• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Kerusakan dan Kerugian

Segera setelah terjadinya tsunami, Badan Perencenaan Pembangunan Nasional (Bappenas), bersama dengan sejumlah mitra internasional

mengadakan penilaian kehilangan dan kerusakan yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran awal dari akibat dampak tsunami. Penilaian ini dibuat berdasarkan metodologi berstandar internasional yang dikembangkan oleh Komisi PBB untuk Amerika Latin dan Karibia.

Kerusakan (dampak langsung) merujuk pada akibat terhadap aset, simpanan, atau properti dan dinilai pada harga penggantian per unit yang disepakati (bukan biaya yang diperlukan untuk rekonstruksi). Tingkat kerusakan juga dipertimbangkan, misalnya, apakah sebuah aset bisa direhabilitasi atau diperbaiki, atau rusak sama sekali. Kerusakan memberikan gagasan mengenai aset yang hancur dan juga landasan untuk menentukan program rekonstruksi.

Kerugian (dampak tidak langsung) mengacu pada serangkaian dampak yang mungkin terjadi seperti pemasukan serta pengeluaran publik dan pribadi hingga semua aset dipulihkan.

Sektor swasta merujuk pada bagian dari ekonomi yang dijalankan untuk keuntungan pribadi dan tidak dikontrol oleh negara. Perumahan, pertanian, dan pemilikan ternak adalah bagian dari sektor swasta.

Sumber: Bappenas and International Community, 2005

Kerusakan Kerugian

Gambar 2.1 Perkiraan Kerusakan dan Kerugian

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 Perumahan T

ransportasi & Komunikasi

Perikanan

Perdagangan

Pertanian dan Peternakan

Lingkungan Pendidikan Kesehatan

T

ata Kelola dan

Administrasi Pemerintahan

Budaya dan

Agama Energi

Air dan Sanitasi

Perbankan dan Keuangan

Penanganan Banjir , Irigasi dan 20 KEU ANGAN: T ujuh K unci P eng

elolaan Dana Bantuan yang Efektif

Perkiraan kerusakan serta kehilangan akibat tsunami di Aceh saja mencapai US$ 4,45 juta, atau setara dengan 80 persen produk domestik bruto (PDB) di Aceh. Dari total tersebut, 66 persen rusak, sementara 34 persen dianggap hilang dalam arti kerugian aliran pemasukan. Sektor swasta terkena dampak bencana yang luar biasa, mencapai nilai 78 persen dari total kehilangan dan kerusakan, sedangkan 22 persen dari kerusakan dan kehilangan dialami oleh sektor publik (Bappenas dan Komunitas Internasional, 2005). Kematian serta kerusakan dalam jumlah besar yang dialami oleh sektor swasta berarti kehilangan atau dampak yang mempengaruhi kehidupan (Bappenas dan Komunitas Internasional 2005). Di Nias, total kerusakan dan kehilangan mencapai US$ 400 juta.

Dalam merancang strategi rekonstruksi, penilaian mengenai kerusakan dan kehilangan ini memberikan data bagi BRR dalam menentukan prioritas serta tindakan mereka. Gambaran tentang kerusakan dan kehilangan tersebut memberi arahan bagi BRR dalam menentukan prioritas (penting vs darurat) serta urutan (jangka waktu untuk proses rekonstruksi) dalam setiap sektor serta kawasan geografis. Kerusakan di Aceh luar biasa besar, mempengaruhi hampir semua sektor dan semua wilayah. Hal ini membedakannya dengan bencana lain yang hanya memerlukan pembangunan kembali sejumlah sektor tertentu, seperti sektor perumahan setelah terjadinya gempa bumi di Bam, Iran. Lingkup kerja rekonstruksi pun menjadi besar. Kehidupan harus dibangun kembali bersama dengan jaringan sosial sementara rekonstruksi fisik dari perumahan, produksi, dan infrastruktur berlangsung.

Sejumlah partisipan melimpah ke Aceh dalam hitungan beberapa hari setelah terjadinya tsunami. Provinsi yang tadinya tertutup itu tiba-tiba dipenuhi pihak-pihak dari luar kawasannya. Sejumlah badan dari 133 negara menjalankan 200 proyek pada fase darurat (Masyrafah dan McKeon, 2008). Dukungan domestik dan internasional dari sejumlah LSM lokal dan internasional, pelaku sektor swasta, badan donor resmi, institusi multilateral berdatangan untuk menyediakan bantuan. Organisasi kemanusiaan ”tradisional”, terutama LSM, berada dalam situasi yang tidak biasa-kemurahan hati berupa kontribusi yang diberikan kepada mereka dari sumber-sumber mereka di luar badan pemerintah memungkinkan badan-badan ini melakukan lebih banyak daripada apa yang mereka biasa lakukan-termasuk juga memungkinkan mereka tetap berada di kawasan Aceh dan Nias setelah fase penyelamatan. Banyak dari mereka yang terus tinggal dan menurut Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) BRR, tercatat sebanyak 992 donor dan badan pelaksana yang terlibat sepanjang fase rekonstruksi.

Keterbukaan pemerintah RI yang mau menerima para partisipan dalam jumlah besar ini juga ada dampak negatifnya. Dengan begitu banyak badan yang ada di kawasan Aceh dan Nias, setiap badan memiliki struktur manajemen dan dukungan pelayanan masing-masing, upaya-upaya yang tumpang tindih menjadi tidak terhindarkan. Dengan bertambahnya jumlah badan, beban koordinasi BRR juga ikut bertambah.

Ba

gian 2. Memadukan Alokasi deng

an Ke

bu

tuhan Nyata

Mengoordinasikan seluruh organisasi yang ada seraya mendukung kepentingan komunitas lokal sama sekali bukan tugas yang mudah bagi BRR. BRR berupaya mengoordinasikan para mitra yang tidak didanai oleh APBN, yaitu proyek-proyek off-budgett, melalui sektor kelompok kerja. Dalam pertemuan-pertemuan ini, para mitra berkumpul untuk mendiskusikan masalah di lapangan dan mencari kesempatan berkolaborasi guna membahas hal-hal yang tumpang tindih. Peran BRR adalah untuk memfasilitasikan diskusi dan memberikan arahan bila diperlukan. Namun, sejumlah isu kerap tidak terselesaikan karena para mitra menggunakan forum guna mempromosikan atau membela kepentingan sendiri. Apa yang awalnya berlangsung sebagai forum tingkatan manajerial yang menjanjikan dialog dan koordinasi berubah menjadi forum pelaporan status proyek yang disampaikan oleh personel tingkatan rendah, dan baru belakangan dilakukan perubahan pendekatan yang memulihkan efektivitasnya.

Sebagaimana disebutkan di dalam Bab 1, dalam bulan-bulan awal rekonstruksi, BRR adalah lembaga baru yang mencoba untuk membangun kredibilitas dan format struktur baik internal maupun eksternal yang memadai bagi peran gandanya. BRR belum mencapai tingkat kredibilitas-mitra bisa menerima kontrol yang ketat dari BRR terhadap program-program atau manajemen pelaksanaan amanah mereka. BRR masih terus mencoba mengembangkan strategi perencanaan yang terpadu, kerangka kerja anggaran, serta struktur koordinasi yang bisa dihormati oleh semua partisipan internasional. Lembaga ini memiliki sumber yang terbatas untuk bisa mengawasi tanggung jawab sebesar ini. Mekanisme koordinasi BRR belumlah memadai dalam hal kualitas dan ketepatan untuk mengatasi kerusakan dalam skala besar yang melibatkan beragam partisipan. Oleh karena itu, perlu ada strategi yang terus-menerus dikembangkan.

Dokumen terkait