• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Keterangan DPR RI

2. Pengujian UU Kehutanan

Pemohon dalam permohonan a quo berpendapat bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan.

Terhadap dalil yang dikemukakan Pemohon tersebut, DPR berpandangan dengan memberikan keterangan/penjelasan sebagai berikut:

1. Bahwa, hutan merupakan karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugrahkan kepada bangsa Indonesia, karenanya hutan merupakan termasuk kekayaan alam yang dikuasai oleh negara untuk memberikan manfaat serba guna bagi umat manusia. Oleh karena itu hutan wajib diurus dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Selain itu hutan juga menjadi salah satu penentu system penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat cenderung menurun kondisinya. Untuk itu keberadaan hutan harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, professional, serta bertanggung jawab. Pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, hendaknya mampu menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional.

2. Bahwa, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pengertian mengenai dikuasai oleh negara perlu juga merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, dalam Pertimbangan Hukumnya halaman 334, yang pada pokoknya menyatakan:

“bahwa perkataan “dikuasai oleh Negara” haruslah diartikan mencakup

makna penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD Tahun 1945 memberikan mandate kepada Negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh Negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarka dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan (regelandaad) oleh Negara melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui melalui mana Negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh Negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat,…”

Pengertian tersebut mengandung arti bahwa penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan kepemilikan tetapi negara memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Berdasarkan pemahaman tersebut Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. 3. Negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana diamanatkan

dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengandung makna bahwa negara dalam menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum antara lain menempatkan hukum pada tempat tertinggi (supremacy of law), pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan dan legalitas hukum. Sejalan dengan prinsip negara hukum, dan berdasarkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, hutan yang termasuk kekayaan alam dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk kepentingan nasional, sehingga negara mengatur kewenangan penggunaan kawasan hutan dengan memberikan kewenangan kepada Pemerintah. Hal inilah yang menjadi dasar konstitusional memberikan kewenangan kepada menteri untuk memberikan izin pinjam pakai sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) UU Kehutanan. Jika wewenang pemberian izin pinjam pakai diserahkan kepada kepala daerah tentu hal ini akan memungkinkan pengelolaan hutan berdasarkan kepentingan daerah masing-masing yang justru dapat bertentangan dengan kepentingan nasional dan juga jelas akan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

4. Bahwa, ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan yang mengatur Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan

umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri” berlaku untuk semua orang

huruf g UU a quo diberlakukan untuk menjamin kepastian hukum terhadap pelanggaran atas larangan untuk melakukan kegiatan penyelidikan umum, atau eksplorasi atau eksploitasi tanpa izin Menteri. Karenanya, menurut DPR ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan tidak ada relevansinya dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, sehinga jelas tidak berdasar jika ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan dipertentangkan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan pada dalil-dalil yang dikemuakan, DPR berpandangan bahwa ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Kehutanan tidak menyebabkan hilangnya atau berpotensi menghilangkan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon, dan karenanya permohonan pengujian materi UU Kehutanan terhadap Undang-Undang a quo tersebut tidak beralasan demi hukum. Dengan demikian, maka kami berpandangan bahwa ketentuan Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang a quo sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 dan Pasal 18A UUD 1945.

Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil di atas, DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing)

sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima;

2. Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya

permohonan a quo tidak dapat diterima;

3. Menyatakan Keterangan DPR RI untuk seluruhnya;

4. Menyatakan Pasal 38 (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi undang-undang tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 dan Pasal 18A UUD 1945.

5. Menyatakan Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan menjadi undang-undang tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

[2.6] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan kesimpulan tertulis bertanggal 27 April 2011 dan kesimpulan Pemerintah tanpa tanggal bulan April 2011, yang masing-masing diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 April 2011 dan 26 April 2011 yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;