• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Kemampuan Isolat terhadap Pengurangan Kadar Tanin Terkondensasi dalam Media Khusus (Defined Media)

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kemampuan isolat dalam menurunkan kadar tanin terkondensasi dalam media biakannya, atau dengan kata lain isolat diuji kemampuannya mendegradasi tanin terkondensasi. Media biakan untuk pengujian ini digunakan media khusus. Media ini tidak mengandung zat-zat yang dapat bereaksi dengan tanin -seperti protein dan karbohidrat- membentuk senyawa kompleks. Pasokan makanan untuk mikroba berupa vitamin-vitamin, mineral-mineral, dan tanin terkondensasi.

Media khusus dikemas dalam 10 ml dengan kandungan tanin tekondensasi 1% dalam tabung Hungate.

Isolat-isolat dari penyimpanan (freezer) dibiakan sebanyak 0.1 ml dalam 10 ml media cair BHI kemudian diinkubasi 39 0C 24 jam. Selanjutnya biakan dihitung jumlah bakteri yang hidup melalui metoda penghitungan koloni. Setelah diketahui jumlah bakteri hasil pembiakan, maka kembali isolat dibiakan kembali dengan cara yang sama. Isolat-isolat hasil biakan ditransfer ke media khusus denga jumlah satuan bakteri sebanyak 107. Dengan demikian volume media biakan berbeda untuk setiap isolat akan tetapi mempunyai jumlah satuan bakteri yang sama, untuk tujuan tersebut maka media biakan yang jumlah bakterinya padat diencerkan dengan media khusus.

Isolat-isolat dalam media khusus dibiakkan dalam inkubator bersuhu 39 0C. Satu jenis isolat akan ditumbuhkan dalam 7 tabung media khusus. Tujuh tabung tersebut digunakan untuk mengamati peubah yang diukur dalam seri waktu (time series) 0, 4, 8,12, 18, 24, dan 48 jam masa inkubasi. Isolat dalam media khusus diinkubasi dengan suhu 39 0C. Peubah yang diukur adalah:

1. Kadar tanin tekondensasi

Analisis tanin ini dilakukan dengan metoda Presipitasi-protein (Hagerman & Butler, 1978).

2. Pengamatan fraksi-fraksi senyawa fenolik (komponen senyawa tanin)

Analisis menggunakan HPLC merk Waters, recorder Sic Cromatocorder, dan Kolom menggunakan Novapak TM C18. Panjang gelombang 280, flow rate 0,9 ml/menit, eluen menggunakan 40% Methanol.

Penelitian IV

Inokulasi Isolat ke dalam Ekosistem Rumen Kambing yang tidak pernah Mengkonsumsi Kaliandra terhadap Kecernaan Kaliandra in Vitro

Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh inokulasi isolat bakteri terhadap ternak yang tidak terbiasa mengkonsumsi pakan kaliandra –dalam hal ini ternaknya adalah kambing berpakan 100% rumput gajah- terhadap kecernaan kaliandra. Penelitian ini dilakukan secara in vitro.

Isolat diinokulasikan pada tabung fermentor yang berisi 30 ml larutan McDougall-Cairan rumen kambing berpakan tumput gajah (4:1), dan 0.5 g tepung kaliandra sebagai sumber karbon. Dosis isolat yang diinokulasikan adalah 108 cfu/ml media fermentor.

Isolat dari penyimpanan (stock) dibiakkan sebanyak 0.1 ml dalam 10 ml media cair BHI, diinkubasikan 39 0C 24 jam. Kemudian pertumbuhan jumlah bakteri diamati dengan metode pencacahan koloni dalam media agar BHI. Jumlah koloni yang tumbuh mencerminkan jumlah bekteri yang dapat tumbuh selama 24 jam pada biakan media cair BHI, sehingga dapat ditentukan berapa ml harus diambil dari media biakan tersebut untuk setiap satu tabung fermentor.

Dari isolasi diperoleh empat isolat dengan notasi isolat IK1, IK2, IK3, dan IK4. Isolat IK1 tidak dapat hidup kembali setelah dilakukan penyimpanan dengan suhu beku dalam media penyimpanan gliserol (gliserol stock), sehingga hanya ada tiga isolat saja yaitu isolat IK2, IK3, dan IK4.

1. Pengaruh inokulasi masing-masing bakteri terhadap kecernaan kaliandra, dengan notasi perlakuan sebagi berikut.

IIK2 = Inokulasi isolat bakteri rumen II asal kambing Kaligesing IIK3 = Inokulasi isolat bakteri rumen III asal kambing Kaligesing IIK4 = Inokulasi isolat bakteri rumen IV asal kambing Kaligesing

Peubah yang diamati adalah kecernaan bahan kering dan organik pada Stage 1. Percobaan ini bertujuan memilih isolat terbaik dari ketiga isolat, dengan demikian diperoleh satu isolat unggulan.

2. Berdasarkan pertimbangan atas hasil perlakuan inokulasi di atas, serta didukung kinerjanya berdasarkan pengujian sebelumnya, maka isolat IK4 ditetapkan sebagai isolat terbaik. Isolat IK4 ini kemudian diperbandingkan lagi dengan beberapa perlakuan lain untuk melihat gambaran potensi atau kemampuannya secara lebih jauh dan mendalam.

Semua perlakuan menggunakan inokulum cairan rumen yang berasal dari kambing berpakan rumput gajah, kecuali perlakuan K. Perlakuan K menggunakan cairan rumen kambing Kaligesing. Perlakuan K dimaksudkan untuk melihat sejauh mana tingkat keberhasilan inokulasi dibanding keadaan asalnya sebagai kontrol positif.

Peubah kecernaan bahan kering dan bahan organik diamati pada stage 1 dan 2. Peubah pH dan NH3 diamati pada stage 1 dengan waktu inkubasi 0, 3, dan 6 jam.

Analisis Statistik

Penelitian ini ddidesain dengan rancangan acak kelompok (RAK) dengan waktu pengambilan cairan rumen merupakan kelompok. Perlakuan diulang tiga kali. Data yang diperoleh dianalisis statistik menggunakan analisis ragam. Perbedaan antar perlakuan diuji dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Steel & Torrie, 1993)

Prosedur Analisis Sampel Penelitian

1. Analisis Total Tanin dengan Metode Presipitasi Protein a. Pembuatan Pereaksi

- Larutan Buffer Asetat pH 5

Menimbang 27.2 g CH3COONa·3H2O, dicampurkan dengan 9.945 g NaCl, lalu dilarutkan dengan air suling sampai volumenya 700 ml. Selanjutnya diukur sampai pH 5 dengan ditambahkan asam asetat 0.2 M (11.4 ml asam asetat galcial/liter air) sedikit demi sedikit sampai akhirnya menjadi 1 liter larutan.

- Larutan SDS-TEA

Larutan natriumdodedihidrogen sulfat 1% dan trietanolamin 5% dibuat dalam air suling. Kemudian masing-masing dicampurkan dengan perbandingan 1:1

- Larutan FeCl3 0.01 M dalam asam korida 0.01 N

Ferriklorida ditimbang sebanyak 0.4055 g lalu dilarutkan HCl 0.01 N sampai volumenya menjadi 250 ml.

- Larutan Standar Bovine Serum Albumin (BSA)

Ditimbang sebanyak 100 mg BSA lalu dilarutkan dengan larutan buffer asetat pH 5, sampai volumenya menjadi 50 ml di dalam labu ukur. Larutan standar BSA ini berkonsentrasi 2 mg/ml.

b. Prosedur Analisis

Sebanyak 1 ml sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 9.l methanol 50% dan diaduk dengan vorteks. Larutannya lalu dipipiet sebanyak 1 ml kedalam tabung reaksi yang lain dan ditambahkam 1 ml BSA. Setelah itu dibiarkan selama 20 menit di ruang pendingin (bertemperatur 5 0C), kemudian dipusingkan selama 15 menit dengan 3000 rpm. Cairannya dibuang dan endapannya dicuci menggunakan larutan buffer asetat pH 5 sebanyak 3 kali dengan meneteskan secara perlahan melalui dinding tabung reaksi. Endapan dilarutkan dengan 4 ml SDS-TEA dan ditambah 1 ml larutan FeCl3 dalam HCl. Campuran dikocok dengan vorteks lalu didiamkan selama 20 menit

pada temperatur kamar. Serapannya diukur pada panjang gelombang 510 m.

Larutan standar dibuat dengan melarutkan 50 mg asam tanat dengan Metanol absolut (konsentrasi 1 mg/ml). dibuat deret standar dengan cara memipet larutan induk di atas sebanyak 0, 1, 2, 3, 4, dan, 5 kemudian dijadikan 10 ml. larutan standar tersebut mempunyai konsentrasi 0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; dan0,5 mg/ml. kemudian dipipet sebanyak 1 ml ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml larutan standar BSA berkonsentrasi 2 mg/ml, selanjutnya dilakukan cara kerja seperti pada sampel. Warna larutan yang diperoleh adalah ungu kehitaman.

c. Perhitungan

% Tanin = Faktor pengenceran X mg/ml sampel X 100% 2. Analisis Konsentrasi N-Amonia

Sampel yang berupa cairan rumen atau cairan yang diambil dari tabung fermentor pasca inkubasi dipusingkan dengan 5000 rpm pada suhu 5 0C selama 15 menit. Supernatan diambil untuk dianalisis.

Konsentrasi N-Amonia dalam cairan rumen ditentukan dengan metode mikridifusi Conway. Sebanyak 1 ml supernatan cairan rumen diletakan dalam salah satu sisi sekat cawan Conway dan pada sisi lainnya diletakan 1 ml larutan NaOH jenuh. Posisi cawan Conway diletakkan sedemikian rupa sehingga keduanya tidak tercampur sebelum cawan ditutup rapat. Pada bagian tengah diletakan 1 ml larutan asam borat berindikator methylene blue

(indikasi warna biru). Cawan lalu ditutup rapat dengan bantuan vaselin. Supernatan dan larutan NaOH jenuh dicampur rata dengan menggoyang cawan. Amonia yang dibebaskan dari reaksi akan ditangkap oleh asam borat, menjadi amonium borat. Perubahan dari asam borat menjadi amonium borat, terindikasi dengan terjadinya perubahan warna dari biru menjadi merah. Setelah 24 jam, amonium borat dititrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai terjadi perubahan warna ke warna asalnya (biru). Kadar amonia dihitung dengan rumus berikut:

N-Amonia (mM) = jumlah ml H2SO4 X Nilai NH2SO4 X 1000 3. Prosedur Pencacahan Populasi Bakteri

Populasi bakteri rumen dihitung dengan menggunakan metode pencacahan koloni dimana yang diperhitungkan hanya bakteri hidup. Prinsip penghitungannya adalah cairan rumen diencerkan secara serial lalu dibiakan dalam media agar BHI dalam tabung Hungate.

Untuk keperluan pembiakan, diperlukan media tumbuh yang spesifik untuk semua jenis bakteri yang akan dibiakkan. Media tersebut terlebih dahulu disiapkan dengan prosedur sebagai berikut.

Bahan-bahan media dicampur dan dimasukkan ke dalam botol yang telah disterilkan dengan autoclave. Campuran tersebut dipanaskan perlahan- lahan sambil dialiri gas CO2 sampai terjadi perubahan warna coklat menjadi merah pada suhu 121 0C selama 15 menit dengan tekanan 1.2 kgf/cm2. Setelah siap digunakan untuk pembiakkan bakteri, media agar dimasukkan kedalam penangas air pada suhu 47 0C, yaitu suhu dimana agar belum memadat dan untuk waktu yang singkat tidak mematikan bakteri. Untuk setiap sampel cairan rumen dibutuhkan tiga tabung Hungate yang berisi media di atas.

Sampel yang berupa media kultur atau cairan rumen diencerkan terlebih dahulu dengan media pengenceran (Ogimoto & Imai, 1981). Pengenceran dilakukan sebagai berikut: 0.1 ml sampel dimasukkan kedalam 9.9 ml media pengenceran, selanjutnya dari tabung tersebut diambil 0.1 ml lagi dan dimasukkan kedalam 9.9 ml media pengenceran yang lain. Demikian seterusnya dilakukan hingga lima kali (lima seri tabung). Salanjutnya dari masing masing seri tabung pengenceran diambil sibanyak 0.1 ml untuk dimasukkan ke dalam media agar yang disimpan pada bak pemanas bersuhu 47 0C. Segera setelah dimasukkan tabung segera di putar dengan alat pemutar

(roller) pada posisi horizontal dengan dialiri air dingin supaya media agar cepat memadat dan membentuk lapisan tipis merata di dinding tabung bagian dalam. Selanjutnya tabung diinkubasi selama 3-7 hari pada suhu 39 0C. Pada

selang waktu itu di lapisan tipis agar itu terbentuk koloni-koloni bakteri yang tumbuh.

Apabila tabung seri yang kelima terdapat n koloni, maka jumlah bakteri sampel yang diamati adalah = n/0.1 × 1010 bakteri/ml.

Komposisi dan Prosedur Pembuatan Media

1. Media Khusus(Defined Media)

Larutan mineral I a) Larutan mineral II b) Henin + 1,4 napthaquinone c) Trace elemen d) Sodium karbonat 5% Resazurine 0,1% Amonium klorida Asam kasamino larutan VFA e) Larutan Vitamin f) 6.0 ml 6.0 ml 1.0 m l0.5 ml 1.5 ml 0.05 ml 0.375 g 0.15 g 0.31 ml 4.00 ml

Semua bahan (kecuali sodium karbonat dan larutan vitamin) dicampur dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan air destilata sampai menjadi 91 ml. pH ditepatkan pada nilai 7.75 dengan menambahkan KOH 10 nM, lalu ditambahkan 5% sodium karbonat, dan terakhir ditambahkan larutan vitamin. a) Larutan mineral I:

K2HPO4 Aquades

592 g 500 ml b) Larutan mineral II:

KH2PO4 NaCl MgSO4·7H2O MnCl2·4H2O CoCl2·6H2O 3.54 g 0.89 g 1.875 g 0.1 g 0.001 g

Na2SO4 CoCl2·2H2O Aqudes 4.15 g 1.596 g 500 ml c) Hemin + 1,4-naphthaquinone:

50 g hemin ditambah 10 mg 1,4-napthaquinone dilarutkan dalam 1 ml NaOH 1 N, lalu ditambahkan air desilata sampai mencapai volume 100 ml. d) Trace elemen: ZnSOP4·7H2O H3BO3 Na2MoO4·2H2O NiCl2·6H2O CuSO4·5H2O Al2(SO4)3 FeSO4 Aqudes 10 g 10 g 10 g 5 g 5 g 2 g 10 g 100 ml e) VFA: Asam asetat Asam propionat Asam n-butirat Asam n-butirat Asam n-valerat Asam i-valerat 17 ml 6 ml 4 ml 1 ml 1 ml 1 ml f) Larutan vitamin Biotin Asam folat

Asam para aminobensoat Sianokobalamin Ca-panthotenat Nikotinamid Riboflavin Thiamin-HCL 2.5 mg 2.5 mg 2.5 mg 2.5 mg 20 mg 20 mg 20 mg 20 mg

Pyrydoxamine Asam lipoik Aquades 20 mg 2 mg 300 ml 2. Media Brain Heart Infusion (BHI)

BHI powder Glukosa Selobiosa Pati Cystein Hemin (0.05%) 3.7 g 0.005 g 0.005 g 0.005 g 0.005 g 2.5 ml 3. Larutan Mc Dougall

a. Larutan mineral mikro CaCl2·2H2O MnCl2·4H2O CoCl2·6H2O FeCl3·6H2O Aquades 13.2 g 10 g 1 g 8 g 100 ml b. Buffer rumen NH4HCO3 NaHCO3 Aquadest 4 g 35 g 1000 ml c. Larutan mineral makro

Na2HPO4 KH2PO4 MgSO4·7H2O Aquades 5.7 g 6.2 g 0.6 g 1000 ml d. Resazurin 0.1% e. Larutan pereduksi NaOH 1N Na2S·9H2O Aquadest 4 ml 635 ml 95 ml

f. Pembuatan:

400 ml aquades, 200 ml buffer rumen, 200 ml larutan makro, 0.1 ml larutan mikro, 1 ml resazurin, dan 40 ml larutan pereduksi dicampurkan. Jumlah komposisi ini untuk mendapatkan larutan Mc Dougall sebanyak 841.1 ml. Campuran ini kemudian dialiri gas CO2 secara terus menerus hingga warna asal campuran yang berwarna merah akan berubah menhadi tidak berwarna (bening).

4. Media Pengenceran Larutan mineral I a) Larutan mineral II b) Cystein-HCl·H2O Na2CO3 Resazurin 0.1% Aquades 7.5 ml 7.5 ml 0.05 g 0.3 g 0.1 ml 100 ml a) Larutan mineral I K2HPO4 Aquades 0.6 ml 100 ml b) Larutan mineral II NaCl (NH4)2SO4 KH2PO4 CaCl2 MgSO4·7H2O Aquades 1.2 g 1.2 g 0.6 g 0.12 g 0.25 g 100 ml

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian I

Pengujian Mikroba Rumen Kambing PEK terhadap Kecernaan Kaliandra in Vitro

Pengujian mengenai kemampuan mikroorganisme rumen kambing PEK dalam memanfaatkan pakan kaliandra, yang didekati dengan pengamatan skala laboratorium melalui percobaan in vitro, memperoleh hasil yang diperlihatkan pada tabel berikut .

Tabel 4. Nilai rataan kecernaan zat makanan kaliandra (%) in vitro dari perlakuan sumber cairan rumen sebagai sumber inokulum mikroba Per

la ku an

Kecernaan Zat Makanan

Bahan Kering Bahan Organik Protein NDF ADF

Stage 1 Stage 2 Stage 1 Stage 2 Stage 1 Stage 2 Stage 1 Stage 1 Kp 38.84a 49.06a 34.27a 43.65b 73.69a 80.48a 65.09a 5966a Ko 31.99b 43.08abc 30.64ab 36.58ab 41.26b 60.10b 61.68ab 58.19a Ap 27.54bc 43.47ab 26.77bc 38.22ab 72.66a 75.86a 60.41ab 54.81ab Ao 23.84bc 34.13bc 22.85c 29.17b 28.35bc 57.85bc 58.18abc 52.92ab Rp 29.44bc 41.82abc 29.62b 43.47a 63.02a 73.78a 55.93bc 49.98b Ro 22.98c 29.63c 23.22c 36.00ab 23.85c 52.80c 52.53c 42.88c

Keterangan : Huruf yang sama kearah kolom menunjukan tidak berbeda nyata (P>0.01) menurut Uji Jarak Berganda Duncan. Kp: Cairan rumen kambing PEK dengan pemberian poly ethilene glicol (PEG). Ko: Cairan rumen kambing PEK tanpa pemberian PEG. Ap : Cairan rumen asal kambing yg diadaptasikan pakan kaliandra dengan pemberian PEG. Ao : Cairan rumen asal kambing yg diadaptasikan pakan kaliandra tanpa pemberian PEG. Rp : Cairan rumen asal kambing berpakan rumput gajah dengan pemberian PEG. Ro : Cairan rumen asal kambing berpakan rumput gajah dengan tanpa pemberian PEG.

Dari hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara sumber cairan rumen dan penambahan PEG. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan yang bersifat interaktif di antara keduanya, oleh karena itu

pembahasan difokuskan pada perbedaan di antara sumber cairan rumen tanpa PEG (Ko, Ao, dan Ro) dan pengaruh penambahan PEG dari setiap sumber cairan rumen terhadap kecernaan.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kecernaan bahan kering pada stage 1 perlakuan Ko tidak nyata (P>0.01) lebih tinggi dari Ao, akan tetapi nyata (P<0.01) lebih tinggi dari Ro. Selanjutnya Ao tidak nyata (P>0.01) lebih tinggi daripada Ro. Sedangkan perbedaan kecernaan bahan kering pada stage 2, diantara perlakuan Ko, Ao, dan Ro tidak menunjukan perbedaan hasil yang nyata (P>0.01).

Kecernaan bahan organik pada stage 1 perlakuan Ko nyata (P<0.01) lebih tinggi dari Ao dan Ro, sedangkan Ao tidak nyata (P>0.01) lebih tinggi daripada Ro. Perbedaan kecernaan bahan organik pada stage 2, diantara perlakuan Ko, Ao, dan Ro tidak menunjukan perbedaan hasil nyata (P>0.01).

Peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik pada stage 1 dari ketiga sumber cairan rumen ini terjadi secara bertahap (gradual) dari Ro ke Ao hingga ke Ko. Data-data ini mencerminkan bahwa pemanfaatan bahan kering kaliandra oleh mikroba rumen kambing asal Kaligesing lebih baik (lebih tinggi) daripada kambing-kambing yang tidak biasa mengkonsumsi kaliandra. Sedang pengadaptasian dalam waktu yang tertentu (lebi dari 6 bulan) dapat meningkatkan pemanfaatan zat makanan kaliandra namun belum memperlihatkan hasil memuaskan (signifikan). Kecernaan bahan organik pada stage 1 pada perlakuan Ko memberikan hasil lebih baik dari bahan keringnya (Kecernaan bahan organik Ko nyata (P<0.01) lebih tinggi dari Ao, sedangkan kecernaan bahan keringnya tidak nyata (P>0.01), ini memberikan gambaran bahwa fraksi-fraksi utama zat makanan kaliandra lebih banyak dimanfaatkan oleh mikroba rumen kambing asal Kaligesing ini dan sedikit memanfaatkan fraksi mineral.

Percobaan in Vitro ini merupakan miniatur proses pencernaan ruminansia, dan pada stage 1 merupakan miniatur proses fermentatif rumen. Dalam proses fermentatif zat makanan (substrat) dicerna oleh enzim-enzim mikroba, kecuali kelarutannya dalam cairan rumen. Oleh karena itu tercernanya zat makanan dalam

proses ini adalah hasil kerja mikroba. Aktivitas kerja mikroba terhadap substrat dalam rumen sangat berpengaruh terhadap nilai kecernaan substrat, oleh karena itu perbedaan kecernaan bahan kering dan bahan organik dari sumber cairan rumen itu adalah cerminan perbedaan kemampuan mikroba dalam mencerna substrat kaliandra. Adaptasi yang lama dalam mengkonsumsi kaliandra dalam proporsi pemberian besar dan berlangsung dari generasi ke generasi seperti kambing asal Kaligesing ini, merupakan faktor penyebab efisiensinya mikroba dalam mencerna substrat kaliandra. Selain itu mikroba semakin tahan terhadap kehadiran tanin, bahkan bukan suatu yang mustahil akan terdapat mikroba spesifik (tertentu) yang mampu melepaskan ikatan kompleks-tanin dari zat makanannya, sehingga zat makanan tersebut dapat didegradasi menjadi metabolit yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan mikroba dan induk semangnya, atau bahkan mampu memanfaatkan fraksi tanin.

Peningkatan kecernaan mengindikasikan peningkatan terbentuknya metabolit-metabolit produk akhir dan intermedier. Metabolit-metabolit tersebut dimanfaatkan untuk kebutuhan mikroba dan induk semangnya. Pemanfaatkan metabolit oleh mikroba selain untuk keperluan hidupnya juga dipergunakan untuk meningkatkan populasinya. Mikroba adalah sumber protein induk semangnya yang diserap di saluran pencernaan pasca rumen.

Kecernaan bahan kering dan bahan organik pada stage 2 secara kuantitatif meningkat bertahap dari Ro ke Ao lalu ke Ko, namun peningkatan itu tidak memberikan hasil signifikan ( P>0.01). Pada stage ini ternyata fraksi zat makanan yang terikat tanin pada Ao dan Ro dapat terhidrolis pada pencernaan pasca rumen sehingga kecernaan meningkat secara nyata. Hal ini di perkirakan karena tanin mempunyai sifat dapat terhidrolis pada pH lebih dari 8 dan kurang dari 3 (Leinmuller et al. 1991), sedangkan pada abomasum pH berkisar pada nilai 2. Pada stage 2 percobaan in vitro ini menyebabkan pH rendah adalah HCl 6 N.

Walaupun kecernaan bahan kering dan bahan organik kaliandra tidak nyata (P>0.01) pada stage 2 dari setiap sumber cairan rumen (Ko, Ao dan Ro), namun hasil Ko yang lebih tinggi (P<0.01) dari Ro pada stage 1 akan memberikan keuntungan yang lebih baik karena zat makanan yang tercerna di rumen akan

menghasilkan produk-produk senyawa sederhana yang merupakan sumber energi mikroba dan induk semang. Oleh karena itu kebutuhan energi induk semang (ternak ruminansia) akan lebih tersedia, karena energi ternak ruminansia berasal dan berawal dari rumen.

Kecernaan Protein

Kecernaan protein pada stage 1 dan stage 2 memperlihatkan kecenderungan yang sama yaitu perlakuan Ko tidak nyata(P>0.01) lebih tinggi dari Ao, akan tetapi nyata (P<0.01) lebih tinggi dari Ro. Selanjutnya Ao tidak nyata (P>0.01) lebih tinggi daripada Ko.

Kemampuan mikroba rumen kambing PE asal Kaligesing dalam mencerna protein kaliandra yang tinggi menunjukan bahwa fraksi protein yang terikat tanin lebih banyak terpisahkan, sehingga fraksi protein lebih banyak tercerna. Keadaan yang demikian memberikan peluang proses sintesis protein mikrobial yang lebih banyak dan lebih mendukung peningkatan populasinya. Peningkatan populasi mikroba mendukung pasokan asam amino yang lebih lengkap daripada asam amino tanaman kaliandra itu sendiri, karena mikroba mampu mensintesis kebutuhan asam aminonya.

Nilai kecernaan protein dari Ko pada stage 2 berbeda nyata (P<0.01) lebih tinggi dengan Ro, hal ini berbeda dengan kecernaan bahan kering dan bahan organiknya, yakni Ko tidak berbeda nyata (P>0.01) lebih tinggi dari Ro. Kenyataan ini menunjukan bahwa fraksi protein yang tidak tercerna pada stage 1 dari masing-masing sumber cairan rumen meningkat pada kisaran yang sama antara 20-25%. Peningkatan kecernaan protein dari stage 1 ke stage 2 menunjukan bahwa terdapat bagian tertentu dari protein kaliandra yang tidak diserang oleh mikroba atau tidak diperlukan oleh mikroba namun dapat dicerna pada saluran pencernaan pasca rumen (stage 2). Peningkatan gradual dari Ro ke Ao lalu ke Ko, diperkirakan terjadi peningkatan pemanfaatan fraksi dari protein yang tidak dapat dipecah di pasca rumen.

Kecernaan NDF dan ADF memperlihatkan kecenderungan yang sama yaitu perlakuan Ko tidak nyata (P>0.01) lebih tinggi dari Ao, akan tetapi Ko dan Ao nyata (P>0.01) lebih tinggi dari Ro.

Fraksi serat kaliandra dapat cepat diadaptasi oleh mikroba rumen kambing dalam waktu relatif singkat (Ao) sehingga hasilnya nyata (P<0.01) lebih tinggi dari Ro, dan adaptasi yang lebih lama dari Ko sedikit sekali peningkatannya sehingga hasilnya tidak nyata (P>0.01) lebih tinggi dari Ao.

Dari data ini terlihat bahwa kecernaan fraksi NDF dan ADF sedikit sekali dipengaruhi oleh tanin, dimana terlihat pada pemberian PEG tidak menunjukkan peningkatan nyata (P>0.01) dari semua sumber cairan rumen.

Penambahan PEG pada Sumber Cairan Rumen

Pemberian PEG merupakan perlakuan kimia yang paling efektif pada saat ini dalam mengatasi pengaruh buruk senyawa tanin yang dikonsumsi ternak ruminansia. PEG bersifat mengikat tanin hingga tanin tidak berkesempatan membentuk kompleks dengan zat-zat makanan. Akan tetapi PEG ini berupa bahan kimia sehingga mempunyai kelemahan yaitu selain tidak ekonomis (penggunaan terus menerus dan harganya relatif mahal) juga dikhawatirkan mempunyai efek samping yang kurang baik dalam penggunaan yang lama.

Berkaitan dengan ini, tujuan penambahan PEG pada setiap sumber cairan rumen bertujuan untuk mengharapkan hasil kecernaan yang sama dengan tanpa pemberian PEG atau bahkan melampauinya. Dari hasil penelitian ini ternyata nilai rata-rata semua peubah kecernaan zat makanan dari sumber yang diberi PEG (Kp, Ap, dan Rp) meningkat dibandingkan dengan yang tidak diberi PEG (Ko, Ao dan Ro). Hal ini menunjukan bahwa PEG mampu meningkatkan nilai kecernaan zat makanan, namun yang nyata (P<0.01) berbeda terjadi pada perubahan kecernaan protein untuk sumua sumber cairan rumen, kecernaan bahan kering pada stage 1 untuk sumber cairan rumen K, kecernaan bahan organik stage 1 untuk sumber cairan rumen R, dan kecernaan ADF untuk sumber cairan rumen R.

Senyawa tanin paling mudah bereaksi dengan senyawa protein dibanding senyawa zat makanan lainnya, maka dengan kehadiran PEG yang terbukti efektif

mengikat tanin menyebabkan senyawa protein lebih banyak berkesempatan untuk dicerna. Dari hasil ini membuktikan PEG ini berperan paling efektif dalam

Dokumen terkait