• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys insculpta Maraknya pemanenan telur C. insculpta tidak terlepas dari tingginya nilai

jual telur maupun tukiknya yang berdampak terhadap semakin baiknya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat lokal. Mencari dan memanen telur C.

insculpta sudah merupakan suatu pekerjaan yang menghasilkan pendapatan cukup

baik bagi masyarakat lokal, dan dengan kondisi saat ini pekerjaan perburuan telur dapat digolongkan sebagai pekerjaan utama bagi mereka. Pekerjaan ini lebih menguntungkan bagi masyarakat lokal karena jaminan mendapatkan uang dari telur atau tukik cukup baik dengan hanya melakukan pengecekan sarang dan pengumpulan telur di pagi hari menggunakan perahu. Berbeda dengan pekerjaan sebagai pencari gaharu yang penuh resiko keluar masuk hutan atau rawa dalam rentang waktu 3 - 6 minggu namun hasil yang didapatkan tidak pasti, kadang beruntung bisa membawa pulang kayu gaharu untuk dijual, kadang pula tidak mendapatkan apa-apa.

Pada beberapa komunitas masyarakat lokal, sumber daya kura-kura air tawar mempunyai nilai yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan protein maupun digunakan dalam ritual-ritual adat. Pemanfaatan kura-kura air tawar C. insculpta sebagai sumber pakan oleh penduduk lokal di wilayah Sungai Vriendschap (Asmat) telah berlangsung secara turun temurun (Triantoro dan Rumawak 2010),

dengan tingkat eksploitasi C. insculpta (di Indonesia dan PNG) sangat tinggi sebagai sumber pakan dan sebagai pemasuk bagi industri hewan peliharaan internasional akibat dari permintaan penggemar satwa terhadap penampilan satwa unik ini (Georges et al. 2008a). Triantoro dan Rumawak (2010) mendeskripsikan pemanfaatan secara turun temurun oleh penduduk lokal di wilayah Sungai Vriendschap dapat dilihat dari budaya pemanfaatan induk C. insculpta sebagai hantaran mas kawin kepada pihak perempuan dengan jumlahnya sesuai permintaan pihak perempuan. Hantaran tersebut kemudian dimasak dan dikonsumsi bersama-sama antara pihak keluarga laki-laki dan perempuan. Lebih jauh disampaikan bahwa saat ini budaya tersebut sudah tidak berlaku karena semuanya lebih dihargai dengan uang akibat dari nilai ekonomi yang dapat diperoleh masyarakat lokal dari penjualan telur. Masyarakat lokal mulai mendapat nilai ekonomi dari telur Labi-labi moncong babi sejak sekitar tahun 2001 dengan harga dihitung per butirnya sedangkan nilai barter telur dengan perahu dimulai tahun 2006 terhadap 1 orang dan kemudian mulai tahun 2008 diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat. Adanya pendapatan dari nilai telur juga diikuti dengan semakin tingginya pemanfaatan daging Labi-labi moncong babi oleh masyarakat lokal karena masyarakat lokal biasanya ke lokasi peneluran dalam waktu cukup lama dengan bekal seadanya dan berharap atas bahan makanan dari alam.

Penangkapan induk betina dalam jumlah besar biasa dilakukan oleh masyarakat lokal sedangkan masyarakat non lokal (pencari luar) menangkap apabila menginginkan variasi menu makanan di lokasi pencarian. Induk dewasa ditangkap secara intensif terutama di saat musim peneluran, sebelum atau sesudah induk bertelur dan membalikkan punggungnya (Georges et al. 2008b). Penangkapan juga biasa dilakukan penduduk lokal di wilayah Sungai Vriendschap (Asmat) di musim peneluran saat induk labi-labi naik untuk bertelur, di tepi air atau sungai, atau sehabis bertelur (Triantoro dan Rumawak 2010). Pencarian induk dapat dilakukan juga dengan menyisiri tepi pasir menggunakan perahu. Pemanenan seperti ini dilakukan apabila telah cukup lama tidak mendapati induk pada saat pengecekan sarang atau telah kehabisan bahan makanan. Induk yang telah ditangkap kemudian diangkut menggunakan perahu dan dimasukkan

102

kedalam kurungan (kandang) sederhana diatas tanah yang dibuat menggunakan batang-batang kayu dengan membentuk persegi atau lingkaran. Pemanfaatan induk C. insculpta di wilayah Sungai Vriendschap mengikuti jumlah kelompok pencari, apabila dalam kelompok pencari terdapat 5 kepala keluarga maka minimal induk yang di konsumsi dalam sehari adalah 5 induk betina.

Pemanfaatan induk betina C. insculpta lebih didasarkan pada keinginan untuk mengkonsumsi dagingnya sebagai sumber makanan (protein) dibanding untuk mendapatkan uang (dijual) atau alasan budaya. Beberapa alasan masyarakat lokal mengkonsumsi daging Labi-labi moncong babi saat perburuan adalah : 1) ingin mengkonsumsi daging, 2) persediaan bahan makanan dalam proses perburuan telur terbatas, dan 3) ingin menghemat bahan makanan. Georges et al. (2008b), C. insculpta disukai karena ukuran telur yang besar dan mempunyai daging yang banyak. Sebagai gambaran pemanfaatan induk oleh masyarakat lokal sebagai sumber makanan dapat dilihat pada Gambar II.7.

Keterangan : a. Sekumpulan kerapas Labi-labi moncong babi; b. Pemanfaatan induk Labi-labi moncong babi untuk di konsumsi.

Gambar II.7 Sekumpulan sisa kerapas dan pemanfaatan induk Carettochelys

insculpta di wilayah Sungai Vriendschap

Dalam pengolahan terhadap daging, plastron akan dihilangkan agar bisa mendapatkan daging beserta isi perutnya (usus, hati, jantung), dan biasanya akan dimasak (direbus) bersama dengan ubi dan sayuran lainnya, sedangkan pengolahan terhadap telur biasanya di rebus dan bisa dimakan langsung, dimasak dengan nasi atau sagu, ataupun sebagai bahan penyusun biskuit dan kue (Georges

et al. 2008b). Pengolahan daging labi-labi pada masyarakat lokal di wilayah

Sungai Vriendschap (Asmat), dilakukan dengan cara dibakar diatas bara atau api, bakar batu dan rebus dengan sedikit perbedaan dalam cara pengolahan dimana

sebelum dimasak ada bagian daging yang dilepas dahulu dari plastron sebelum dimasak (bakar dan rebus) dan ada bagian daging yang ditinggalkan pada plastrón untuk dibakar bersama plastronnya (Triantoro dan Rumawak 2010).

Pemanfaatan induk yang tinggi secara terus menerus pada setiap musim peneluran di wilayah Sungai Vriendschap dapat berdampak bagi turunnya populasi kedepannya, tetapi apabila pemanfaatan dilakukan dengan bijaksana dapat memberikan kesempatan C. insculpta melakukan regenerasi dan mendapat nilai pemanfaatan yang berkesinambungan. Eksploitasi komersial secara teratur menyebabkan pemanenan yang berlebihan dan merupakan kepedulian utama konservasi, namun konsumsi keluarga lokal juga menggerus populasi dari spesies yang ditargetkan ketika penduduk lokal tergantung pada satwa liar sebagai sumber utama dari sumber protein (Vitt dan Caldwell 2009). Pada masyarakat lokal di Sungai Vriendschap, pemanfaatan saat ini tidak memberikan kesempatan C.

insculpta untuk melakukan regenerasi karena seluruh telur diambil (dipanen) dan

induknya di konsumsi. Pemanfaatan berkesinambungan dapat terjadi apabila telur tidak diambil seluruhnya dari alam dan konsumsi induk dapat dikurangi. Kepercayaan (legenda) pada masyarakat lokal di Sungai Vriendschap bahwa Labi-labi moncong babi merupakan hasil kutukan seorang suami yang marah akibat istrinya berzinah dengan laki-laki lain yang dimunculkan dalam bentuk Labi-labi moncong babi jantan dan betina, tidak memberikan dampak positif bagi konservasi Labi-labi moncong babi karena legenda ini sudah hampir hilang dan tidak ada pantangan dalam mengkonsumsinya (Triantoro dan Rumawak 2010). Pada komunitas masyarakat Aborigin, intensitas pemanenan terhadap induk kura-kura leher ular (Chelodina rugosa) cukup rendah dan hal tersebut dapat memberikan kesempatan bagi C. rugosa untuk bertahan dan berkembangbiak dengan baik karena pemanenannya dilakukan atas dasar kebutuhan ritual budaya (Fordham et al. 2006). Perbedaan jumlah individu juga didapati berbeda antara daerah pemujaan (veneration area) yang tidak tereksploitasi dengan daerah pemanenan (harvest area) dimana dengan luas area relatif sama di setiap lokasi, jumlah kura-kura darat Kinixys homeana dan Kinixys erosa ditemui jauh lebih banyak di daerah pemujaan dibandingkan jumlah kura-kura darat yang ditemui di daerah panen (Luiselli 2003).

104

Pemanfaatan C. insculpta sebagai sumber makanan oleh masyarakat lokal tidaklah mengherankan karena wilayah mereka di dominasi oleh sungai dan rawa yang memungkinkan sumber makanan alaminya berasal dari satwa yang hidup di air. Disamping itu, pemanfaatan satwa dari kelompok kura-kura besar atau penyu sebagai sumber makanan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat yang berdiam di wilayah Sungai Vriendschap tetapi banyak dilakukan pula oleh masyarakat dibanyak tempat dengan intensitas pemanfaatan yang berbeda. Magnino et al. (2009) menyampaikan bahwa berkenaan dengan konsumsi dari berbagai jenis reptil liar yang ditangkap, daging dan telur penyu mungkin yang paling banyak dieksploitasi di seluruh dunia. Selanjutnya Caputo et al. (2005) menyampaikan bahwa eksploitasi terhadap penyu sebagai sumber makanan telah lama dianggap faktor utama yang berkontribusi terhadap penurunan populasi.

4. SIMPULAN

Pemanfaatan sumberdaya labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap telah dilakukan oleh masyarakat tradisional yang membagi wilayah pemanfaatan menjadi 5 (lima) wilayah adat. Dari tiga wilayan adat yang diamati, ada dua wilayah yang bekerjasama dengan pencari telur dari luar sedangkan pada satu wilayah adat tidak didapati adanya kerjasama. Perburuan telur yang terjadi menciptakan sistem perdagangan di lokasi perburuan yang meliputi sistem barter, kombinasi antara sistem barter dan penjualan langsung tukik, dan sistem penjualan tukik langsung kepada pembeli. Perburuan dan perdagangan terutama dilakukan terhadap telurnya karena adanya nilai ekonomi, sedangkan perburuan terhadap induknya dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan makanan. Pemanenan telur dilakukan terhadap keseluruhan sarang di seluruh wilayah adat tanpa menyisakan satupun sarang yang utuh berisi telur di alam.

Pemanfaatan telur yang sangat tinggi diduga dapat memberikan dampak negatif bagi kelestarian Labi-labi moncong babi di alam. Pendidikan masyarakat lokal yang rendah, tingginya ketergantungan terhadap sumber daya alam, tingginya permintaan untuk perdagangan (illegal), tidak adanya sumber pendapatan yang tetap, dan belum adanya manajemen pengelolaan yang menunjang pemanfaatan berkelanjutan, mendorong pemanenan terus berlangsung.

Daftar Pustaka

[BPS] Badan Pusat Statistik dan [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Papua Barat. 2011. Penduduk Asli Papua Di Provinsi

Papua Barat. Manokwari. Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi

Papua Barat.

Caputo FP, Canestrelli D, Boitani L. 2005. Conserving The Terecay (Podocnemis unifilis, Testudines: Pelomedusidae) Through A Community-based Sustainable Harvest of Its Eggs. Biological Conservation 126 : 84 – 92.

Daniel S. 2011. Perdagangan Reptilia Sebagai Binatang Peliharaan Di DKI Jakarta [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. [Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam

dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1.

[Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1.

Eisemberg CC, Rose M, Yaru B, Georges A. 2011. Demonstrating Decline of an Iconic Species Under Sustained Indigenous Harvest – The Pig-nosed Turtle (Carettochelys insculpta) in Papua New Guinea. Biological Conservation 144 : 2282 – 2288.

Fordham D, Georges A, Corey B, Brook BW. 2006. Feral Pig Predation Threatens the Indigenous Harvest and Local Persistence of Snake-necked Turtles in Northern Australia. Biological Conservation.

[GOK] Genting Oil Kasuri. 2009. Analisis Dasar Lingkungan Blok Kasuri PSC di Kabupaten Fakfak dan Bintuni [Laporan Akhir]. Manokwari : Kerjasama BP Migas dan UNIPA.

Georges A, Doody JS, Eisemberg C, Alacs EA, Rose M. 2008a. Carettochelys

insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Di dalam :

Rhodin AGJ, Pritchard PCH, Van Dijk PP, Saumure RA, Buhlmann KA, Iverson JB, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoise : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No. 5, pp. 009.1 – 009.17, doi : 10.3854/crm.5.009.insculpta.v1.2008,

http://www.iucn-tftsg.org/cbftt.

Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b. Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta.

108

Goh TY, O’Riordan RM. 2007. Are Tortoises and Freshwater Turtles Still Traded Illegally as Pets in Singapore? Oryx Vol 41 No 1 (Short

communication).

Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Ed ke-2 (revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.

IUCN. 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. <www.iucnredlist.org>. [01 April 2011].

Kartikasari SN, Marshall AJ, Beehler BM. 2012. Ekologi Papua. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February 2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January 2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia.

[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to 31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia.

Leuteritz TEJ, Lamb T, Limberaza JC. 2005. Distribution, Status, and Conservation of Radiated Tortoises (Geochelone radiata) in Madagascar.

Biological Conservation 124 : 451–461

Luiselli L. 2003. Comparative Abundance and Population Structure of Sympatric Afrotropical Tortoises in Six Rainforest Areas: the Differential Effects of “Traditional Veneration” and of “Subsistence Hunting” by Local People.

Acta Oecologica 24 : 157–163

Magnino S, Colin P, Dei-Cas E, Madsen M, McLauchlin J, Nöckler K, Maradona MP, Tsigarida E, Vanopdenbosch E, Peteghem CV. 2009. Biological Risks Associated With Consumption of Reptile Products. International

Journal of Food Microbiology 134 : 163 – 175.

Muller K. 2005. Keragaman Hayati Tanah Papua. Ismoyo F, Kilmaskossu A, Kilmaskossu MSE, Lumatauw S, Nainggolan D, Prabawardani S, penerjemah; Wanggai F, Sumule A, Editors. Manokwari. Universitas Negeri Papua. Terjemahan dari : The Biodiversity of New Guinea.

Rowe JW, Koval KA, Dugan MR. 2005. Nest Placement, Nest-site Fidelity and Nesting Movements in Midland Painted Turtles (Chrysemys picta

marginata) on Beaver Island, Michigan. The American Midland Naturalist

154 : 383 – 397.

Shepherd CR, Nijman V. 2007. An Overview of The Regulation of The Freshwater Turtles and Tortoise Pet Trade in Jakarta, Indonesia. Traffic Southeast Asia, Petaling Jaya. Malaysia.

Triantoro RGN, Rumawak ZL. 2010. Populasi dan Habitat Labi-Labi Moncong Babi Carettochelys insculpta Ramsay (1886) Di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat [laporan]. Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan.

UNEP-WCMC. 2011. UNEP-WCMC Species Database: CITES-Listed Species. [27 January 2011].

Vitt LJ, Caldwell JP. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of

Amphibians and Reptiles. Third Edition. Oklahoma. Elsevier Academic

Lampiran 1 Panduan pertanyaan pengumpulan data intensitas pemanfaatan Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai Vriendschap

Nama responden : Umur :

Suku :

Tempat tinggal :

Pendidikan : (Tidak sekolah, SD, SLTP, SLTA)

1. Pekerjaan utama : PNS, POLRI, TNI, bertani, berburu (jenis utama), pedagang 2. Pekerjaan sampingan :

bertani : jenis komoditi, konsumsi, jual berburu : jenis satwa, konsumsi, jual (dimana) berdagang : jenis diperdagangkan, lokasi 3. Pemanfaatan Labi-labi moncong babi :

Telur : Konsumsi (per hari), Jual (telur/tukik), harga jual telur, harga jual tukik, pengambilan telur (sarang baik, sarang kemungkinan rusak oleh banjir/tergenang, keseluruhan sarang)

Induk : Konsumsi (per hari), Jual (induk/bagian, dimana), harga jual (induk/bagian)

Alasan menjual, alasan konsumsi

Frekuensi perburuan : setiap hari, 2-4 hari sekali, ≥ 5 hari sekali Lama di lokasi perburuan : 1-7 hari, 8 – 21 hari, > 21 hari

Seberapa lama mendalami perburuan Labi-labi moncong babi : 1 tahun, 1-3 tahun, > 1-3 tahun

Dokumen terkait