• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir Pasir

V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

6.3 Penilaian Dampak Positif dan Negatif Kegiatan Penambangan Pasir Penilaian merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari Penilaian merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari

6.3.2 Penilaian Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir Pasir

per tahun.

Nilai guna (langsung dan tidak langsung) dari kegiatan penambangan pasir adalah Rp 1.747.500.000 per tahun. Penambangan pasir di lokasi penelitian diperkirakan akan habis dalam 2,5 tahun, sehingga total nilai guna dari kegiatan penambangan pasir adalah sebesar Rp 4.368.750.000.

6.3.2 Penilaian Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir

Berdasarkan panduan perhitungan ganti kerugian akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan, terdapat dua komponen konsep ganti rugi pada kasus

63 galian C (penambangan batu, pasir, dan tanah) yaitu biaya kerugian ekologis dan biaya kerugian ekonomi. Biaya pada panduan perhitungan merupakan biaya yang ditetapkan pada tahun 2006, sedangkan penelitian dilakukan pada tahun 2010 sehingga tetapan biaya yang digunakan untuk menilai kerusakan lingkungan disesuaikan dengan konsep future value.

F = P (1 + i)n Dimana: F : biaya di tahun 2010

P : tetapan biaya di tahun 2006

i : suku bunga yang digunakan pada saat penelitian, yaitu 6,5%

n : lama waktu, yaitu 4 tahun 1. Biaya kerugian ekologi

a. Biaya pembuatan reservoir

Lahan sawah yang dialih fungsikan menjadi pertambangan pasir mengakibatkan hilangnya fungsi tanah sebagai penyimpan air. Pembangunan tempat penyimpanan air buatan diperlukan untuk menggantikan fungsi tanah yang hilang tersebut. Menurut BPT Bogor (2005) UdalamU KLH (2006), diketahui bahwa

lahan sawah dapat menyerap air sekitar 900 m3 (900 ribu liter) per hektar, sehingga reservoir tersebut harus memiliki kapasitas air sebanyak 900 m3. Untuk menampung air sebanyak 900 m3 diperlukan reservoir berukuran lebar 15 m, panjang 20 m, dan tinggi 3 m. Biaya pembangunan diasumsikan Rp 100.000 per m2 (pada tahun 2006), dengan konsep future value, asumsi biaya pada tahun 2010 adalah Rp 129.000.

64 = {(2 x 3 x 15) + (2 x 3 x 20) + (15 x 20)} x Rp 129.000/m2

= 510 m2 x Rp 129.000/m2 = Rp 65.790.000

Luas lokasi penambangan adalah 1,064 ha, maka biaya pembuatannya (CR) adalah :

= 1,064 ha x Rp 65.790.000/ha = Rp 70.000.560

Biaya pemeliharaan reservoir sampai lahan terdegradasi pulih (CPMR) yaitu selama 100 tahun dengan biaya Rp 200.000 per tahun (pada tahun 2006) atau Rp 258.000 (pada tahun 2010):

= Rp 258.000/th/ha x 100 th x 1,064 ha = Rp 27.451.200

Biaya yang dibutuhkan untuk membangun dan memelihara reservoir buatan untuk 1,064 ha (CFTA) adalah sebesar Rp 97.451.760

b. Pengaturan tata air

Biaya pengaturan tata air didasarkan kepada manfaat air untuk keperluan budi daya dalam ekosistem daerah aliran sungai (DAS) menurut Manan, Wasis, Rusdiana, Arifjaya, dan Purwowidodo (1999) UdalamU KLH (2006) untuk tanaman

budidaya Rp 19.100.000/ha (Rp 24.639.000/ha di tahun 2010) dan penyediaan air minum (PAM) Rp 3.710.000/ha (Rp 4.785.900/ha di tahun 2010), sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk pengaturan tata air untuk luas 1,064 ha dengan asumsi perbaikan lahan selama 100 tahun sebesar :

CTA = 1,064 ha x (Rp 24.639.000 + Rp 4.785.900) x 100 th = Rp 3.130.809.400 c. Pengendalian erosi dan limpasan

Biaya pengendalian erosi dan limpasan akibat konversi hutan alam menjadi hutan sekunder dan tanah terbuka dengan pembuatan teras dan rorak

65 didasarkan perhitungan Manan et al (1998) UdalamU KLH (2006) yaitu sebesar Rp

6.000.000 per ha (Rp 7.740.000 per ha di tahun 2010). Biaya yang dibutuhkan untuk pengendalian erosi dan limpasan seluas 1,064 ha adalah :

CEL = 1,064 ha x Rp 7.740.000/ha = Rp 8.235.360 d. Pembentukan tanah

Biaya pembentukan tanah menurut Hardjowigeno (1993) UdalamU KLH

(2006) adalah sebesar Rp 1.500.000/ha (Rp 1.935.000 di tahun 2010) dikalikan dengan solum tanah yang hilang dibagi 2,5 mm. Tanah yang hilang adalah 50 cm dan luas lahan penambangan 1,064 ha.

CPT = 500 mm/2,5 mm x Rp 1.935.000/ha x 1,064 ha = Rp 411.768.000 e. Pendaur ulang unsur hara

Biaya hilangnya unsur hara menurut Wasis (2005) UdalamU KLH (2006)

akibat penambangan galian C adalah Rp 9.548.000/ha (Rp 12.316.920 di tahun 2010), sehingga dengan lokasi penambangan seluas 1,064 ha diperlukan biaya sebesar :

CUH = 1,064 ha x Rp 12.316.920/ha = Rp 13.105.203 f. Pengurai limbah

Biaya pengurai limbah yang hilang karena kerusakan lahan menurut perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) UdalamU KLH (2006) yaitu sebesar Rp

435.000 per ha (Rp 561.150 di tahun 2010). Biaya yang dibutuhkan untuk pengurai limbah pada lahan seluas 1,064 ha adalah:

66 g. Pemulihan biodiversity

Biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan keanekaragaman hayati yang hilang akibat rusaknya lahan karena galian C menurut perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) UdalamU KLH (2006) yaitu sebesar Rp 2.700.000/ha (Rp 3.483.000

pada tahun 2010), sehingga untuk lahan seluas 1,064 ha adalah : CPB = 1,064 ha x Rp 3.483.000/ha = Rp 3.705.912

h. Sumberdaya genetik

Biaya pemulihan akibat hilangnya sumberdaya genetik adalah sebesar Rp 410.000/ha (Pangestu dan Ahmad, 1998 UdalamU KLH, 2006), dengan konsep future

value maka pada tahun 2010 biaya pemulihan adalah sebesar Rp 528.900/ha, sehingga untuk lahan seluas 1,064 ha biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan adalah sebesar:

Cgen = 1,064 ha x Rp 528.900/ha = Rp 562.749,6 i. Pelepasan karbon

Biaya pelepasan karbon menurut Pangestu dan Ahmad (1998) UdalamU KLH

(2006) adalah sebesar Rp 90.000/ha (Rp 116.100/ha di tahun 2010). Biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan lahan seluas 1,064 ha adalah sebagai berikut:

Ccar = 1,064 ha x Rp 116.100/ha = Rp 123.530,4 Total biaya ekologi (CKEg) :

CKEg = CFTA + CTA + CEL + CPT + CUH + CPL + CPB + Cgen + Ccar = Rp 97.451.760 + Rp 3.130.809.400 + Rp 8.235.360 + Rp 411.768.000 + Rp 13.105.203 + Rp 597.063,6 + Rp 3.705.912 + Rp 562.749,6 + Rp 123.530,4

67 2. Biaya Kerugian Ekonomi

a. Nilai batu, pasir, dan tanah

Akibat adanya pengambilan tanah dan batu di penambangan pasir Desa Sukaresmi pada lahan seluas 1,064 ha dengan kedalaman 12 m (volume = 127.680 m3), dimana nilai batu, pasir, dan tanah sebesar Rp 50.000/m3 (KLH, 2006) atau Rp 64.500/m3 pada saat penelitian, maka biaya kerusakan akibat pengambilan batu dan pasir adalah sebesar :

CBPT = 127.680 m3 x Rp 64.500/m3 = Rp 8.235.360.000 b. Umur pakai lahan

Pada bagian kerusakan ekonomi ini terdapat parameter penting yang patut dipertimbangkan yaitu hilangnya umur pakai lahan selama 100 tahun. Alih fungsi lahan dari sawah menjadi penambangan pasir menyebabkan hilangnya fungsi lahan tersebut dalam memproduksi padi. Penilaian hilangnya produksi padi dilakukan untuk mengetahui berapa besar kerugian yang diterima akibat alih fungsi lahan tersebut.

Luas lahan persawahan yang dikonversi menjadi panambangan pasir adalah sebesar 1,064 ha. Produksi rata-rata padi di lokasi penelitian adalah 12 ton/ha/tahun, sehingga padi yang seharusnya dihasilkan adalah 12,768 ton/tahun. Harga yang diterima petani setempat adalah Rp 2.900/kg padi. Sehingga perhitungan hilangnya penerimaan petani akibat hilangnya produksi padi adalah sebesar Rp 37.027.200/tahun atau selama 100 tahun sebesar Rp 3.702.720.000. Estimasi biaya total kerugian ekonomi pada lokasi penambangan seluas 1,064 ha adalah Rp 11.938.080.000.

68 Dengan menjumlahkan biaya total kerugian ekologi dan biaya total kerugian ekonomi, maka diperoleh estimasi nilai kerusakan lingkungan akibat adanya kegiatan penambangan pasir seluas 1,064 ha yaitu Rp 15.604.438.978,6. Nilai ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan nilai guna yang diperoleh dari kegiatan penambangan pasir. Berdasarkan nilai tersebut maka diperlukan pengendalian kegiatan penambangan pasir di Desa Sukaresmi. Pengendalian tersebut seharusnya juga diterapkan di desa-desa lainnya, meskipun kegiatan penambangan yang dilakukan memiliki skala yang lebih kecil. 

69 VII. SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengusaha pasir, penambang pasir, supir truk pengangkut pasir, dan buruh pengangkut pasir merupakan pihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penambangan pasir ini. Pemerintah sebagai pihak luar tidak banyak terlibat dalam kegiatan penambangan dikarenakan kegiatan tersebut bersifat ilegal/tidak memiliki izin.

2. Lahan sawah yang dikonversikan menjadi lahan untuk kegiatan penambangan pasir mengakibatkan hilangnya fungsi dan multifungsi lahan sawah. Manfaat yang hilang meliputi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya.

3. Total nilai guna dari kegiatan penambangan pasir adalah sebesar Rp 4.368.750.000. Terdiri dari nilai guna langsung (pendapatan pengusaha pasir dan penambanga pasir) dan nilai guna tidak langsung (pendapatan supir dan buruh pengangkut pasir).

4. Nilai kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan pasir diperoleh dari nilai kerugian ekologi dan nilai kerugian ekonomi, termasuk hilangnya produksi padi yaitu sebesar Rp 15.604.438.978,6.

70 7.2 Saran

1. Diperlukan peran pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam pengendalian kegiatan pasir tersebut.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai penilaian ekonomi total dari kegiatan penambangan pasir agar estimasi nilai guna dan nilai kerusakan akibat kegiatan tersebut lebih akurat.

71 DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Geografi Kabupaten Bogor.

U

http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_BogorU. diakses pada tanggal 17 Maret 2011.

______. 2010. Laporan Pertanggung Jawaban Akhir Tahun Kepala Desa Sukaresmi Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor.

______. 2009. Data Monografi Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor Tahun 2009.

______. 2009. Laporan Tahunan Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor Tahun 2009.

______. 1996. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996 Mengenai Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha Penambangan Bahan Galian Golongan C.

Ansahar. 2005. Valuasi Ekonomi dan Dampak Lingkungan pada Penambangan Pasir Darat di Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1976. Segi-segi Hukum dari Pengelolaan Lingkungan Hidup. Binacipta.

Champ, P. A., K. J. Boyle & T. C. Brown. 2003. A Primer Non-market Valuation. Kluwer Academic Publisher, New York.

Dewi, E. S. 2006. Analisis Ekonomi Manfaat Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Ternate Provinsi Maluku Utara. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Djajadiningrat, S. T. 2007. Paper Seminar Nasional “Pertambangan, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat”. Universitas Sam Ratulangi, Manado. Fachruddin, K. 2004. Pendekatan Analisa Cost Benefit sebagai Alat Pengambilan

Keputusan dalam Menentukan Konservasi Daerah Lahan Basah. Pengantar ke Falsafah Sains Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Furi, D. R. 2007. Implikasi Konversi Lahan Terhadap Aksesibilitas Lahan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa (Kasus Pembangunan Perumahan Dramaga Pratama di Desa Cibadak, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

72 Handayani, T. 2002. Nilai Ekonomi dan Strategi Pengelolaan Taman Nasional

Meru Betiri. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kementerian Lingkungan Hidup 2006. Panduan Perhitungan Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan. KLH, Jakarta.

Kustiawan, I. 1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara dalam Prisma No.1. Pustaka LP3ES, Jakarta.

Mangkoesoebroto, G. 2001. Ekonomi Publik Edisi Ketiga. BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta

Munir, M. 2008. Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap Tingkat Kesejarteraan Rumahtangga Petani (Kasus: Desa Candimulyo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah). Skripsi pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rahmanto, B., Irawan B., Agustin N. K. 2006. Persepsi Mengenai Multifungsi Lahan Sawah dan Implikasinya Terhadap Alih Fungsi ke Penggunaan Non Pertanian, Bogor.

Rani, I. 2004. Pengaruh Kegiatan Pertambangan Pasir Terhadap Kualitas Tanah, Produktivitas Lahan, dan Vegetasi serta Upaya Rehabilitasinya. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rusli, S. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. PT Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.

Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria (Kasus di Kelurahan Mulyaharjo, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat). Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soedarmo dan Hadiyan. 1980. Petunjuk Bahan Praktek Galian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Utama, D. F. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah di Kabupaten Cirebon. Skripsi pada Departemen Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Utomo, et al. 1992. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung, Lampung.

Wawo, M. 2000. Penilaian Ekonomi Terumbu Karang : Studi Kasus di Desa Ameth Pulau Nusalaut Propinsi Maluku. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan : Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan. Akademika Presindo, Jakarta.

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian

Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian

I. PENDAHULUAN