• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan kendali dan pengawasan internal dapat meningkatkan kualitas belanja

Dalam dokumen Memaksimalkan kesempatan, mengelola risiko (Halaman 33-43)

Setiap tahun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap pelaksanaan anggaran pusat, propinsi dan daerah untuk menilai pelaksanaan program-program atau kegiatan yang terpilih. Kotak ini memfokuskan pada penilaian pelaksanaan prasarana jalan dan jembatan. Audit tersebut mencakup penerapan anggaran jalan dan jembatan tingkat nasional, propinsi dan daerah di tahun fiskal 2007, 2008 dan 2009. Tinjauan tersebut menyertakan unit pelaksana di dalam Dirjen Bina Marga-Kementerian Pekerjaan Umum, 18 Dinas Bina Marga Provinsi, dan 26 Dinas Bina Marga Kabupaten/Kota. Jumlah anggaran sampel adalah 6,9 triliun rupiah, atau 12,6 persen dari jumlah realisasi anggaran sebesar 55 triliun rupiah. Audit itu menemukan bahwa jumlah anggaran yang tampaknya tidak digunakan dengan baik atau tidak digunakan secara efektif dan efisien bernilai sekitar 315 miliar rupiah atau 4,6 persen dari sampel anggaran.

Tabel 7: Ringkasan temuan audit BPK dari sektor jalan

Temuan yang menyebabkan hal berikut: Jumlah kasus Nilai (miliar rupiah)

Kerugian keuangan pemerintah (pusat dan daerah) 199 149,1

Potensi kerugian keuangan 65 45,2

Penerimaan di bawah target (pusat dan daerah) 42 25,1

Administrasi 89 Tidak ada

Ketidakefisienan 30 62,9

Ketidakefektifan 26 32,7

Jumlah 451 314,9

Penilaian tersebut menunjukkan bahwa banyak kasus yang berhubungan dengan potensi kerugian keuangan disebabkan oleh kelemahan dalam sistem pengendalian. Termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan proyek yang tidak selesai, volume pekerjaan yang tidak selesai, kelebihan pembayaran (kelebihan harga) dan juga lemahnya perencanaan. Penilaian juga melaporkan beberapa ketidakefisienan dan ketidakefektivan dalam pelaksanaan proyek, kebanyakan karena kelemahan dalam pengendalian dan pengawasan internal. Sebagai contoh, penggunaan bahan input dengan harga, kuantitas atau kualitas dengan standar yang lebih tinggi, jumlah atau kualitas yang melebihi yang dibutuhkan, dan harga yang lebih tinggi dibanding pengadaan yang dilakukan pada waktu yang bersamaan.

Ketidakefektivan belanja pada umumnya disebabkan oleh lemahnya perencanaan, pengawasan dan pengendalian oleh atasan. Penilaian itu menemukan bahwa beberapa proyek tidak memberikan manfaat apapun atau hasil-hasil yang dikehendaki. Sebagai contoh, beberapa belanja tidak ditargetkan dengan baik atau pemanfaatan barang-barang dan jasa tidak seperti direncanakan, atau pembelian barang-barang yang tidak atau belum dimanfaatkan. Masalah lain termasuk penundaan atau penghentian kegiatan yang merintangi pencapaian tujuan organisasi, penyampaian layanan yang tidak optimal, atau fungsi atau tugas kelembagaan yang tidak sesuai.

Sumber dan catatan: Staf Bank Dunia dari Laporan Audit BPK, 2009. Laporan diterbitkan secara on-line di situs web BPK: www.bpk.go.id

e. Tantangan pencairan anggaran dan reformasi kebijakan yang baru ditetapkan

Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk menangani keterlambatan pencairan dan pelaksanaan anggaran

Pemerintah telah mengambil beberapa langkah untuk meningkatkan pelaksanaan anggaran pada beberapa tahun terakhir. Dalam pengadaan termasuk kebijakan di tahun 2008 yang memperkenankan prosedur-prosedur pengadaan untuk dimulai pada bulan Oktober di tahun sebelumnya. Akan tetapi hal ini akan memiliki dampak yang bahkan lebih besar jika anggaran telah dialokasikan untuk mendukung proses persiapan pengadaan dini ini. Kementerian Keuangan juga telah menetapkan standar-standar baru untuk memangkas waktu yang dibutuhkan untuk memproses pembayaran, dan meluncurkan upaya-upaya untuk meningkatkan perencanaan dan pengelolaan uang tunai.

Dalam hal unit pelaksana (Satker), Pemerintah menerbitkan PP No. 53/2010 yang menyatakan bahwa penugasan dan pembebasan tugas pejabat unit pelaksana tidak lagi terikat pada tahun fiskal. Akan tetapi agar efektif, peraturan teknis baru juga harus diterbitkan oleh Kementerian Keuangan. Pemerintah juga telah menerbitkan keputusan presiden yang memberikan keleluasaan yang lebih besar bagi kontrak multi-tahun dan kegiatan musiman seperti penanaman benih, penghijauan kembali atas hutan, dan

pengadaan obat-obatan. Lebih lanjut, Direktorat Jenderal Perbendaharaan telah mengeluarkan Surat Edaran untuk membentuk tim tetap pada tingkat kementrian dan kantor wilayah/KPPN untuk memantau kinerja pencairan anggaran Satker.

Kemajuan juga telah dibuat dalam penerbitan dokumen Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) secara tepat waktu. Sejak tahun 2007, DIPA diterbitkan pada awal bulan Januari (yaitu awal tahun fiskal). Sebelumnya, DIPA dapat tertunda bila komisi DPR yang berkaitan gagal menyelesaikan tinjauan anggarannya sebelum awal tahun.

Tantangan yang berjalan terhadap pelaksanaan anggaran mencakup periode sebelum, selama dan pada akhir tahun fiskal

Lemahnya penyusunan anggaran, rumitnya prosedur revisi, sangat terincinya dokumentasi anggaran dan hambatan pengadaan adalah beberapa tantangan utama bagi pelaksanaan anggaran secara tepat waktu. Selain itu, sistem tahunan yang ketat (“jalan dan berhenti: atau gunakan atau kehilangan) memberi tekanan kepada kementerian/lembaga untuk menghabiskan seluruh anggaran yang dialokasikan di dalam satu tahun. Walaupun terdapat reformasi seperti disebutkan di atas, yang diluncurkan untuk mempercepat pelaksanaan anggaran, tantangan masih tetap ada. Tantangan tersebut termasuk masalah dari sebelum, selama dan pada akhir Tahun Fiskal:

Sebelum tahun fiskal, sebuah kegiatan dapat diberikan tanda bintang untuk menunda pelaksanaan item anggaran yang telah disahkan oleh DPR. Pendekatan ini dirancang untuk memberikan perpanjangan waktu bagi kementerian/lembaga yang berkaitan untuk menyelesaikan dokumentasi proyek yang dibutuhkan. Akan tetapi dalam praktiknya ia memberikan insentif kepada kementerian/lembaga untuk menyampaikan proyek yang belum lengkap dan memberi ruang bagi “negosiasi tidak resmi”. Sebagai akibatnya, proyek yang ditandai dengan bintang harus melalui proses pengesahan yang rumit dan kadangkala tidak pernah dapat dilaksanakan.

Masalah-masalah utama selama tahun fiskal adalah prosedur revisi anggaran dan transfer dana antar item belanja yang rumit, dan kendali pelaksanaan anggaran yang sangat rinci. Sebagian besar masalah yang berkaitan dengan tantangan jangka panjang juga harus ditangani, seperti: kelangkaan staf pengadaan yang memenuhi syarat; kebutuhan penguatan kapasitas staf Satker; dan perlunya peningkatan koordinasi dan komunikasi antara Kementerian Keuangan dan kementerian/lembaga.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan anggaran pada akhir tahun fiskal termasuk proses melanjutkan anggaran ke tahun berikutnya yang sulit dan rumit, terutama bagi proyek investasi multi-tahun. Masalah-masalah tersebut membutuhkan pertimbangan yang berhati-hati, untuk mendorong penyerapan anggaran yang fleksibel dan tepat waktu.

f. Melihat ke Depan

Sejumlah peningkatan kebijakan utama harus dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas pembelanjaan anggaran:

Reformasi pada serangkaian bidang dapat membantu untuk lebih meningkatkan kualitas pembelanjaan, terutama dalam hal pola pencairan anggaran. Hal ini termasuk: Pertama, menyederhanakan prosedur revisi anggaran dengan meningkatkan fleksibilitas kepada pemegang anggaran dalam mengelola sumber daya mereka; Kedua, menyederhanakan dan meringkas kendali pelaksanaan anggaran; Ketiga, untuk meringkas proses persiapan anggaran dengan menghentikan praktik penggunaan bintang.

Meneruskan agenda reformasi untuk meningkatkan pengadaan publik juga sama pentingnya. Secara khusus, adalah bergerak dari pendekatan ad-hoc yang berlaku sekarang untuk komite pengadaan menjadi suatu fungsi pengelolaan pengadaan yang berkelanjutan, bersama-sama dengan program peningkatan kapasitas secara nasional. Prioritas kedua adalah meningkatkan kerangka peraturan dengan melandaskannya pada UU pengadaan sektor publik nasional yang menyeluruh.

Mereformasi aturan layanan sipil dan…

….mendorong fokus jangka menengah dan orientasi kinerja juga penting

Kekakuan aturan pegawai negeri sipil dan praktik yang berlaku sekarang juga merintangi operasi lembaga publik yang efisien dan penerapan upaya reformasi yang efektif. Modifikasi terhadap struktur organisasi yang ada sangat memakan tenaga dan waktu, karena harus mendapatkan persetujuan dari Kementerian Aparatur Negara. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi para manajer dalam memilih, melatih, mendukung dan mendorong staf mereka. Hal itu juga membatasi kemampuan kementerian dan lembaga publik dalam meluncurkan reformasi pengelolaan yang lebih berbasis kinerja.

Pemerintah juga meluncurkan suatu MTEF dan program berbasis penganggaran bagi anggaran tahun 2011. Kedua hal ini adalah prakarsa yang ambisius yang dirancang, dengan berjalannya waktu, untuk membantu mendorong fokus yang lebih besar terhadap output anggaran dan secara bertahap mengubah sifat pengendalian belanja, memberi tanggung jawab kepada para manajer dan penyusun kebijakan untuk menyampaikan peningkatan kinerja yang lebih tinggi dan tidak hanya demi mematuhi peraturan keuangan belaka. Hal itu merupakan tujuan dari reformasi anggaran berbasis kinerja dari Pemerintah.

C. INDONESIA 2014 KE DEPAN: SEBUAH PANDANGAN SELEKTIF

Kemiskinan memiliki segi

pendapatan dan bukan pendapatan

Kemiskinan suatu rumah tangga dapat diukur dengan berbagai cara. Tingkat kemiskinan berbasis pendapatan atau pengeluaran menekankan pada jumlah rumah tangga dengan konsumsi di bawah suatu tingkat kemiskinan tertentu. Akan tetapi konsumsi yang mencukupi hanyalah satu dari sejumlah segi yang berbeda dari kesejahteraan manusia. Segi lain termasuk berkurangnya kerentanan terhadap kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan akses terhadap prasarana dasar seperti air dan sanitasi, perumahan dan tenaga listrik.6 Berbagai segi kemiskinan ini dapat tercermin dari strategi pengentasan kemiskinan yang memiliki banyak jalur, termasuk pertama-tama membuat pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi kaum miskin dalam hal memangkas disparitas dalam pendapatan lintas sektoral dan daerah dan menurunkan kerentanan terhadap kemiskinan. Langkah berikut adalah memastikan bahwa layanan sosial benar-benar bermanfaat bagi kaum miskin, dan akhirnya belanja publik dapat membantu mengentaskan kemiskinan melalui belanja yang ditujukan kepada kaum miskin, misalnya dengan bantuan sosial.

Kemiskinan dan penyampaian layanan adalah fokus bagi bagian ini dari Triwulanan edisi bulan Desember

Artikel-artikel berikut menekankan pada sejumlah topik pilihan tentang beragam aspek kemiskinan dan penyampaian layanan. Artikel pertama berkaitan dengan masalah kerentanan terhadap kemiskinan, yang mencermati tingkat efektivitas program bantuan langsung tunai (BLT) bagi rumah tangga miskin yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di tahun 2005 dan 2008 untuk membatasi dampak terhadap kesejahteraan rumah tangga yang disebabkan oleh penyesuaian kenaikan harga bahan bakar karena pemotongan subsidi. Artikel kedua mencakup kerentanan dan akses terhadap layanan kesehatan dengan menganalisis program asuransi kesehatan Jamkesmas bagi kaum miskin. Dua artikel berikutnya, masing-masing tentang perumahan dan air dan sanitasi, membahas tantangan-tantangan dalam pemberian akses terhadap layanan prasarana dasar tersebut. Artikel terakhir menimbang bagaimana pengawasan dan evaluasi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman tentang kemampuan pemerintah untuk menyampaikan barang-barang dan akses terhadap layanan dasar, yang dapat membantu mengentaskan kemiskinan. Untuk memberi latar belakang sebelum menuju artikel-artikel tersebut, berikut adalah gambaran ringkas tentang tingkat kemiskinan berbasis konsumsi di tahun 2010.

Tingkat kemiskinan telah menurun sejak tahun 2006

Bagian penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan telah menunjukkan penurunan yang berkelanjutan sejak tahun 2006, turun dari 17,8 persen menjadi 13,3 persen. Jumlah kaum miskin telah turun menjadi 31 juta jiwa. Pertumbuhan PDB agregat dan konsumsi yang berkelanjutan pada periode ini turut berperan dalam menurunkan kemiskinan perkotaan maupun pedesaan. Perbedaan antara kedua tingkat kemiskinan telah bertahan relatif stabil dengan tingkat kemiskinan perkotaan lebih rendah dengan nilai perbedaan sedikit di bawah 7 poin persentase. Tanpa mencoba melakukan analisis yang mendalam, cukup menarik untuk membandingkan tren agregat ini dengan beberapa layanan yang dibicarakan pada artikel-artikel berikut. Sebagai contoh, kondisi perumahan perkotaan juga telah meningkat secara moderat. Akses perkotaan dan pedesaan terhadap layanan sanitasi juga mengalami tren yang meningkat tetapi bagian penduduk perkotaan yang memiliki akses

Gambar 19: Kemiskinan secara keseluruhan menurun

(tingkat kemiskinan, persen penduduk

6

Untuk analisis mendetil akan tren kemiskinan di Indonesia, termasuk segi kemiskinan bukan pendapatan, lihat pada Bank Dunia (2006), Making the New Indonesia Work for the Poor. Untuk analisis penyampaian layanan lihat juga Bank Dunia (2006), Making Services Work for the Poor. Kedua laporan tersebut tersedia pada http://go.worldbank.org/XEIS8O8SE0.

0 5 10 15 20 25 0 5 10 15 20 25 Desa Kota Kota+Desa

terhadap pasokan air lewat pipa telah menurun. Sumber: Susenas 2010

Disparitas tingkat kemiskinan antar propinsi tetap dijumpai

Di antara angka-angka pokok tersebut, masih tetap dijumpai variasi tingkat kemiskinan antar propinsi yang kuat. Sebagai contoh, tingkat kemiskinan antar propinsi memiliki kisaran yang cukup besar dari 37 persen di Papua hingga 3,5 persen di DKI Jakarta. Akses terhadap layanan dasar juga sangat bervariasi sesuai dengan geografi. Sesungguhnya akses terhadap layanan dasar dan prasarana ternyata berhubungan dengan tingkat konsumsi rumah tangga, dan juga pendidikan, jender dan pekerjaan. Sebagai contoh, tingkat kemiskinan per sektor kerja di tahun 2010 berkisar dari 19 persen bagi pertanian hingga 1,4 persen bagi industri dan turun menjadi 6,2 persen untuk sektor jasa.

 

Gambar 20: Disparitas kemiskinan antar propinsi masih dijumpai

(tingkat kemiskinan sebagai persentase penduduk, sesuai propinsi)

1. Menilai kinerja bantuan langsung tunai (BLT) Indonesia

Bantuan sosial dapat

membantu rumah tangga miskin menghadapi perubahan mendadak dalam kondisi ekonomi makro…

Pengaturan perubahan harga, seperti yang berulang kali dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2000an, merupakan sumber risiko yang penting bagi kelangsungan hidup keluarga miskin. Perubahan yang serupa, umumnya pengurangan atau penghapusan subsidi akan kelompok konsumsi penting seperti bahan pangan, bahan bakar dan tenaga listrik, dapat membantu pemerintah untuk bergerak menuju alokasi pendapatan nasional yang lebih mendukung kaum miskin, dengan membebaskan ruang fiskal untuk dibelanjakan pada bidang lain seperti pendidikan dan kesehatan. Dengan mengelola perubahan kebijakan secara berhati-hati, pemerintah dapat mencapai realokasi sumber daya yang efisien dan mendukung kaum miskin itu sementara memitigasi turunnya pendapatan dan produktivitas yang kemudian pasti akan dihadapi oleh rumah tangga miskin. Sementara Pemerintah Indonesia mempertimbangkan perubahan lebih lanjut kepada sistem subsidinya, dan juga menyiapkan diri terhadap goncangan ekonomi makro internasional atau bencana alam berikutnya, pemerintah berada pada posisi yang baik untuk menggunakan pengalaman Indonesia dalam menyampaikan bantuan sosial langsung bagi rumah tangga miskin yang menerima dampak yang merugikan dari goncangan-goncangan tersebut.

… dan Pemerintah Indonesia memiliki pengalaman yang tak diragukan dalam menyampaikan program pengiriman bantuan berskala besar kepada mereka yang terpengaruh oleh reformasi – Bantuan Langsung Tunai atau BLT

Sebelumnya Pemerintah Indonesia menggunakan program nasional pemberian uang tunai sementara bagi rumah tangga miskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT), untuk meredam dampak peningkatan harga yang diatur dan memberikan waktu dan anggaran kepada rumah tangga miskin untuk menyesuaikan diri kepada harga-harga yang baru. Di tahun 2005 pemotongan subsidi menyebabkan peningkatan harga bahan bakar rumah tangga sebesar rata-rata di atas 125 persen. BLT, pembayaran uang tunai langsung dengan empat kali pembayaran selama setahun, merupakan prakarsa pemerintah yang dirancang untuk memitigasi pengaruh dampak-dampak yang disebabkan oleh peningkatan harga bahan bakar tersebut. BLT berikutnya diberikan pada tahun 2008 ketika terjadi lagi pemotongan subsidi bahan bakar yang bersamaan waktunya dengan krisis harga bahan pangan dunia; dan kemudian kedua hal itu juga diikuti oleh kelesuan ekonomi dunia karena krisis keuangan. Pada dua tahun tersebut, disiratkan bahwa dana untuk BLT (bagi pembayaran dana dan operasinya) dialokasikan dari penghematan anggaran yang terjadi karena pemotongan subsidi itu sendiri.

Program BLT membantu sepertiga rumah tangga di Indonesia

BLT menyampaikan bantuan uang tunai secara langsung kepada sepertiga rumah tangga di Indonesia – suatu prestasi yang mengagumkan karena program itu dirancang dan dilaksanakan dalam waktu kurang dari 5 bulan. Kantor pos mendistribusikan BLT ke 19 juta rumah tangga di setiap propinsi di Indonesia pada tahun 2005. Di tahun 2008, terdapat lebih sedikit (fewer?!?) pihak penerima bantuan tetapi bantuan tetap diberikan ke setiap propinsi. Rumah tangga yang menerima BLT adalah yang paling tidak diuntungkan dari aturan subsidi yang lama dan yang paling menanggung risiko penurunan konsumsi yang disebabkan oleh peningkatan harga dan perubahan dalam kebijakan pemerintah. Dengan pembayaran uang tunai yang setara dengan sekitar 15 persen pengeluaran rumah tangga normal (100.000 rupiah per bulan) dan jadwal penerimaan selama setahun, para rumah tangga tersebut memiliki ruang anggaran dan juga waktu untuk menyesuaikan pola pengeluaran terhadap perubahan harga maupun krisis dunia.

Manfaat BLT bagi para penerima dapat terlihat dari survei rumah tangga dan pekerjaan lapangan kualitatif

Bantuan tunai BLT yang tepat waktu memiliki dampak positif bagi rumah tangga dan kalangan masyarakat pada tingkat manfaat yang tidak menimbulkan insentif bagi perilaku yang tidak produktif. Penilaian ini berdasar pada analisis Bank Dunia atas sejumlah rumah tangga dengan karakteristik dan perilaku yang tercatat pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Periode yang diteliti termasuk masa sebelum tanggal peluncuran BLT di tahun 2005 dan 2008 dan sekali lagi setelah dua atau tiga pencairan pembayaran BLT. Survei kualitatif pada sejumlah daerah terbatas yang dilaksanakan oleh lembaga riset SMERU juga digunakan untuk mengukur dampak pembayaran.7

7 Untuk rincian lengkapnya, lihat “Social Safety Nets Indonesia: Bantuan Langsung Tunai (BTL), Temporary Unconditional Cash Transfer”, Bank Dunia, 2010.

Manfaat BLT cukup memadai bagi kebutuhan konsumsi pokok dan memberi manfaat bagi rumah tangga dan masyarakat yang lebih luas

Besaran uang tunai BLT cukup memadai bagi rumah tangga yang lemah dan dananya disampaikan pada waktu yang tepat. Penerima manfaat mengatakan bahwa BLT dihabiskan dalam waktu seminggu setelah diterima dan digunakan untuk membeli bahan-bahan pokok (terutama beras karena dapat disimpan) atau kebutuhan biaya satu kali yang mendesak seperti uang sekolah atau pakaian untuk hari raya Idul Fitri. Belanja untuk bahan bakar dan transportasi (yang mengandung komponen biaya bahan bakar) juga merupakan penggunaan dana BLT yang umum dijumpai. Pencairan BLT yang pertama kali di bulan Oktober 2005 berkaitan dengan peningkatan harga bahan bakar nasional tertinggi dan rumah tangga dapat mengandalkan dana dari pembayaran BLT untuk dua belas bulan berikutnya.8

Pada jangka pendek, rumah tangga yang menerima BLT memang menurunkan konsumsi bahan bakar mereka walaupun dana BLT setara dengan sekitar dua kali lipat tambahan biaya yang dibutuhkan oleh rumah tangga untuk memelihara konsumsi bahan bakar mereka pada tingkat yang sama sebelum pemotongan subsidi. Untuk jangka panjang, dan sebelum pemotongan subsidi (di tahun 2005 dan 2008), bahan bakar sebagai bagian dari keseluruhan pengeluaran pada rumah tangga yang dituju berada di bawah sembilan persen, sehingga BLT tidak mengubah keputusan konsumsi bahan bakar rumah tangga secara signifikan.

Di daerah dengan kondisi ekonomi makro yang paling lemah– didefinisikan dengan menggunakan kinerja pengeluaran rata-rata rumah tangga – rumah tangga penerima BLT dapat meningkatkan pengeluaran mereka pada tingkat yang lebih tinggi secara signifikan dibanding rumah tangga lain yang tidak menerima BLT.9 Selain itu, dengan memperbesar kemampuan belanja bagi rumah tangga yang lebih miskin, BLT juga memiliki efek pengganda yang positif terhadap pengeluaran pada keseluruhan lingkungan sekitar.

Rumah tangga penerima BLT lebih sering mendapat pekerjaan…

Para rumah tangga yang menerima BLT juga mendapatkan pekerjaan pada tingkat yang lebih tinggi (Tabel 8). Antara tahun 2005 (pra-BLT) dan 2007, pengurangan tipis pada jam kerja secara jangka panjang secara umum adalah sama bagi rumah tangga penerima BLT dan yang tidak menerima BLT. Akan tetapi di tahun 2008, kepala rumah tangga BLT yang sebelumnya tidak bekerja dan tanpa pekerjaan maupun usaha memiliki kemungkinan yang lebih tinggi (sebesar 10 poin persentase) untuk melaporkan bahwa mereka telah memiliki pekerjaan. Selain itu, hampir di seluruh sektor, kepala rumah tangga yang menerima BLT lebih cenderung untuk bertahan pada pekerjaannya. Hal ini tercermin pada pernyataan yang dibuat oleh para penerima BLT di tahun 2005 dan anggota masyarakat lain yang mengatakan bahwa “Nilai BLT tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup” dan dengan demikian tidak cukup untuk menciptakan kelesuan dalam dunia kerja.

…lebih sering menggunakan layanan kesehatan…

Dampak-dampaknya juga dapat dilihat pada penggunaan layanan kesehatan. Para rumah tangga yang menerima BLT menghindari penghematan dalam pengeluaran untuk kesehatan yang dapat memiliki pengaruh negatif yang berlangsung lama. Sangatlah nyata bahwa pada daerah-daerah yang paling terpengaruh oleh epidemi kemiskinan, rumah tangga BLT lebih sering mencari layanan kesehatan dibanding rumah tangga yang tidak menerima BLT. Terdapat variasi dampak positif BLT terhadap penggunaan layanan kesehatan ini; sebagai contoh, pemanfaatan layanan kesehatan lebih besar untuk rawat inap dibanding rawat jalan, dan juga lebih besar bagi rumah tangga yang terlindung asuransi.

8 Di tahun 2008 ketika harga-harga meningkat lebih landai, penyampaian BLT di semua tempat tidak seketika mengikuti peningkatan harga tetapi di beberapa daerah dilakukan satu atau dua triwulan setelahnya, dan baik jumlah nilai maupun jumlah pencairan mengalami penurunan (masing-masing dari 1,2 juta rupiah menjadi 900.000 rupiah dan dari 4 menjadi tiga).

9 Daerah-daerah yang lemah (kuat) didefinisikan sebagai yang memiliki pertumbuhan rata-rata pengeluaran per kapita sama dengan persentil ke-25 atau di bawahnya (persentil ke-75 dan di atasnya) dari distribusi nasional rata-rata pertumbuhan pengeluaran per kapita daerah. Mulai tahun 2004, pertumbuhan PDB riil Indonesia berada pada rata-rata lima setengah persen per tahun dan secara nasional rumah tangga yang lebih miskin mengalami peningkatan yang lebih besar dalam hal pengeluaran dibanding rumah tangga yang lebih mampu pada kedua periode BLT di tahun 2005 dan 2008.

…lebih sering tetap menyekolahkan anak-anak mereka dan tidak mengirimkan mereka ke pasar tenaga kerja…

Selain itu, rumah tangga penerima BLT menghindari peningkatan dalam pekerja anak dan

Dalam dokumen Memaksimalkan kesempatan, mengelola risiko (Halaman 33-43)

Dokumen terkait