• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : METODELOGI PENELITIAN ...............................................36-44

G. Pengujian Keabsahan Data

Dalam penelitian kualitatif validitas dan realibilitas dinamakan sebagai kredibilitas. Penelitian kualitatif memiliki dua kelemahan utama yaitu: (a) Peneliti tidak 100 % independen dan netral dari research setting; (b) Penelitian kualitatif

41

sangat tidak terstuktur (messy) dan sangat interpretive. Dalam meningkatkan kredibilitas menurut Anis (2009) terdapat 9 prosedur yaitu: (i) Triangulation; (ii)

Disconfirming evidence; (iii) Research reflexivity; (iv) Member checking;

(v)prolonged engagement in the field; (vi) collaboration; (vii) the audit trail; (viii)

thick and rich description; dan (ix) peer debriefing.

Penelitian ini menggunakan prosedur triangulation karena penelitian ini menggunakan berbagai sumber data, teori, metode dan investigator secara konsisten sehingga menghasilkan informasi yang akurat. Triangulation artinya menggunakan berbagai pendekatan dalam melakukan penelitian. Oleh karena itu, untuk memahami dan mencari jawaban atas pertanyaan penelitian, peneliti dapat mengunakan lebih dari satu teori, lebih dari satu metode (inteview, observasi dan analisis dokumen. Prosedur ini menggunakan berbagai pendekatan dalam melakukan penelitian untuk memahami dan mencari jawaban atas pertanyaan penelitian. Menurut Norman K. Denkin dalam Rahardjo (2010) bahwa triangulasi meliputi empat hal yaitu: Triangulasi Metode,

Triangulasi antar Peneliti. Triangulasi Sumber Data, dan Triangulasi Teori. Dalam

penelitian ini hanya dipilih dua jenis triangulasi yang dianggap sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu;

1. Triangulasi Sumber Data adalah menggali kebenaran informai tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Misalnya, selain melalui wawancara dan observasi, peneliti bisa menggunakan observasi terlibat (participant obervation), dokumen tertulis, arsip, dokumen sejarah, catatan resmi, catatan atau tulisan pribadi dan gambar atau foto. Tentu masing-masing cara itu akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan pandangan (insights) yang berbeda pula mengenai

fenomena yang diteliti. Berbagai pandangan itu akan melahirkan keluasan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran handal.

2. Triangulasi Teori. Hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan

informasi atau thesis statement. Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang relevan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti mampu menggali pengetahuan teoretik secara mendalam atas hasil analisis data yang telah diperoleh.

43

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Konvergensi IFRS di Indonesia

International Financial Reporting Standards (IFRS) merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh International Accounting Standar Board (IASB). Standar Akuntansi Internasional disusun oleh empat organisasi utama dunia yaitu Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB), Komisi Masyarakat Eropa (EC), Organisasi Internasional Pasar Modal (IOSOC), dan Federasi Akuntansi Internasional (IFAC).International Accounting Standar Board (IASB) yang dahulu bernama International Accounting Standar Committee (IASC), merupakan lembaga independen untuk menyusun standar akuntansi.

IFRS merupakan standar tunggal pelaporan akuntansi yang memberikan penekanan pada penilaian (revaluation) profesional dengan disclosures yang jelas dan transparan mengenai substansi ekonomis transaksi, penjelasan hingga mencapai kesimpulan tertentu. Standar ini muncul akibat tuntutan globalisasi yang mengharuskan para pelaku bisnis di suatu negara ikut serta dalam bisnis lintas negara. Untuk itu diperlukan suatu standar internasional yang berlaku sama di semua negara untuk memudahkan proses rekonsiliasi bisnis. Perbedaan utama standar internasional ini dengan standard yang berlaku di Indonesia terletak pada penerapan revaluation model, yaitu kemungkinkan penilaian aktiva menggunakan nilai wajar, sehingga laporan keuangan disajikan dengan basis „true and fair (IFRS frame work paragraph 46).

Menurut Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK), tingkat pengadopsian IFRS dapat dibedakan menjadi 5 tingkat:

1. Full Adoption; Suatu negara mengadopsi seluruh standar IFRS dan menerjemahkan IFRS sama persis ke dalam bahasa yang negara tersebut gunakan.

2. Adopted; Program konvergensi PSAK ke IFRS telah dicanangkan IAI pada Desember 2008. Adopted maksudnya adalah mengadopsi IFRS namun disesuaikan dengan kondisi di negara tersebut.

3. Piecemea; Suatu negara hanya mengadopsi sebagian besar nomor IFRS yaitu nomor standar tertentu dan memilih paragraf tertentu saja.

4. Referenced (konvergence); Sebagai referensi, standar yang diterapkan hanya mengacu pada IFRS tertentu dengan bahasa dan paragraf yang disusun sendiri oleh badan pembuat standar.

5. Not adopted at all; Suatu negara sama sekali tidak mengadopsi IFRS. Indonesia menganut bentuk yang mengambil IFRS sebagai referensi dalam sistem akuntansinya. Program konvergensi IFRS ini dilakukan melalui tiga tahapan yakni tahap adopsi mulai 2008 sampai 2011 dengan persiapan akhir penyelesaian infrastruktur dan tahap implementasi pada 2012. Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK –IAI) telah menetapkan roadmap. Pada tahun 2009, Indonesia belum mewajibkan perusahaan-perusahaan listing di BEI menggunakan sepenuhnya IFRS, melainkan masih mengacu kepada standar akuntansi keuangan nasional atau PSAK. Namun pada tahun 2010 bagi perusahaan yang memenuhi syarat, adopsi IFRS sangat dianjurkan. Sedangkan pada tahun 2012, Dewan Pengurus Nasional IAI bersama-sama dengan Dewan Konsultatif SAK dan DSAK merencanakan untuk menyusun/merevisi PSAK agar secara material sesuai dengan IAS/IFRS versi 1 Januari 2009. Pemerintah dalam hal ini Bapepam-LK, Kementerian Keuangan sangat mendukung program konvergensi PSAK ke IFRS. Hal ini sejalan dengan kesepakatan

45

pemimpin negara-negara yang tergabung dalam G20 yang salah satunya adalah untuk menciptakan satu set standar akuntansi yang berkualitas yang berlaku secara internasional. Disamping itu, program konvergensi PSAK ke IFRS juga merupakan salah satu rekomendasi dalam Report on the Observance of Standards and Codes on

Accounting and Auditing yang disusun oleh assessor World Bank yang telah

dilaksanakan sebagai bagian dari Financial Sector Assessment Program (FSAP) (BAPEPAM LK, 2010).

Konvergensi PSAK ke IFRS memiliki manfaat sebagai berikut: Pertama, meningkatkan kualitas standar akuntansi keuangan (SAK). Kedua, mengurangi biaya SAK. Ketiga, meningkatkan kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan. Keempat, meningkatkan komparabilitas pelaporan keuangan. Kelima, meningkatkan transparansi keuangan. Keenam, menurunkan biaya modal dengan membuka peluang penghimpunan dana melalui pasar modal. Ketujuh, meningkatkan efisiensi penyusunan laporan keuangan.

Standar akuntansi baru (IFRS) merupakan standar yang berbasis prinsip. Berbagai kelemahan melekat pada standar yang berbasis prinsip yang pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh persepsi dan perilaku pengguna standar, antara lain (1) tidak memberi petunjuk tafsir dan implementasi bagi pengguna standar, sehingga menyebabkan berbagai variasi dan penyimpangan praktik akuntansi di suatu negara, (2) Penyusunan standar akan menerima banyak pertikaian akuntansi dan auditing berdimensi beda tafsir atau penerapan bertolak belakang dan beralasan sama kuat. (3) menyuburkan akuntansi kreatif dan kasus litigasi berdimensi akuntansi dan (4) membuka peluang rekayasa tafsir dan Bultek yang membelokkan standar. Sangat dimungkinkan akan terjadi pembelokkan prinsip, sehingga kedepannya implementasi juga akan berbelok (Hoesada, 2009).

B. Etika, Professional Judgment, dan Pengambilan keputusan berdasarkan IFRS Akuntansi sebagai anak dari ilmu sosial tidak lepas dari nilai egoistik. Hal ini mengingat akuntansi konvensional sebagai produk penting dalam dunia bisnis terutama di era globalisasi merupakan buah pemikiran dari negara-negara sekuler yang menegasikan wahyu Tuhan dan menganggap rasio manusia sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Ilmu sekuler yang selama ini mengklaim sebagai value free ternyata penuh dengan muatan kepentingan yang akhirnya melahirkan hegemoni kebudayaan dan kepentingan ekonomi negara adidaya atas negara-negara berkembang.

Akuntansi sebagai disiplin ilmu terus mengalami perubahan sepanjang masa. Perubahan tersebut sudah menjadi fakta sejarah yang tak terbantahkan. Akuntansi pada masa Babylonia, misalkan, sudah sangat berbeda dengan akuntansi pada awal Islam, atau masa Luca Pacioli, atau pada masa sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa akuntansi akan terus mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan zaman.

Akuntansi konvensional memegang kendali besar terhadap keberlangsungan hidup kapitalisme. Berbagai upaya dilakukan untuk tetap mempertahankan eksistensi para pemilik modal dan pemegang kepentingan. Hal tersebut diantaranya dilakukan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan melalui ketetapan standar akuntansi untuk mengakomodasi kepentingan kapitalis tersebut. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya standar keuangan yang berlaku umum dimana setiap entitas yang mempunyai fungsi fidusia dan mempunyai pertanggungjawaban publik diwajibkan untuk menerapkan IFRS dengan dalih untuk mempermudah memahami laporan keuangan berbagai negara. Pengadopsian IFRS oleh berbagai negara memunculkan konsekuensi logis bahwa negara yang menerapkan standar ini harus mengikuti segala kebijakan

47

sebagaimana yang diterapkan dalam standar ini. Hal ini merupakan bentuk penjajahan pikiran melalui sistem yang sengaja diciptakan untuk menginternalisasikan nilai yang tidak sesuai dengan negara pengadopsi dan menjajah negara lain melalui sistem yang diciptakan.

Keputusan Indonesia untuk melakukan konvergensi ataupun adopsi terhadap IFRS bukanlah perkara mudah. IFRS yang lahir dari negara sekuler memiliki landasan epistemologi yang materialistis sehingga segala sesuatu yang bersifat non-materi dinafikkan keberadaannya. Hal inilah yang menjadi kendala akuntansi dalam menjawab tuntutan zaman yang semakin berkembang. Dan melalui adopsi ini, artinya Indonesia semakin membuka jalan untuk melakukan transfer budaya “barat” yang kapitalis untuk masuk dan memperkuat eksistensinya di Indonesia.

Harmonisasi akuntansi sebagai langkah awal untuk melakukan proses adopsi IFRS pada dasarnya untuk memudahkan menarik investor yang tidak lain adalah perusahaan multi nasional (MNCs). McLarren (2005) dalam Ludigdo (2012) menjelaskan bahwa MNCs sebagai pemimpin era neo-globalisasi mempunyai tujuan untuk memperluas wilayah kekuasaan dan semakin menimbun kekayaan mereka. Hal ini penuh dengan kepentingan yang bersifat antroposentri dan merupakan ciri dari budaya yang kapitalistik. Sebagaimana dijelaskan oleh Hejj (2005) bahwa hal ini disebabkan oleh fakta bahwa sebagian besar manajemen perusahaan masih berada dalam tingkat fisik yang masih sangat bersifat egosentris, berbeda dengan tingkat spiritual yang mengutamakan sifat spiritual. Sifat egoistik inilah yang menumbuhkan sisi kapitalistik akuntansi dan sulit untuk dihilangkan. Sebagai ilmu yang pragmatis, pertimbangan benar dan salah secara etis dan agama tidak ada, semuanya benar, asal jalan dan didasarkan pada rasio semata. Sementara produk keilmuan harus bermanfaat untuk semua manusia.

Berbagai fakta sejarah menunjukkan bahwa antroposentrisme telah mengalami krisis yang berkepanjangan. Antroposentrisme menurut Kuntowijoyo (2004, hal 53) menjelaskan bahwa dalam pandangan rasionalis, manusia ditempatkan dalam kedudukan tertinggi. Manusia menjadi sumber kebenaran, etika, kebijaksanaan dan pengetahuan. Sehingga manusia menjadi pencipta, pelaksana, dan produk-produk manusia sendiri. Segala sesuatu yang berada di luar diri manusia termasuk etika yang bersumber dari wahyu Tuhan dinafikkan keberadaanya. Adanya pemisahan ini menyebabkan ilmu termasuk akuntansi menjadi bebas nilai dan sarat dengan nilai egoistik.

Teknisnya MNC‟s mendesain deregulasi lewat harmonisasi akuntansi dan pemaksaan penggunaan IFRS dengan menjadikan akuntan serta analis finansial sebagai “professional gatekeeper”.“Professional gatekeeper” berfungsi menginjeksi kepentingan MNC‟s lewat lobi politik dan deregulasi audit demi profit (Mulawarman, 2012). Ujung kepentingan korporasi adalah profit sebagai ideologi neoliberal paling utama yang harus masuk dalam deregulasi tersebut, melalui internasionalisasi akuntansi bernama IFRS (International Financial Reporting Standards) berbentuk IAS (International Accounting Standards) yang didesain oleh IASB (International

Accounting Standards Board).

Abeysekera (2005) dalam Mulawarman (2010) mengungkapkan adopsi penuh IFRS pada dasarnya menunjukkan ketidakberdayaan terhadap kekuatan “kolonial”. Penerapan IFRS hanya dirancang untuk efisiensi pasar modal global sehingga dapat menarik minat investor berinvestasi di negara-negara penyusun IFRS dengan cost of capital rendah. Dengan demikian, promosi IFRS hanya upaya menciptakan kondisi yang memungkinkan pengambilalihan sumber daya sosial-ekonomis dari negara-negara lain oleh negara-negara penyusun IFRS. Adopsi

49

IFRS sulit untuk dihindari oleh Indonesia karena termasuk anggota World Trade

Organization (WTO) yang wajib mematuhi aturan main global.

IFRS sebagai standar tunggal pelaporan akuntansi dengan ciri utama priciple

based hanya mengatur hal-hal prinsip bukan aturan yang mendetail, sehingga dalam

penerapannya memainkan peran professional judgment akuntan/auditor secara lebih luas. Belum lagi sifatnya yang mengedepankan substance over form menuntut akuntan/auditor untuk tidak sekedar merefleksikan kejadian transaksi ekonomi dalam bentuk laporan (form) fisik tetapi lebih mengutamakan dalam merefleksikan substansi transaksi ekonomi. Disinilah peran etika sangat vital sehingga perlu diatur secara lebih ketat untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dalam penyajian laporan keuangan.

Dalam Auditing, konsep substance over form tergantung pada bukti/bentuk fisik yang ada. Substance over form inilah yang kemudian digunakan untuk menilai kewajaran dari bukti dan menemukan secara substantif apakah bukti yang ada tersebut benar adanya. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh informan Bpk Andi selaku Auditor Senior terkait maksud substance over form bahwa:

Dalam penerapan substance over form tetap menggunakan bukti. Bukti tetap ada tapi substance over form itu digunakan untuk menilai kewajarannya bukti itu.Kalau substance over tidak ada bukti, substance over form nggak bisa jalan. Maksudnya begini, ada buktinya. Kita menilai kewajaran bukti itu. Wajar tidak buktinya.

Hal ini juga dipertegas oleh Informan (Pak Amin) yang merupakan Manajer/Supervisor bahwa:

Substance Over form itu lebih kepada, apa namanya, Keyakinan. Jika Auditor yakin itu terjadi semua lebih kepada judgmentnya. Bukti itu digunakan untuk bahan pertimbangan substansi ekonomi. Hal ini mengingat IFRS lebih kepada nilai riil sedangkan GAAP lebih kepada kejadian.

Sementara bagi perusahaan, substance over form didasarkan pada manfaat ekonomis yang dimiliki oleh perusahaan. Meskipun secara hukum perusahaan tidak memiliki hak legal, namun secara substantif perusahaan memegang kendali besar dan memberikan manfaat ekonomis bagi masa depan perusahaan. Ini menunjukkan bahwa antara substance over form dan form over substance memiliki orientasi yang sama yaitu ekonomi. Sementara, laporan keuangan yang sejatinya menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan laporan pertanggungjawaban mampu menyampaikan pesan realitas perusahaan secara kuantitatif maupun kualitatif. Permasalahan yang muncul terkait substance over form ini bahwa tuntutan IFRS agar perusahaan melakukan pengungkapkan secara penuh (full disclosures) dalam laporan keuangan menimbulkan pertanyaan apakah perusahaan mampu secara jujur dan adil mengungkapkan semuanya terutama berkaitan dengan nama baik perusahaan. Dalam arti bahwa perusahaan bukan hanya mengungkapkan segala pencapaian positif namun juga terkait kegagalan dan kekurangan yang dimiliki terutama hubungannya dengan stakeholders yang lebih luas. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa akuntansi konvensional yang ada saat ini telah mendorong manusia untuk bersifat egoistik dan kapitalistik.

Principle based sebagai prinsip utama dalam IFRS dapat memicu munculnya

berbagai perbedaan pandangan di antara akuntan ataupun auditor. Masing-masing memiliki sudut pandang terkait mana yang lebih baik untuk digunakan dalam menyajikan laporan keuangan. Dan bahayanya jika kewenangan yang dimiliki tersebut justru ditumpangi oleh muatan kepentingan pribadi. Akhirnya, laporan keuangan yang dihasilkan semakin semu.

51

Konsekuensi dari diberlakukannya principle based dalam IFRS menuntut diterapkannya integritas dan objektivitas yang lebih besar dalam menilai kewajaran atas pengambilan judgment. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh informan bahwa:

Dalam IFRS itu Iya dibutuhkan kejujuran, kejujurannya apa? Kejujurannya dalam melaporkan. Makanya bedanya di laporan nanti ketika di IFRS disclosure lebih banyak. Jika dia menerapkan metode yang berbeda dari sebelumnya mendisclosure banyak mengapa dia menggunakan ini.

Hal ini kemudian diperjelas oleh informan bahwa untuk menilai setiap kebijakan yang diambil manajer harus punya dasar pertimbangan yang jelas dan semua kembali lagi didasarkan pada penalaran teori.

Dalam mengaudit, kita dalam menentukan mana yang lebih tepat digunakan selalu menggunakan penalaran teori, menggunakan prinsip-prinsip akuntansi seperti ini, teori seperti ini maka hasilnya seperti ini, kondisinya seperti ini maka hasilnya seperti ini

Penjelasan di atas jelas menyebutkan bahwa untuk menilai kewajaran bukti dan substansi dari bukti tersebut harus sejalan dengan pengalaman dan didukung dengan fakta yang dibuktikan melalui penalaran teori. Hal ini sejalan dengan pengertian professional judgment sebagaimana yang tertuang dalam International

Standard Audit yang mengutamakan pengetahuan dan pengalaman yang relevan

untuk mencapai keputusan yang tepat. Adapun tahap pengambilan keputusan dalam

Gambar 4.1

Pengambilan keputusan dalam Principle based

Sumber : Steven M. Mintz

Merujuk pada gambar di atas bahwa pertimbangan etis pengambilan keputusan oleh manajer dinilai berdasarkan objektivitas dan integritas. Sebagaimana tertuang dalam aturan 102 AICPA yang mewajibkan setiap anggota untuk tetap menjaga objektivitas dan integritas, bebas dari konflik kepentingan, dan menyajikan informasi yang sebenarnya. Artinya, setiap penilaian profesional harus tetap menjaga integritas dan objektivitas agar informasi keuangan yang disajikan berkualitas tinggi.

Dalam pasal 1 ayat (2) Kode Etik Akuntansi Indonesia mengamanatkan bahwa setiap anggota harus mempertahankan integritas dan objektivitas dalam melaksanakan tugasnya. Dengan mempertahankan integritas, ia akan bertindak jujur, tegas dan tanpa pretensi. Dengan mempertahankan objektivitas, ia akan bertindak

Decision Usefulness

Economic Substance Over Legal Form (True and fair

overraid)

Representational Faithfullnes

Professional Judgment

53

adil, tanpa dipengaruhi oleh tekanan maupun permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadinya. Dengan adanya kode etik ini, masyarakat akan dapat menilai sejauh mana seorang akuntan telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah diterapkan oleh profesinya (Djamil, tt)

Hal senada juga disampaikan oleh Bpk Andi yang menyatakan bahwa untuk menilai judgment yang diambil oleh manajer yang tidak memiliki aturan rigid tentang pencatatannya, maka akan dilakukan penilaian kewajaran dengan penalaran teori.

Kita melihat kewajarannya berdasarkan pengalamannya. Harga sekian pengalamannya sekian. Masa bisa begini. Yang kedua kadang-kadang juga untuk menilai kewajarannya itu kita turun langsung ke lapangan. Ke tokonya langsung. tanya misalnya, Ini berapa sih harganya? Searching di internet. Lebih lanjut dijelaskan bahwa judgment yang dipilih oleh manajer harus dievaluasi dasar pengambilan keputusan tersebut. Hal ini dilakukan untuk menilai apakah judgment tersebut bebas dari tekanan dan kepentingan pribadi.

Dalam mengaudit nanti emang benar. Tapi ketika dievaluasi ternyata ini untuk kepentingan bapak ji. Secara teori ada tapi untuk kepentingan bapak.

Etika dalam akuntansi menjadi perhatian besar sejak munculnya kasus Enron yang melibatkan Arthur Andersen sebagai salah satu KAP big five yang melakukan kecurangan dengan memainkan laporan keuangan. Jatuhnya Enron mendorong munculnya berbagai perkembangan dan gejolak terkait etika akuntansi. Namun, hal tersebut belum lagi mampu menghentikan berbagai skandal etika akuntansi. Bahkan adanya kelonggaran dalam standar akuntansi keuangan yang justru dimanfaatkan oleh yang berkepentingan untuk melakukan kecurangan.

Etika dalam bahasa latin adalah ethica, yang berarti falsafah moral. Menurut Keraf (1998) etika secara harfiah berasal dari kata Yunani, ethos (jamaknya ta etha), yang artinya sama dengan moralitas, yaitu adat kebiasaan yang baik. Adat kebiasaan yang baik ini kemudian menjadi sistem nilai yang berfungsi sebagai pedoman dan

tolak ukur tingkah laku yang baik dan buruk. Etika sangat erat kaitannya dengan hubungan yang mendasar antar manusia dan berfungsi untuk mengarahkan kepada perilaku moral.

Menurut Dunn dalam Harahap (2004: 26) etika menyangkut pemilihan dikotomis antara values of good and bad, benar dan salah, adil dan tidak adil, terpuji dan terkutuk, posistif dan negatif. Etika sebagai thought dan moral considerations memberikan dasar bagi seseorang maupun sebuah komunitas untuk dapat menentukan baik buruk atau benar salahnya suatu action yang akan diambilnya.

Sedangkan etika menurut filsafat dapat disebut sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memerhatikann amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Pada dasarnya, etika membahas tentang tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.

Dari uraian di atas nampak bahwa nilai-nilai etika akuntansi konvensional khususnya dalam IFRS masih sebatas pada penilaian materilitas. Sebagai ilmu yang lahir dari negara-negara sekuler, maka landasan etika yang melingkupi masih sebatas pada pemikiran rasional manusia. Hal ini terjadi karena akuntansi konvensional yang ada saat ini masih cenderung bebas nilai. Adapun jika dikatakan bahwa di dalamnya ada standar etika (kode etika) bagi profesi, namun standar etika yang digunakan masih dalam tataran penilaian yang mampu diterima oleh logika. Akibatnya, segala

55

hal yang berkaitan dengan aspek mental dan spiritual masih dianggap sesuatu yang tidak jelas bahkan tidak ada.

Utilitarianisme dalam Teori utilitas menganggap nilai baik atau buruk dari segala sesuatu diukur dengan ada tidaknya utilitas (yang tidak lain adalah materi) yang dihasilkan. Sepanjang suatu hal atau perbuatan itu menghasilkan utilitas, maka sepanjang itu pula dinilai baik tanpa sama sekali melihat bagaimana proses yang dilakukan. Padahal tidak menutup kemungkinan bahwa proses yang dijalankan tersebut justru bertentangan dengan nilai-nilai etika yang berlaku dalam masyarakat. Teori ini telah lama menguasai praktik ekonomi.

Bila dilihat lebih mendalam lagi, masalah etika akuntan seperti dibuktikan secara empiris oleh Ludigdo (2010) sebenarnya bukan hanya terletak pada aspek individu dan organisasi saja, tetapi juga terletak pada level sistem. Sistem kapitalisme yang melingkupi akuntansi tak dipungkiri membentuk nilai etis akuntan hanya berada dalam tataran materi. Sementara jika dihadapkan pada realitas sosial yang menuntun bukan hanya profesionalitas yang berujung pada orientasi materi tetapi dengan intuisi dan tanpa harus melanggar nilai etika, akuntan seharusnyalah

Dokumen terkait