• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengukuran nilai indeks glikemik dilakukan pada mi kering jagung tanpa HMT dan mi kering jagung HMT terbaik. Terdapat dua cara penyajian yaitu tanpa kuah sop dan dengan kuah sop. Kuah sop dibuat dari 1.5 g bawang putih, 0.1 g lada, dan 2.1 g garam dalam 200 ml air. Komposisi proksimat kuah sop yang digunakan terdapat pada Lampiran 6a.

Mi yang disajikan merupakan mi jagung kering setelah rehidrasi. Sejumlah mi yang memiliki kandungan karbohidrat sebesar 50 g direndam dalam air yang telah didihkan selama 3 menit. Lamanya waktu pemasakan berdasarkan data waktu optimum pemasakan. Contoh perhitungan berat sampel yang digunakan terdapat pada Lampiran 6b.

Uji indeks glisemik dilakukan dengan menggunakan darah manusia sebagai obyek penelitian (in vivo). Sukarelawan yang digunakan berjumlah 8 orang (Lampiran 6c). Sukarelawan yang ikut serta dalam analisis ini adalah sukarelawan yang telah lolos seleksi, untuk meminimalisasi variasi yang mungkin timbul antar sukarelawan. Syarat-syarat sukarelawan yang digunakan dalam analisis ini adalah sehat, non-diabetes, dan memiliki nilai IMT (Indeks Massa Tubuh) dalam kisaran normal atau 18.5-25 Kg/m2.

Setiap sukarelawan diberikan sampel mi yang jumlahnya setara dengan 50

gram karbohidrat total. Kadar karbohidrat mi diperoleh melalui analisis proksimat (by difference). Sampel yang dilakukan uji indeks glikemik berjumlah 2 sampel

dengan 2 cara penyajian, dimana 1 sampel adalah kontrol sehingga terdapat 4 sampel. Penyajian pertama adalah tanpa kuah dan yang kedua menggunakan kuah. Sampel yang disajikan sebelumnya dimasak terlebih dahulu. Pengukuran sampel diberi selang waktu setiap 2 hari untuk menstabilkan kondisi pencernaan tubuh.

Standar yang digunakan adalah 50 gram glukosa bubuk yang telah dilarutkan dalam 150 ml air. Pengukuran kadar gula darah dilakukan setelah periode puasa selama 12 jam. Pengambilan darah dilakukan dari pembuluh kapiler jari tangan, dalam selang waktu 2 jam, yaitu 0 menit (kadar gula darah puasa), 30

menit, 60 menit, 90 menit, dan 120 menit setelah konsumsi sampel. Pengukuran kadar gula darah dilakukan dengan menggunakan glucometer merek one touch ultra.

Nilai kadar gula darah ini kemudian diplotkan menjadi sebuah grafik dengan sumbu x sebagai waktu pengukuran dan sumbu y sebagai kadar gula darah. Indeks glisemik dihitung sebagai perbandingan antara luas kurva kenaikan kadar gula darah setelah mengkonsumsi sampel dan glukosa sebagai standar (Haliza et al, 2006). Nilai indeks glisemik akhir adalah nilai rata-rata dari 8 orang sukarelawan tersebut.

E Rancangan penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap modifikasi tepung jagung dan analisis karakteristiknya akan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial dengan tiga kali pengulangan dan dua faktor, yaitu suhu dan waktu pemanasan. Faktor suhu memiliki 3 level, yaitu 100, 110, dan 120oC, sedangkan faktor waktu memiliki 3 level, yaitu 3, 6, dan 9 jam.

Rancangan penelitian untuk menentukan kondisi proses modifikasi tepung jagung terbaik akan menggunakan rancangan faktorial acak lengkap dengan model linier sebagai berikut:

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij+ έijk Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan akibat faktor A (suhu pemanasan) level ke i, faktor B (suhu pemanasan) lavel ke j, dan ulangan ke k.

µ = nilai tengah

Ai = pengaruh suhu pemanasan level ke i Bj = pengaruh waktu pemanasan level ke j (AB)ij = pengaruh interaksi faktor A dan B έijk = galat percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan pada tahap penentuan formulasi mi jagung kering adalah rancangan acak lengkap satu faktor, yaitu formulasi dengan 5 level (Tabel 6) serta tiga kali ulangan. Model liner rancangan acak lengkap yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yij = µ + Ai+ έij Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan akibat faktor A level ke i dan ulangan ke j. µ = nilai tengah

Ai = pengaruh formulasi level ke i έijk = galat percobaan

Analisis data pada uji organoleptik menggunakan anova satu faktor dengan uji lajut LSD (Least Significant Difference).

Analisis data pada penelitian tahap 3 menggunakan uji t dengan menggunakan program Minitab 15. Analisis yang dilakukan adalah tepung jagung tanpa HMT dengan tepung jagung perlakuan HMT dan mi kering jagung tanpa HMT dengan mi kering jagung substitusi tepung jagung HMT.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A Penentuan suhu dan waktu optimum untuk modifikasi tepung jagung dengan metode Heat Moisture Treatment (HMT)

Kondisi kadar air tepung jagung pada proses HMT adalah 24%. Penentuan kondisi kadar air tersebut berdasarkan kepada Adebowale et al (2005), yang menunjukkan bahwa perlakuan HMT dengan kondisi kadar air 24% pada pati sorgum merah memiliki nilai penurunan viskositas selama pemanasan (Breakdown) terendah. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi HMT dengan kadar 24% pada pati sogum merah tersebut memiliki profil gelatinisasi dengan viskositas yang stabil pada proses pemanasan. Karakteristik tersebut diharapkan sebagai bahan baku mi jagung, dimana dengan karakteristik tersebut dapat memperbaiki karakteristik fisik mi jagung yaitu menurunkan kehilangan padatan selama pemasakan (KPAP) dan kelengketan, serta meningkatkan elastisitas. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Purwani et al (2006), yang menunjukkan bahwa pati sagu yang diberi perlakuan HMT memiliki viskositas yang lebih stabil selama pemanasan dibandingkan pati sagu tanpa perlakuan HMT, dimana dengan karakteristik pati sagu HMT tersebut dapat menurunakan KPAP dan kelengketan, serta meningkatkan elastisitas mi sagu.

Hasil dari penambahan air pada tepung jagung sebanyak 15.6%, 21%, dan 31.2% menghasilkan kadar air tepung berurutan adalah 19.4 + 0.96%, 23.54 + 0.68, dan 30.7 + 0.41 % pada kondisi kadar air awal tepung adalah 9.26 + 0.6%.

Berdasarkan hasil tersebut maka diperoleh persamaan regresi yaitu y = 0.687x + 8.44 (Lampiran 7), sehingga untuk mencapai kadar air yang

diinginkan (24 %) dibutuhkan penambahan air sebanyak 22.65 % pada kadar air awal tepung jagung 9.26 + 0.6%. Persamaan regresi (Gambar 8) menggambarkan bahwa setiap kenaikan penambahan air 1% pada tepung jagung dapat menaikan kadar air sebesar 0.69%, maka dapat ditentukan jumlah penambahan air pada kondisi kadar air awal yang berbeda.

Perlakuan suhu HMT pada tepung jagung yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100, 110, dan 120oC. Suhu yang digunakan tersebut merupakan suhu diatas suhu gelatinisasi tepung jagung varietas Pioneer 21.

Berdasarkan Collado et al (2001) proses modifikasi pati secara fisik dengan metode HMT dilakukan pada suhu diatas suhu gelatinisasi. Hasil pengukuran profil gelatinisasi tepung jagung dengan menggunakan Brabender (Lampiran 8b) menunjukkan bahwa suhu gelatinisasi tepung jagung varietas Pioneer 21 adalah 92.25oC. Hasil pengukuran tersebut mendekati suhu gelatinisasi tepung jagung Pioneer 21 yang diperoleh Muhandri (2006), yaitu 92oC.

Gambar 8 Hubungan antara persentase penambahan air (15.6%, 21%, dan 31.2%) dengan kadar air akhir tepung jagung.

Perlakuan waktu HMT pada tepung jagung yang digunakan dalam penelitian ini adalah 3, 6, dan 9 jam. Pemilihan waktu tersebut berdasarkan kepada hasil pengukuran profil geatinisasi tepung jagung yang diberi perlakuan HMT pada suhu 110oC selama 6, 12, dan 20 jam. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada perlakuan waktu selama 6 jam memiliki profil gelatinisasi yang tidak mengalami penurunan viskositas selama pemanasan pada suhu 95oC yang dipertahankan selama 20 menit (Gambar 9). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa tepung jagung yang diberi perlakuan HMT suhu 110oC selama 6 jam memiliki profil gelatinisasi dengan viskositas yang stabil pada proses pemanasan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya karakteristik tersebut diharapkan sebagai bahan baku mi jagung untuk memperbaiki karakteristik fisik mi jagung yaitu KPAP, kelengketan, dan elastisitas. Dengan demikian waktu pemanasan pada proses HMT yang digunakan dalam penelitian ini adalah berkisar antara 6 jam, yaitu 3, 6, dan 9 jam.

y = 0.687x + 8.440 R² = 0.980 0 10 20 30 40 0 10 20 30 40 K ad ar air ( % )

Gambar 9 Pengaruh suhu pemanasan 110oC selama 3, 6, dan 9 jam pada proses modifikasi dengan HMT terhadap profil gelatinisasi.

1 Pengaruh perlakuan HMT terhadap karakteristik fisik tepung jagung a Profil gelatinisasi

Hasil analisis anova pada profil gelatinisasi (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan HMT pada tepung jagung mempengaruhi profil gelatinisasi tepung jagung. Profil gelatinisasi yang diamati diantaranya adalah suhu awal gelatinisasi (PT), viskositas puncak (PV), kestabilan viskositas selama pemanasan atau breakdown, perubahan viskositas selama pendinginan atau setback.

Analisis anova terhadap suhu awal gelatinisasi menunjukkan bahwa adanya pengaruh suhu pemanasan, tetapi waktu pemanasan dan interaksi antara suhu dan waktu pemanasan menunjukkan tidak adanya pengaruh (Lampiran 9a). Semakin tingginya suhu pemanasan pada proses HMT menyebabkan semakin tinggi pula suhu awal gelatinisasi. Suhu pemanasan 100oC berdasarkan uji lanjut

LSD (α=0.05) tidak berbeda nyata dengan tanpa HMT dan 110o

C, tetapi suhu 110oC berbeda nyata dengan tanpa HMT, sedangkan suhu 110oC tidak berbeda nyata pula dengan 120oC. Tepung jagung HMT memiliki suhu awal gelatinisasi (79.32oC hingga 86.88oC) yang lebih tinggi dari pada tepung jagung kontrol yaitu 76.37oC (Tabel 7). Suhu awal gelatinisasi berdasarkan hasil Beta dan Corke (2001), berkorelasi negatif dengan kehilangan padatan selama pemasakan (KPAP) mi sorgum yang dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut, terjadinya peningkatan suhu awal geatinisasi dapat memperbaiki karakteristik fisik mi kering jagung yaitu menurunkan KPAP. 0 20 40 60 80 100 -200 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 0 20 40 60 80 100 120 S u h u (oC ) V isk ositas (BU) Waktu (menit)

Tepung jagung (kontrol) T=110 dan t= 6jam

T=110 dan t= 12jam T=110 dan t=20jam

Tabel 7 Pengaruh suhu dan waktu pemanasan pada proses modifikasi dengan HMT terhadap profil gelatinisasi tepung jagung Perlakuan PT (oC) PV (cP) HPV (cP) BD (cP) CPV (cP) SB (cP) Suhu (oC) Waktu (jam)

Kontrol 76.37 + 0.89 c 1334.00 + 15.59 a 972.00 + 5.20 a 362.00 + 20.78 a 1835.33 + 30.60 a 863.33 + 35.80 a 100 3 79.32 + 3.65 bc 823.67 + 52.37 b 790.67 + 47.18 b 33.00 + 8.72 b 1137.00 + 68.42 b 346.33 + 21.57 b 6 79.03 + 4.94 bc 743.00 + 14.80 bc 708.00 + 7.21 bcd 35.00 + 7.81 b 1001.00 + 38.57 c 293.00 + 32.92 ef 9 80.15 + 0.52 abc 708.67 + 79.10 cd 677.00 + 65.82 cde 31.67 + 13.28 b 863.67 + 80.83 de 186.67 + 15. 01 de 110 3 79.08 + 7.75 bc 661.67 + 30.92 cd 642.67 + 21.36 def 19.00 + 9.64 b 846.00 + 47.63 e 203.33 + 26.27 ef 6 83.97 + 0.06 ab 636.00 + 81.41 d 609.33 + 68.70 ef 26.67 + 12.70 b 771.00 + 95.26 fe 161.67 + 26.56 ef 9 84.24 + 1.69 ab 604.67 + 60.52 de 575.00 + 53.25 fg 29.67 + 8.39 b 722.00 + 83.16 f 147.00 + 30.27 fg 120 3 82.02 + 0.49 abc 764.67 + 40.99 bc 734.00 + 31.18 bc 30.67 + 9.81 b 972.67 + 20.21 cd 238.67 + 10.97 d 6 84.22 + 0.43 ab 523.67 + 60.12 e 496.67 + 50.66 g 27.00 + 13.00 b 602.67 + 42.45 g 106.00 + 10.54 gh 9 86.88 + 5.12 a 417.67 + 77.57 f 395.00 + 65.38 h 22.67 + 12.34 b 474.00 + 91.00 h 79.00 + 26.29 h Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada uji LSD (α = 0.05).

PT = Pasting Temperature (Suhu awal gelatinisasi dalam oC) PV = Peak Viscosity (Viskositas puncak dalam cP)

HPV = High Peak Viscosity (Viskositas pada suhu 95oC setelah 5 menit

BD = Breakdown (Perubahan viskositas selama pemanasan atau HPV – PV dalam cP) CPV = Cold Peak Viscosity (Viskositas pada suhu 50oC setelah 5 menit)

85

Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu dimana granula pati mulai menyerap air atau dapat terlihat dengan mulai meningkatnya viskositas. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa dengan semakin tingginya suhu selama HMT menyebabkan granula pati lebih resisten terhadap panas, sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi lagi untuk mulai tergelatinisasi (menyerap air). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Takahashi et al

(2005), proses HMT akan menyebabkan pergeseran (peningkatan) suhu awal gelatinisasi dan suhu gelatinisasi. Hal tersebut terjadi karena selama proses HMT memungkinkan terbentuknya ikatan baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian kristalin dengan amilopektin pada bagian amorpous, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi et al 2005).

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa perlakuan HMT dapat menyebabkan peningkatan suhu awal gelatinisasi pada pati ubi jalar (Collado et al

2001), pati jagung (Pukkahuta et al 2008), dan tepung beras (Takahashi et al

2005). Terbentuknya formasi kristalin (struktur yang lebih kuat dan rapat) baru selama HMT menyebabkan pati membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menyerap air. Hal tersebut didukung dengan pernyataan yang mengatakan bahwa bagian amorpous pati lebih mudah menyerap air karena memiliki struktur yang lebih renggang (Jacobs et al 1998).

Viskositas puncak menunjukkan kondisi awal granula pati tergelatinisasi atau mencapai pengembangan maksimum hingga selanjutnya akan pecah. Tepung jagung HMT memiliki kisaran viskositas puncak antara 823.63 cP hingga 417.67cP, sedangkan tepung jagung tanpa perlakuan 1334 cP (Tabel 7). Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa terjadi penurunan viskositas puncak pada tepung jagung setelah diberi perlakuan HMT. Penurunan viskositas puncak mengindikasikan terjadi pula penurunan kemampuan untuk mengembang dan polimer yang lepas selama pemanasan. Hal tersebut berdasarkan kepada Newport Scientific (1998) yang dikutip oleh Beta dan Corke (2001), bahwa viskositas puncak mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki korelasi positif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas. Berdasarkan hal tersebut maka terjadinya penurunan viskositas

86

puncak merupakan salah satu karakteristik yang diharapkan untuk memperbaiki karakteristik fisik mi jagung kering. Karakteristik fisik mi tersebut adalah kehilangan padatan selama pemasakan (KPAP). Rendahnya viskositas puncak menandakan rendah pula jumlah polimer lepas pada produk akhir, sehingga diharapkan dapat menurunkan KPAP mi jagung setelah tepung jagung HMT tersebut diaplikasikan pada pembuatan mi jagung. Menurut Beta dan Corke (2001), viskositas puncak berkorelasi positif dengan kehilangan padatan selama pemasakan (KPAP) mi pati sorgum yang dihasilkan.

Analisis anova menunjukkan bahwa adanya pengaruh suhu dan waktu pemanasan selama proses HMT, serta interaksi keduanya terhadap viskositas puncak (Lampiran 9b). Uji lanjut LSD menunjukkan semakin tingginya suhu dan lamanya waktu pemanasan menyebabkan penurunan viskositas puncak, tetapi suhu 110oC tidak berbeda nyata (α = 0.05) dengan 120oC dan waktu 6 jam tidak

berbeda nyata (α = 0.05) dengan 9 jam. Proses HMT dapat menyebabkan

terbentuknya ikatan baru antara amilosa dengan amilosa, amilosa dengan amilopektin, dan amilosa dengan lemak (Jacobs et al 1998). Berdasarkan hal tersebut diduga karena semakin tinggi dan lamanya kontak panas pembentukan kompleks antara amilosa dengan amilosa, amilosa dengan amilopektin, serta amliosa dengan lemak lebih cepat terjadi dan akan lebih banyak terbentuk pada waktu pemanasan yang sama. Penelitian lain mengatakan bahwa penurunan viskositas selama HMT disebabkan karena meningkatnya ikatan hidrogen karena terbentuknya kompleks antar amilosa dan amilosa dengan lemak (Miyoshi 2002).

Hasil penelitian menunjukkan kesamaan dengan Pukkahuta et al (2008), dimana semakin lama waktu pemanasan pada proses HMT akan menurunkan viskositas puncak pada pati jagung. Tetapi dalam penelitian ini, kenaikan suhu dari 110oC menjadi 120oC dan waktu dari 6 jam menjadi 9 jam menunjukkan penurunan viskositas puncak yang saling tidak berbeda nyata. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa proses pembentukan kompleks yang terjadi selama proses HMT tersebut dibatasi oleh komponen tertentu. Komponen yang membatasi tersebut diduga adalah jumlah ketersedian amilosa, amilopektin, dan lemak yang memungkinkan dapat saling berikatan. Oleh sebab itu dengan semakin tingginya

87

suhu dan waktu pemanasan pada proses HMT tidak memberikan perubahan viskositas puncak yang berarti.

Breakdown atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan kestabilan pasta selama pemanasan, dimana semakin rendah breakdown maka pasta yang terbentuk akan semakin stabil serhadap panas (Widaningrum dan Purwani, 2006). Uji anova menunjukkan bahwa, terdapat pengaruh perlakuan HMT pada tepung jagung terhadap tingkat kestabilan pasta selama pemanasan (Lampiran 9c). Uji lanjut LSD menunjukkan bahwa semua kombinasi perlakuan HMT pada tepung jagung berbeda nyata dengan tepung jagung tanpa perlakuan HMT (kontrol). Breakdown tepung jagung HMT berkisar antara 19 cP hingga 35 cP, sedangkan tepung jagung tanpa perlakuan HMT (kontrol) memiliki

breakdown yang lebih tinggi yaitu 362 cP.

Semua kombinasi perlakuan HMT dapat menurunkan breakdown, dimana antar kombinasi perlakuan berdasarkan uji lanjut LSD tidak berbeda nyata

(α = 0.05). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa perlakuan HMT

pada tepung jagung dapat menurunkan breakdown atau dapat diartikan perlakuan HMT pada tepung jagung dapat meningkatkan kestabilan tepung jagung terhadap panas. Penurunan breakdown tepung jagung yang diberi perlakuan HMT sekitar 91% dari tepung jagung tanpa perlakuan HMT (kontrol). Hasil yang diperoleh sesuai dengan hasil penelitian Pukkahuta et al (2008), yang menyatakan bahwa perlakuan HMT pada pati jagung dapat menurunkan breakdown yang disebabkan karena terbentuknya ikatan antara amilosa dengan lemak yang terdapat dalam tepung jagung. Didukung oleh hasil penelitian Miyoshi (2002), bahwa penambahan lemak dapat meningkatkan stabilitas pati kentang terhadap panas selama proses gelatinisasi.

Nilai breakdown yang diharapkan sebagai bahan baku mi jagung adalah yang memiliki nilai rendah. Breakdown yang rendah diharapkan dapat memperbaiki karakteristik fisik mi jagung diantaranya adalah kekompakan tekstur mi selama pemasakan. Tekstur yang kompak atau tidak hancur selama pemasakan diharapkan dapat menghasilkan mi dengan KPAP dan kelengketan yang rendah dan lebih elastis. Hal tersebut didasarkan kepada pengertian nilai breakdown yang merupakan tingkat kestabilan granula pati selama pemanasan (Beta dan Corke

88

2001). Menurut Beta dan Corke (2001), breakdown memiliki korelasi positif dengan kualitas fisik mi sorgum yang dihasilkan yaitu kehilangan padatan selama pemasakan (KPAP).

Setback atau perubahan viskositas selama pendinginan. setback diperoleh dari selisih antara viskositas akhir dengan viskositas setelah pemanasan (T = 95oC selama t = 5 menit). Semakin tingginya nilai setback maka menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk gel (meningkatkan viskositas) selama pendinginan. Tingginya nilai setback menandakan tingginya kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi. Hal tersebut didasarkan pada pengertian retrogradasi yaitu terbentuknya jaringan mikrokristal dari molekul- molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula setelah pasta didinginkan (Winarno 2004). Menurut Beta dan Corke (2001), setback merupakan pengukuran rekristalisasi dari pati tergelatinisasi selama pendinginan.

Nilai tepung jagung HMT adalah antara 79 cP hingga 46.33 cP, sedangkan tepung jagung tanpa perlakuan HMT memiliki setback yang lebih tinggi yaitu 863.33 cP. Analisis anova menunjukkan adanya pengaruh suhu, waktu, dan interaksi keduanya terhadap nilai setback (Lampiran 9d). Uji lanjut LSD menunjukkan bahwa semua interaksi perlakuan suhu dan waktu pemanasan memiliki setback yang berbeda nyata (α =0.05) dengan tepung jagung tanpa perlakuan atau kontrol (Tabel 7). Berdasarkan hal tersebut maka perlakuan HMT pada tepung jagung dapat menurunkan setback. Hasil tersebut sama dengan beberapa penelitian lain yang menunjukkan bahwa proses HMT akan menurunkan nilai setback pada pati jagung dan kentang (Miyoshi 2002), serta tepung beras (Takahashi 2005).

Penurunan nilai setback merupakan salah satu karakteristik fisik dari tepung jagung yang diharapkan untuk memperbaiki karakteristik fisik mi jagung yaitu tingkat kekerasan. Rendahnya nilai setback diharapkan dapat menurunkan tingkat kekerasan mi kering jagung setelah rehidrasi. Berdasarkan Beta dan Corke (2001), diperoleh korelasi positif antara nilai setback dengan tingkat kekerasan mi pati sorgum.

89

Pengaruh waktu dan suhu pemanasan pada proses HMT tepung jagung menyebabkan penurunan nilai setback. Uji lanjut LSD (Lampiran 9d) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga perlakuan waktu pemanasan, sedangkan perlakuan suhu 100oC berbeda dengan 110oC dan 120oC, tetapi 110oC dan 120oC tidak berbeda nyata. Hasil tersebut sesuai dengan Pukkahuta et al (2008), yang menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemanasan HMT dapat menurunkan nilai setback. Pengaruh suhu pemanasan HMT juga menunjukkan hal yang sama yaitu semakin tinggi suhu maka nilai

setback akan semakin rendah. Hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian Miyoshi (2002), bahwa pati kentang dan jagung HMT memiliki karakteristik lebih resisten terhadap retrogradasi (mengalami penurunan setback). Penyebab hal tersebut adalah karena pembentukan kompleks antara amilosa, amilosa dengan amilopektin, dan amilosa dengan lemak, yang terjadi selama HMT, sehingga mengurangi jumlah komponen pati terutama amilosa yang dapat saling berikatan kembali. Oleh sebab itu terjadi penurunan setback atau kemampuan untuk meretrogradasi.

b Swelling volume

Swelling volume (SV) merupakan pengukuran kemampuan mengambang pada tepung jagung. Sifat kemampuan mengambang yang sesuai sebagai bahan baku mi menurut Collado et al (2001), adalah yang memiliki kemampuan pengambangan yang terbatas. Hal tersebut disebabkan karena pengembangan berkorelasi positif dengan viskositas puncak (Newport Scientific 1998 yang dikutip oleh Beta dan Corke 2001). Beta dan Corke (2001), menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara viskositas puncak dengan kehilangan padatan selama pemasakan (KPAP) mi sorgum yang dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut maka dengan menurunkan kemampuan pengembangan tepung jagung diharapkan dapat menurunkan KPAP mi kering jagung yang dihasilkan.

SV tepung jagung HMT adalah 8.57 ml/g hingga 10.93 ml/g, sedangkan tepung jagung tanpa perlakuan HMT (kontrol) adalah 14.4 ml/g (Lampiran 10a), sehingga dapat dikatakan bahwa perlakuan HMT dapat menurunkan kemampuan pengembangan tepung jagung (Gambar 10). Hal tersebut sesuai dengan hasil

90

Collado dan Corke (1999), yang menunjukkan bahwa perlakuan HMT dapat menurunkan volume pengembangan pati ubi dari 32.3 ml/g menjadi 13 - 13.8 ml/g.

Gambar 10 Pengaruh suhu dan waktu pemanasan pada proses modifikasi dengan HMT terhadap swelling volume (SV) tepung jagung.

Analisis anova (Lampiran 10b) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh suhu, waktu, dan interaksi keduanya terhadap kemampuan mengembang tepung jagung. Semakin tingginya suhu dan waktu pemanansan akan menurunkan kemampuan mengembang, tetapi hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa suhu 110oC tidak berbeda nyata (α = 0.05) dengan 120oC dan waktu 9 jam tidak berbeda nyata dengan 6 jam. Berdasarkan hasil tersebut maka perlakuan suhu 110oC dan waktu 6 jam sudah memiliki kemampuan mengembang yang terendah.

Semakin lamanya waktu pemanasan pada proses modifikasi HMT akan menurunkan kemampuan pengembangan tepung jagung. Hal tersebut terlihat dari hasil uji lanjut LSD (Lampiran 10b) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada semua waktu pemanasan di suhu 120oC. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Collado et al (1999), yang menunjukkan bahwa semakin lama waktu HMT akan menurunkan kemampuan pengembangan.

Uji lanjut LSD (Lampiran 10b) juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan pengembangan yang nyata antara suhu. Hal tersebut dapat dilihat pada perlakuan waktu yang sama yaitu waktu 3 jam pada suhu 100oC yang berbeda nyata dengan suhu 110oC dan 120oC. Berdasarkan hasil tersebut diduga

0 2 4 6 8 10 12 14 16 100 110 120 S w ellin g vo lu me (m l/g ) Suhu (oC) Kontrol 3 jam 6 jam 9 jam

91

bahwa semakin lama waktu dan tinggi suhu pemanasan pada HMT akan meningkatkan ukuran kristal kompleks amilosa yang terbentuk. Oleh karena itu, semakin lama waktu dan tinggi suhu pemanasan pada modifikasi HMT kemampuan pengembangan tepung jagung akan menurun. Pernyataan tersebut didukung oleh Miyoshi (2002), yang menyatakan bahwa besarnya kristal kompleks amilosa yang terbentuk selama proses HMT dapat menghambat pengembangan granula sehingga volume pengembangan pati menurun, dimana penghambatan tersebut tergantung pada besarnya kristal kompleks amilosa yang terbentuk.

Besarnya kristal kompleks yang terbentuk diduga dibatasi oleh jumlah amilosa dan lemak yang memungkinkan untuk saling berikatan. Oleh sebab itu, kenaikan waktu dan suhu hingga batas tertentu memiliki kemampuan pengembangan yang tidak berbeda nyata penurunanya. Hal tersebut ditunjukkan pada kemampuan pengembangan perlakuan waktu yang sama yaitu 3 jam pada suhu 100oC yang berbeda nyata dengan suhu 110oC dan 120oC, tetapi perlakuan suhu 110oC tidak berbeda nyata dengan 120oC (Lampiran 10b).

Uji LSD (Lampiran 10b) menunjukkan bahwa volume pengembangan semua perlakuan HMT berbeda nyata (α = 0.05) dengan kontrol, dimana HMT dapat menurunkan volume pengembangan hingga sekitar 40%. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa penelitian lain yang menunjukkan bahwa proses HMT dapat menurunkan kemampuan pengembangan pada pati ubi jalar sekitar 45%

Dokumen terkait