penyakit TB Paru.

Semua upaya pencegahan penularan penyakit TB paru perlu didukung dengan kebersihan rumah. Hasil

A, B maupun keluarga C menunjukkan bahwa kondisi kebersihan rumah keluarga A dan keluarga C baik sedangkan keluarga C masih kurang. Kebersihan menjadi salah satu faktor pendukung dalam upaya pencegahan penularan penyakit TB paru karena bakteri tuberkulosis menyukai lingkungan yang kotor. Hasil observasi peneliti ini sesuai dalam teori Achmadi (2005) yang menyebutkan bahwa kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah, sehingga kelembaban udaranya tinggi.

Hasil penelitian dan observasi tersebut juga sesuai dengan Depkes RI (2001) dalam buku pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis yang menyebutkan bahwa upaya pencegahan penularan penyakit TB Paru yang harus dilakukan adalah menutup mulut pada waktu batuk atau bersin, tidur terpisah dari keluarga terutama pada dua minggu pertama pengobatan, tidak meludah di sembarang tempat, tetapi dalam wadah yang diberi desinfektan kemudian dibuang dalam lubang dan ditimbun dalam

tanah, menjemur alat tidur secara teratur pada pagi hari dan selalu membuka jendela pada pagi hari agar rumah mendapat udara bersih dan cahaya matahari yang cukup. Dengan upaya demikian maka dapat membunuh bakteri tuberkulosis paru.

Bagi orang sehat sendiri upaya yang penting dilakukan adalah meningkatkan daya tahan tubuh antara lain dengan makan makanan yang bergizi, tidur dan istirahat yang cukup, serta melakukan imunisasi BCG pada bayi. Jika mengalami batuk lebih dari tiga minggu sebaiknya memeriksakan diri ke rumah sakit.

Jadi, tindakan mencegah terjadinya penularan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang utama adalah penderita TB Paru penting untuk mengkonsumsi obat anti tuberkulosis dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Pencegahan lain yang juga dilakukan adalah dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor resiko yang pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan lingkungan rumah dan perilaku serta mengurangi kepadatan anggota keluarga.

Dokumen terkait