• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIS

2.5 Masa Depan Pengindeks

Diketahui bahwa nilai a dan b merupakan nilai konstanta yaitu 1, c adalah -2 x I1, sehingga menghasilkan rumus sebagai berikut :

n

1,2

=

−1±�1+8I1 2�

4. Penentuan daerah transisi. Dilakukan dengan cara mengambil 10 kata diatasdan 10 kata di bawah titik transisi.

5. Penentuan indeks dokumen. Kata-kata yang terdapat pada daerah transisi, setelah kata buangan (stopword) dihilangkan selanjutnya dijadikan menjadi indeks dokumen.

6. Interpretasi terhadap indeks dokumen.Setelah indeks dokumen diperoleh, maka selanjutnya diinterpretasikan atau dinilai apakah indeks tersebut benar-benar dapat menggambarkan isi atau subjek dari artikel atau dokumen yang sebenarnya, (Hasugian, 1999: 11)

Berdasarkan penjelasan di atas bahwa untuk menentukan indeks suatu artikel terlebih dahulu memilih dokumen, biasanya dokumen berupa artikel elektronik. Menghitung jumlah dan frekunsi kata dapat dilakukan dengan bantuan komputer dengan memakai program Microsoft word. Menentukan titik transisi dapat dilakukan dengan memakai rumus ABC. Menentukan daerah transisi dapat dilakukan dengan mengambil 10 kata diatas dan 10 kata di bawah titik transisi. Menentukan indeks dokumen dilakukan dengan cara membuang stopword (kata buangan). Interpretasi terhadap indeks dokumen apakah indeks tersebut benar-benar dapat menggambarkan isi atau subjek dari artikel atau dokumen yang sebenarnya.

2.5 Masa Depan Pengindeks

Pengindeks tidak hanya mampu membuat indeks dengan thesaurus yang dipakainya sebagai acuan (standard), tetapi pengindeks harus mampu menganalisis tingkat kemanfaatan hasil olahannya.Upaya untuk menghasilkan indeks yang bermutu harus dilakukan bersamaan dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang ada dan membekali pengindeks dengan pendidikan khusus, sehingga pengindeks Indonesia dapat benar-benar matang sesuai pengindeks dunia.

Sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi dewasa ini, tentunya tingkat keprofesionlan pengindeks sangat dituntut. Untuk mencapai tingkat efektifitas pemakaian indeks tentunya profesional indeks harus benar-benar bercermin pada user sebagai pemakai informasi yang dihasilkan, agar hasil yang dicapai benar-benar maksimal dan berdaya guna. Visi indeks sebenarnya sudah digambarkan oleh Paul Otlet (pelopor Universal Decimal Classification dan pendiri International Federation for Information and Documentation) sejak tahun 1934. Otlet dalam Margono (1999: 3) lebih menekankan pentingnya mekanisme pengolahan indeks dalam suatu mesin secara simultan bagi pengembangan indeks secara menyeluruh dengan sistem teks.

Oleh sebab itu upaya yang dapat dilakukan oleh profesional indeks dalam mengontrol hasil olahannya, antara lain:

1. Tujuan Pembuatan Indeks

Tujuan ini harus disesuaikan dengan pengindeks (berdasarkan standard atau thesaurus), organisani, user, dan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal tersebut tidak mudah dicapai oleh profesional indeks, sebab standard yang biasa dipakai jauh lebih lama daripada perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Oleh sebab itu bagi profesional indeks tidak harus mengacu pada thesaurus saja tetapi pada mengikuti perkembangan ilmu yang melalui subject headings dan kepopuleran ilmu pengetahuan yang sedang berkembang pada saat ini.

2. Teknologi

Seharusnya seorang pengindeks langsung mengerjakan indeks pada komputer dan hasilnya dicetak setiap hari untuk dikoreksi dan langsung diperbaiki, sehingga informasi yang diolahnya tidak terlalu lama disimpan dan segera diakses oleh pengguna. “Walaupun teknologi informasi kian canggih, penelusuran melalui indeks tetap dibutuhkan oleh pengguna, karena indeks dapat memberikan analisis terhadap topik yang dicari secara nyata.” (Lathrop, 1998:20-21) dalam Margono (1994: 3). Dari pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam kenyataanya pengguna selalu menginginkan penelusuran secara full text. Namun perlu diingat bahwa informasi full text tersebut selalu memberikan jawaban berkesinambungan, selalu mengacu pada refrensi lain yang berhubungan dengan topik tersebut (ditandai dengan istilah see, see

related, seealso). Sementar penelusuran yang dilakuakan melalui indeks dapat memberikan seluruh informasi yang terkait secara lengkap, tinggal pengguna memilih alternatif artikel yang tepat. Oleh sebab itu masa depan indekser tetap cerah karena masih banyak informasi yang belum terolah.

3. Etika

Diharapkan pengindeks benar-benar dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan bidangnya sehingga ilmu pengetahuan yang sedang berkembang di masyarakat dapat dijadikan sebagai kata kunci yang penting. Diluar negeri justru indeks dikerjakan oleh ilmuwan yang bersangkutan, disamping mereka mengerjakan penelitian, mereka juga membuat indeks (indeks dikerjakan oleh sarjana tamatan S1 – S3 , dimana S1 merupakan tahap mencari pengalaman dan S2-S3 merupakan subject specialist). Berbeda dengan peneliti di Indonesia, di mana mereka justru kurang memahami indeks dengan benar.

4. Pendidikan profesi

Menurut Wallis (1997: 190) dalam (Margono 1999: 4), “professional indeks dibagi menjadi dua yaitu pengindeks terakreditasi (accredited indexers) yaitu pengindeks yang lulus test berdasarkan standard British Society (BS), yang mencerminkan pekerjaan mengindeks dengan teori mengindeks yang benar; dan pengindeks terdaftar (registered indexers) yaitu pengindeks yang membuktikan pengalamannya berdasarkan keahlian/ilmu pengetahuan yang dimiliki melalui prosedur pengindeksan yang diterapkan oleh British Society”.

Indexer di Indonesia hampir sebagian besar tidak memiliki pendidikan sebagai pengindeks professional seperti di atas. Indexer tersebut lebih menilai dan mengukur hasil yang diolah oleh pengindeks berdasarkan keyakinan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pengindeks akan berjalan dengan baik asalkan sejalan dengan thesaurus yang diigunakan tanpa meninjau lebih lanjut apakah hasil kerja tersebut benar-benar bermanfaat bagi user.

Melihat kenyataan tersebut sebaiknya PDII-LIPI mulai membekali pengindeksnya melalui kursus yang berhubungan dengan status indekser di atas. Diharapkan indekser yang dimaksud dapat berkiprah lebih jauh untuk dapat membuat standard indeks Indonesia dimasa mendatang, apakah sebagai pengindeks terakreditasi atau pengindeks terdaftar. Hal ini sangat penting untuk mengoptimalkan

hasil indeks yang selama ini telah dikerjakan agar lebih berdaya guna, mudah ditelusuri/diakses, dan user cepat memperoleh informasinya.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara ilmiah berdasarkan keilmuan yang dilandasi ilmu untuk mendapatkan data, mengumpulkan data, menganalisis data, menginterpretasi data serta menarik kesimpulan. Dengan cara ilmiah akan mendapatkan data yang objektif, valid dan reliable.

Penelitian ini adalah penelitian komparasi. Menurut Sudjud dalam Arikunto (2002 : 236) menyatakan,

“Penelitian komparasi akan dapat menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang benda-benda, tentang orang, tentang prosedur kerja, tentang ide-ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide atau suatu prosedur kerja. Dapat juga membandingkan kesamaan pandangan perubahan-perubahan pandangan orang, grup atau negara, terhadap kasus, terhadap orang, peristiwa atau terhadap ide-ide”

Dari pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa penelitian komparasi adalah penelitian yang akan menghasilkan persamaan dan perbedaan dari objek atau subjek yang diteliti. Metode yang dilakukan untuk penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Whitney (1960) dalam Nazir (2003: 54) menyatakan “metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat”. Dari pendapat tersebut dinyatakan bahwa metode deskriptif membuat gambaran faktual dan akurat mengenai fakta-fakta. Dalam metode deskriptif, peneliti bisa saja membandingkan fenomena-fenomena tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif.

Dokumen terkait