• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian UU Pajak Penghasilan

Pemohon memberikan penjelasan dalam sidang uji UU Pajak Penghasilan, Senin (19/10), di ruang sidang panel MK.

Foto: Humas MK/Denny F

M

ahkamah Konstitusi (MK) menyidangkan permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Senin (19/10/09), dengan

agenda pemeriksaan pendahuluan.

Perkara Nomor 128/PUU-VII/2009

ini dimohonkan oleh Prof. Moenaf Hamid Regar dengan diwakili Mariam Darus, T. Septiansyah Q Riza, Yusuf Pramono, dan Fery Astuti sebagai Kuasa Hukum Pemohon. Sidang panel dipimpin oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki dan didampingi Hakim Anggota M. Arsyad Sanusi dan M. Akil Mochtar.

Pemohon mendalilkan 15 (lima belas) norma materiil dalam UU 36/2008

yang dianggapnya bertentangan dengan

UUD 1945. Yakni, Pasal 4 ayat (2)

berbunyi Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: a)

penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; b) penghasilan berupa hadiah undian; c) penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; d) penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan e) penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Berikutnya, Pasal 7 ayat (3) berbunyi

Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 17 ayat (7)

berbunyi Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).

Pasal 14 ayat (1) berbunyi Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat

dan disempurnakan terus-menerus serta

diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 14 ayat (7): Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat

Photo:

Humas

MKwbw

(2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 17 ayat (2): Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi

paling rendah 25% (dua puluh lima

persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 17 ayat (2a): Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf b menjadi 25% (dua puluh lima

persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

Pasal 17 ayat (2c): Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah

paling tinggi sebesar 10% (sepuluh

persen) dan bersifat final. Pasal

17 ayat (2d): Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan

Peraturan Pemerintah. Pasal 17 ayat

(3): Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 19 ayat (2): Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).

Selanjutnya bunyi Pasal 21 ayat (5):

Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana

dimaksud dalam pasal 17 ayat (1)

huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 22 ayat (1) huruf c: Menteri Keuangan dapat menetapkan: c. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Selanjutnya Pasal 22 ayat (2): Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 25 ayat 8: Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua

puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Lima belas norma di atas, oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan

Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Alasan Pemohon, pasal-

pasal tersebut dianggap menimbulkan ketidakadilan yang sangat menyolok. Wajib pajak yang berpenghasilan kecil

menurut Pasal 17 ayat (1) UU Pajak Penghasilan dikenakan tarif 5% atau 20%. Sementara Peraturan Pemerintah

Nomor 131 Tahun 2000 mengenakan

pajak dengan tarif 20% yang bersifat

final terhadap bunga deposito yang tidak dapat digabung dengan penghasilan yang lain.

Lalu, Pasal 17 ayat (3) juga dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena

menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sama dengan menetapkan jumlah pajak yang mempengaruhi penghasilan bersih. Kemudian, Pasal

14 ayat (1) dan ayat (7) dianggap

terlalu memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang seharusnya, menurut Pemohon, menjadi wewenang DPR melalui UU untuk menentukannya. Sementara wewenang untuk menentukan (menaikkan atau menurunkan) tarif pajak sebagaimana

diatur dalam Pasal 17 ayat (2) dan

(2a), menurut Pemohon, juga menjadi wewenang DPR melalui UU dan bukan pemerintah.

P a d a p r i n s i p n y a , P e m o h o n m e m p e r m a s a l a h k a n w e w e n a n g pemerintah yang terlalu besar, padahal

wewenang-wewenang yang dimaksud,

menurut Pemohon semestinya menjadi wewenang DPR melalui UU.

Sistem Pendelegasian

Terhadap permohonan itu, Majelis Hakim Konstitusi menasehati Pemohon untuk memperhatikan pula adanya sistem pendelegasian wewenang dalam struktur hukum ketatanegaraan di Indonesia. “Tolong dipertimbangkan keberadaan sistem ini agar sesuai dengan posita dan petitum permohonan

saudara,” ujar Arsyad Sanusi menasehati

Pemohon.

Majelis juga meminta Pemohon

mempertimbangkan Pasal 20 UUD 1945

yang menyatakan DPR memegang

kekuasaan membentuk undang-undang.

“Jadi kalau DPR dan pemerintah setuju (dengan pendelegasian itu), (artinya)

undang-undang sudah sah,” tutur

Achmad Sodiki.

Untuk itu, Majelis Hakim Konstitusi memberi waktu 14 hari bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonannya.

Foto: Humas MK/Wiwik BW

Pengujian UU Pemilu

M

ahkamah Konstitusi (MK)

kembali menguji Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008

tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu), Selasa

(20/10/2009), yang dimohonkan oleh

Drs. Dedy Djamaluddin Malik dalam

Perkara Nomor 119/PUU-VII/2009

dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan.

Sidang Panel dipimpin oleh Muhammad Alim dan didampingi oleh Abdul Mukthie Fadjar dan M. Arsyad Sanusi. Sementara dari pihak Pemohon dihadiri Kuasa Hukumnya Bambang Widjojanto dan Iskandar Sonhaji bersama Pemohon Prinsipal sendiri.

Pada sidang pendahuluan, Pemohon mengujikan Pasal 206 yang menyatakan “Dalam hal masih terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam BPP DPR yang baru sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 205, penetapan perolehan

kursi Partai Politik Peserta Pemilu

Bambang Widjojanto (duduk dua dari kanan) sedang dibantu staf persidangan MK sebelum memulai sidang uji UU Pemilu yang dimohonkan oleh Dedy Djamaluddin Malik (duduk, kanan), Selasa (20/10), di ruang sidang panel MK.

dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai Politik Peserta Pemilu di provinsi satu demi satu

berturut-turut sampai semua sisa kursi

habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak.”

Pemohon menganggap KPU telah mengalihkan hak atas perolehan kursi dari Pemohon kepada Partai Politik lain yang tidak memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) baru. Landasan

KPU adalah Pasal 25 ayat (1) huruf b Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009

yang menentukan Partai Politik peserta pemilu Anggota DPR tersebut memiliki sisa suara terbanyak di daerah pemilihan yang bersangkutan, bila dibandingkan dengan partai politik lainnya.

Dalam persidangan, Pemohon m e n g e m u k a k a n k e r u g i a n konstitusionalnya. “Frase ‘sisa suara terbanyak’ adalah multitafsir dan membuat penafsiran berbeda-beda dalam

penetapannya. “Kami mendapati tafsiran

yang berbeda-beda dan menimbulkan

adanya ketidakpastian hukum sekaligus perlakuan yang tidak sama di depan

hukum,” ungkap Bambang. “Tafsirannya

seharusnya adalah akumulasi sisa suara

dapil-dapil yang diakumulasi di tingkat provinsi,” lanjutnya.

Menurut Pemohon, tahap pertama yang dihitung adalah yang memenuhi BPP. Tahap kedua tidak menggunakan

BPP tapi memenuhi 50%. Tahap ketiga

dan selanjutnya, ditarik dulu semua sisa suara di provinsi, baru dirumuskan menjadi BPP baru. “Itu adalah logika

kami,” jelas Bambang.

Badrus selaku kuasa hukum Pemohon menjelaskan bahwa KPU mendasarkan tindakannya tersebut pada

Pasal 25 ayat (1) huruf b Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 yang menentukan

bahwa seorang peserta pemilu dari partai politik dapat menjadi anggota DPR jika partai politiknya, sebagai peserta pemilu anggota DPR, memiliki sisa suara terbanyak di daerah pemilihan yang bersangkutan, bila dibandingkan dengan partai politik lainnya.

Tindakan KPU tersebut, oleh Badrus, dianggap tidak sesuai dengan sistem proporsional karena telah menghilangkan suara dari partai politik yang telah memperoleh bilangan pembagi pemilih

dan semata-mata menggunakan

sistem suara terbanyak sebagaimana yang diterapkan dalam sistem distrik atau single-member district plurality. “Akibatnya perolehan kursi tidak memenuhi prinsip keterwakilan yang dikehendaki oleh UU No. 10 Tahun

2008,” paparnya.

Untuk itu, dalam petitumnya, P e m o h o n m e n g i n g i n k a n s u p a y a permohonannnya dikabulkan untuk seluruhnya dan MK menyatakan Pasal 206 UU Pemilu bertentangan dengan UUD

1945 sehingga tidak memiliki kekuatan

Dokumen terkait