• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Pengujian Toksisitas

Penelitian toksisitas konvensional pada hewan coba sering mengungkapkan serangkaian efek akibat pajanan toksikan dalam berbagai dosis untuk berbagai masa pajanan. Penelitian toksikologi biasanya dibagi menjadi tiga kategori:

1. Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan bahan kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.

2. Uji toksisitas jangka pendek (dikenal dengan subkronik) dilakukan dengan memberikan bahan tersebut berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima kali seminggu, selama jangka waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan, yaitu tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun untuk anjing. 3. Uji toksisitas jangka panjang dilakukan dengan memberikan bahan kimia

berulang-ulang selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari masa hidupnya, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet (Lu, 1994).

Uji toksisitas tidak dirancang untuk menunjukkan bahwa bahan kimia itu aman akan tetapi untuk mengkarakterisasi efek racun kimia yang dapat

dihasilkan. FDA (Food and Drug Administration), EPA (Environmental Protection Agency), dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah menuliskan standar cara bekerja yang baik di laboratorium (GLP) dengan prosedur yang telah ditetapkan. Pedoman ini diharapkan dapat mendukung pengenalan keamanan bahan kimia ke masyarakat ketika uji toksisitas dilakukan (Casarett, 2008).

Prinsip pengujian toksikologi dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Prinsip toksikologi (Casarett, 2008) Identifikasi bahan uji

Karakterisasi kimia

Tinjauan pustaka

Pengujian struktur / aktivitas

Pengujian hewan jangka pendek

Toksikologi genetik in vitro Toksisitas subkronik Metabolisme Oncogenesitas Toksisitas kronik Reproduktif /Teratologi

Suatu kerangka kerja umum bagaimana suatu bahan kimia baru dievaluasi toksisitasnya ditunjukkan pada Gambar 2.1. Studi awal membutuhkan evaluasi senyawa kimia untuk mengetahui kemurnian, stabilitas, kelarutan, dan faktor-faktor fisikokimia lainnya yang dapat mempengaruhi efektivitas senyawa uji. Kemudian struktur senyawa uji dibandingkan dengan struktur senyawa yang telah ada untuk mengetahui informasi toksisitasnya. Hubungan struktur aktivitas dapat ditinjau dari literatur toksikologi yang ada. Setelah informasi dasar telah dievaluasi, senyawa uji dapat diberikan kepada hewan untuk studi dosis toksisitas akut dan berulang (Casarett, 2008).

2.5.1 Uji toksisitas akut

Uji toksisitas akut secara umum merupakan uji yang pertama dilakukan. Uji ini memberikan data pada toksisitas relatif yang meningkat dari dosis tunggal hingga dosis berganda. Uji standar tersedia dalam pemberian secara oral, dermal dan inhalasi (Gupta, et al., 2012). Parameter-parameter dasar dalam pengujian toksisitas akut dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Parameter dasar pengujian toksisitas akut

Spesies Tikus lebih disukai pada uji secara oral dan inhalasi, kelinci lebih disukai pada uji secara dermal

Umur Dewasa

Jumlah Hewan 5 setiap jenis kelamin per level dosis

Dosis Tiga level dosis yang direkomendasi, pemberian secara dosis tunggal selama 24 jam untuk uji oral dan dermal dan 4 jam untuk uji inhalasi

Waktu Pengamatan

14 hari (Gupta, et al., 2012)

Penelitian uji toksisitas akut sebagian besar dirancang untuk menentukan dosis letal median (LD50) toksikan. LD50 didefenisikan sebagai

“dosis tunggal suatu bahan yang secara statistik diharapkan akan membunuh 50% hewan coba”. Pengujian ini juga dapat menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya, serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Lu, 1994). LD50 adalah dosis perkiraan bahwa ketika racun itu diberikan

langsung kepada hewan uji, menghasilkan kematian 50% dari populasi di bawah kondisi yang ditentukan dari tes atau LC50 merupakan konsentrasi perkiraan, dalam lingkungan hewan yang terpapar, yang akan membunuh 50% dari populasi di bawah kondisi yang ditentukan dari tes (Hodgson dan Levi, 2000).

Nilai LD50 sangat berguna untuk hal-hal sebagai berikut:

1. Klasifikasi lazim zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya adalah sebagai berikut:

Kategori LD50

Supertoksik 5 mg/kg atau kurang Amat sangat toksik 5-50 mg/kg

Sangat toksik 50-500 mg/kg Toksik sedang 0,5-5 g/kg Toksik ringan 5-15 g/kg Praktis tidak toksik >15 g/kg

2. Evaluasi dampak keracunan yang tidak disengaja; perencanaan penelitian toksisitas subkronik dan kronik pada hewan, memberikan informasi tentang mekanisme toksisitas, pengaruh umur, seks, faktor penjamu dan faktor lingkungan lainnya dan variasi respons antarspesies dan antarstrain hewan; memberikan informasi tentang reaktivitas suatu populasi hewan

Faktor-faktor yang berpengaruh pada LD50 sangat bervariasi antara

jenis yang satu dengan jenis yang lain dan antara individu yang satu dengan individu yang lain dalam satu jenis. Beberapa faktor tersebut antara lain (Retnomurti, 2008):

a. Spesies, strain dan keragaman individu

Setiap spesies dan strain yang berbeda memiliki sistem metabolisme dan detoksikasi yang berbeda. Setiap spesies mempunyai perbedaan kemampuan bioaktivasi dan toksikasi suatu zat.

b. Perbedaan jenis kelamin

Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi toksisitas akut yang disebabkan oleh pengaruh langsung dari kelenjar endokrin. Hewan betina mempunyai sistem hormonal yang berbeda dengan hewan jantan sehingga menyebabkan perbedaan kepekaan terhadap suatu toksikan.

c. Umur

Hewan-hewan yang lebih muda memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap obat karena enzim untuk biotransformasi masih kurang dan fungsi ginjal belum sempurna. Pada hewan yang tua kepekaan individu meningkat karena fungsi biotransformasi dan ekskresi sudah menurun.

d. Berat badan

Penentuan dosis dalam pengujian toksisitas akut dapat didasarkan pada berat badan. Pada spesies yang sama, berat badan yang berbeda dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda pula, semakin besar berat badan maka jumlah dosis yang diberikan semakin besar.

e. Cara pemberian

Lethal dosis juga dapat dipengaruhi oleh cara pemberian. Pemberian obat peroral tidak langsung didistribusikan ke seluruh tubuh. Pemberian obat atau toksikan peroral didistribusikan ke seluruh tubuh setelah terjadi penyerapan di saluran cerna sehingga mempengaruhi kecepatan metabolisme suatu zat di dalam tubuh.

f. Faktor lingkungan

Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi toksisitas akut antara lain temperatur, kelembaban, iklim, perbedaan siang dan malam. Perbedaan temperatur suatu tempat akan mempengaruhi keadaan fisiologis suatu hewan. g. Kesehatan hewan

Status hewan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap suatu toksikan. Kesehatan hewan sangat dipengaruhi oleh kondisi hewan dan lingkungan. Hewan yang tidak sehat dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda dibandingkan dengan nilai LD50 yang didapatkan dari hewan sehat.

h. Diet

Komposisi makanan hewan percobaan dapat mempengaruhi nilai LD50. Komposisi makanan akan mempengaruhi status kesehatan hewan percobaan. 2.5.2 Uji toksisitas subkronik

Uji toksisitas subkronik dilakukan dengan memberikan bahan berulang-ulang, biasanya setiap hari atau lima hari seminggu, selama jangka waktu 10% dari masa hidup hewan (Retnomurti, 2008). Uji toksisitas subkronis meneliti toksisitas yang disebabkan oleh dosis berulang dalam jangka waktu tertentu

(Hodgson dan Levi, 2000). Paparan subkronis dapat bertahan selama periode waktu yang berbeda, tapi 90 hari adalah durasi uji yang paling umum. Tujuan utama uji subkronik adalah untuk mencapai NOAEL (no-observed-adverse effect level) dan untuk mengidentifikasi lebih lanjut ciri organ tertentu atau organ yang terpapar senyawa uji setelah pemberian secara berulang. Studi subkronik dapat dilakukan pada dua spesies (biasanya tikus dan anjing untuk FDA; dan mencit untuk EPA) dengan rute pemberian yang lazim yaitu oral. Setidaknya ada tiga dosis yang diberikan (dosis tinggi yang menghasilkan toksisitas tetapi tidak menyebabkan lebih dari 10% korban jiwa, dosis rendah yang tidak menghasilkan efek beracun jelas, dan dosis intermediate) dengan 10 sampai 20 tikus dan 4 sampai 6 anjing dari masing-masing jenis kelamin per dosis (Casarett, 2008). Lama penelitian pada tikus biasanya 90 hari. Pada anjing masa itu sering diperpanjang sampai enam bulan atau bahkan satu atau dua tahun (Lu, 1994).

Pengamatan yang dilakukan dalam pengujian toksisitas subkronis adalah pengamatan pada awal pemberian senyawa meliputi penampakan fisik (kematian, membran mucus, kulit, dan lain sebagainya), konsumsi makanan, berat badan, respon neurologi, kelakuan yang tidak normal, pernafasan, ECG, EEG, hematologi, pemeriksaan darah, urin. Pengamatan pada akhir pengujian meliputi nekropsi dan histologi (Hogson dan Levi, 2000).

2.5.3 Uji toksisitas kronik

Uji toksisitas kronis menentukan toksisitas dari keberadaan bahan yang sebagian besar terdapat dalam kehidupan. Mereka mirip dengan tes subkronis

tetapi memerlukan waktu yang lebih lama dan melibatkan kelompok yang lebih besar dari hewan (Gupta, et al., 2012). Pada tikus, paparan kronik biasanya 6 bulan sampai 2 tahun. Untuk hewan selain tikus biasanya selama satu tahun tetapi mungkin lebih lama (Casarett, 2008).

Tujuan uji toksisitas kronik adalah menentukan sifat toksisitas zat kimia dan menentukan NOAELnya. Protokol yang biasa digunakan pada pengujian subkronik dan kronik melibatkan kelompok hewan mengandung jumlah yang sama dari kedua jenis kelamin (jantan dan betina) menerima setidaknya tiga tingkat dosis obat dan satu kelompok kontrol. Hewan-hewan ini diobservasi setiap hari terhadap tanda-tanda klinis toksisitas. Berat badan dan konsumsi makanan diukur secara berkala. Ada tiga parameter, yaitu tanda-tanda klinis, berat badan, dan konsumsi makanan. Profil kimia hematologi dan serum lengkap diukur setidaknya pada akhir pengujian (Gupta, et al., 2012).

Dokumen terkait