• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN TEORETIS

4. Penghalang Kewarisan

Para Ulama Madzhab sepakat bahwa ada tiga hal yang menghalangi warisan, yaitu perbedaan agama, pembunuhan, dan perbudakan.

a. Perbedaan Agama

Berkaitan dengan adanya perbedaan agama, para Ulama madzhab sepakat bahwa non-Muslim tidak bisa mewarisi Muslim, tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah seorang Muslim bisa mewarisi non-Muslim?.Orang muslim hanya member waris kepada muslim. Jika yang meninggal dunia adalah orang muslim, ahli waris itu tidak berhak mendapatkan harta waris. Pindah Agama dapat mencegah juga seseorang mendapatka warisan dari pewaris dengan adanya syarat-syarat tertentu. Adapun Rasulullah saw. Bersabda dalam Hadist berikut ini :

20

20

ِﻦْ ﺑ وِﺮ ْ ﻤَﻋ ْ ﻦَﻋ ٍ ْ ﲔ َ ﺴ ُﺣ ِﻦْ ﺑ ﱢﻲِﻠ َﻋ ْ ﻦَﻋ ﱢيِﺮ ْﻫﱡﺰﻟا ْ ﻦَﻋ ُنﺎ َﻴْﻔ ُ ﺳ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ َ ﺣ ٌدﱠﺪ َ ﺴُﻣ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪ َ ﺣ

ِﻪْﻴَﻠ َﻋ ُﻪﱠﻠﻟا ﻰﱠﻠ َﺻ ﱢ ِ ﱯﱠﻨﻟا ْ ﻦَﻋ ٍﺪْ ﻳَز ِﻦْ ﺑ َﺔ َ ﻣﺎ َ ﺳُأ ْ ﻦَﻋ َنﺎ َ ﻤْﺜ ُﻋ

ُثِﺮَ ﻳ َﻻ َلﺎَﻗ َ ﻢﱠﻠ َ ﺳ َ و

َ ﻢِﻠ ْ ﺴ ُ ﻤْﻟا ُ ﺮِﻓﺎَﻜْﻟا َﻻَ و َ ﺮِﻓﺎَﻜْﻟا ُ ﻢِﻠ ْ ﺴ ُ ﻤْﻟا

.

ﻩاور)

أ

دواد ﻮﺑ

(

Artinya:

“Telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami (Sufyan) dari (Az Zuhri) dari (Ali bin Husain) dari ('Amr bin Utsman) dari (Usamah bin Zaid) dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang

muslim” (HR. Abu Daud).”21

Mayoritas Ulama berpendapat bahwa seorang muslim tidak dapat mewarisi harta yang ditinggalkan oleh kerabatnya yang bukan orang muslim, dan begitupun sebaliknya. Andaikan seorang suami yang mati meninggalkan isteri yang beragama Yahudi atau Kristen, maka sang isteri tersebut tidak dapat mewarisi harta pusaka yang ditinggalkan oleh suaminya tersebut. Tetapi isteri itu akan mendapatkannya melalui wasiat dan tidak lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkan oleh suaminya. Sebagian Ulama berpendapat bahwa bagian isteri yang non-Muslim itu tidak lebih dari Isteri-isteri yang lainnya beragama Islam. Namun, beberapa sahabat seperti Mu’adz bin Jabal, Muawiyah bin Abi Syfyan, dan lain-lain, berpendapat bahwa seorang muslim boleh saja mewarisi harta yang ditinggalkan oleh kerabatnya yang non-Muslim, tetapi kerabat non-Muslim itu tidak berhak mewarisi harta peninggalan saudaranya yang beragama Islam. Ulama Syi’ah juga berpendapat sma tentang warisan antara pemeluk agama non-Muslim yang berbeda. Ada perbedaan pendapat dikalangan Ulama mengeni perbedaan Agama. Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hambal berpendapat bahwa mereka tidak saling mewarisi seperti orang Yahudi yang mewarisi harta milik Yahudi, orang Kristen hanya mewarisi harta milik

21

Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzhab, Buku kedua, Terjemah Afif Muhammad, (Jakarta: Basrie Press, 1994).

Kristen dan sebagainya. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada perkataan berikut, “Tidak ada warisan diantara dua Agama”. Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I dan Sofyan Tsauri berpendapat bahwa mereka tidak melihat tentang perbedaan agama dan menganngapnya satu bangsa. Hakim Shuraih ibn Abu Ya’la dan hakim lainnya berpendapat dan mengelompokkan agama kepada tiga kelompok:

1. Agama Islam: Orang Islam dapat saling mewarisi.

2. Agama Kristen, Yahudi dan Shabihun: mereka tidak boleh mewarisi satu sama lain.

3. Agama Zoroaster dan agama-agama lain yang tidak memiliki kitab suci diperlakukan sebagai satu kelompok dan dapat saling mewarisi.22

Sebagian Ulama berpendapat bahwa murtad merupakan penggugur hak mewarisi, yakni orang yang telah keluar dari Islam. Berdasarkan Ijma para Ulama,Murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama sehingga orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam. Menurut Muhammad Jawad Al-Mughniyyah (1994: 281) muted ada dua jenis yaitu:

1. Murtad fitrah, yakni seseorang yang dilahirkansebagai seorang muslim kemudian ia murtad dari Agama Islam.

2. Murtad Millah, yakni seorang yang dilahirkan dalam keadaan kafir, lalu masuk Islam dan kemudian kembali ke dalam kekafirnnya atau murtad.

b. Karena Membunuh

Seluruh Ulama bersepakat bahwa pembunuh tidak mendapat harta warisan. Terkecuali dibuat oleh golongan ekstrim yang dikenal dengan golongan Khawarij.

22

A. Rahman I Doi, Hudud dan Kewarisan, (Bandung: PT. Raja Grafindo Persada,1996), h, 123-124.

22

Mereka menegaskan bahwa pembunuh juga mempunyai hak atas warisan dibuktikan dengan hadist yang berbunyi dan artinya “Seorang pembunuh tidak mendapatkan Harta Warisan”. Sangat beralasan jika seorang pembunuh tidak berhak atas harta yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuhnya. Sebab, ia membunuh karena ingin cepat mendapatkan harta warisan. Oleh sebab itu, orang yang membunuh akan terhalang oleh perbuatannya untuk mendapatkan harta warisan dari orang yang dibunuhnya, sebagaimana terhalangnya dari warisan seseorang yang membunuh untuk pamannya, yang diungkapkan dalam QS. Al-Baqarah/2:72).























Terjemahnya:

“Dan (Ingatlah), ketika kamu membunuh seseorang lalu kamu tuduh menuduh tentang itu. Akan tetapi, Allah menyingkapkan yang selama ini kamusembunyikan”.23

Ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Ulama Hanafiyah menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat. Adapun Ulama Malikiyah berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang telah direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam.

c. Sebab Perbudakan

23

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya.Sebab, segala sesuatu yang dimiliki budak, secara lansung juga dimiliki oleh tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (Budak murni), mudabbar

(Budak yang dikatakan merdeka jika tuannya meninggal dunia), atau mukatab (Budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati oleh kedua belah pihak). Itulah sebabnya, semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik. Seorang majikan dapat melakukan perjanjian dengan budaknya untuk memedekakannya, atau merdekanya budak itu dikaitkan dengan satu sifat, sebagaimana majikan berkata kepada budaknya, “Jika isteriku melahirkan anak laki-laki, maka engkau merdeka”.

C.Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Dalam Hukum Kewarisan Islam dikenal berbagai asas-asas yang melatar belakangi adanya suatu kewarisan tersebut, adapun beberapa asas-asas dalam kewarisan Islam yakni:

Pertama, Asas ketauhidan atau prinsip ketuhanan, prinsip ini didasarkan pada pandangan bahwa melaksanakan pembagian harta waris dengan sistem waris Islam, terlebih dahulu harus didahulukan dan didasarkan pada keimanan yang kuat kepada Allah dan Rasulullah saw., artinya beriman pada ajaran-ajaran-Nya yang termuat dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan demikian, melaksanaka waris Islam, merupakan wujud ketaatan yang mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika tidak di dasarkan pada keimanan, tidak ada seorang pun yang bersedia melaksanakan pembagian waris dengan sistem waris Islam. Prinsip ketauhidan berakar dari kalimat tauhid la ilaha illa Allah, sebagaimana tekad keimanan seorang muslim yang

24

tergambar dalam pandangannya yang prinsipil tentang wujud Allah yang dituangkan dalam titik tolak dibawah ini:

1. Hukum kewarisan Islam adalah hukum Allah yang ditetapkan untuk menggantikan hukum waris kaum Jahiliyyah yang sesat dan menyesatkan. 2. Hukum kewarisan adalah hukum Allah yang paling sempurnah dalam

mengatur pembagian harta warisan menurut ketentuan yang berlaku.

3. Hukum Kewarisan Islam tertuang dalam al-Qur’an dan As-Sunnah dengan ayat-ayat yang sempurnah, jelas, dan akurat.

4. Ayat-ayat tentang Hukum Waris Islam adalah ayat-ayat muhkamah.

5. Pengamalan hukum waris Islam harus didasarkan pada keimanan kepada Allah dan semua tuntunannya.

6. Ketaaan kepada Allah dimanifestasikan dengan melaksankan ayat-ayat tentang waris.

7. Mengamalkan Sunnah Rasulullah saw. sebagai betuk ketaatan kepadanya24

Kedua, Asas Keadilan artinya keseimbangan anatara hak dan kewajiban, titik tolak dari kewarisan Islam adalah menyerahkan harta peninggalan kepada hak warisnya sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Hak waris laki-laki dan perempuan diberikan secara proporsional. Oleh karena itu, makana keadilan bukan sama rata, melainkan adanya keseimbangan yang disesuaikan dengan hak dan kewajibannya secara proporsional. Ayat-ayat yang menyerukan prinsip keadilan jumlahnya cukup banyak sehingga keadilan merupakan titik tolak fundamental dalam hukum Islam. Keadilan dalam penegertian al-qisth adalah persesuaia-persesuaian atau harmoni, yaitu:

24

Ash-Shabuni dan Muhammad Ali, Hukum Waris Dalam Syariat Islam disertai dengan Contoh-contoh pembagian Harta Pusaka, (Jakarta: Bulan Bintang,1995),h. 32.

a. Persesuaian antara perbuatan dengan ucapan. b. Persesuaian anatara Iman, ilmu dengan amal.

c. Persesuaian antara kemestian dengan kenyataan atau antara das sein dengan

das sollen.

d. Persesuaian dengan kehidupan manusia dengan pemenuhan hak dan keajiban.

Ketiga, Asas persamaan atau prinsip persamaan merupakan prinsip yang lahir dari adanya prinsip kedilan. Prinsip persamaan didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an. Masalah kewarisan Islam dengan tegas menyatakan bahwa seorang pria mendapat bagian sam dengan dua orang perempuan (An-Nisa’ayat 176). Perempuan memproleh harta dari suaminya dan dari orang tuanya, sehinnga perbandingan satu bagian dengan dua bagian bukan perhitungan mutlak yang dipandang dengan ketidakadilan, melainkan jusrtu sebagai penyeimbang hak laki-laki dengan hak perempuan. Sebab, betapa pun besarnya kekayaan seorang isteri seorang suami tidak berhak menguasainya sedikit pun, kecuali atas dasar persetujuan yang mutlak dari isterinya. Suami tetap brkewajiban membiayai isteri yang seolah-olah isteri itu orang yang tidak memiliki apa-apa. Seorang isteri berhak mengadu ke Pengadilan Agama jika suaminya tidak member nafkah. Pandangan inilah yang menurut Sayyid Quthub dikatakan sebagai prinsip persamaan universal antara laki-laki dan perempuan termasuk masalah yang menyangkut tentag kewarisan. Hal inipun dipandang sebagai reformasi besar-besaran terhadap kebudayaan Jahiliyah yang memposisikan kaum wanita sebagai manusia yang lemah dan diberdayakan.

Ke-empat, Asas bilateral dalam waris Islam, masalah ini berkaitan dengan sistem perkawinan dan sistem kekeluargaan yang dianut oleh suatu bangsa. Menurut Hazairin sebagaimana yang telah ditulis oleh Hilman Hadikusuma dalam bukunya

26

Hukum Waris Adat, bahwa sistem hukum adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya berupa patrilineal, matrilineal, dan parental atau bilateral25 adalah sebagai berikut:

1. Sistem Patrilineal, yaitu suatu sistem kekeluargaan yang ditarik dari garis bapak. Ini berlaku bagi keluarga yang mengikatkan keturunannya kepada bapaknya, dan tidak berlaku jika dikaitkan kepada ibu. Sistem patrilineal dikenal dengan perkawinan jujur, yaitu suatu bentuk perkawinan dengan adanya pembayaran uang dari kerabat laki-laki kepada pihak kerabat perempuan dengan tujuan untuk memasukkan perempuan ke dalam klan suaminya. Supaya anak-anak yang lahir akan menjadi generasi penerus ayah. Oleh karena itu, pada masyarakat Lampung yang menarik garis keturunan menurut garis bapak menjadikan kedudukan laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dari pada kedudukan wanita dalam hal waris.26

2. Sistem Matrilineal, adalah sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan lansung dari ibu. Keadaannya berbeda dengan sistem patrilineal.

3. Sistem Parental (bilateral), yang menarik keturunan dari dua garis, yakni dari bapak dan dari ibu.27

D. Bagian Masing-masing Ahli waris.

Adapun bebrapa bagian masing-masing para Ahli waris dalam hal kewarisan menurut hukum Islam adalah sebagai berikut:

25

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), h. 24.

26

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris. h. 23.

27

1. Hukum Bagian Waris Untuk Anak.

a. Apabila pewaris hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapatkan dua bagian sedangkan anak perempuan mendapat satu bagian. Atau dapat juga menggunakan format bilangan pecahan laki-laki mendapat 2/3, sedangkan perempuan mendapatkan 1/3 bagian.

b. Apabila jumlah anak lebih dari satu, yang terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian dari anak laki-laki adalah dua kali bagian dari anak perempuan.

c. Apabila jumlah anak lebih dari satu, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, dan selain itu terdapat pula ahli waris yang lainnya yang sudah ditetapkan oleh al-Qur’an secara tetap, yakni duda atau janda,Ayah dan Ibu, maka yang diberi terlebih dahulu adalah mereka, bukan anak-anak dahulu yang diberi, karena al-Qur’an telah menetapkan bagian mereka secara tetap.

d. Apabila pewaris hanya meninggalkan anak-anak perempuan saja, dangan jumlah anak perempuan lebih dari seorang, maka mereka mendapatkan 2/3 bagian, yakni mereka bersekutu didalam yang 2/3 itu, yakni dibagi sama rata sesuai dengan jumlah anak perempuan tersebut.

e. Apabila pewaris hanya meninggalkan anak perempuan saja, tampa adanya anak laki-laki, maka ia mendapatkan seperdua (1/2) bagian dari harta peninggalan pewaris.

f. Apabila pewaris hanya meninggalkan anak laki-laki saja, maka anak tersebut mewarisi seluruh sisa harta peninggalan yanga ada, tentunya

28

setelah dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris yang ada sesuai dengan ketetapan al-Qur’an.

g. Adapun bagian untuk keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), maka jumlah mereka adalah sama dengan anak, dengan syarat tidak ada pewaris yang masih hidup (misalnya meninggal terlebih dahulu).

2. Hukum Bagian Waris Untuk Orang Tua.

a. Ayah dan Ibu masing-masing mendapatkan 1/6 bagian apabila pewaris mempunyai keturunan.

b. Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka Ibunya mendapatkan bagian yang 1/3 bagian dari harta yang ditinggalkan, sedangkan sisanya yakni 2/3 menjadi bagian dari Ayah

c. Jika selain dari orang tua, pewaris mempunyai beberapa saudara, baik saudara sekandung, seayah maupun seibu, dengan jumlah saudara lebih dari satu orang (dua orang atau lebih), dimana pewaris tidak meninggalkan keturunan, maka ibunya mendapat seperenam (1/6) bagian. Adapun saudara-saudaranya tersebut tidaklah mendapatkan harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dinyatakan sebagai hajb (Penghalang).

d. Jika selain kedua orang tua, pewaris hanya mempunyai seorang saudara, baik saudara sekandung, seibu, atau seayah, dimana pewaris tidak meninggalkan keturunan, maka ibunya mendapat sepertiga (1/3) bagian, sedangkan ayah mendapatkan sisanya yaitu dua pertiga (2/3) bagian, dan dari saudara pewaris tidak mendapatkan bagian dari harta waris dikarenakan adanya Ayah yang menjadi penghalang.

a. Apabila seoranng meninggal dan tidak mempunyai keturunan, maka duda mendapatkan bagian yang seperdua (1/2) dari harta yang ditinggalkan jandanya.

b. Apabila seseorang Istri meninggal dan ia mempunyai keturunan maka, duda mendapatkan bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.

c. Apa seorang suami meninggal dunia dan tidak mempunyai keturunan, maka janda mendapatkan seperempat (1/4) bagian.

d. Apabila seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan keturunan, maka janda mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian.

4. Hukum Bagian Waris untuk Saudara Seibu Lain Ayah.

a. Apabila seorang meninggal lalu mempunyai saudara laki-laki seibu atau satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah seperenam (1/6) bagian.

b. Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dengan jumlah dua orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, maka mereka mendapatkan satu pertiga (1/3) bagian secara bersekutu.

5. Hukum Bagian Waris untuk Saudara Sekandung atau Seayah

a. Apabila pewaris mempunyai seorang saudara laki-laki sekandung atau seayah dan mempunyai seorang saudara perempuan sekandung atau seayah, maka yang laki-laki mendapatkan 2/3 bagian, sedangkan 1/3 bagian lagi milik yang perempuan.

b. Apabila pewaris meninggalkan banyak saudara laki-laki sekandung atau seayah, dan banyak saudara perempuan sekandaung atau seayah, maka ketentuannya adalah bagian waris untuk yang laki-laki adalah dua kali bagian waris untuk yang perempuan.

30

c. Apabila pewaris hanya mempunyai seorang saudara perempuan sekandung atau seayah, maka ia mendapatkan seperdua harta peninggalan. d. Apabila pewaris mempunyai saudara perempuan sekandung atau seayah itu terdiri dari dua orang atau lebih, maka mereka mendapatkan bagian yang dua pertiga bagian yang dibagi secara rata diantara mereka.

e. Apabila pewaris hanya meninggalkan seorang saudara laki-laki sekandung atau seayah, tampa ada saudara perempuan sekandung atau seayah, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian dari saudara laki-laki sekandung atau seayah. Dan apabila saudara laki-laki sekandung ataus seayah itu banyak (dua orang atau lebih). Maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala.28

E. Hukum Waris Adat di Indonesia

Seperti yang telah dikemukakan bahwa hukum waris merupakan salah satu bagian dari sistem kekeluargaan yang terdapat di Indonesia. Oleh karena itu, pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu:

1. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contoh sistem ini terdapat pada masyarakat Batak.

28

Abdillah Mustari, Hukum Waris Perbandingan Hukum Islam dan Undang-Undang Hukum Perdata Barat, (Makassar: Alauddin Univercity Press, 2014),h. 99-103.

2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi ahli waris untuk anak-anaknya. Anak-anak menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis keturunan ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih merupakan anggota keluarganya sendiri, contoh sistem ini terdapat pada masyarakat Minangkabau.

3. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah atau dari pihak ibu. Di dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hukum waris sama dan sejajar.Artinya, baik dari anak laki-laki ataupun anak perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orang tua mereka.

Dari ketiga sistem yang telah disebutkan sebelumnya, mungkin masi ada variasi lain yang merupakan perpaduan dari ketiga sistem tersebut, misalnya “Sistem Patrilineal beralih-alih (alternerend) dan sistem unilateral berganda (dubbel unilateral)”.29 Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum adat waris terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan, hukum adat waris juga mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu:

a. Sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris mearisi secara perorangan, misalnya di: Jawa, Batak, Sulawesi dan lain-lain.

29

32

b. Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewarisi harta peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada masing-masing ahli waris.

c. Sitem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini ada 2 macam, yaitu:

1. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak tertua laki-laki/sulung atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris. 2. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan

ahli waris tunggal dari pewaris.30

F. Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdatas BW (Burgerlijk

Wetboek)

Hukum waris menurut konsepsi hukum perdata Barat yang bersumber pada BW, merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum public, hak dan kewajiban yang timbul dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula halnya dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat diwariskan.Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematia. Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan, yaitu:

a. Ada seorang yang meninggal dunia.

30

b. Ada seorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia.

c. Ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.

Yang merukan cirri khas hukum waris menurut BW antar lain “ adanya hak mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan”.31 Hal ini berarti bahwa apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapat di tolak oleh ahli waris yang lainnya. Ketentuan ini tertera dalam Pasal 1066 BW, yaitu:

a. Seorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada.

b. Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut.

c. Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu.

d. Perjanjian penangguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.

Berbeda dengan sistem hukum adat tentang warisan, menurut kedua sistem hukum di atas yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi

31

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Vorkink. Van Hoeve, 1976), h. 12.

34

dengan pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lainnya yang mengakibatkan pewaris meninggal. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli waris menurut sistem hukum Islam dan sistem hukum Adat itu benar-benar hak

Dokumen terkait