• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.2 Analisis Pengganda

5.2.5 Pengganda Impor

Analisis pengganda impor digunakan untuk mengetahui pengaruh pengembangan suatu sektor terhadap kebutuhan impor di Indonesia. Tabel 27 menunjukkan pengaruh pengembangan suatu sektor terhadap kebutuhan impor di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor- sektor yang mempunyai pengganda impor yang besar di DKI Jakarta adalah sektor komunikasi, bank dan lembaga keuangan lainnya, jasa hiburan, jasa penunjang angkutan, serta jasa perorangan. Sedangkan untuk Bodetabek dapat dilihat bahwa sektor-sektor yang memiliki nilai pengganda impor besar adalah sektor restoran dan hotel, pemerintah dan hankam, peternakan, listrik dan air minum, serta jasa penunjang angkutan. Untuk Sisa Indonesia, sektor-sektor yang memiliki pengganda impor besar adalah sektor peternakan, restoran dan hotel, bank dan lembaga keuangan lainnya, jasa perorangan, serta jasa penunjang angkutan.

Sektor yang memiliki nilai pengganda impor tertinggi di DKI Jakarta adalah sektor komunikasi yaitu sebesar 2.0944. Hal ini menunjukkan bahwa ketika permintaan akhir di sektor komunikasi di DKI Jakarta meningkat sebesar satu rupiah maka kebutuhan impor di seluruh Indonesia akan meningkat sebesar 2.0944 rupiah. Wilayah Bodetabek memiliki nilai

pengganda impor yang tertinggi adalah sektor restoran dan hotel sebesar 7.0123. Hal ini menunjukkan bahwa ketika permintaan akhir di sektor restoran dan hotel di Bodetabek meningkat sebesar satu rupiah maka kebutuhan impor di seluruh Indonesia akan meningkat sebesar 7.0123 rupiah.

Tabel 27 Nilai pengganda impor di masing-masing wilayah terhadap seluruh wilayah Indonesia, 2005

No. Sektor Perekonomian DKI Jakarta Rank Bodetabek Rank Sisa Indonesia Rank

1 Tanaman Bahan Makanan 1.3363 11 3.0014 13 1.5509 12

2 Perkebunan 1.4250 10 3.0125 12 1.6160 7

3 Peternakan 1.2875 13 5.3894 3 3.6502 1

4 Kehutanan 0.0000 22 4.6037 6 1.6990 6

5 Perikanan 1.2749 16 3.2605 11 1.5865 10

6 Pertambangan dan Penggalian 1.2128 19 4.0427 7 1.3082 21

7 Industri 1.2871 14 2.6020 16 1.5966 9

8 Listrik dan Air Minum 1.2394 18 4.7495 4 1.3978 19

9 Bangunan 1.2522 17 1.8548 21 1.5764 11

10 Perdagangan 1.5196 8 3.4652 10 1.4983 15

11 Restoran dan Hotel 1.2768 15 7.0123 1 2.6548 2

12 Angkutan Darat 1.1409 21 3.9014 9 1.5451 13

13 Angkutan Udara 1.3355 12 2.1093 20 1.3254 20

14 Angkutan Laut 1.2061 20 0.0000 22 1.4088 18

15 Jasa Penunjang Angkutan 1.6765 4 4.6537 5 1.9758 5

16 Komunikasi 2.0499 1 2.6430 15 1.4179 17

17 Bank & Lembaga Keuangan Lainnya 2.0363 2 2.2875 18 2.2109 3

18 Usaha Bangunan & Jasa Perusahaan 1.5793 6 4.0338 8 1.4694 16

19 Pemerintah dan Hankam 1.4453 9 5.6533 2 1.6015 8

20 Jasa Sosial & Kemasyarakatan 1.5225 7 2.1223 19 1.5175 14

21 Jasa Hiburan 1.8205 3 2.8299 14 1.2395 22

22 Jasa Perorangan 1.6238 5 2.2905 17 1.9989 4

Sumber: Hasil Analisis

Sedangkan nilai pengganda impor yang tertinggi di Sisa Indonesia adalah sektor peternakan sebesar 3.6502. Hal ini menunjukkan bahwa ketika permintaan akhir di sektor peternakan di Sisa Indonesia meningkat sebesar satu rupiah maka kebutuhan impor di seluruh Indonesia akan meningkat sebesar 3.6502 rupiah.

5.3 Ikhtisar

Struktur perekonomian yang ada di DKI Jakarta, Bodetabek, dan Sisa Indonesia yang sangat beragam mengakibatkan adanya keterkaitan antar sektor ekonomi yang ada di Indonesia. Secara umum, keterkaitan

antar sektor ekonomi yang ada di Indonesia sangat lemah. Kontribusi output untuk masing-masing wilayah, lebih dominan digunakan untuk input pada wilayahnya sendiri, hanya sedikit yang digunakan untuk wilayah lainnya. Sektor-sektor yang memiliki keterkaitan antar sektor terkuat di DKI Jakarta adalah sektor usaha bangunan dan jasa perusahaan. Untuk Bodetabek yang memiliki keterkaitan antar sektor terkuat adalah sektor industri, dan perdagangan. Sedangkan sektor yang memiliki keterkaita n antar sektor terkuat di Sisa Indonesia adalah sektor indutri, perdagangan, dan bangunan.

Apabila dilihat dari hasil penelitian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sektor -sektor yang memiliki keterkaitan terkuat hampir diseluruh wilayah Indonesia adal ah sektor industri, perdagangan, serta bangunan. Hal ini dapat diperkuat oleh penelitian sebelumnya, yaitu pada penelitian Wikarya (2003) yang menyatakan bahwa bahwa sektor yang memiliki keterkaitan ekonomi ke belakang tertinggi di hampir seluruh wilayah Indonesia adalah jasa-jasa; bangunan; industri pengolahan; listrik, gas, dan air minum; serta transportasi dan komunikasi. Sedangkan sektor yang memiliki keterkaitan rendah di hampir seluruh wilayah adalah pertanian; serta pertambangan dan penggalian. Sektor perdagangan yang pada awalnya bukan merupakan sektor yang memiliki keterkaitan ekonomi yang tertinggi, maka pada Tahun 2005 mengalami peningkatan, sehingga menjadi sektor yang memiliki keterkaitan ekonomi yang tinggi terutama di wilayah Bodetabek dan Sisa Indonesia.

Sedangkan menurut Retnowati (2006), keterkaitan ke depan yang dominan di Indonesia pada Tahun 1995 adalah sektor industri. Selanjutnya, sektor lainnya adalah sektor perdagangan di Bali, sektor keuangan di DKI Jakarta, dan sektor pertanian di Kalimantan Tengah. Pada Tahun 2000, sektor yang dominan masih dipegang oleh sektor industri. Selanjutnya sektor lainnya adalah sektor jasa di DKI Jakarta, sektor pertambangan di Papua dan Kalimantan Barat, serta sektor pertanian di Sulawesi Tenggara. Pada Tahun 1995, sektor pertanian yang merupakan sektor primer dan industri yang merupakan sektor sekunder, cukup dominan sebagai sektor yang memiliki nilai keterkaitan ke depan yang tinggi hampir diseluruh provinsi. Sedangkan pada Tahun 2000 terjadi perubahan walaupun sektor industri dan pertanian masih banyak muncul,

namun sektor lain yang mencolok adalah sektor jasa yang merupakan sektor tersier. Hal yang menarik adalah bahwa sektor jasa memiliki komposisi sektor yang sama dalam hak tingginya nilai keterkaitan ke depan, yaitu sektor industri dan jasa, dimana kedua sektor tersebut bukan merupakan sektor primer.

Retnowati (2006) melanjutkan, keterkaitan ke belakang Tahun 1995 yang tinggi adalah sektor industri serta listrik, gas, dan air minum, dan Tahun 2000 adalah sektor listrik, gas, dan air minum, bangunan, serta transportasi dan komunikasi, hal ini terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia. Sektor bangunan, industri, serta listrik, gas, dan air minum yang merupakan sektor sekunder, yang menjadi sektor yang dominan memiliki nilai keterkaitan ke belakang yang tinggi hampir di semua provinsi Tahun 1995. hal ini agak sedikit berbeda dengan Tahun 2000, dimana masih ketiga sektor tersebut yang dominan tetapi muncul sektor baru yaitu transportasi dan komunikasi yang merupakan sektor tersier pada beberapa provinsi. Jadi nilai keterkaitan ke belakang yang tinggi bukan merupakan sektor primer.

Selain menghitung keterkaitan ke depan maupun ke belakang, dalam peneliti an ini juga di bahas nilai pengganda output. Sektor bank dan lembaga keuangan lainnya yang tinggi di DKI Jakarta malah tidak menjadi pengganda output yang tinggi bagi Indonesia secara keseluruhan. Hal ini dapat dikatakan bahwa terjadinya akumulasi modal hanya di DKI Jakarta sehingga mendorong investasi ke DKI Jakarta yang tinggi. Apabila investasi hanya terpusat di DKI Jakarta maka akan memperburuk perekonomian di Indonesia, sehingga akan memperlebar kesenjangan yang mengakibatkan timbulnya migrasi ke DKI Jakarta yang tinggi.

Pembangunan ekonomi yang ada di DKI Jakarta tidak memberikan pertumbuhan ekonomi secara merata di Indonesia, sehingga terjadi ketimpangan antar wilayah terutama di DKI Jakarta, Bodetabek, dan Sisa Indonesia. Ketimpangan tersebut tidak diikuti dengan adanya keterkaitan antar sektor dan antar wilayah yang baik, yang mengakibatkan kesenjangan ekonomi antar wilayah yang semakin melebar. Kesenjangan ekonomi yang semakin melebar menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk atau migrasi ke wilayah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih maju, dalam hal ini DK Jakarta.

Pesatnya pembangunan ekonomi di DKI Jakarta menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya migrasi ke DKI Jakarta. Masalah migrasi di DKI Jakarta perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah. Perpindahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi masyarakat DKI Jakarta. Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lainnya yaitu faktor pendorong (push factor) dari wilayah asal dan faktor penarik (pull factor) dari wilayah tujuan. Faktor-faktor yang dapat dijadikan sebagai pendorong perpindahan penduduk adalah kurangnya sumberdaya alam yang tersedia di wilayah asal, sempitnya lapangan pekerjaan, terjadinya bencana alam dan sebagainya. Sedangkan yang menjadi faktor penarik di wilayah tujuan adalah pembangunan yang pesat disegala bidang, tersedianya lapangan pekerjaan yang cukup luas, keadaan sosial ekonomi masyarakat yang mantap, dan lainnya. Kehidupan yang serba gemerlap di suatu daerah dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk daerah lainnya, sehingga mereka tertarik untuk turut serta menikmati gemerlapnya kehidupan tersebut.

Dokumen terkait