• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.3.3. Pengetahuan Responden Tentang Larangan Pemerintah

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar responden mengetahui larangan pemerintah menggunakan plastik kresek sebagai pembungkus makanan yaitu sebanyak 49 orang (56,4%), sebagian kecil responden menjawab tidak tahu larangan pemerintah menggunakan plastik kresek sebagai pembungkus makanan yaitu sebanyak 15 orang (17,2%), dan yang lainnya menjawab belum pernah mendengar larangan pemerintah menggunakan plastik kresek sebagai pembungkus makanan yaitu sebanyak 23 orang (26,4 %).

Hasil ini menunjukkan responden memberikan perhatian pada kemasan makanan yang mereka pakai dalam upaya menghindari resiko kesehatan. Hasil ini

menyatakan bahwa harus mempunyai syarat-syarat yaitu tidak toksik, harus cocok dengan bahan yang dikemas, harus menjamin sanitasi dan syarat-syarat kesehatan, kemudahan membuka dan menutup, kemudahan dan keamanan dalam mengeluarkan isi, kemudahan pembuangan bekas, ukuran, bentuk, dan berat harus sesuai.

Pemerintah memberi perhatian terhadap arti penting dari pangan dan keamanan pangan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (selanjutnya disingkat UUP). UUP secara khusus mengatur bahwa pangan yang digunakan konsumen harus dalam keadaan aman disebut dengan keamanan pangan. Salah satu yang termasuk dalam keamanan pangan adalah produksi pangan, pengemasan pangan dan pengedaran makanan. Hal ini sejalan dengan peraturan yang dikeluarkan oleh BPOM RI yaitu Peringatan Publik tentang Kantong Plastik “Kresek” Nomor: KH.00.02.1.55.2890 dan Keterangan Pers tentang Makanan “Styrofoam” Nomor: KH.00.02.1.55.2888.

5.3.4. Pengetahuan Responden Tentang Dampak Penggunaan Plastik Bagi Kesehatan

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar responden menjawab 2-4 yaitu sebanyak 49 orang (56,3%), sebagian kecil responden menjawab < 2 yaitu sebanyak 38 orang (43,7%), dan tidak ada responden yang menjawab > 4 dan tidak tahu (0 %). Hasil ini menunjukkan bahwa responden mengetahui berbagai dampak penggunaan plastik bagi kesehatan. Mimi (2002) menyebutkan bahwa risiko gangguan kesehatan yang dibawa bahan plastik sangat berdampak bagi kesehatan, terutama anak-anak, karena organ tubuh mereka masih sangat lemah yang dapat berdampak selama periode emas pertumbuhan anak, meskipun akibatnya tidak

langsung tampak. Apalagi, sistem kekebalan tubuhnya juga masih belum sempurna dan bisa mengakibatkan kanker.

Sedangkan penelitian di Jepang mengindikasikan, polysterene dapat menjadi penyebab kanker dan berpengaruh pada sistem saraf pusat. Sedangkan Poly Vinyl Chlorida dan Vinylidene Chloride Resin merupakan dioksin, yaitu senyawa kimia yang digolongkan sebagai penyebab utama kanker karena sifatnya yang sangat beracun. Selain itu jenis zat yang dapat bermigrasi dari plastik ke bahan makanan yang dikemas yaitu yang disebut plasticizer (pemlastis) (Utiya, 2009).

Pengetahuan responden dalam hal ini cenderung bagus, namun hal ini kurang didukung oleh tindakan responden yang menggunakan plastik dan styrofoam dalam mengemas makanan yang dibelinya, walaupun informasi mengenai bahaya dan dampak dari penggunaan plastik dan styrofoam sebagai kemasan makanan sudah banyak tersedia dalam bahan perkuliahan dan jurnal ilmiah dalam lingkungan fakultas kesehatan masyarakat.

5.3.5. Pengetahuan Responden Tentang Proses Pelarutan Bahan Berbahaya Dari Plastik Pada Makanan Di Dalam Kemasan

Dari tabel 4.14. diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab proses pelarutan polymer dalam plastik dapat lepas dan pindah ke dalam makanan atau minuman jika dikemas dalam keadaan suhu tinggi (panas) yaitu sebanyak 73 orang (84%), dan responden yang menjawab zat-zat adiktif dalam plastik mudah terurai dalam lemak dan jika plastik digunakan berulang-ulang yaitu sama yakni masing-masing 7 orang (8%). Pada aspek ini responden mengetahui proses pelarutan bahan

pengetahuan responden dalam aspek proses pelarutan bahan berbahaya dari plastik pada makanan di dalam kemasan banyak didapatkan responden dari info eksternal responden seperti bahan perkuliahan dan media informasi yang tersedia.

Hal ini sesuai dengan pendapat Sarwono (1997) dalam Maulana bahwa perilaku seseorang dapat berubah dengan diperolehnya informasi tambahan tertentu melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya. Pengetahuan responden yang baik ini juga dapat disebabkan karena pengaruh sosial dan keadaan disekitarnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bimo Walgito dalam Dayakisni (2003) bahwa pembentukan dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak dan keadaan-keadaan yang ada diluar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk pengetahuan.

5.3.6. Pengetahuan Responden Tentang Cara Mengurangi Dampak Penggunaan Plastik

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar responden menjawab cara mengurangi dampak penggunaan plastik dengan menggunakan ramah lingkungan, seperti daun pisang yaitu sebanyak 58 orang (66,7%), dan sebagian kecil responden menjawab tidak menggunakan plastik secara berulang yaitu sebanyak 23 orang (26,4%), yang lainnya menjawab mengurangi jumlah barang yang dibeli yaitu sebanyak 6 orang (6,9%).

Hal ini sejalan dengan penelitian Dodi tentang pengetahuan, sikap dan tindakan penjual makanan dalam penggunaan plastik dan styrofoam sebagai bahan pengemas makanan di USU dan sekitarnya tahun 2010 yang mengatakan bahwa daun

pisang adalah pembungkus makanan yang paling aman. Menurut Rahma, W. (2009) masing-masing jenis plastik mempunyai tingkat bahaya yang berbeda tergantung dari bahan kimia penyusunnya, jenis makanan yang dibungkus (asam, berlemak), lama kontak dan suhu makanan saat disimpan.

5.3.7. Pengetahuan Responden Tentang Cara Meminimalisir Sampah Plastik Untuk aspek cara meminimalisir sampah plastik sebagian besar responden menjawab cara meminimalisir sampah plastik adalah dengan menggunakan kembali kemasan plastik yaitu sebanyak 41 orang (47,2%), sebagian kecil responden menjawab cara meminimalisir sampah plastik dengan menggunakan tas daur ulang plastik yaitu sebanyak 27 orang (31,0%), dan yang lainnya menjawab membuang sampah plastik pada tempat sampah non organik yaitu sebanyak 19 orang (21,8%).

Peneliti berasumsi pengetahuan yang dimiliki responden ini sangat dipengaruhi oleh berbagai informasi yang saat ini banyak menampilkan gerakan cinta lingkungan seperti gerakan 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Seperti dalam penelitian Cunningham (2004) tentang tahap pengelolaan sampah modern terdiri dari 3R (Reduce, Reuse, Recycle) sebelum akhirnya dimusnahkan atau dihancurkan. Pengetahuan responden ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh media informasi seperti internet, program televisi, bahan perkuliahan, atau bahkan jurnal ilmiah.

5.3.8. Pengetahuan Responden Tentang Defenisi Dari Styrofoam

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar responden menjawab 2-4 yaitu sebanyak 47 orang (54,0%), sebagian kecil responden menjawab < 2 yaitu sebanyak 39 orang (44,8%), dan yang lainnya menjawab > 4 yaitu sebanyak 1 orang

pengamatan sendiri pada kemasan styrofoam oleh responden. Karakteristik ini bisa langsung diperhatikan pada tampilan luar dari styrofoam itu sendiri.

Notoatmodjo (2003) menyatakan pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia namun bukan hanya sekedar tahu tapi juga dapat memahami, mengaplikasi, menganalisis, merangkum dan melakukan penilaian terhadap suatu objek tertentu. Hasil yang didapatkan Penulis ini sejalan dengan pernyataan Sulchan & Endang (2007) yaitu styrofoam merupakan plastik busa atau gabus putih yang masih tergolong keluarga plastik. Bahan dasar styrofoam adalah polisterin, suatu plastik yang sangat ringan, kaku, tembus cahaya dan murah tetapi cepat rapuh. Peneliti mendapati pengetahuan responden ini hanya sebatas mengamati tampilan luar dari styrofoam tanpa mengetahui bahan pembentuk styrofoam tersebut.

5.3.9 Pengetahuan Responden Tentang Suhu Yang Diperbolehkan Untuk Mengemas Makanan Pada Styrofoam

Berdasarkan tabel 4.19. di atas diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab di bawah 600 C yaitu sebanyak 41 orang (47,1%), sebagian kecil responden menjawab antara 30-600 C yaitu sebanyak 40 orang (46%), dan yang lainnya menjawab di atas 600 C yaitu sebanyak 6 orang (6,9%). Hal ini sejalan dengan asumsi Peneliti sebelumnya yang menyebutkan pengetahuan responden ini hanya sebatas mengamati tampilan luar dari styrofoam sehingga kurang mengetahui suhu yang diperbolehkan untuk mengemas makanan dengan styrofoami.

Info Balai Pengawas Obat dan Makanan (2008) menyebutkan informasi agar menghindari penggunaan wadah styrofoam untuk pangan yang panas dengan suhu > 60ºC dan penggunaan wadah styrofoam sebaiknya hanya digunakan untuk sekali

pakai saja agar mengurangi besarnya migrasi styrene dari wadah styrofoam ke dalam makanan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ismariny, Kepala Bidang Polimer Rekayasa Pusat Teknologi Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dalam Ariyanto (2009), penggunaan plastik dan styrofoam untuk makanan atau minuman dengan suhu lebih dari 60ºC sebaiknya dihindari untuk mencegah terjadinya migrasi ke dalam makanan.

5.3.10. Pengetahuan Responden Tentang Kemampuan Styrofoam Sebagai Pengemas Makanan Untuk Jenis Makanan

Dari hasil penelitian pada tabel 4.20. diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab styrofoam bisa digunakan untuk jenis makanan tertentu yaitu sebanyak 77 orang (88,4%), dan responden lain menjawab styrofoam bisa digunakan untuk semua jenis makanan dan tidak tahu masing-masing sebanyak 5 orang (5,8%). Hasil ini berbeda dengan penelitian Wahyu (2006) yang melakukan penelitian tentang pemilihan styrofoam untuk makanan jajanan. Wahyu (2006) memperlihatkan bahwa sebagian besar pedagang sebagai responden menyatakan styrofoam dapat dipergunakan untuk semua jenis makanan. Peneliti berasumsi bahwa hasil penelitian yang menunjukkan pengetahuan responden yang baik banyak dipengaruhi oleh informasi yang diperoleh dari faktor eksternal dirinya seperti kelompok referensi, keluarga, dan masyarakat umum.

Dari hasil penelitian pada tabel 4.21. diketahui bahwa sebagian besar responden menjawab styrofoam praktis yaitu sebanyak 55 orang (63,3%), sebagian kecil responden menjawab styrofoam mampu menjaga suhu makanan dengan baik yaitu sebanyak 17 orang (19,5%), dan yang lainnya menjawab styrofoam relatif tahan bocor yaitu sebanyak 15 orang (17,2%). Hasil ini sejalan dengan pernyataan Winda (2003) yang menyebutkan bahwa 78,2 % pelajar menyatakan styrofoam merupakan yang sederhana dan praktis sebagai makanan. Hasil ini diperkuat oleh penelitian Lubis (2005) yang menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat yang diteliti sebagai responden menyatakan sering menggunakan styrofoam untuk mengemas makanan karena sifatnya yang praktis.

Peneliti menduga responden yang diteliti hanya mengetahui styrofoam dari tampilan luarnya saja, tanpa mengetahui dampak yang akan didapatkan dari styrofoam tersebut. Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan responden pada aspek ini berada dalam kategori sedang, Peneliti berasumsi hal ini dikarenakan sebagian besar responden berasal dari mahasiswa semester dua dan empat yang belum memahami sepenuhnya tentang styrofoam.

5.3.12. Pengetahuan Responden Tentang Dampak Lingkungan Dari Pemakaian Styrofoam

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar responden menjawab styrofoam dapat meningkatkan gas CFC (Clorofluoro carbon) di udara yaitu sebanyak 70 orang (80,5%), sebagian kecil responden menjawab styrofoam dapat menyebabkan pencemaran darat yaitu sebanyak 17 orang (19,5%), dan tidak ada responden yang menjawab styrofoam tidak menimbulkan dampak apa-apa (0%).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden melihat dampak lingkungan dari penggunaan styrofoam secara tidak langsung. Padahal sampah styrofoam dapat memberikan dampak langsung kepada lingkungan seperti menyebabkan pencemaran tanah. Menurut Anonim (2008) penumpukan yang terjadi akibat pengunaan styrofoam yang berlebihan, tidak hanya dapat mencemari lingkungan, bila terbawa ke laut, styrofoam pun dapat merusak ekosistem dan biota laut dan hal ini juga menunjukkan masih adanya kesadaran penumpang kapal dalam menjaga kebersihan untuk membuang sampah wadah styrofoam ke tempat sampah yang telah disediakan.

Info BPOM (2008) menyebutkan di Amerika Serikat setiap tahun diproduksi 3 juta ton bahan styrofoam, tetapi hanya sedikit yang didaur ulang, sehingga sisanya masuk ke lingkungan. Karena tidak bisa diuraikan oleh alam, styrofoam akan menumpuk begitu saja dan menjadi sumber sampah yang mencemari lingkungan, baik lingkungan air maupun tanah.

5.3.13. Pengetahuan Responden Tentang Cara Menghindari Bahaya Styrofoam Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebagian besar responden menjawab cara menghindari bahaya styrofoam dengan memberikan pelapis agar makanan tidak berkontak langsung yaitu sebanyak 60 orang (68,9%), sebagian kecil responden menjawab cara menghindari bahaya styrofoam dengan mengganti dengan wadah kaca yaitu sebanyak 26 orang (29,9%), dan yang lainnya menjawab cara menghindari bahaya styrofoam dengan menggunakan styrofoam secara bebas yaitu sebanyak 1 orang (1,2%).

Pengetahuan responden ini tentu sangat dipengaruhi oleh informasi tentang bahaya yang akan ditimbulkan jika jenis makanan tertentu berkontak langsung dengan styrofoam. Penelitian Yuliarti (2007) menyebutkan bahan dasar styrofoam (styrene) dan bahan aditif lainnya seperti butadien yang berfungsi sebagai bahan penguat juga DOP ataupun BHT yang berfungsi sebagai pemlastis (plasticizer) ternyata bersifat mutagenik (mampu mengubah gen) dan potensial karsinogen (merangsang pembentukan sel kanker).

5.3.14. Kategori Pengetahuan Responden Tentang Plastik Dan Styrofoam Sebagai Kemasan Makanan

Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang sangat bergantung pada informasi yang diterimanya. Bila informasi yang diterimanya adalah informasi yang salah maka akan menyebabkan kekeliruan dalam pengetahuan yang bisa menimbulkan terjadinya salah persepsi. Hal ini diperkuat dengan pendapat Sarwono (1997) dalam Maulana, yang menyatakan bahwa perilaku seseorang dapat berubah dengan diperolehnya informasi tambahan tertentu melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya.

Bila dihubungkan dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Peneliti, responden memiliki kategori pengetahuan sedang dikarenakan responden banyak dipengaruhi oleh kelompok eksternalnya yakni masyarakat umum dan sahabat dalam menggunakan plastik dan styrofoam sebagai kemasan makanan. Dari wawancara yang dilakukan oleh Peneliti, diketahui bahwa pengetahuan responden tentang plastik dan styrofoam sebagai kemasan makanan masih sangat terbatas karena materi tentang

penggunaan plastik dan styrofoam sebagai kemasan makanan dan dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan dari bahan perkuliahan masih sedikit karena sebagian besar responden berasal dari semester dua dan empat.

Pengetahuan responden yang sedang ini juga dipengaruhi oleh faktor internal yakni umur responden yang sebagian besar berada dalam kategori umur 20-25 tahun dimana responden diasumsikan sangat tertarik untuk mencoba sesuatu yang baru termasuk plastik dan styrofoam sebagai kemasan makanan. Jumlah uang saku responden yang berada dalam rentang kategori Rp. 500.000-1.000.000 juga diasumsikan sebagai alasan responden menggunakan plastik dan styrofoam sebagai kemasan makanan karena ketersediaan dan keterjangkauan terhadap makanan yang dikemas dengan plastik dan styrofoam sesuai dengan jumlah uang saku mahasiswa sebagai responden juga mereka banyak terpapar oleh makanan jajanan kaki lima yang menyediakan makanan dalam kemasan tersebut.

5.4 Sikap Responden

Secara teoritis, sikap adalah suatu respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (Notoadmodjo, 2003). Menurut Witodjo (1990), sikap menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu, menentukan apakah yang disukai, diharapkan, dan diinginkan, mengesampingkan apa yang tidak diinginkan dan apa yang harus dihindari.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa sikap responden terhadap pernyataan plastik kresek sebaiknya tidak bersentuhan langsung dengan makanan, setuju sebanyak 83 orang (96%). Hal ini sesuai dengan penelitian Wahyu (2004) tentang respon masyarakat agar jajanan pisang goreng jalanan tidak bersentuhan langsung dengan plastik kresek yang dijajakan oleh para pedagang. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian Hariyadi (2011), yang menyatakan bahwa pemilihan kemasan makanan yang lebih baik adalah kemasan yang dapat tahan hingga 150 derajat. Tetapi, hindari kemasan yang langsung meleleh saat terkena panas atau kemasan yang tidak layak digunakan seperti kertas koran dan plastik kresek.

Sebagian besar responden setuju dalam penggunaan keranjang belanja untuk mengurangi jumlah sampah plastik. Dalam penelitian Suyono (2003), Penggunaan keranjang belanja sendiri dapat secara langsung mengurangi jumlah sampah kemasan plastik hingga mencapai 8 ton per hari dari yang biasanya terjadi di Bandung. Hal ini diperkuat penelitian Adam (2001) bahwa penggunaan keranjang belanja dapat mengurangi jumlah sampah kemasan plastik yang sebanyak 81 orang (93%). Peneliti berasumsi bahwa sikap responden terhadap pernyataan kemasan plastik tidak berbahaya jika tidak digunakan secara berulang adalah masih banyaknya responden yang belum mengetahui secara pasti tentang bahaya penggunaan perulangan plastik kresek, hal ini dapat diasumsikan lagi karena sebagian besar responden berasal dari semester awal.

Tentang pembuatan plastik kresek juga tidak jauh dari bahan kimia, membuat responden sebanyak 80 orang (92%) setuju bahwa plastik kresek mengandung bahan

kimia berbahaya. Hal ini juga sejalan dengan BPOM, yang meminta masyarakat tak menggunakan kantong kresek sebagai wadah makanan, terutama makanan siap santap. Selain diragukan kebersihannya, plastik kresek berwarna dikhawatirkan mengandung zat karsinogen yang dalam pemakaian jangka panjang dapat memicu kanker. Penggunaan kemasan plastik kresek masih menjadi pilihan utama bagi sebagian besar responden, yakni sebanyak 74 orang (85%), selain praktis, murah dan fleksibel, peneliti juga berasumsi bahwa kemasan plastik biasanya didapatkan secara gratis atas makanan jajanan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui sikap responden terhadap pernyataan sampah kemasan plastik sebaiknya dibakar untuk mencegah pencemaran lingkungan, tidak setuju sebanyak 56 orang (64%). Sikap responden ini sejalan derngan Widodo (1999), bahwa kemasan plastik yang dibakar dapat menghasilkan senyawa dioksin, yaitu senyawa berbahaya jika dihirup manusia yang dapat menyebabkan iritasi pernapasan. Kemasan plastik yang identik dengan bahan kimia pada proses pengolahannya, membuat responden lebih bersikap untuk tidak setuju atas pernyataan kemasan plastik aman untuk semua jenis makanan yang sebanyak 75 orang (75%).

Dari hasil penelitian dapat diketahui sikap responden terhadap pernyataan kemasan plastik dan styrofoam lebih aman dibanding kertas untuk membungkus makanan, tidak setuju sebanyak 57 orang (66%). Berdarkan pengamatan yang dilakukan Peneliti, sebagian besar responden setuju untuk melapisi kemasan plastik dan styrofoam dengan bahan yang lebih ramah lingkungan seperti daun pisang.

responden untuk tidak setuju atas pernyataan kemasan styrofoam aman untuk mengemas makanan berlemak dan berminyak, yakni sebanyak 64 orang (73%).

Dalam pernyataan penggunaan kemasan styrofoam tidak bisa menyebabkan penyakit kanker, sikap responden memilih tidak setuju sebesar 68 orang (78%). Sikap responden ini juga diperkuat oleh data yang dihimpun dari BPOM bahwa penggunaan styrofoam berlebihan dapat membahayakan kesehatan, seperti mampu merubah gen, hypermenorrhea (pendarahan berlebihan ketika mesntruasi), bahan styrene dapat bermigrasi kejanin melalui plasenta, styrene juga dapat mengakibatkan kehilangan kreatifitas (pasif), dan juga kanker.

Jumlah responden sebanyak 72 orang (83%) bersikap setuju bahwa styrofoam dapat luruh terhadap makanan yang panas. Seperti yang diketahui bahwa styrofoam terbuat dari styrene yang bersifat tidak tahan pada suhu panas. Sebagian besar responden bersikap ragu-ragu bila styrofoam mudah untuk didaur ulang yakni sebesar 46 orang (53%), hal ini dapat disebabkan karena pengetahuan responden yang masih kurang mengenai bahan dasar pembuatan styrofoam. Sebagian besar responden menyatakan setuju bila syrofoam hanya digunakan untuk sekali pakai, yakni sebesar 67 orang (77%). Hal ini karena sebagian besar responden cukup mengetahui bila styrofoam dapat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Sifat styrofoam yang tidak mudah hancur ditanah, membuat sebagian besar sikap responden memilih untuk sampah styrofoam sebaiknya tidak dibuang secara sembarangan untuk mengurangi pencemaran tanah, yakni setuju sebanyak 77 orang (89%).

5.4.1. Kategori Sikap Responden Tentang Plastik Dan Styrofoam Sebagai Kemasan Makanan

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Diketahui bahwa responden memperoleh informasi tentang plastik dan styrofoam sebagai kemasan makanan dari sahabat dan bahan perkuliahan sehingga tidak semua informasi yang datang akan diterima atau ditolak. Sikap responden yang baik ini juga dapat disebabkan karena pengaruh lingkungan dan keadaan disekitarnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bimo Walgito dalam Dayakisni (2003) bahwa pembentukan dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu cara individu dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak dan keadaan-keadaan yang ada diluar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk sikap.

Dari hasil penelitian yang diperoleh, Peneliti berasumsi sikap responden plastik dan styrofoam sebagai kemasan makanan berada dalam kategori baik karena pengetahuan yang diperoleh responden pada pengalaman terdahulu. Peneliti mendapati walaupun responden cenderung memiliki pengetahuan kategori sedang tentang plastik dan styrofoam sebagai kemasan makanan, namun responden dipengaruhi oleh faktor eksternalnya yakni sahabat dan bahan perkuliahan tentang dampak kesehatan dan lingkungan yang akan terjadi sehingga menyebabkan responden memiliki sikap yang positif dalam penggunaan tentang plastik dan styrofoam sebagai kemasan makanan.

5.5. Tindakan Responden

5.5.1. Tindakan Responden Membawa Belanja Sendiri Untuk Mengurangi Sampah Plastik

Dari hasil penelitian tabel 4.26. dapat dilihat bahwa sebagian besar responden tidak membawa belanja sendiri untuk mengurangi sampah plastik yaitu sebanyak 67 orang (77%) dan yang membawa belanja sendiri untuk mengurangi sampah plastik yaitu sebanyak 20 orang (23%). Hasil ini sesuai dengan pengetahuan responden yang berada dalam kategori sedang. Penelitian Mardiah (1998) menunjukkan pengetahuan responden tentang kebiasaan membawa belanja sendiri tidak sejalan dengan tindakan yang dilakukan responden tersebut.

Berbeda dengan hasil yang didapatkan Mulya (2003) yang menemukan kebiasaan ibu rumah tangga yang menggunakan kembali plastik hasil belanja kembali karena pengetahuan dan tindakan ibu rumah tangga tersebut berada dalam kategori baik. Dari hasil pengamatan Peneliti, sebagian besar responden tidak membawa belanja sendiri karena responden tidak terbiasa dalam membawa belanja sendiri dan sudah disediakan plastik oleh pedagang sendiri.

5.5.2. Tindakan Responden Menggunakan Kembali Sampah Plastik

Dari hasil penelitian tabel 4.27. dapat dilihat bahwa sebagian besar responden menggunakan kembali sampah plastik yaitu sebanyak 57 orang (65,5%) dan yang tidak menggunakan kembali sampah plastik yaitu sebanyak 30 orang (34,5%). Menggunakan kembali sampah plastik merupakan bagian dari gerakan kampanye lingkungan yakni 3R (Reuse, Reduce, Recycle), sebagai upaya untuk menyelamatkan lingkungan (Khomsan, 2003). Dari wawancara yang dilakukan Peneliti, diketahui

bahwa responden menggunakan kembali sampah plastik sisa kegiatan untuk mengemas sampah rumah, mengemas barang-barang tertentu, dan sebagian rersponden menyebutkan untuk diberikan kepada pemulung.

5.5.3. Tindakan Responden Membuang Sampah Plastik Secara Sembarangan Dari hasil penelitian tabel 4.28. dapat dilihat bahwa sebagian besar responden

Dokumen terkait