• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Karakteristik

Jamur ini mirip seperti jenis Coprinus disseminatus, tetapi berwarna kuning tua (orange) dan lebih kecil dan halus, serta populasinya yang lebih sedikit. Ukuran tubuh buahnya kecil dengan diameter antara 0,5-1,5 cm. P. rufa dan tidak memiliki tangkai.

Gambar 28. Peniophora rufa b. Habitat dan Penyebarannya

Biasanya ditemukan pada batang pohon. Tumbuh secara bergerombol atau berkelompok dengan membentuk koloni. Kondisi cahaya yang diperlukan adalah sedikit atau tidak penuh. Biasanya ditemukan pada ketinggian 1800-1900 m di atas permukaan laut. Hal ini didukung oleh pernyataan Perala (2003) bahwa beberapa jenis jamur pada batang kayu di Pegunungan Aspen seperti Radulodon caesearius, Peniophora polygonia, P. rufa, and Pholiota adipos. Pegunungan Aspen memiliki suhu sebesar 16 oC pada bulan Juli, presipitasi sebesar 180 mm. Ketinggian daerah

Quaking Aspen adalah 910 m di atas permukaan laut.

Tabel 1. Jenis-jenis Jamur Makroskopis yang Ditemukan di Hutan Pendidikan Gunung

Barus

No. Kelas Ordo Family Spesies Nama Lokal Keterangan

1 Basidiomycetes Polyporales Polyporaceae Lenzites betulina Dawan Cuping di batang kayu tumbang 2 Basidiomycetes Popyporales Ganodermataceae Amauroderma sp. Dawan Mbiring di serasah atau tanah hutan 3 Basidiomycetes Agaricales Coprinaceae Coprinus disseminatus - di batang kayu hidup

4 Agaricomycetes Agaricales Amanitaceae Amanita vaginata - di serasah

5 Agaricomycetes Agaricales Amanitaceae Amanita rubescens Dawan Mdate di serasah

6 Agaricomycetes Agaricales Amanitaceae Amanita virosa - di serasah

7 Agaricomycetes Agaricales Amanitaceae Amanita sp1. Dawan Ermbuluh di serasah atau tanah hutan

8 Agaricomycetes Agaricales Marasmiaceae Marasmius siccus - di serasah pohon

9 Agaricomycetes Agaricales Marasmiaceae Marasmius sp. - di serasah atau batang kayu 10 Agaricomycetes Agaricales Marasmiaceae Marasmiellus candidus - di batang kayu tumbang

11 Agaricomycetes Agaricales Amanitaceae Amanita sp2. - di serasah

12 Agaricomycetes Agaricales Marasmiaceae Omphalotus nidivormis - di batang kayu tumbang 13 Agaricomycetes Agaricales Psathyrellaceae Psathyrella bipellis - di serasah

14 Agaricomycetes Russulales Russulaceae Russula aeruginea - di serasah

15 Agaricomycetes Russulales Russulaceae Russula xerampelina - di serasah

16 Agaricomycetes Russulales Peniophoraceae Peniophora rufa - di batang kayu hidup

17 Agaricomycetes Auriculariales Auriculariaceae Auricularia auricula- judae

- di batang kayu tumbang 18 Agaricomycetes Boletales Sclerodermataceae Scleroderma cepa - di serasah atau tanah hutan

Berdasarkan hasil pengambilan sampel di Hutan Pendidikan Gunung Barus diperoleh 5 famili Amanitaceae, 4 famili Marasmiaceae, 2 famili Russulaceae, 1 famili Polyporaceae, 1 famili Ganodermataceae, 1 famili Coprinaceae, 1 famili Psathyrellaceae, 1 famili Peniophoraceae, 1 famili Auriculariaceae, dan 1 famili Sclerodermataceae. Menurut Tampubolon (2010) bahwa ordo Agaricales adalah kelompok jamur yang paling familiar dengan bentuk seperti payung. Bagian bawah

payung terdiri atas bilah-bilah atau gills yang tersusun radial. Ditambahkan oleh Alexopoulus & Mimms (1979), anggota ordo Agaricales sangat banyak dan kompleks, kelompok ini umum disebut Mushroom atau cendawan. Cendawan adalah kelompok jamur yang berdaging, terkadang sedikit kenyal. Bagian yang membentuk spora disebut sporofor tempat terdapatnya basidia pada bilah-bilah atau gill dan bisa juga berupa lubang-lubang kecil (pores) seperti pada famili Boletaceae.

Polyporaceae merupakan salah satu kelompok terbesar yang memiliki banyak warna, bentuk dan ukuran. Polypores kebanyakan tumbuh pada kayu. Tubuh buahnya berkayu, tebal dan kasar. Basidiomycetes memiliki spora yang disebut basidiospora. Sebagian besar makrofungi yang kita kenal adalah Basidiomycota (Gandjar et al., 2006). Kebanyakan anggota Basidiomycetes adalah cendawan, jamur payung, dan cendawan berbentuk bola yang disebut juga jamur berdaging.

Analisis Keanekaragaman Jenis Jamur Beracun di Hutan Pendidikan Gunung Barus

Karakteristik jamur yang tumbuh di hutan pegunungan memiliki ciri khas yang berbeda-beda di setiap ketinggian. Semakin tinggi kondisi lokasi, maka semakin banyak jenis dan jumlah individu jamur yang ditemukan. Di samping itu, pengamatan dilakukan pada musim hujan, sehingga jumlah individu setiap jenis jamur yang diperoleh cukup sedikit. Curah hujan yang cukup tinggi akan membawa tubuh jamur bersamaan dengan aliran permukaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arif et al. (2008) yang menyatakan bahwa kondisi iklim dan letak geografis yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pada pertumbuhan

mikroorganisme. Ditinjau dari kerusakan akibat pelapukan jamur, temperatur dan curah hujan merupakan faktor iklim yang penting. Pada pelaksanaan analisis vegetasi yang dilakukan, metode yang digunakan adalah Purposive Sampling, dengan bentuk petak ukur persegi yang berukuran 10 m x 10 m. Sampel yang diambil didokumentasikan dengan kamera digital dan dihitung jumlahnya sesuai dengan masing-masing patak ukur yang digunakan, setelah itu dianalisis keanekaragamannya berdasarkan indeks shannon-wiener. Berdasarkan pengambilan sampel dilapangan diperoleh analisis data pada Tabel 2.

Tabel 2. Data analisis vegetasi jamur di Hutan Gunung Barus seluas 1000 ha, dengan

ukuran plot sebesar 10m x 10m Nama Jenis Jumlah individu K Jenis KR F FR INP Marasmius siccus 349 698 43,68 0,62 24,8 68,48 Scleroderma cepa 18 36 2,25 0,12 4,8 7,05 Lenzites betulina 47 94 5,88 0,2 8 13,88 Auricularia auricula-judae 25 50 3,13 0,06 2,4 5,53 Amanita vaginata 37 74 4,63 0,2 8 12,63 Amanita sp1. 36 72 4,51 0,16 6,4 10,91 Amanita rubescens 14 28 1,75 0,08 3,2 4,95 Amauroderma sp. 10 20 1,25 0,08 3,2 4,45 Marasmius sp 47 94 5,88 0,18 7,2 13,08 Russula aeruginea 35 70 4,38 0,16 6,4 10,78 Marasmiellus candidus 11 22 1,38 0,06 2,4 3,78 Amanita virosa 15 30 1,88 0,1 4 5,88 Omphalotus nidiformis 66 132 8,26 0,06 2,4 10,66 Coprinus disseminatus 15 30 1,88 0,04 1,6 3,48 Russula xerampelina 32 64 4,01 0,18 7,2 11,21 Psathyrella bipellis 27 54 3,38 0,1 4 7,38 Amanita sp2. 4 8 0,5 0,04 1,6 2,1 Peniophora rufa 11 22 1,38 0,06 2,4 3,78 799 1598 100 2,5 100 200,01 H’ 2,18

Berdasarkan data analisis vegetasi yang terdapat pada Tabel 2, diperoleh bahwa nilai H’ yang didapatkan adalah sebesar 2,18. Menurut Asrianny et al.(2009) bahwa H’ < 1 menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang rendah,1 < H’ < 3 menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang sedang, sedangkan untuk H’ > 3 menunjukkan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis jamur di Hutan Pendidikan Gunung Barus tergolong sedang produktivitasnya, karena beberapa faktor yang kurang mendukung pertumbuhannya, baik itu suhu, kelembaban, pH tanah, vegetasi penutup, intensitas cahaya, maupun ketersediaan oksigen. Menurut Tarmedi (2006) bahwa suhu dan kelembaban merupakan unsur iklim yang sangat mempengaruhi proses infeksi Cendawan Miokoriza Arbuskular. Suhu tanah 250C - 300C

merupakan suhu optimum untuk perkembangan dan keefektifan CMA. Suhu pada Hutan Sub Pegunungan sekitar 190C, sehingga dengan kondisi suhu yang berada di

bawah suhu optimum menyebabkan nilai infeksinya rendah. Di samping itu, pertumbuhan vegetasi yang kurang normal dan rendahnya jumlah vegetasi juga mempengaruhi pertumbuhan jamur makroskopis, karena sebagian besar jamur tumbuh menempel pada batang pohon atau sekitar perakaran pohon.

Indeks nilai penting merupakan total penjumlahan antara parameter kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif. Akan tetapi pada penelitian ini, objek yang diamati adalah jamur, dimana jamur tergolong ke dalam hasil hutan non kayu. Sehingga nilai dominansi relatif tidak dihitung. Indeks nilai penting menunjukkan kelimpahan jenis jamur yang mendominasi hutan Pendidikan Gunung Barus. Sesuai dengan pengamatan yang dilakukan di lapangan, maka jumlah jenis individu jamur yang memiliki INP tertinggi pada areal tersebut adalah

jenis Marasmius siccus yaitu sebesar 68.48, karena hampir di setiap petak ukur terdapat jenis ini. Sedangkan jenis jamur yang memiliki INP yang paling rendah adalah jenis Amanita sp2. yaitu sebesar 2.1. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi tempat tumbuh yang kurang mendukung pertumbuhan jenis jamur makro ini. Jenis Marasmius siccus dan Lenzites betulina mampu tumbuh dan berkembang dengan cepat, sehingga lebih mendominasi pertumbuhan jamur lainnya.

Berikut ini adalah Gambar 29. yang menunjukkan sebaran potensi jamur di Hutan Pendidikan Gunung Barus.

Gambar 29. Peta Sebaran Potensi Jamur Beracun di Hutan Pendidikan Gunung Barus

Dari peta di atas dapat dilihat bahwa banyaknya plot menunjukkan jumlah jenis dan individu jamur makroskopis yang tumbuh. Jamur dapat tumbuh pada kondisi optimum yang mendukung pertumbuhan jamur, seperti curah hujan yang cukup tinggi, suhu udara, kelembaban, vegetasi, cahaya, serta faktor lainnya. Adanya pengaruh antara tinggi tempat dengan kondisi lingkungan, juga menyebabkan banyaknya jamur yang tumbuh dan berkembang. Pada ketinggian di antara 1600-1900 meter di atas permukaan laut lebih banyak ditemukan jamur makroskopis. Semakin tinggi lokasi, maka akan semakin rendah suhu udara dan semakin tinggi kelembaban udara. Menurut Gartz (1927) bahwa selama musim panas, iklim hangat di dalam area yang basah menyediakan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan miselia yang optimal. Di Jerman, habitat jamur yaitu dari area pantai hingga daerah pegunungan, dimana jenis-jenis jamur dapat ditemukan pada ketinggian di atas 1720 m di atas permukaan laut. Di Czechoslovakia, sampel telah dikoleksi pada ketinggian yang berkisar antara 330 m hingga 1000 m di atas permukaan laut.

Hutan Pendidikan Gunung Barus terdiri dari beberapa jenis vegetasi dari tingkat dari semai hingga pohon, sehingga dapat ditemukan beberapa jenis jamur dapat bersimbiosis dengan vegetasi tersebut, baik simbiosis mutualisme maupun parasitisme. Sebagian besar jamur beracun tergolong ke dalam ektomikoriza, dan terdapat di sekitar perakaran pohon. Menurut Suharna (1993) bahwa beberapa jamur anggota kelompok jamur beracun bisa bersimbiosis dengan akar-akar tanaman tinggi (khususnya pepohonan). Kerapatan vegetasi juga mempengaruhi cahaya yang masuk ke dalam lantai hutan. Pertumbuhan jamur juga memerlukan cahaya yang tidak terlalu banyak maupun terlalu sedikit, karena cahaya yang terlalu

banyak dapat merusak jaringan, sedangkan cahaya yang terlalu sedikit dapat memperlambat pertumbuhan jamur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chang dan Philip (2004) yang menyatakan bahwa pertumbuhan banyak jamur tidak sensitif terhadap cahaya, meskipun cahaya yang kuat dapat menghambat atau bahkan membunuh jamur. Cahaya juga menjadi syarat untuk perkembangan beberapa jamur dari perkembangan tubuh buah. Sedangkan menurut Tarmedi (2006) bahwa pada hutan sub pegunungan, intensitas cahaya yang sampai ke lantai hutan rendah, hal ini dipengaruhi oleh adanya kerapatan tajuk. Kondisi seperti ini menyebabkan kelembabannya cukup tinggi dan suplai oksigen di dalam tanah rendah. Sehingga menyebabkan infeksi mikorizanya rendah.

Penelitian dilakukan pada saat kondisi hujan yang cukup panjang, yaitu pada bulan Agustus – Oktober. Hujan yang terlalu tinggi akan meningkatkan aliran permukaan tanah dan dapat merusak bagian tubuh jamur. Oleh sebab itu, perlu kondisi optimum untuk pertumbuhan jamur, dimana jumlah bulan basah yang tidak terlalu banyak. Menurut Heri (2009) menyebutkan bahwa jamur perusak kayu dapat berkembang pada interval suhu yang cukup lebar, tetapi pada kondisi-kondisi alami perkembangan yang paling cepat terjadi selama periode-periode yang lebih panas dan lebih lembab dalam setiap tahun. suhu optimum berbeda-beda untuk setiap jenis, tetapi umumnya berkisar antara 220C sampai 350C. Menurut Gartz

(1927) bahwa jamur makro khususnya, dapat tumbuh dengan baik pada bulan May hingga Juni.

Analisis Fitokimia Jamur Beracun yang terdapat di Hutan Pendidikan Gunung Barus

Pengujian fitokimia dilakukan pada 14 jenis jamur yang telah dipilih dari Hutan Pendidikan Gunung Barus, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Ke 14 jenis jamur makroskopis tersebut dipilih berdasarkan jumlahnya yang dapat mencukupi sebagai bahan fitokimia. Pada masing-masing contoh uji memiliki berat yang sesuai dengan kriteria pengujian agar dapat dilakukan pengujian tersebut. Menurut Kusumo et al.(2002) bahwa eksplorasi dan koleksi plasma nutfah disertai dengan menggali keterangan dari petani yang berkaitan dengan kriteria preferensi petani terhadap varietas tanaman yang bersangkutan. Di samping itu, benihnya harus sehat dan jumlahnya mencukupi.

Sebelum dilakukan skrining fitokimia, jamur-jamur telah diidentifikasi dan dikering udarakan hingga kadar airnya menjadi rendah. Pengeringan dilakukan untuk mempermudah penghalusan sampel jamur tersebut. Sampel yang telah dihaluskan, dapat dicampurkan dengan pereaksi-pereaksi kimia untuk mendapatkan kandungan fitokimianya. Skrining fitokimia bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam jamur tersebut. Senyawa-senyawa tersebut meliputi Alkaloid, Flavonoid, Steroid-Terpenoid, dan Saponin. Pengujian dilakukan pada masing-masing spesies jamur . Jamur yang mengandung senyawa tersebut, ditandai dengan adanya minimal dua pereaksi yang bernilai positif. Pada pengujian saponin hanya digunakan satu pereaksi.

Tabel 3. Hasil Skrining Fitokimia Jamur Beracun di Hutan Pendidikan Gunung Barus

No. Jenis Jamur

Alkaloid Flavonoid Steroid-Terpenoid Saponin

Mayer Wagner Bouchardart Dragendorf FeCl3 1% NaOH

10% Mg-HCl H2SO4 (p) Salkowsky Lieberman Bouchard CeSO4 1% dalam H2SO4 10% Aquadest + Alkohol 1 Marasmius siccus + - - + - - - - 2 Scleroderma cepa - - + + - - - + 3 Lenzites betulina + + - - - - 4 Auricularia auricula- judae + - - - - 5 Amanita vaginata + - - - - 6 Amanita sp1. + + + + - - - + 7 Amanita rubescens + - + ++ - - - + 8 Amauroderma sp. - - + + - - - - 9 Marasmius sp. - - - - 10 Russula aeruginea - + - - - + 11 Amanita virosa + - - + - - - - 12 Omphalotus nidiformis + - - - + 13 Russula xerampelina - + + + - - - + - - - - 14 Psathyrella bipellis + + + + - - - + - - - + Keterangan :

Wagner : KI + Aquadest + Iodium + : Terdapat sedikit zat kimia (endapan sedikit)

Mayer : HgCl2 + Aquadest + KI ++ : Terdapat agak banyak zat kimia (endapan sedang)

Bouchardart : KI + Aquadest + Iodium +++ : Terdapat sangat banyak zat kimia (endapan banyak dan pekat)

Dragendorf : BiNO3 + HNO3 + KI + Aquadest - : Tidak terdapat zat kimia

Salkowsky : H2SO4 (p)

Setelah dilakukan pengujian di laboraturium, didapatkan hasil uji Alkaloid yang menyatakan bahwa jenis yang mengandung senyawa alkaloid tersebut di antaranya adalah Marasmius siccus, Scleroderma cepa, Lenzites betulina, Amanita sp1., Amanita rubescens, Amauroderma sp., Amanita virosa, Russula xerampelina, dan Psathyrella bipellis. Kandungan senyawa Alkaloida berperan sebagai penurun aktivitas makan pada organisme (antifeedant). Hal ini menunjukkan kesembilan jenis jamur ini dapat dijadikan sebagai anti hama. Menurut Taofik (2010) yang menyatakan bahwa salah satu alkaloid yang mempunyai struktur tersederhana adalah nikotina, tetapi nikotina ini dampak fisiologinya cukup besar. Dalam dosis tinggi, nikotina bersifat racun (toksik) dan pernah juga digunakan sebagai insektisida, sedangkan dalam dosis rendah nikotina berfungsi sebagai stimulan terhadap sistem syaraf otonom. Menurut Dinas Pertanian TPH Kabupaten Grobogan (2012) menyatakan bahwa nikotin merupakan racun syaraf yang bereaksi cepat. Nikotin berperan sebagai racun kontak bagi serangga sehingga efektif untuk mengendalikan hama pengisap juga serangga seperti: ulat perusak daun, aphids, triphs, dan pengendali jamur (fungisida).

Pada hasil pengujian flavonoid yang dilakukan dengan menggunakan empat pereaksi, diketahui bahwa semua jenis jamur tidak memiliki senyawa flavonoid sama sekali. Kandungan flavonoid berfungsi sebagai antimikroba dan antivirus. Oleh karena itu, seluruh jenis jamur yang didapatkan tidak dapat dijadikan sebagai antimikroba. Hal ini membuktikan bahwa ke 14 jamur tersebut tidak dapat dijadikan sebagai antimikroba atau antivirus.

Untuk pengujian Steroida dan Terpenoida, didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada senyawa steroid dan terpenoid yang terkandung di dalam jamur yang diuji.

Pada umumnya kandungan steroida berperan sebagai pelindung pelindung dan penolak serangga. Menurut Robinson (1995) bahwa beberapa senyawa ini jika terdapat dalam tumbuhan akan dapat berperan menjadi pelindung. Senyawa ini tidak hanya bekerja menolak beberapa serangga tetapi juga menarik beberapa serangga lain, sedangkan terpenoida dapat menolak beberapa serangga pada tanaman melalui ekstraksi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Budianto dan Tukiran (2012) yang mengatakan bahwa senyawa triterpenoid merupakan senyawa yang bersifat repellent (penolak serangga), sehinga sering dimanfaatkan sebagai insektisida.

Sedangkan pada pengujian Saponin, diperoleh data bahwa terdapat

kandungan saponin pada beberapa jenis jamur seperti Scleroderma cepa, Amanita sp1., Amanita rubescens, Russula aeruginea, Omphalotus nidiformis, dan

Psathyrella bipellis. Kandungan senyawa saponin berperan sebagai penghancur sel-sel darah merah pada organisme, sehingga dapat dijadikan sebagai racun bagi organisme. Menurut Claus (1961) bahwa saponin dikarakteristikan dengan pembentukan solusi koloidal di dalam air yang berbusa ketika dikocok; mereka mengandung rasa yang lebih pahit, aroma yang tajam, dan racun-racun yang berisikan mereka yang biasanya menyebabkan bersin dan lainnya menyebabkan iritasi ke selaput membran; mereka menghancurkan sel-sel darah merah melalui hemolisis dan mereka beracun, terutama pada hewan-hewan yang berdarah dingin, banyak yang telah digunakan sebagai racun ikan.

Potensi Pengembangan Biopestisida yang Berasal dari Senyawa Fitokimia

Beberapa tumbuhan memiliki senyawa metabolit sekunder yang berfungsi untuk mempertahankan siklus hidupnya. Senyawa metabolit sekunder tersebut dapat mematikan atau menghindarkan diri dari gangguan organisme lainnya melalui serangkaian proses. Oleh sebab itu, jamur yang didapatkan di Hutan Pendidikan Gunung Barus dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan jamur beracun dapat dilakukan melalui proses ekstraksi. Ekstraksi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengeluarkan kandungan senyawa yang terdapat di dalam tubuh buah tanaman.

Tabel 4. Analisis Potensi Jamur Beracun dan Pemanfaatannya sebagai Biopestisida

No Nama Jenis Senyawa Fitokimia

Pemanfaatan

Alkaloid Flavonoid Steroid-

Terpenoid

Saponin

1 Marasmius siccus √ Larvasida, Fungisida,

Rodentisida, , Moluskida 2 Scleroderma cepa √ √ Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Pisisida, Avisida, Moluskida,Bakterisida

3 Lenzites betulina √ Larvasida, Fungisida,

Rodentisida, Moluskida 4 Auricularia auricula-judae 5 Amanita vaginata 6 Amanita sp1. √ √ Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Pisisida, Avisida, Moluskida, Bakterisida 7 Amanita rubescens √ √ Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Pisisida, Avisida, Moluskida, Bakterisida 8 Amauroderma sp. √ Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Moluskida, Bakterisida 9 Marasmius sp.

10 Russula aeruginea √ Avisida, Muluskida,

Bakterisida

11 Amanita virosa √ Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Moluskida

12 Omphalotus nidiformis √ Avisida, Muluskida

13 Russula xerampelina √ Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Moluskida, Bakterisida 14 Psathyrella bipellis √ √ Larvasida, Fungisida, Rodentisida, Pisisida, Avisida, Moluskida, Bakterisida

Keterangan : √ = terdapat senyawa Fitokimia

Dilihat dari analisis fitokimia di atas, beberapa jamur beracun tersebut memiliki potensi yang cukup besar untuk dijadikan sebagai biopestisida, karena

kandungan senyawa metabolit sekunder yang dimilikinya. Namun, terdapat 3 jenis jamur yang tidak memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder, sepert Auricularia auricula-judae, Marasmius sp., dan A. vaginata. Hal ini belum menunjukkan bahwa jamur tersebut tidak dapat dijadikan sebagai biopestisida, karena masih terdapat senyawa lainnya yang tergolong ke dalam senyawa tersebut. Senyawa-senyawa metabolit tersebut memiliki peranannya masing-masing di dalam menghindari organisme yang mengganggunya. Ada 4 jenis jamur yang memiliki lebih banyak kandungan senyawa tersebut, diantaranya : S. cepa, Amanita sp1, A. rubescens, dan P. bipellis.

Potensi Budidaya Jamur Beracun yang Terdapat di Hutan Pendidikan Gunung Barus

Ditinjau dari segi potensi pengembangan dan aspek keanekaragamannya, Jamur Amanita sp1. dan P. bipellis dapat dibudidayakan di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Barus. Hal ini disebabkan karena kedua jenis jamur ini memiliki indeks nilai penting yang tidak terlalu rendah. Untuk membudidayakan jamur tersebut, diperlukan kesesuaian antara lingkungan dengan kemampuan tumbuh dan berkembangnya jamur beracun tersebut. Pembudidayaannya dapat dilakukan secara vegetatif yaitu dengan mengambil bagian tubuh buah dan dibiakkan ke dalam kultur. Setelah dewasa dapat dipindahkan ke media tumbuh seperti sekam padi, serpihan kayu, dan sebagainya yang dicampurkan dengan substrat tumbuh jamur.

Substrat yang diperlukan adalah serasah atau tanah yang mengandung bahan organik yang cukup banyak dan berasosiasi dengan akar pohon dipterocarpaceae. Umumnya Amanita sp1. dapat tumbuh secara menyebar atau jarang-jarang. Tidak terdapat cincin pada batang Amanita sp. Kondisi Suhu di lokasi penelitian mendukung pertumbuhan miselia jamur ini, karena pertumbuhan miselium spesies jamur ini berkisar antara 20-30 oC. Menurut Brundrett et al. (1995) bahwa biakan-

biakan Amanita sp. biasanya diinkubasi pada suhu 20-25 oC, tetapi laju

pertumbuhan pada suhu ini adalah untuk subkultur segar yang akan dibuat setiap 8 - 12 minggu, sebelum nutrisi di dalam media dilengkapi secara lengkap atau akumulasi substansi terhambat. Laju pertumbuhannya termasuk sedang atau dengan faktor-faktor tumbuh. Pembudidayaannya dapat dilakukan dengan menumbuhkan miselianya. Miselia Amanita sp1. berwarna putih atau sedikit warna lain. Menurut Hall et al. (2003) bahwa jamur Amanita sp1. dapat ditanam pada tray kayu yang berisi kompos, kantong, ataupun di dalam rak. Sterilisasi media diperlukan suhu sebesar 50-60 oC dari 5 hingga 8 hari. Di dalam tahap ini, status

nutrisi dari substrat diubah menjadi kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan jamur Amanita sp1. Kondisi yang diperlukan untuk berbuah adalah suhu antara 16 -20 0C

dengan kelembaban yang tingggi, dan rendah karbon. Psathyrella bipelis

Jamur ini tidak memiliki cincin, tetapi memiliki rambut pada bagian tudungnya. P. bipelis merupakan salah satu jamur yang tidak dapat dikonsumsi atau beracun. Jamur ini berbentuk payung dengan tangkai yang lebih panjang dan cembung. Jamur ini memiliki kepala atau tudung berwarna merah kecokelatan dan tangkai yang berwarna putih kemerahan. Substrat yang diperlukan untuk

pertumbuhan jamur P. bipelis adalah tanah yang banyak mengandung bahan organik ataupun serasah yang lembab. Pada tahap pemijahan (Spawning) dapat menggunakan serbuk gergaji kayu maupun butir-butir jagung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ayode et al. (2010) bahwa pada tahap pemijahan, jamur- jamur muncul pada butir-butir jagung Guinea dan serbuk gergaji dari kayu Gmelina arborea.

Biasanya jamur ini ditemukan pada kondisi cahaya yang agak banyak atau dengan tutupan tajuk yang tidak terlalu rapat. Menurut Ayodele et al.(2010) yang menyatakan bahwa rata-rata hari dari kolonisasi miselia lengkap dan sporofor kritis di bawah cahaya matahari ditemukan lebih lama pada Psathyrella sp. (22 dan 41 hari berturut-turut), sedangkan di bawah stres kekeringan lebih lama pada Pleurotus sajor-caju (17 dan 42 hari berturut-turut).

Dokumen terkait