BAB II DASAR TEORI
2.4 Pengujian Bahan
2.4.1 Pengujian Tarik
Pengujian tarik bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat mekanik dan perubahan-perubahan dari suatu logam terhadap pembebanan tarik. Pengujian dilakukan dengan percobaan-percobaan pada logam, untuk mendapatkan data-data
18
yang dapat menunjukkan sifat-sifat mekanik logam tersebut. Kekuatan tarik suatu benda uji, dapat ditentukan dengan menarik benda tersebut sampai putus. Keterangan-keterangan yang diperoleh pada penarikan sampai putus itu, dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran-ukuran benda uji itu. Untuk memperoleh nilai-nilai yang dapat dibandingkan adalah perlu untuk membuat ketentuan-ketentuan mengenai ukuran-ukuran serta bentuk dari benda uji itu, yaitu berupa batang uji tarik. Ketentuan-ketentuan itu ditetapkan dalam suatu standartisasi. Standartisasi tersebut mengulas bagaimana bentuk batang uji tarik untuk berbagai bahan dan bagaimana keterangan-keterangan yang bersangkutan harus diukur.
Batang uji tarik yang dipakai merupakan sebuah batang yang bundar atau pelat, dengan ujung-ujung tebal untuk pemasangan pada mesin uji tarik. Benda uji dijepit pada mesin dengan pembebanan secara perlahan dan terus meningkat sampai suatu beban tertentu dan akhirnya benda uji patah. Beban tarik yang bekerja pada benda uji menimbulkan pertambahan panjang, pengecilan diameter atau lebar pada tengah benda uji dan akhirnya putus. Sekarang ada kemungkinan untuk mengukur pada tiap saat dari percobaan gaya dan perpanjangan yang bersangkutan. Agar hasil dari berbagai percobaan dapat dibandingkan yang harus kita tentukan bukan gaya akan tetapi tegangan dan bukan perpanjangan tetapi regangan. Dengan tegangan kita artikan sebagai gaya tiap satuan luas. Perbandingan antara pertambahan panjang (ΔL) dengan panjang benda uji (L) disebut regangan (ε).
L
ΔL
Perbandingan antara perubahan penampang setelah pengujian dan penampang awal (sebelum pengujian) disebut kontraksi (ψ) atau pelentikan.
0 f 0 A A A ψ= −
Dengan : A0 : luas penampang awal benda uji Af : luas penampang akhir benda uji
σl σy σp σt σt = F/A L X T B Y P εx εT εB X’ T’ B’ σB L ΔL ε= 0
Gambar 2.2. Diagram Hubungan σ dan ε Uji Tarik Benda Liat (Sumber : Budi Setyahandana, Manufaktur)
Hubungan antara tegangan yang timbul σ (σ = F/A) dan regangan yang timbul (ε) selama pengujian digambarkan seperti gambar 2.3.
Dengan : σp : tegangan proporsional
σy : yielding strees (tegangan elastis) σl : tegangan luluh
σt : tegangan tarik σB : tegangan patah
εx,σt,σB : regangan pada saat pembebanan berada pada titik- titik X, T, B (XX’,//TT’,//BB’,PO’)
20
Tegangan pada titik P disebut tegangan batas proporsional (σp) yaitu tegangan tertinggi dimana hukum Hooke berlaku.
Hukum Hooke : A E 1F.L ΔL= E.A F.L = Dengan mengambil A F σ= dan L ΔL
ε= , maka hukum Hooke diatas dapat dinyatakan dalam bentuk σ = ε.E.
Apabila beban tarik diperbesar sampai titik y (ada pertambahan panjang ΔL), kemudian beban diturunkan sampai titik O (beban ditiadakan), maka benda uji akan kembali ke panjang semula (L). tetapi bila pembebanan berada diatas titik Y (dengan pertambahan panjang tertentu), kemudian diturunkan sampai titik O (beban ditiadakan), maka benda uji tidak akan kembali ke panjang semula. Dalam hal ini benda uji telah mempunyai regangan plastis. Dalam kondisi ini dapat disimpulkan bahwa titik Y merupakan titik batas elastis benda uji dan tegangan pada titik Y disebut tegangan elastis bahan (σy).
Tegangan maksimum σt disebut juga tegangan tarik (tensile strenght = ultimate stress) merupakan tegangan tertinggi yang dimiliki benda uji sebagai reaksi terhadap beban yang diberikan. Tegangan tarik adalah nilai yang paling sering dituliskan sebagai hasil uji tarik, tetapi pada kenyataannya nilai tersebut kurang bersifat mendasar dalam kaitannya dengan kekuatan bahan. Untuk logam-logam yang liat kekuatan tariknya harus dikaitkan dengan beban maksimum, dimana logam dapat menahan beban sesumbu untuk keadaan yang sangat terbatas. Setelah titik T, tegangan turun dan akhirnya benda uji putus pada saat tegangan σB. selama pembebanan berlangsung dari titik O sampai titik T, diameter atau
lebar benda uji mengecil secara seragam (terjadi pertambahan panjang). Selama pembebanan berlangsung dari titik T sampai titk B, diameter atau lebar benda uji berubah tidak seragam, melainkan terjadi pengecilan setempat lebih cepat dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya. Pengecilan diameter setempat disebut (necking) dan pada akhirnya benda uji putus pada daerah (necking) tersebut.
2.4.2 Uji Kekerasan Brinnel
Pengujian kekerasan menurut Brinell bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja yang ditekankan pada permukaan material tersebut. Disarankan agar pengujian Brinell ini hanya diperuntukkan material yang memiliki kekerasan Brinell sampai dengan 400 (ditulis 400 HB). Bila kekerasan lebih dari itu, disarankan memakai pengujian Rockwell atau Vickers. Cara pengujian Brinell adalah dengan menekankan bola baja yang dikeraskan dengan diameter D (mm) ke permukaan bagian material yang diuji dengan beban P (kg) tegak lurus terhadap permukaan tersebut, bebas hentakan (beban kejut) dan secara demikian berangsur-angsur sehingga beban uji tercapai dalam waktu 30 detik.
Pada umumnya pusat tempat pengujian berjarak sekurang-kurangnya 2 x d dari tepi material uji dan jarak tempat pengujian yang satu terhadap yang lain sekurang-kurangnya 3 x d. Garis tengah bekas indentor d harus diukur dengan ketelitian 0,01 mm. Untuk menghindari terjadinya deformasi pada material uji bagian bawah, maka ditentukan tebal minimal material uji adalah 17 x dalamnya bekas indentor.
22
Rumus angka kekerasan Brinell (BHN) :
(
2 2)
2D D D d P BHN − − = π Catatan : d min = 0,25 x D d maks = 0,5 x DDengan : P = gaya yang bekerja pada penetrator (kg) D = diameter indentor (mm) d = diameter bekas injakan (mm)
Dalam pengujian ini perlu diperhatikan jenis logam benda uji, ketebalan benda uji untuk menentukan besarnya beban dan diameter bola baja yang digunakan untuk melakukan penekanan, seperti terlihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Diameter penetrator dan beban yang digunakan pada Brinell. (Sumber : Setyahandana B : Materi Kuliah Bahan Teknik Manufaktur)
Tebal benda uji (mm) Diameter penetrator
1 -3 3 – 6 >6 D = 2,5 D = 5 D = 10 HB rata-rata 2 D P Bahan 160 160 – 80 80 – 20 30 10 5
Baja, besi cor
Kuningan, logam campur Cu Aluminium, tembaga 5 2 = D P 10 2 = D P 30 2 = D P Diameter penetrator D (mm) Gaya (kg) 2,5 31,25 62,5 187,5 5 125 250 750 10 500 1000 3000
2.4.3 Pengamatan Struktur Mikro
Pengamatan struktur mikro dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari sifat-sifat logam dan perlakuan panas dengan mikroskop, serta memeriksa struktur logam. Bila cahaya yang dipantulkan masuk ke dalam lensa mikroskop metal, permukaan akan tampak terlihat dengan jelas. Bila berkas dipantulkan dan tidak mengenai lensa, daerah itu akan tampak hitam. Batas butir akan tampak seperti mengelilingi setiap butir dan cahaya tidak dipantulkan ke dalam lensa. Jadi batas butir tampak seperti garis-garis hitam Pada gambar berikut akan tampak arah pemantulan cahaya.
A- contoh sedang diamati B- tampilan contoh di okuler
Gambar 2.3. Pemantulan cahaya pada benda
(Sumber : Avner, S.H., Introduction to Physical Metalurgy, McGraw Hill, Tokyo, Japan)
2.4.4 Pengamatan Bentuk Patahan
Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui bentuk patahan dari benda uji akibat pengujian tarik. Benda uji memperlihatkan beberapa jenis patahan yang berbeda-beda. Jenis patahan yang umum adalah patah getas dan patah ulet (liat). Pada gambar 2.4. memperlihatkan beberapa jenis patahan akibat tegangan tarik yang terjadi pada logam. Patah getas yang ditunjukkan pada gambar 2.4.a ditandai adanya pemisahan berarah tegak lurus terhadap tegangan tariknya. Patah liat
24
akibat kristal-kristal tunggal logam yang mengalami slip pada bidang dasar yang berurutan sampai akhirnya terpisahkan akibat tegangan geser yang ditunjukkan pada gambar 2.4.b. Gambar 2.4.c menunjukkan benda uji polikristal dari logam yang sangat liat, sedangkan pada gambar 2.4.d menunjukkan perpatahan dari benda uji yang cukup liat.
Gambar 2.4. Jenis-Jenis Perpatahan Pada Logam (Sumber : Dieter, G.E. : Metalurgi Mekanik, Hal 243)