1. ADHF NYHA II pada ACS NSTEMI
Pasien mengeluh sesak nafas sejak 1 hari SMRS, muncul ketika pasien sedang bekerja dan berkurang saat pasien beristirahat. Keluhan ini sudah muncul sejak beberapa hari belakangan, namun pasien tidak segera berobat dan hanya menghentikan pekerjaannya sementara waktu. Pasien mengaku ketika tidur lebih nyaman dengan bantal tinggi. Namun saat ini keluhan sudah berkurang. Pasien juga mengalami pusing, mual dan muntah. Pada pemeriksaan fisik perkusi jantung didapatkan batas jantung kiri ICS V
3 jari lateral MCL sinistra, edema pada kedua tungkai bawah. Hasil EKG didapatkan irama aritmia, aksis LAD, Gel.P melebar (Left Atrial Enlargement) dan PR interval memanjang serta pada foto toraks didapatkan kesan kardiomegali. Diagnosis gagal jantung didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini sudah dapat ditegakkan sebagai gagal jantung karena memenuhi kriteria 1 mayor dan 2 minor, yaitu dengan adanya kardiomegali, edema ekstremitas, dan sesak pada aktivitas. Berdasarkan gejala ringan (sesak nafas ringan) serta adanya keterbatasan ringan dalam aktivitas sehari-hari, derajat gagal jantung pada pasien ini adalah NYHA II. Pasien dengan gagal jantung umumnya datang di instalasi gawat darurat dengan manifestasi klinis volume overload atau hipoperfusi atau keduanya. Pada pasien ini didapatkan manifestasi klinis adanya volume overload yaitu sesak saat melakukan kegiatan, ortopnea, mual muntah dan edema perifer. Kondisi dispnea saat melakukan kegiatan dan ortopnea merupakan tanda dan gejala kongesti paru, mual muntah karena edema pada traktus GI, dan edema perifer disebabkan adanya akumulasi cairan di perifer.
Berdasarkan riwayat pasien sakit dada dalam 24 jam terakhir, walaupun hanya terasa sebentar, serta adanya peningkatan enzim jantung CKMB dan adanya hasil EKG yang menunjukkan iskemia, namun setelah beberapa kali dilakukan EKG tidak tampak adanya ST elevasi, maka pasien ini dpaat didiagnosis mengalami ACS NSTEMI.
2. HHD
Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 6 tahun yang lalu namun tidak kontrol dan minum obat secara rutin. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/100 mmHg yang tergolong hipertensi grade II.
Kurangnya kepatuhan terhadap rekomendasi diet atau terapi obat merupakan penyebab paling umum dimana pasien gagal jantung masuk ke instalasi gawat darurat. Sekitar sepertiga kunjungan ke instalasi gawat darurat merupakan akibat ketidakpatuhan tersebut.
Pada pasien ini dengan adanya tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama serta ditandai adanya tanda- tanda hipertrofi ventrikel kiri pada gambaran EKG, maka pasien mengalami penyakit jantung hipertensif (HHD).
Peran hipertensi terhadap kelainan jantung terjadi melalui sejumlah mekanise yang kompleks. Hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang menyebabkan kompensasi berupa hipertrofi ventrikel kiri. Disfungsi diastolik dan sistolik, yang pada tahap selanjutnya menjadi gagal jantung. Namun tekanan darah tinggi juga menyebabkan kerusakan dinding arteri sehingga mempercepat proses aterosklerosis. Dengan demikian, hipertensi juga menjadi faktor resiko terjadinya infark miokard.
Penurunan kapasitas awalnya akan dikompensasi oleh mekanisme hormonal: sistem saraf adrenergik, sistem renin-angiotensi-aldosteron, dan sistem sitokin yang bertujuan untuk menjaga curah jantung dengan meningkatkan tekanan pengisian ventrikel (preload) dan kontraksi miokardium. Namun seiring berjalannya waktu, aktivitas tersebut akan menyebabkan kerusakan sekunder seperti remodelling ventrikel dan dekompensasi jantung. Kadar angiotensin II, aldosteron, dan katekolamin akan semakin tinggi, mengakibatkan fibrosis dan apoptosis miokardium yang progresif, yang pada tahap lanjut beresiko menjadi aritmia jantung seperti yang sudah terjadi pada pasien kasus ini.
Tatalaksana pada pasien :
Penatalaksanaan awal untuk stabilisasi awal pada acute decompensated heart failure (ADHF) di IGD adalah pemberian oksigen, loop diuretic dengan nitrogliserin iv, serta edukasi pasien.
Tatalaksana non farmakologi terdiri dari: 1. Manajemen Perawatan Mandiri 2. Ketaatan pasien berobat
3. Pemantauan berat badan mandiri 4. Asupan Cairan
5. Pengurangan berat badan
6. Kehilangan berat badan tanpa rencana 7. Latihan fisik
Tatalaksana farmakologi yaitu: 1. Diuretik : Lasix 1 x 40 mg p.o
Diberikan pula KSR 1 x 1 tab p.o mencegah hipokalemia 2. ACE inhibitor : Ramipril 1 x 1,25 mg p.o
3. Beta bloker: Bisoprolol 1x1,25 mg p.o 4. Ascardia 1 x 80 mg p.o
Setelah terdiagnosis ADHF, terapi diberikan berdasarkan gejala dan tanda yang dialami pasien. Pasien ini memiliki gejala dan tanda volume overload ringan sehingga untuk penatalaksanaannya diberikan diuretik iv (Furosemide) dengan dosis awal 40 mg IV. Pemberian loop diuretik furosemid 1 x 40 mg merupakan anjuran pada kasus gagal jantung dengan retensi cairan atau gejala kongesti untuk mengeluarkan cairan sehingga mengurangi edema perifer, pemberian diuretik hingga edema hilang. Sebaiknya pemberian loop diuretik diberikan secara drip 5 mg/jam untuk mendapatkan hasil yang maksimal, karena pada kasus ini sesak dan pitting edema belum hilang.
Diuretik kuat atau loop diuretic yang paling umum digunakan untuk pengobatan HF adalah furosemide, tetapi beberapa pasien merespon lebih menguntungkan untuk agen lain dalam kategori ini (misalnya, bumetanide, torsemide) karena administrasi oral meningkat bioavailabilitas obat tersebut. Tujuan utama dari pengobatan diuretik adalah untuk menghilangkan retensi cairan. Diuretik umumnya dikombinasikan dengan pembatasan sodium diet moderat. Setelah retensi cairan telah diselesaikan, pengobatan dengan diuretik harus dipertahankan pada beberapa pasien untuk mencegah terulangnya volume overload.
Selain pemberian diuretik, pasien dengan gagal jantung diberikan ACEi (atau ARB bila tidak tertoleransi) serta diberi β blocker.
Pada pasien diberikan juga aspirin yang berguna untuk mencegah pembentukan thrombosis. Aspirin juga direkomendasikan pada gagal jantung dengan riwayat jantung koroner untuk mencegah timbulnya serangan ulang. Namun perlu diingat pasien ini memiliki gejala dispepsia sehingga harus dipilih jenis aspirin yang berselaput seperti Ascardia. Pada kasus ini hanya diberikan dosis pemeliharaan yaitu Ascardia 80 mg sehingga pemberian antiplatelet berselaput ini udah cukup, dan risiko efek samping terhadap gangguan gastrointestinal lebih rendah.
Restriksi cairan diharuskan untuk mengurangi beban jantung dan edema. Pemberian ringer laktat pada pasien ini kurang tepat sebagai terapi pemeliharaan kebutuhan cairan yang tepat untuk pasien gagal jantung. Tidak perlu diberikan terapi
cairan infus karena pasien sudah mengalami overload cairan yang ditandai dengan gejala kongesti. Kebutuhan cairan dapat melalui oral dan tetap harus dibatasi.
3. Konstipasi
Pasien mengeluh belum buang air besar sejak 5 hari yang lalu, dan merasa belum pernah mengalami hal ini sebelumnya, biasanya pasien BAB setiap 1-2 hari sekali, tidak nyeri, warna kuning kecoklatan.
Penatalaksaan yang diberikan adalah laxadin 1 x 1 C pada malam hari, serta memberikan edukasi pada pasien agar makan makanan berserat serta minum air mineral sesuai kebutuhan sehingga kotoran yang terbentuk lebih banyak mengandung air, lunak dan mudah dikeluarkan.
PROGNOSIS
Dengan sistem skoring TIMI score (Thrombolysis in Myiocardial Infarction): Usia >=65 tahun
3 atau lebih faktor resiko penyakit jantung koroner
Riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya serta diketahui terdapat stenosis >50% Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir
Angina berat dalam 24 jam terakhir (YA) Peningkatan penanda enzim jantung (YA) Deviasi segmen ST >0,5 mm
Masing-masing kriteria tersebut mendapatkan 1 poin
Skor TIMI berkaitan dengan resiko kematian akibat infark miokard dalam 2 minggu. Pada pasien terdapat 2 poin, sehingga risiko kematiannya yaitu 3-8%
ad vitam : Dubia et malam ad fungtionam : Dubia et malam ad sanactionam : Malam
Daftar Pustaka
1. Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines in the Management of acute decompensated heart failure. [monograph on the internet]. California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting; 2006 [cited 2016 Mar 05]. Available from www.ashpadvantage.com/website_images/pdf/adhf_scios_06.pdf. 2. Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al.
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Journal of Heart Failure [serial on the internet]. 2008 Aug [cited 2016
Mar 05]. Available from http://eurjhf.oxfordjournals.org/content/10/10/933.full.pdf #page= 1&view=FitH.
3. Lindenfeld J. Evaluation and Management of Patients with Acute Decompensated Heart Failure. Journal of Cardiac Failure [serial on the internet]. 2010 Jun [cited 2016 Mar 05]; 16 (6): [about 23 p]. Available from
http://www.heartfailureguideline.org/assets/document/2010_heart_failure_guideline_s ec_12.pdf.
4. McBride BF, White M. Acute Decompensated Heart Failure: Pathophysiology. Journal of Medicine [serial on the internet]. 2010 [cited 2016 Mar 05]. Available from http://www.medscape.com/viewarticle/459179_3
5. Hollander JE. Current Diagnosis of Patients With Acute Decompensated Heart Failure. [monograph on the internet]. Philadelphia : Departement of Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2001 [cited 2016 Mar 05]. Available from
www.emcreg.org.
6. Tallaj JA, Bourge RC. The Management of Acute Decompensated Heart Failure. [monograph on the internet]. Birmingham : University of Alabama; 2003 [cited 2016 Mar 05]. Available from http://www.fac.org.ar/tcvc/llave/c038/bourge.PDF
7. Kirk JD. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel Approaches To Cclassification Aand Treatment. [monograph on the internet]. Philadelphia : Departement of Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2004 [cited 2016 Mar 05]. Available from www.emcreg.org.
8. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease: Acute Coronary Syndrome. 5thed. Philadelphia: Lippincott Wliiams&Wilkins;2011 . p. 162-75
9. Fauci dkk. Harrison’s Manual Medicine: Common Patient Presentations. 17thed. Amerika Serikat: McGraw Hill; 2009. P. 175-7.
10. Antman EM, Cohen M, Bernink PJ. The TIMI risk score for unstable angina/non-ST Elevation MI: A method for prognostication and therapeutic decision making. JAMA. 2000 Aug 16; 284(7):835-42
11. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et. al. TIMI risk score for ST-elevation myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical score for risk assessment at presentation: An intravenous nPA for treatment of infarcting myocardium early II trial substudy. Circulation. 2000 oct 24;102(17):2031-7
12. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular di Indonesia: Penyakit Jantung Koroner. 2nd Ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2009. P.81-92
13. Mark H. Drazner. The progression of hypertensive heart disease. Dallas: University of Texas Southwestern Medical Center: 2011;123:327-334