• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUBURAN DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

2.1 Penguburan Dalam Masyarakat Jepang 2.1.1 Sejarah

Kehidupan dapat diartikan sebagai wujud dari proses pergerakan dan pertumbuhan. Setiap orang pasti mengalami proses perjalanan dari mulai lahir, menjadi dewasa dan akhirnya meninggal. Dan pada saat hidupnya, bahkan sampai pada saat seseorang mengalami kematian, manusia membutuhkan orang lain karena pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial.

Kematian itu sendiri diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak bernyawa, dan rohnya pergi meninggalkan raganya. Salah satu bentuk sarana sosialisasi yang dikenal masyarakat Jepang, terutama yang masih berpegang pada tradisi nenek moyang mereka ialah berupa upacara-upacara tradisional. Salah satu fungsi dari upacara tradisional ini ialah sebagai pengkokoh norma-norma serta nilai-nilai budaya yang telah berlaku sejak lama (Ekayani, 2006).

Dari upacara-upacara tradisional yang diselenggarakan ini, jika diamati terlihat bahwa adanya hubungan antara manusia dengan kekuatan gaib di atas kekuasaan manusia yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia di muka bumi. Dan orientasi pusat religi yang ada di dunia ini ialah keyakinan akan kehidupan dan kematian yang dialami oleh manusia itu sendiri (Suryohadiprojo, 1982).

Upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan sturuktur sosial masyarakat berwujud sebagai gagasan kolektif. Gagasan kolektif

mengenai kematian yang ada pada setiap suku bangsa di dunia adalah gagasan bahwa kematian adalah suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial tertentu ke suatu kedudukan di alam roh.

Ada beberapa tingkat dari upacara kematian yang terdiri dari: yang pertama, pada saat meninggal, mayat diberi suatu sepulture provisore (pemakaman sementara). Kemudian ada periode intermediare yaitu masa dimana kerabat dekat orang yang meninggal tersebut memiliki beberapa pantangan dan syarat-syarat dalam melakukan sesuatu. Mereka berkewajiban untuk memelihara roh orang yang meninggal yang dianggap masih berada di sekitar tempat tinggal keluarga.roh tersebut belum lepas dari kehidupan sosialnya semasa hidupnya, sehingga diperlukan sesajen dan upacara yang bertujuan memperkuat roh untuk menempati kedudukannya yang baru di dunia baka. Kedudukan yang baru bagi orang yang meninggal dicapai pada saat ceremonyfinale yaitu proses penggalian tulang-belulang dan ditempatkan di tempat yang permanen (Koentjaraningrat).

Peristiwa kematian pada manusia merupakan suatu proses peralihan roh manusia kedalam kehidupan yang baru di alam baka. Roh manusia yang telah meninggal harus diintegrasikan kedalam kehidupan yang baru juga. Pandangan inilah yang melatarbelakangi masyarakat Jepang untuk mendirikan kuburan sebagai tempat bersemayamnya roh-roh manusia yang telah meninggal. Sehingga kuburan juga dijadikan sebagai tempat peringatan dan tempat berziarah bagi keluarga yang sudah meninggal.

Inoguchi dalam Situmorang mengatakan bahwa kematian diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak bernyawa dan rohnya pergi meninggalkan

raganya. Dalam setiap tubuh seseorang, ada tinggal satu roh dan apabila roh itu keluar dari tubuh seseorang, maka manusia itu dinyatakan mati suri, tetapi apabila roh tersebut kembali ke dalam raganya maka manusia itu dinyatakan masih hidup dan sehat kembali. Jika rohnya selamanya tidak pernah kembali lagi, maka manusia itu dinyatakan telah meninggal Masyarakat tradisional Jepang mengenal suatu ritual yang disebut dengan tamayobai (霊よばい). Acara ini bertujuan untuk memastikan roh seseorang akan kembali lagi ke dalam raganya atau tidak. Biasanya mereka menyediakan makanan di samping jenazah lalu memanggil roh ke langit-langit rumah dan juga ke dalam sumur supaya roh tersebut kembali ke dalam raganya.

Pada zaman sekarang, hampir 90% orang Jepang dimakamkan dalam ritual agama Buddha (Kodansha dalam Danandjaja, 1997). Upacara dilaksanakan secara agama Buddha karena menurut agama Shinto, kematian adalah sesuatu yang tidak baik.

Dalam pandangan Shinto, kehidupan dianggap sebagai sesuatu yang baik dan kematian adalah sesuatu yang kotor. Mereka juga beranggapan bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak normal atau tidak beruntung. Pandangan inilah yang menyebabkan para pendeta Shinto hanya mengabdikan dirinya untuk melayani Kami ( ), dan melakukan sesuatu yang bersih, serta tidak melibatkan dirinya dalam kegiatan upacara kematian atau pemakaman. Bagi mereka sendiri, pelaksanaan ritual keagamaan diluar memuja kami ( ) adalah diluar tanggung jawab kuil dan pendeta. Dan dalam upacara kematian, Obosan (pendeta Buddha) selalu dianggap sebagai

penanggung jawab upacara kematian, walaupun ada juga diantara mereka yang mengkonsultasikan masalah kehidupannya kepada Obosan.

Upacara kematian menurut agama Buddha di Jepang sudah dijalankan oleh leluhur Jepang sejak masuknya agama Budha di Jepang kira-kira abad ke-6 dan diikuti dengan munculnya sekte-sekte dalam agama Budha seperti Jodoshu, Jodoshinshu, Nichirenshu dan lain-lain. Setelah sekte-sekte tersebut terbentuk, kuil dari sekte masing-masing pun terbentuk dan para pendeta mulai menetap di kuil tersebut. Para pendeta mulai menangani upacara kematian rakyat biasa yang diperkirakan mulai akhir tahun 1500.

Pada zaman Edo (1603-1868), untuk mencegah terjadinya Kristenisasi, agama Buddha dihidupkan kembali dan dibuatlah sistem danka ( ), dimana setiap orang harus menjadi jemaat dari suatu kuil tertentu dan kuil tersebut harus mengurusi jemaatnya sampai akhir hayatnya atau mengurusi kematiannya. Oleh karena itu, upacara kematian yang diselenggarakan secara agama Buddha dan pendeta Buddha yang sekarang melaksanakan upacara kematian, dapat diperkirakan telah dimulai sejak sistem danka ( ) diberlakukan. Pada saat ini, kuil Shinto tidak berperan dalam upacara kematian atau dengan kata lain tidak mengurusi perihal urusan kematian dan ini terjadi sampai pada zaman Meiji (1868-1912), memicu terbentuknya pemahaman bahwa upacara kematian adalah tanggung jawab agama Budha.

Dalam ajaran Shinto, dipandang sebagai kegare . Kematian yang disebut shie adalah sesuatu yang harus dihindari, maka jika terjadi kematian di

kalangan pengurus kuil, yang akan melaksanakan upacara kematian adalah kuil Shinto yang berafiliasi kepada tera yaitu kuil Buddha.

Upacara kematian secara Shinto diselenggarakan sebatas keluarga dari pengurus kuil, namun sejak akhir periode Taisho (1912-1989) sampai sekarang kuil Shinto bisa melayani upacara kematian. Pemikiran yang mendasari upacara kematian secara Shinto adalah mengantar arwah jenazah ke tempat Kami berada.

2.1.2 Sistem Penguburan Dalam Masyarakat Jepang

Upacara kematian menurut agama Buddha sering disebut soushiki bukyou ( 仏教) atau sousai bukkyo. Sosai bukyo itu sendiri merupakan gabungan dari soso dan saishi. Dalam bahasa Jepang zaman kuno yang disebut so dalam kata sosai adalah hafuru ( ). Hafuru itu sendiri berkaitan dengan kata-kata yang mengandung makna membuang seperti suteru, horu, hoki suru yang mengacu pada jasad orang yang meninggal (jenazah), dan proses penanganan jenazah itulah yang disebut dengan so. Secara keseluruhan, yang disebut dengan sosai adalah hal mengantar orang yang meninggal menuju dunia setelah mati, yang realitasnya yaitu ,mengantar sampai kuburan.

Inti dari upacara kematian menurut tata cara agama Budha (bukyo sogi), sesuai dengan makna sesungguhnya adalah untuk mengikuti supaya arwah orang yang meninggal itu tidak tersesat di perjalanan menuju akhirat . Pada saat itulah, Doshi (pendeta yang memanjatkan doa pada waktu upacara kematian) menggenggam

obor yang cahayanya berfungsi sebagai penerang jalan yang gelap ketika menuju ano yo atau dunia sana.

Konsep yang menyatakan bahwa upacara kematian merupakan simbol dari perjalanan menuju akhirat, ternyata sudah ada di Jepang dari sejak awal. Ketika agama Buddha khususnya sekte Jodoshu dengan ajarannya yaitu Jodokyo menjadi populer, orang yang meninggal dianggap sebagai seseorang yang menyusuri perjalanan jauh dari dunia ini atau Kono yo, yaitu menuju dunia dimana terdapat figur tempat tinggal sang Budha. Di negara Jepang, upacara kematian harus diselenggarakan pada hari baik (tomo biki), jika diadakan upacara kematian pada hari yang dianggap kurang baik, dikhawatirkan almarhum akan “membawa serta” anggota keluarga atau teman terdekatnya untuk menyertainya ke alam baka (Danandjaja, 1997).

Upacara kematian masyarakat Jepang dipimpin oleh pendeta Buddha. Setelah terjadi kematian, keluarga almarhum melakukan penyucian jenazah dengan meletakkan jenazah dalam posisi yang baik, yaitu dalam posisi terbujur. Kelopak mata ditutup rapat, wajah almarhum ditutup dengan kain putih, kedua lengan diletakkan di atas dada. Setelah itu, para keluarga dan kerabat terdekat memeberikan matsugo no mizu (air terakhir yang diberikan untuk jenazah). Matsugo no mizu ( ) dioleskan di bibir jenazah dengan menggunakan sumpit. Pengolesan ini dilakukan oleh pihak keluarga almarhum. Jenazah kemudian dimandikan/ dibersihkan dengan air hangat (yukan).

Bila proses yukan telah selesai, dilanjutkan dengan proses mendandani jenazah. Tujannya untuk mempercantik dan memperindah sosok almarhum. Jenazah dikenakan pakaian putih-putih (kyokatabira) atau pakaian favoritnya, misalnya kimono. Setelah semuanya selesai, jenazah yang sudah dibersihkan diletakkan di depan butsudan (仏壇)atau altar Buddha. Pada waktu diletakkan, kepalanya menghadap Utara. Peletakan jenazah kearah Utara ini didasari atas posisi Buddha meninggal dimana kepalanya mengahadap ke Utara.

Pada saat jenazah ditangani, keluarga mengadakan tsuya ( ), yaitu berjaga sepanjang malam atau berjaga setengah malam yang disebut dengan hantsuya( ) dengan menghabiskan waktu terakhir bersama almarhum sambil

mendoakannya. Pada saat menghadiri tsuya ( ), pakaian yang digunakan oleh pihak keluarga merupakan pakaian berkabung, biasanya berwarna hitam.

Seorang pendeta Buddha melantunkan ayat-ayat sutra di samping pembaringan jenazah. Di tengah-tengah pembacaan sutra, pembakaran dupa dilakukan. Upacara pembakaran dupa dalam upacara kematian menurut tata cara agama Budha dilakukan dua kali, yaitu pada saat upacara tsuya ( ) upacara pada saat malam sebelum penguburan dimana keluarga yang ditinggalkan menghabiskan waktu terakhir bersama almarhum) dan sebelum upacara kremasi. Sama seperti dalam upacara tsuya, anggota keluarga yang lebih dulu mendapatkan giliran untuk

melakukan pembakaran dupa adalah anggota keluarga yang paling dekat hubungannya dengan almarhum.

Bila yang meninggal adalah kepala keluarga, yang pertama kali melakukannya adalah moshu ( ) atau peminpin perkabungan. Setelah moshu

( ) dilanjutkan dengan anak almarhum yang belum menikah dan anak yang sudah menikah. Kemudian diteruskan dengan kedua orang tua almarhum, cucu, saudara kandung almarhum, menantu, paman dan terakhir keponakan. Bila anggota keluarga dan sanak saudara terdekat selesai melakukannya, maka selanjutnya yaitu teman dekat, kenalan serta rekan kerja almarhum yang secara bergiliran melakukan pembakaran dupa. Keikutsertaan para pelayat dalam upacara pembakaran dupa, ini sangat berarti karena upacara pembakaran dupa sendiri mempunyai makna yaitu berdoa dengan hati yang khusuk dengan penyucian di hadapan hotoke (仏). Upacara

pembakaran dupa shoko(焼香 itu sendiri merupakan salah satu dari enam jenis persembahan terhadap arwah orang meninggal.

Setelah upacara pembakaran dupa selesai, pihak petugas dari perusahaan pemakaman (kanri no sogisha) serta keluarga almarhum menurunkan peti jenazah dari altar kemudian dan membuka tutupnya. Pada saat itulah, pihak keluarga almarhum, sanak keluarga, serta kenalan dekat berkumpul dan mengelilingi peti jenazah tersebut untuk menatap wajah almarhum yang terakhir kalinya. Peti jenazah kemudian ditutup kembali.

Tahap akhir dari prosesi upacara kematian adalah upacara yang disebut sousai yaitu upacara penguburan. Pada awalnya di negara Jepang, apabila ada keluarganya yang meninggal, maka mayat tersebut dibuang ke Tanima Jigoku (lembah), dan untuk ketenangan rohnya maka keluarga selalu membuat persembahan-persembahan. Namun kemudian, karena ada perasaan kedekatan antara orang yang meninggal dengan keluarga yang masih hidup, misalnya perasaan cinta akan keluarganya maka jenazah anggota keluarga yang telah meninggal tidak lagi dibuang ke Tanima Jigoku ( ) tetapi dikuburkan. Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat Jepang dalam memperlakukan keluarga mereka yang telah meninggal, antara lain :

1. Dosou ( ) penguburan di tanah. Penguburan ini dilakukan dengan cara menggali lubang di tanah, kemudian jenazah dimasukkan serta dikubur di dalamnya. Lubang itu kemudian ditutup kembali dengan tanah dan dibentuk menyerupai bulatan penuh, seperti kue manju.

2. Kasou ( ) penguburan di api. Penguburan ini dilakukan dengan cara membakarnya, dan kemudian tulang-belulang sisa pembakaran tersebut dibawa oleh keluarga.

Dosou dan kasou sudah mengakar sampai di pulau-pulau utama Jepang. Dilihat dari sisi sejarahnya, dosou lebih dahulu ada daripada kasou. Sedangkan kasou sendiri menurut sejarah agama di Jepang berada di wilayah dimana sekte Jodoshinshu

berkembang. Kasou ( ) atau upacara kremasi ini awalnya diterima di Jepang berkat masuknya agama Buddha di Jepang.

Upacara kremasi dalam upacara kematian menurut tata cara agama Buddha di Jepang yang diadakan setelah pelepasan peti jenazah ini dihadiri oleh keluarga inti almarhum, kerabat dekat dan juga orang-orang yang mempunyai hubungan akrab dengan almarhum. Pada saat menuju tempat kremasi (krematorium), ada benda-benda yang tidak boleh terlupakan untuk dibawa karena sangat sibutuhkan di sana. Benda-benda tersebut adalah ihai, potret wajah almarhum, dan surat ijin untuk melakukan kremasi.

Ihai adalah papan kayu berwarna putih yang di bagian depannya bertuliskan kaimyo yaitu nama yang diberikan oleh pendeta Buddha kepada orang meninggal, dan di bagian belakangnya adalah nama asli almarhum semasa hidupnya beserta tahun kematiannya yang ditulis dalam ukuran kecil. Baik pada upacara tsuya maupun pada saat upacara pemakaman ihai diletakkan di saidan sampai pada akhir masa perkabungan yang disebut dengan imi ake ( ) dan biasanya perusahaan pemakaman atau sogisha sudah mempersiapkan ihai berserta kaimyo yang di tulis di ihai tersebut, atas permintaan keluarga almarhum. Yang menuliskan kaimyo, hari, tanggal dan tahun kematian almarhum adalah Soryo (総量)atau pendeta agama

Buddha. Ihai itu nantinya akan dibawa moshu ( ) atau peminpin perkabungan ketika mengiringi almarhum menuju tempat kremasi. Sedangkan potret wajah

almarhum akan dibawa oleh wakil keluarga inti almarhum (anak atau pasangan yang ditinggalkan).

Begitu sampai di tempat kremasi, peti jenazah segera diambil oleh petugas krematorium dan petugas dari perusahaan pemakaman untuk dimasukkan ke dalam kamado. Sebelumnya karena meja kecil dan peralatan penting seperti makko dupa yang berbentuk butiran dari daun dan kulit shikimi yang dikeringkan , koro (wadah pembakaran dupa), shokudai (tempat lilin) serta bunga sudah dipersiapkan untuk persembahan, moshu ) dan izoku (keluarga inti dari almarhum) tinggal meletakkan ihai dan foto di meja tersebut bersama dengan benda-benda tadi. Upacara yang mereka lakukan dengan menggunakan peralatan- peralatan tadi disebut dengan osame no shiki .

Setelah osame no shiki atau ritual pemakaman selesai, para keluarga, sanak saudara dan teman-teman almarhum mengatupkan kedua telapak tangan (berdoa), dan kemudian menuju ruang istirahat. Selama menunggu proses pembakaran jenazah dalam kamado yang akan memakan waktu kurang lebih satu jam, para keluarga beserta dengan teman-teman almarhum menunggu ruang istirahat sambil makan kue dan minum teh.

Setelah upacara kremasi selesai, petugas di ruang kremasi segera meminta kelurga almarhum untuk datang mengambil tulang belulang almarhum yang tersisa.

Dengan memakai hashi (sumpit) yang terbuat dari kayu dan bambu mereka melakukan hashi watashi yaitu memindahkan tulang denagan

menggunakan sumpit dan kemudian memasukkannya ke dalam kotsu tsubo 骨壷) atau wadah yang berisi tulang-belulang hasil upacara kremasi.

Perbuatan memindahkan tulang dengan cara menjepitnya dengan sumpit ini bermakna supaya orang yang meninggal bisa menyebrangi Sanju no kawa (sungai Sanju) dengan selamat, dan bisa bepergian dari dunia ini menuju dunia pencerahan. Urutan orang-orang yang memungut tulang belulang itu sama dengan urutan ketika upacara pembakaran dupa yaitu mulai datri moshu ) kemudian dilanjutkan dengan anak dan seterusnya. Kotsu tsubo yang berisi tulang belulang almarhum kemudian dimasukkan ke dalam kotak kayu berwarna putih dan dibungkus dengan kain putih. Kotak kayu tersebut lalu dibawa pulang ke rumah oleh sanak saudaranya. Sesampainya di rumah, Ihai, potret dan tulang-belulang almarhum diletakkan di altar beserta dengan benda-benda lain seperti bunga, tempat lilin, tempat pembakaran dupa dan juga kue dan buah-buahan. Semuanya itu sebagai persembahan bagi orang yang meninggal.

Ada satu lagi kebiasan yang dilakukan begitu sampai di halaman rumah yaitu shio harai(塩祓い) atau kiyome. Shio harai 塩祓い) adalah menyucikan diri setelah pulang dari tempat kremasi dengan menginjak garam. Kemudian garam tersebut ditaburkan ke bahu orang-orang yang baru saja kembali dari tempat kremasi.

Setelah prosesi penguburan selesai, upacara selanjutnya yang harus dilakukan adalah upacara pulang ke rumah yang disebut dengan istilah kikasai (帰家祭). Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah pengurus upacara melakukan pensucian di pintu gerbang dengan menebarkan garam di sekitar gerbang masuk halaman rumah, barulah anggota keluarga yang baru pulang dari prosesi upacara boleh masuk ke dalam rumah. Kemudian setelah duduk di depan altar, penanggung jawab upacara meletakkan abu jenazah di tengah altar dan mengumumkan bahwa upacara telah selesai. Sampai tiba waktunya, abu jenazah di simpan di makam, setiap hari diterangi lilin, meletakkan bunga, dan sakaki, beras yang sudah dicuci, garam, makanan kecil dan buah serta melakukan penghormatan pada pagi dan sore hari (http : //japan-guide.com).

Ritual selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah reisai(霊祭)yaitu upacara arwah yang merupakan salah satu ritual dalam tata cara Buddha yang dilakukan di depan makam atau di depan altar yang dipimpinoleh pengurus upacara. Para pelayat melakukan ritual tamagushi hoten ( dimana ritual ini mirip

dengan persembahan dupa kepada jenazah yang dikenal denagan ritual shokou( 焼香 = dupa ) dalam upacara kematian secara Buddha, bila hari pengambilan (abu jenazah) telah ditentukan, kirimlah kartu undangan kepada kerabat dekat dan relasi jenazah.

Setelah itu, keesokan harinya setelah pemakaman selesai, diadakan yokujitsu sai . Yokujitsu sai adalah pemberitahuan kepada orang yang telah membantu proses pemakaman yang dilaksanakan tepat keesokan harinya sesudah upacara selesai. Yokijitsu sai akan diisi dengan kegiatan-kegiatan peringatan pada hari tertentu untuk mengenang dan mendoakan almarhum/almarhumah agar berbahagia di dunia sana.

Upacara ini akan diawali dengan pemberitahuan dari pihak keluarga kepada pihak kuil orang yang berperan sebagai pembuat tamagushi, keluarga terdekat, sahabat kerabat, para pelayat, dan orang-orang sekitarnya bahwa upacara kematian sudah selesai diselenggarakan. Pihak keluarga akan menyampaikan rasa terima kasihnya atas segala bantuan yang diberikan selama terselenggaranya upacara kematian tersebut. Dalam upacara ini pihak keluarga dekat akan menerangi altar dan menyiapkan sesajen, setelah itu berdoa bagi arwah baru (Danandjaja, 1997).

Bagi masyarakat Jepang, upacara kematian merupakan awal dari rangkaian upacara pemujaan terhadap leluhur. Setelah upacara kematian selesai, kemudian diikuti dengan upacara peringatan hari ke-7 (hatsunanoka); upacara hari ke-35 (sanjugonichi); sampai tiba pada hari ke-47 (shijukunichi) setelah kematian. Pada saat ini keluarga, kerabat dan teman-teman dari orang yang meninggal akan berkumpul di depan altar dimana ihai dan kotsutsubo (tempat abu orang yang meninggal) diletakkan. Pendeta akan dipanggil untuk membacakan sutra, lalu dupa dinyalakan dan makanan akan disajikan kepada semua orang yang hadir. Upacara seperti ini

disebut houji Sebelum hari ke-49 berlalu, keluarga dari almarhum akan menyampaikan rasa terima kasih kepada yang hadir dengan memberikan kodengaesi

Pada masa itu pula kotsutsubo(骨壷)dikuburkan. Kadang-kadang hoji dilakukan pada hari ke-100 (hyakanichi).

Setelah hari ke-49 akan diadakan upacara serupa pada peringatan ulang tahun kematian yang pertama (isshuki), acara 3 tahun (sankaiki), acara 7 tahun (nanakaiki), acara 13 tahun (jusankaiki), acara 17 tahun (junanakaiki), acara 23 tahun (nijusankaiki), acara 33 tahun (sanjusankaiki), dan acara yang ke-50 tahun (dalam konsep agama Shinto).

Kemudian setelah menjalani acara 33 tahun (konsep Budha) atau 50 tahun (konsep Shinto), maka seseorang itu menjadi suci dan disebut Hotoke 仏). Menurut Tsuboi Yayumi dalam Situmorang, 2001), menggambarkan bahwa jumlah rangkaian upacara yang dilakukan pada anak yang baru lahir hingga dewasa sama banyaknya dengan jumlah upacara yang dilaksanakan pada roh orang yang meninggal hingga menjadi suatu tahap tomurai age (

a. Upacara Tamurai Age

Tamurai Age ( ) adalah upacara peringatan ke-33 tahun (konsep Buddha) atau ke-50 tahun (konsep Shinto) yang merupakan upacara peringatan

kematian terakhir. Orang jepang beranggapan bahw apada saat itu orang yang meninggal akan bergabung bersama para leluhur yang lain, Ihai orang yang meninggal dibakar, dibuang ke laut atau di simpan di kuil sambil menagatakan “Hotoke wa kami nari..” yang berarti arwah akan menjadi dewa.

Roh orang yang meninggal itu akan menjadi Shinbutsu (dewa ) pada tahun ke-33. Setelah menjadi Shinbutsu (神仏)dimasukkan ke dalam kelompok Sosendaidai (roh leluhur). Roh leluhur itu akan tinggal di gunung, dan keturunannya mempercayai bahwa dari situ Ia akan mengawasi anak cucunya. Roh leluhur yang sudah melewati masa pensucian, yaitu 33 tahun (Shinto), dan 50 tahun (Budha) dan telah menjadi Shinbutsu (dewa), wajib melindungi keluarganya dari mara bahaya. Dan para keturunannya percaya berkat yang mereka peroleh juga berasal dari nenek moyang mereka yang sudah meninggal.

b. Upacara Obon ( )

Uapacara obon ( disebut juga upacara peringatan arwah yang berasal dari agama Buddha. Upacara ini biasanya diselenggarakan setiap tanggal 13 sampai pada tanggal 15 Juli atau Agustus tergantung pada perhitungan kalender bulan. Masyarakat Jepang percaya bahwa pada perayaan Obon ini, roh leluhur datang ke rumah anak cucunya. Sejak tanggal 1 Juli ada beberapa daerah yang mulai memasang bondoro (lentera) di dalam rumah. Di atas bukit juga biasanya akan dipasang lentera

tinggi sebagai ucapan selamat datang kepada arwah leluhur yang biasa disebut

Dokumen terkait