• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai keseluruhan bagi Efisiensi Penggunaan Sumber Daya adalah 42% dan ini menunjukkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan anggaran perlu ditingkatkan secara signifikan. Nilai tertinggi yang tercatat dalam ILEGI untuk bidang strategis ini diperoleh Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, sebesar 73%, sementara nilai terendah adalah 11%, yang diperoleh oleh Teluk Wondama, Papua Barat. Indikator yang

mendapatkan nilai terendah adalah “Tingkat penyerapan anggaran pendidikan hingga Desember 2008 sebesar 90% atau lebih” yang dipenuhi hanya oleh 15% pemerintah daerah. Sebagian besar pencapaian didapat dari indikator “Adanya mekanisme untuk memastikan bahwa pemangku kepentingan pendidikan memiliki kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya terkait dengan evaluasi Dinas Pendidikan Daerah, sekolah dan Dewan Pendidikan Daerah”, dengan total nilai sebesar 86%. Tabel 3.6 menunjukkan nilai rata-rata per indikator.

Tabel 3.6 Nilai Indikator Agregat: Efisiensi Penggunaan Sumber Dana

* Nilai rata-rata untuk pemerintah daerah yang disurvei, dari yang tertinggi ke yang terendah. Angka referensi indikator ada dalam tanda kurung

INDIKATOR NILAI

Persentase daerah yang unit pendidikannya menghasilkan laporan kemajuan mengenai rencana dan realisasi

kegiatan, termasuk anggaran.(9) 78%

Persentase daerah yang memiliki rencana tahunan dan jangka menengah pendidikan (sektoral) termasuk

plafon anggaran indikatif dan mempertimbangkan batasan anggaran. (6) 76%

Persentase daerah yang menerapkan kebijakan anggaran tahunan termasuk indikator hasil yang dapat

diukur.(3) 72%

Persentase daerah yang dewan pendidikannya telah dilibatkan dalam merancang rencana strategi

vpendidikan.(2) 68%

Persentase daerah dengan program dan kegiatan pengurangan kemiskinan sektoral yang telah diakomodasi

oleh tim anggaran pemerintah daerah.(7) 62%

Persentase daerah di mana tarif untuk penggunaan aset telah diperbaharui secara teratur dalam tiga tahun

terakhir (pasar dll.).(1) 60%

Persentase daerah di mana prioritas dan plafon anggaran telah dibuat sebelum proses pembuatan anggaran

di SKPD dimulai.(4) 56%

Persentase daerah di mana program dan kegiatan dalam RPJMD dapat diukur secara kuantitatif.(10) 52%

Persentase daerah di mana perencanaan pendidikan dan kalender anggaran telah dibuat.(5) 50% Persentase daerah di mana perbedaan antara rencana dan realisasi pengeluaran kurang dari 10% dalam tiga

tahun terakhir.(11) 45%

Persentase daerah di mana doukumen perencanaan dan penganggaran dapat diakses dengan mudah oleh

masyarakat.(8) 39%

Persentase daerah di mana tingkat penyerapan anggaran pendidikan hingga Desember 2008 adalah 90% atau

41

Bagian 3 : T

ata Kelola P

endidikan P

enting - Analisis

Sistem pengelolaan keuangan pemerintah daerah terbukti tidak efisien dan kurang transparan sehingga tidak mendukung kinerja dan inovasi. Tambal sulam dalam program pembelanjaan di setiap pemerintah daerah hampir tidak memungkinkan sekolah untuk menggunakan dana dengan cara yang lebih efektif. Sedikit sekali pemerintah daerah yang dengan mudah menyediakan data perencanan dasar dan keuangan – baik melalui internet maupun melalui papan pengumuman umum – sehingga masyarakat sulit

meminta pertanggungjawaban pemerintah daerah dan sekolah terkait dengan bagaimana mereka menghabiskan dana pendidikan. Ada empat pemerintah daerah dengan serapan anggaran yang sangat rendah (seperti yang dicatat pada Desember 2008), yaitu Paniai (Papua), Aceh Tenggara (Aceh), Mamasa (Sulawesi Barat) dan Halmahera Selatan (Maluku Utara), yang nilainya kurang dari 55%. Gambar 3.8 menunjukkan rincian penyerapan anggaran daerah untuk pengeluaran di bidang pendidikan.

Mamasa (53%) Paniai (50%) Aceh Tenggara (50%) Halmahera Selatan (23%) Nagan Rraya (n.a.)

Kepulauan Sula (90%) Aceh Barat (90%) Purbalingga (90%) Blora (85%) Aceh Utara (82%) Jaya Wijaya (80%) Nabire (70%) Manokwari (95%) Probolingg0 (95%) Seruyan (95%) Bondowoso (95%) Rembang (95%) Trenggelek (94%) Purworejo (94%) Sleman (93%) Jombang (92%) Kebumen (92%) Sampang (91%) Polewati Mandar (90%) Peg. Bintang (98%) Kulon Progo (98%) Wonosobo (98%) Aceh Barat Laut (98%) Lhokseumawe (98%) Pacitan (98%) Bojonegoro (98%) Ngawi (98%) Banjarnegara (98%) Demak (98%) Brebes (97%) Probolinggo (97%) Sragen (96%) Kaimana (100%) Kotawaringin Timur (100%) Palangkaraya (100%) Majene (100%) Teluk Wondama (100%) Sorong Selatan (100%) Bireuen (100%) Jayapura (100%) Ternate (100%) Aceh Besar (100%) Nganjuk (100%) Wonogiri (100%) Bangkalan (100%) Gambar 3.8: Serapan Anggaran Daerah untuk Pembelanjaan di Bidang Pendidikan

Tata Kelola P

enting Untuk Hasil P

endidikan

42

Pola pembelanjaan yang sekarang ini merongrong efisiensi penggunaan sumber daya karena kurangnya konsistensi internal antara apa yang direncanakan dan apa yang dilaksanakan – 55% dari 50 pemerintah daerah yang disurvei memiliki perbedaan lebih dari 10% antara rencana dan realisasi anggaran.

Pemerintah daerah memberikan banyak penekanan pada perencanaan pembangunan, tetapi proses penganggaran dan pelaksanaan anggaran serta pemantauannya tidak saling terkait dan tidak efisien. Dari nilai indikator bagi Efisiensi Penggunaan Sumber Daya, dapat diketahui bahwa pemerintah daerah memberi banyak penekanan pada proses perencanaan formal melalui MUSRENBANG. Proses ini tidak memberikan cukup informasi mengenai proses penganggaran sehingga mengakibatkan buruknya pelaksanaan dan pemantauan anggaran. Akibatnya sebagian besar daerah memiliki tingkat penyerapan yang rendah, perbedaan dalam rencana dan realisasi anggaran, dan yang menarik, surplus anggaran yang besar.

Proses perencanaan pembangunan menunjukkan sedikit kecenderungan yang positif. Sebanyak 68% dari semua pemerintah daerah melibatkan pemangku kepentingan dalam pembuatan rencana strategis pendidikan. 56% pemerintah daerah menyediakan plafon anggaran indikatif untuk setiap sektor, dan 72% memasukkan indikator hasil yang dapat diukur dalam kebijakan anggaran tahunan. Meskipun pemerintah daerah masih belum dapat menerapkan secara penuh penganggaran berbasis kinerja seperti yang diatur oleh pemerintah pusat tahun 2002, formulasi indikator kuantitatif dapat dilihat sebagai langkah pertama yang positif.

Sejak desentralisasi 2001, tanggung jawab terhadap berbagai layanan pendidikan telah berubah banyak –

yang paling jelas terlihat adalah pemberian dana untuk sekolah. Diberlakukannya subsidi pendanaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan hal utama dalam membuat kemajuan menuju sasaran Wajib Belajar 9 tahun. Program BOS dirancang untuk mengurangi beban operasional sekolah, pendaftaran, uang sekolah, uang ujian dan bahan, biaya sesi laboratorium serta lokakarya. BOS menyediakan bantuan untuk sekolah agar mereka dapat membebaskan murid dari berbagai pungutan namun terus mempertahankan tingkat kualitas pendidikan. Sekolah sekarang menerima hibah15 yang dialokasikan dari pusat dalam bentuk aliran dana tunai langsung ke rekening bank sekolah dengan perhitungan berdasarkan jumlah murid.

Di tingkat pemerintah daerah tak terlihat bukti adanya sistem pendanaan berbasis murid. Berbeda dengan BOS yang menyediakan sebagian besar dana operasional di tingkat sekolah, investasi di tingkat daerah tidak diberikan sesuai dengan kebutuhan. Alih-alih, dana dibagikan berdasarkan faktor yang tak banyak berhubungan dengan murid seperti jumlah guru atau ruang kelas di sekolah atau jenis program pendidikan yang diberikan sekolah. Dengan praktik keuangan seperti itu hampir tak mungkin memberdayakan pimpinan sekolah untuk mengalokasikan sumber daya dengan cara baru dan inovatif yang terfokus pada kebutuhan murid. Kesempatan terbatas untuk pemberian pilihan pendidikan alternatif dan kompetisi sehat yang dapat berkontribusi pada layanan pendidikan berkualitas tambahan. Alih-alih, keputusan terus dibuat oleh aparat pemerintah daerah yang tak banyak berinteraksi dengan murid atau betul-betul memahami kebutuhan sekolah dan murid.

43

Bagian 3 : T

ata Kelola P

endidikan P

enting - Analisis

Dokumen terkait