• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu dari manusia. Yang sekedar menjawab pertanyaan “What”, misalnya apa air. Apa manusia, apa alam, dan sebagainya. Sedangkan ilmu (science) bukan

11

sekedar menjawab (What), melainkan akan menjawab pertanyaan “Why” dan “How”, misalnya mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa bumi berputar, mengapa manusia bernafas, dan sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu itu terjadi (Notoatmodjo S, 2005).

Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indra, yang berbeda sekali dengan kepercayaan (beliefs), takhyul (suersition), dan penerangan – penerangan yang keliru (misinformation). Pengetahuan adalah hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang sudah pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak disengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Mubarak W I, dan Chayatin N, 2009).

b) Faktor - faktor yang mempengaruhi pengetahuan (1) Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap

sesuatu hal agar mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin mudah pula mereka menerima informasi.

(2) Pekerjaan

Pekerjaan adalah merupakan kegiatan atau aktifitas seseorang untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.

(3) Usia

Dengan bertambahnya usia seseorang, maka akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental).

(4) Minat

Minat adalah suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni sesuatu hal pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.

(5) Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

13

(6) Informasi

Untuk memperoleh suatu informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Mubarak W I, dan Chayatin N, 2009).

c) Cara Memperoleh Pengetahuan

Cara yang digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:

(1) Cara tradisional (a) Trial and Error

Cara coba – salah ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam mencegah masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain.

(b) Otoriter

Sumber pengetahuan dapat berupa pimpinan masyarakat baik formal maupun informal, ahli agama, pemegang pemerin-tahan dan sebagainya. Dengan kata lain pengetahuan tersebut diperoleh berdasar-kan pada otoritas atau kekuasaan, baik

tradisi, otoritas pemerintahan dan sebagai-nya.

(c) Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Pengalaman pribadi dapat

digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hasil ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasa-lahan yang dihadapi pada masa lalu.

(d) Melalui Jalan Pikiran

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berfikir manusia apapun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan

penalaran dalam memperoleh

pengetahuannya. Dengan kata lain dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan fikirannya.

(2) Cara Moderen Untuk Memperoleh Pengetahuan

Cara modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini lebih sintesis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut metode

15

penelitian ilmiah atau lebih populer disebut metodelogi penelitian (Notoatmodjo S, 2005). 2) Peran Perawat

a) Definisi

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu (Kozier Barbara, 2007).

Peran perawat yang dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas perawat dalam praktik, dimana telah menyelesaikan pendidikan formalnya yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggungjawab keperawatan secara professional sesuai dengan kode etik professional. Dimana setiap peran yang dinyatakan sebagai ciri terpisah demi untuk kejelasan.

b) Elemen peran perawat

Ada beberapa elemen peran perawat professional antara lain : care giver, client advocate, conselor, dan educator (Doheny, 2006).

(1) Care giver

(a) Memberikan pelayanan keperawatan kepada individu, keluarga , kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang kompleks.

(b) Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan klien, perawat harus memperhatikan klien berdasarkan kebutuhan signifikan dari klien.

(2) Client advocate

(a) Bertanggung jawab membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (inform concern) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya.

17

(b) Mempertahankan dan melindungi hak-hak klien, harus dilakukan karena klien yang sakit dan dirawat di rumah sakit akan berinteraksi dengan banyak petugas kesehatan. Perawat adalah anggota tim kesehatan yang paling lama kontak dengan klien, sehingga diharapkan perawat harus mampu membela hak-hak klien.

(3) Conselor

Konseling adalah proses membantu klien untuk menyadari dan mengatasi tekanan psikologis atau masalah sosial untuk membangun hubungan interpersonal yang baik dan untuk meningkatkan perkembangan seseorang. Konseling memberikan dukungan emosional dan intelektual.

(4) Educator

Mengajar adalah merujuk kepada aktifitas dimana seseorang guru membantu murid untuk belajar. Belajar adalah sebuah proses interaktif antara guru dengan satu atau banyak pelajar dimana pembelajaran obyek khusus atau keinginan untuk merubah perilaku

adalah tujuannya. Inti dari perubahan perilaku selalu didapat dari pengetahuan baru atau ketrampilan secara teknis.

b. Faktor internal

Terdapat 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus yaitu : gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam, gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakesia dan usia (Potter & Perry, 2005).

1) Gaya gesek

Gaya gesek merupakan tekanan yang diberikan kulit dengan arah paralel terhadap permukaan tubuh. Gaya ini terjadi pada saat pasien bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya di atas tempat tidur dengan cara didorong atu digeser pada posisi fowler yang tinggi.

2) Friksi

Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epidermis atau lapisan kulit bagian atas yang terkelupas pada saat pasien mengubah posisinya. Karena luka seperti itu maka perawat sering menyebut luka bakar sprei“ sheet burns”. Cedera ini dapat terjadi pada pasien yang

19

gelisah. yang gerakannya tidak terkontrol seperti kondisi pasien kejang dan pasien yang kulitnya diseret daripada diangkat dari tempat tidur.

3) Kelembaban

Adanya kelembaban kulit dan durasinya meningkatkan terjadinya kerusakan integritas kulit. Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik. Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka,keringat, kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah, dan inkontinensia.

4) Nutrisi buruk

Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan penurunan jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi sebagai bantalan di antara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut. Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminenia (level albumin serum di bawah 3 gram/ 100 ml) dan anemia. Albumin adalah ukuran variabel yang biasa

digunakan untuk mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang level albuminnya di bawah 3 gram/100 ml lebih berisiko tinggi. Selain itu level albumin yang rendah juga dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka. Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus. Level total protein di bawah 5,4 gram/100 ml menurunkan tekanan osmotik koloid yang akan menyebabkan edema interstisial dan penurunan oksigen ke jaringan.

5) Anemia

Pasien anemia berisiko mengalami dekubitus. Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu metabolisme jaringan dan penyembuhan luka.

6) Kakesia

Kakesia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai kelemahan dan kurus. Kakesia biasanya berhubungan denganpenyakit berat seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan risiko dekubitus pada pasien.

21

7) Obesitas

Obesitas mengurangi risiko dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah kecil berguna sebagai bantalan pada tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari tekanan. Pada obesitas sedang ke berat jaringan adipose mendapat vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang berada di bawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemia.

8) Demam

Infeksi disebabkan adanya patogen di dalam tubuh. Pasien yang mengalami infeksi biasanya demam. Infeksi dan demam meningkatkan kebutuhan metabolik tubuh. Membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan cedera akibat iskemia. Selain itu demam membuat diaporesis (berkeringat) dan meningkatkan kelembaban kulit, yang selanjutnya menjadi predeposisi kerusakan kulit. 9) Gangguan sirkulasi perifer

Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan mengalami iskemia. Gangguan iskemia pada pasien yang menderita

vaskuler. Pasien syok, atau yang mendapatkan pengobatan vasopresor.

10) Usia.

Luka dekubitus terbesar terjadi pada pasien usia diatas 75 tahun.Lansia mempunyai potensi besar untuk mengalami dekubitus. Lansia mengalami perubahan kulit akibat bertambahnya usia.

2.1.1.4. Patogenesis luka dekubitus

Dekubitus terjadi sebagai hubungan antara waktu dan tekanan (Storts, 2008), semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula insiden terbentuknya luka.

Kulit dan jaringan subkutan dapat toleran terhadap beberapa tekanan. Tetapi pada tekanan eksternal terbesar daripada tekanan kapiler akan menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke jaringan sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cidera iskemia. Proses tekanan yang lebih besar dari 42 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia maka pembuluh darah akan kolaps dan trombosis (Maklebust, 2007). Tekanan yang dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan tersebut akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologi hiperemia reaktif. Kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemia

23

dari otot, maka dekubitus dimulai dari tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke epidermis (Maklebust, 2007).

Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan

dengan adanya gaya gesek saat menaikkan posisi pasien di atas tempat tidur. Area sakral dan tumit merupakan yang paling rentan. Efek tekanan juga dapat ditingkatkan oleh karena distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang mendapat tekanan konstan pada tubuh dari tempatnya berada karena adanya gaya gravitasi. Tekanan yang tidak terdistribusi merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan (Maklebust, 2007).

2.1.1.5. Klasifikasi luka dekubitus

Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga:

a. Tipe normal

Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,5oC dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini

terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya baik.

b. Tipe arterioskelerosis

Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.

c. Tipe terminal

Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan sembuh. Sedangkan stadium luka dekubitus dibagi menjadi 4 :

a. Dekubitus derajat I

Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis.

b. Dekubitus derajat II

Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal. c. Dekubitus derajat III

Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada infeksi.

25

d. Dekubitus derajat IV

Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta jaringan nekrotik.

2.1.1.6. Tempat terjadinya luka dekubitus

Beberapa tempat yang terjadi luka dekubitus adalah sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trokanter besar dan tuberostatis iskial (Meehan, 2008). Daerah tubuh yang sering luka dekubitus adalah :

a. Pada penderita posisi terlentang adalah pada daerah belakang kepala, daerah tulang belikat dan tumit.

b. Pada penderita posisi miring adalah pada daerah pinggir kepala (terutama daun) telinga, bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan bagian atas jari-jari kaki. c. Pada penderita dengan posisi tengkurap : dahi, lengan

atas, tulang iga, dan lutut. 2.1.1.7. Komplikasi luka dekubitus

Komplikasi luka dekubitus sering terjadi pada derajad III dan IV walaupun dapat terjadi luka superficial (Sabandar, 2008). Luka dekubitus dapat menyebabkan komplikasi antara lain :

a. Infeksi umumnya bersifat multibakterial baik yang aerobik mapun anaerobic.

b. Keterlibatan jaringan tulang, periostitis, osteostitis, osteomielitis, osteoartitis dan arthitis septic.

c. Septikemia

Septikemia adalah suatu keadaan dimana terdapatnya multiplikasi bakteri dalam darah (bakteremia). Istilah lain untuk septikemia adalah blood poisoning atau Bakteremia dengan sepsis.

d. Anemia

Anemia adalah berkurangnya jumlah sel darah merah atau kandungan hemoglobin di dalam darah

e. Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia adalah rendahnya kadar albumin di dalam darah akibat abnormalitas

f. Kematian

2.1.2. Albumin

2.1.2.1. Pengertian

Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma yang berperan dalam penyembuhan penyakit atau recovery (pemulihan) setelah luka atau tindakan operasi (Supriyatna, 2010).

Serum albumin manusia adalah molekul unik yang merupakan protein utama dalam plasma manusia (3,4 -7,5

27

gr/dl) dan membentuk 60% dari protein plasma total. Albumin sebanyak 40% dijumpai dalam plasma dan 60% ruang ekstraseluler. Hati kira-kira menghasilkan 12 gram albumin perhari yang merupakan 25% total sintesa protein dalam hati. Albumin mempertahankan tekanan osmotik koloid dalam pembuluh darah dan mempunyai sejumlah fungsi penting. Albumin menghantarkan dan melarutkan molekul-molekul kecil dalam darah (contohnya bilirubin, kalsium, progesteron dan obat-obatan) merupakan tempat penyimpanan protein dan partikel utama yang menentukan tekanan onkotik plasma, supaya cairan tidak bebas melintas antara ruang intra dan ekstravaskuler (Bangun, 2008).

Kadar albumin yang rendah dalam tubuh manusia disebabkan oleh karena gangguan sintesa (malnutrisi, disfungsi hepar) atau kehilangan (asites, protein hilang karena nefropati atau enteropati) sehingga menyebabkan gangguan yang serius pada tekanan onkotik ekstavaskuler , kehilangan albumin dapat bermanifestasi edema (Rosche et all, 2008). 2.1.2.2. Sintesa albumin

Sintesa albumin membutuhkan mRNA untuk translasi, suplai asam amino yang cukup akan diaktivasi dan berikatan dengan tRNA Ribosom untuk pembentukan dan energi dalam bentuk ATP. Sintesa protein dimulai di dalam

nukleus, di mana gen ditranskripsikan dalam messenger Ribonucleid Acid (mRNA). Terbentuknya mRNA kemudian disekresikan di dalam sitoplasma, di mana albumin berikatan dengan ribosom membentuk polysome yang mensintesa preproalbumin. Preproalbumin adalah molekul albumin dan asam amino yang disambungkan pada terminal N. Sambungan asam amino memberikan isyarat penempatan proalbumin ke dalam membran retikulum endoplasma. Preproalbumin yang berada di dalam lumen reikulum endoplasma, 18 asam amino akan memecah menyisakan albumin (albumin dengan 6 asam amino yang tersisa). Proalbumin adalah bentuk intraseluler yang utamadari albumin. Proalbumin kemudian dikirim ke aparatus golgi di mana 6 sambungan asam amino dipindahkan sebelum albumin disekresi oleh hepatosit (Bangun, 2008).

Penurunan konsentrasi serum albumin dapat terjadi melalui dua cara yaitu : albumin hilang dari dalam tubuh dalam jumlah besar seperti pendarahan, eksudasi kulit yang berat, atau terjadi penurunan produksi albumin (hepatic insufiency/malnutrisi). Penyebab lain rendahnya albumin adalah termasuk hypoadrenocorticism dan hyperglobulinemia (karena multiple myeloma). Hypoalbuminemia yang bermakna dapat disebabkan oleh tiga penyebab utamayaitu :hepatic insufiency/real losing (protein nepropathy), dan

29

gastrointestimal loss (protein losing enteropathy). Rentang nilai rujukan bervariasi albumin serum kurang dari 2,5 mg/dl disebut abnormal, dan konsentrasi kurang dari 1,5 mg/dl dapat menyebabkan tanda klinis yang bermakna seperti pembentukan asites dan edema (Bangun, 2008).

2.1.3. Indeks Massa Tubuh 2.1.3.1. Pengertian

IMT atau sering juga disebut indeks Quatelet pertama kali ditemukan oleh seorang ahli matematika Lambert Adolphe Jacques Quatelet adalah alat pengukuran komposisi tubuh yang paling umum dan sering digunakan. Beberapa studi telah mengungkapkan bahwa IMT adalahalat pengukuran yang berguna untuk mengukur obesitas, dan telah direkomendasikan untuk evaluasi klinik pada obesitas anak (Budiyanto, 2006).

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang. IMT dipercaya dapat menjadi indikator atau menggambarkan adipositas dalam tubuh seseorang. IMT tidak mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan IMT berkorelasi langsung dengan pengukuran

lemak tubuh seperti underwater weighing dan dual energy x-ray absorbtiometry (Pujiastuti et all, 2010).

IMT merupakan altenatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena murah serta metode skrining kategori berat badan yang mudah dilakukan. Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

IMT = berat badan (BB) / [ tinggi badan (TB) (m)]2 Perhitungan berat badan dalam satuan kilogram dan tinggi badan dalam meter.

2.1.3.2. Kategori IMT

Untuk orang dewasa usia di atas 20 tahun dinterpretasi dengan menggunakan status berat badan standar yang sama untuk semua umur pria dan wanita. Interpretasi untuk anak-anak dan remaja IMT mengikuti usia dan jenis kelamin (Budiyanto, 2006).

IMT di Indonesia untuk kepentingan klinis dimodifikasi berdasarkan penelitian di negara-negara berkembang. Interpretasi IMT yang dimaksudkan ditampilkan pada tabel kategori Indeks Massa Tubuh sebagai berikut :

31

Tabel 2.1 Kategori Indeks Massa Tubuh

IMT Kategori < 18,5 18,5 -22,9 > 23 23,0- 24,9 25,0 – 29,9 > 30

Berat badan kurang Berat badan normal Kelebihan berat badan Beresiko menjadi obesitas

Obesitas I Obesitas II Sumber : Centre of Obesity Research and Education (2007)

2.1.4. Immobilisasi

2.1.4.1. Pengertian immobilisasi

Immobilisasi atau tirah baring adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak secara aktif atau bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas). Misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya. Immobilisasi secara fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan (Potter & Perry, 2005).

Keadaan immobilisasi adalah suatu pembatasan gerak atau keterbatasan fisik dari anggota badan dan tubuh itu sendiri dalam berputar, duduk dan berjalan, hal ini salah satunya disebabkan oleh keadaan posisi tetap dengan gravitasi berkurang seperti saat duduk dan berbaring (Garison, 2006).

2.1.4.2. Penyebab immobilisasi

Berbagai kondisi dapat menyebabkan terjadinya immobilisasi (Braden, 2006), yaitu :

a. Gangguan sendi dan tulang

Penyakit reumatik seperti pengapuran tulang atau patah tulang akan menghambat pergerakan.

b. Penyakit Saraf

Adanya stroke, penyakit parkinson dan gangguan saraf tepi juga menimbulkan gangguan pergerakan dan mengakibatkan immobilisasi.

c. Penyakit Jantung atau Pernafasan

Penyakit jantung atau pernafasan akan menimbulkan kelelahan dan sesak nafas ketika beraktivitas. Akibatnya pasien dengan gangguan pada organ-organ tersebut akan mengurangi mobilitasnya.

d. Masa Penyembuhan

Pasien yang masih lemah setelah menjalani operasi atau penyakit berat tertentu memerlukan bantuan untuk berjalan atau banyak istirahat.

2.1.4.3. Jenis Immobilisasi

Secara umum kondisi yang dihadapi pasien dalam keadaan immobilisasi adalah:

33

a. Immobilisasi fisik

Merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.

b. Immobilisasi intelektual

Merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.

c. Immobilisasi emosional

Keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stres berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai.

d. Immobilisasi sosial

Keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat mempengaruhi perannya dalam keadaan sosial.

2.1.4.4. Tingkat Immobilisasi

Dalam Skala Braden tingkat imobilisasi terbagi atas 4 tingkatan (Braden & Bergstorm, 2008) yaitu :

a. Tidak terbatas

Pasien mampu melakukan perubahan posisi yang bermakna tanpa bantuan.

b. Agak terbatas

Pasien sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan ekstremitas secara mandiri tetapi memiliki derajad keterbatasan.

c. Sangat terbatas

Pasien kadang-kadang melakukan perubahan kecil pada tubuh dan ekstremitas tapi tidak dapat melakukan perubahan yang sering.

d. Immobilisasi total

Pasien tidak dapat melakukan perubahan posisi tubuh atau ekstremitas tanpa bantuan.

2.1.4.5. Efek samping immobilisasi a. Perubahan Metabolisme

Perubahan metabolisme immobilisasi dapat mengakibatkan proses anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini dapat beresiko meningkatkan gangguan metabolisme. Proses immobilitas

35

dapat juga menyebabkan penurunan ekskresi urine dan peningkatan nitrogen. Hal tersebut dapat ditemukan pada pasien yang mengalami immobilitas pada hari kelima dan keenam. Beberapa dampak perubahan metabolisme, diantaranya adalah pengurangan jumlah metabolisme, atropi kelenjar dan katabolisme protein, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, demineralisasi tulang, gangguan dalam mengubah zat gizi, dan gangguan gastrointestinal. b. Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit

Dampak dari immobilisasi akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsentrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh

c. Gangguan pengubahan zat gizi

Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan zat-zat makanan pada tingkat sel menurun, dimana sel tidak lagi menerima glukosa, asam amino, lemak dan oksigen dalam jumlah yang cukup untuk melaksanakan aktivitas metabolisme

d. Gangguan Fungsi Gastrointestinal

Immobilisasi dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang cukup

dapat menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual, dan nyeri lambung yang dapat menyebabkan gangguan proses eliminasi.

e. Perubahan Sistem Pernafasan

Akibat immobilisasi, kadar haemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu. Terjadinya penurunan kadar haemoglobin dapat menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke jaringan, sehingga mengakibatkan anemia. Penurunan ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan yang meningkat

Dokumen terkait