• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENJELASAN BAGIAN III

Dalam dokumen UNCLOS 1982 KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA (Halaman 43-47)

8. Armed Robbery & Piracy ditinjau dari UNCLOS & KUHP I. Menurut UNCLOS

a. Piracy / Pembajakan dimana pengertiannya terdapat pada Pasal 101 dan tempatnya ada pada Pasal 101 huruf (i)

b. Armed Robery / Perompakan Tidak diatur dalam UNCLOS dimana tempatnya ; Dapat disimpulkan bahwa kejadian Pembajakan / perompakan yang terjadi diluar laut lepas.

II. Menurut KUHP

a. Piracy / Pembajakan

i. Diatur pada Pasal 438 (1) diancam karena melakukan pembajakan dilaut.

ii. Pasal 439 (1) diancam karena melakukan pembajakan di tepi laut.

b. Armed Robery / Perompakan

i. Tidak ada pasal secara khusus yang mengatur akan tindakan perompakan,

ii. karena tindakan ini menurut KUHP sudah dikategorikan sebagai Kejehatan

iii. Pelayaran. (Pasal 438 dan 439)

9. Kajian yuridis tentang zona tambahan

Rezim zona tambahan diatur dalam Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958. Dalam konferensi tersebut menghasilkan 4 konvensi, yaitu :

1. Konvensi I tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan 2. Konvensi II tentang Laut Lepas

3. Konvensi III tentang Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas 4. Konvensi IV tentang Landas Kontinen

Menurut J.G Starke, zona tambahan adalah suatu jalur perairan yang berdekatan dengan batas jalur maritim atau laut teritorial, tidak termasuk kedaulatan negara pantai, tetapi dalam zona tersebut negara pantai dapat melaksanakan hak-hak pengawasan tertentu untuk mencegah pelaggaran peraturan perundang-undangan saniter, bea cukai, fiskal, pajak dan imigrasi di wilayah laut teritorialnya. Sepanjang 12 mil atau tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal.

Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:

1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasian (imigration), dan kesehatan atau saniter.

2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-undangannya tersebut di atas.

Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan itu:

- Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau garis itu adalah g aris pangkal.

- Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal.

- Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal adalah merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona

tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.

- Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial dimana negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya dibatasi oleh hak lintas damai.

Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona tambahannya maupun memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan batas terluar, maupun tentang penetapan garis batas pada zona tambahan yang tumpang tindih atau yang berbatasan dengan zona tambahan negara lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman dan HAM pernah melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik dan RUU tentang Zona Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-Undang.

Menurut ketentuan Pasal 47 ayat 8 dan 9 dari UNCLOS, garis-garis pangkal yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut harus dicantumkan dalam peta atau peta-peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.

Wilayah laut Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yakni laut teritorial sejauh 12 mil, Zona Tambahan sejauh 24 mil dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil, untuk melindungi hak berdaulat atas kekayaan dan yuridiksi yang dimiliki oleh Indonesia terhadap wilayah perairannya maka dibutuhkan suatu peraturan, dalam hal ini peraturan yang mengatur tentang Zona Tambahan, yang mana Indonesia mempunyai Yuridiksi pengawasan di Zona Tambahan untuk mencegah dan menindak pelanggaran Bea Cukai, Imigrasi, Fiskal dan saniter. Zona Tambahan Indonesia adalah perairan yang berdampingan dengan Laut Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil laut dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan.

Pendapat pakar hukum laut, Hasyim Djalal, mengenai Zona Tambahan (contiguous zone) adalah sepanjang yang berkaitan dengan batas contiguous zone, belum ada

satupun batas yang ditetapkan dengan Negara-negara tetangga. Malah Indonesia sampai sekarang belum lagi mengundangkan ketentuannya mengenai zona ini. Walaupun seluruh Negara tetangga Indonesia telah mengundangkannya. Disinilah kelalaian Indonesia yang sangat menonjol. Karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan mengenai ketentuan contiguous zoneini dan kemudian merundingkan batas-batasnya dengan Negara-negara terkait, khususnya dengan Thailand, Malaysia, Philipina, dan Australia.

Beberapa alternatif penyusunan pengaturan hukum di Zona Tambahan, yakni alternatif pertama dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai Zona Tambahan Indonesia, alternatif kedua menyempurnakan RUU tentang Kelautan dengan menambahkan pengaturan-pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif ketiga menyempurnakan Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif keempat menyempurnakan Undang-undang di bidang-bidang Kepabeanan (Bea Cukai), Imigrasi, Perpajakan (fiskal), saniter (kesehatan/karantina) dan cagar budaya, dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, dan alternatif yang kelima menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia.

Alternatif yang paling tepat adalah alternatif kelima yakni menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, dengan alasan judul pengaturan dalam UNCLOS 1982 adalah: “TERRITORIAL SEA AND CONTIGUOUS ZONE” maka lebih praktis menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia. Konsep pengaturan hukum di Zona Tambahan Indonesia, yang dibagi kedalam 4 pasal, yaitu pasal 1 ayat (1) di zona yang berbatasan denga Laut Teritorial Indonesia, selanjutnya disebut Zona Tambahan Indonesia, Aparat Penegak Hukum yang berwenang, dapat melakukan pengawasan yang perlu untuk : a. Mencegah pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, ke fiskalan, keimigrasian, dan kekarantinaan dalam wilayah darat atau wilayah perairan Indonesia, b. Menindak pelanggaran atas peraturan perundang-undangan tersebut dalam huruf a yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorial Indonesia. Ayat (2) zona tambahan tidak dapat melebihi 24 mil laut diukur dari garis pangkal untuk mengatur lebar Laut Teritorial. Pasal 2 pengangkatan benda purbakala atau benda sejarah dari zona tambahan Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ijin pemerintah. Pasal 3 ayat (1) dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 2, pengangkatan dan pemanfaatan kerangka kapal, benda berharga atau muatan kapal yang tenggelam (BMKT) dari zona tambahan, hanya dapat dilakukan dengan ijin pemerintah. Ayat (2) kerangka kapal atau barang berharga asal muatan kapal yang tenggelam sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), yang dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun setelah tenggelam tidak diangkat dari dasar laut, dianggap telah ditinggalkan oleh pemiliknya, dan oleh karena itu menjadi milik Negara. Pasal 4 berisi sanksi atas pelanggaran hukum yang berlaku di wilayah Negara Republik Indonesia berlaku terhadap pelanggaran hukum atas ketentuan-ketentuan di zona tambahan Indonesia.

Ada 2 hal yang belum diatur dan membutuhkan peraturan perundang-undangan yakni Zona Tambahan dan Landas Kontinen. Sebaiknya pengaturan hukum zona tambahan dimasukkan kedalam RUU Kelautan yang sedang berjalan di DPR, hal ini dimaksudkan agar pengaturan hukum zona tambahan dapat berjalan dengan menghemat waktu dan biaya, dibandingkan dengan harus membuat UU sendiri. Banyak pendapat lebih condong untuk memasukan pengaturan hukum zona tambahan kedalam UU ZEE atau RUU kelautan.

Sebagai kesimpulan, mengerucut kepada dua alternatif yakni menyempurnakan RUU Kelautan atau merevisi UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Agar kesepakatan penentuan penambahan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia dari 2 alternatif terpilih (RUU Kelautan atau UU No.6 th. 1996 tentang Perairan Indonesia), perlu dicermati berdasarkan azas efektif dan efisien serta target yang harus dicapai pada akhir 2010, mengingat masih terjadinya perdebatan cukup “alot” dari kementerian dan Institusi terkait mengenai tindak lanjut RUU Kelautan. Selanjutnya, perlu juga di perhatikan peraturan2 yang sudah ada di seluruh kementerian atau lembaga serta institusi terkait agar tidak terjadi tumpang tindih, tidak bertentangan namun menambah kewenangan.

10. ALKI Timur dan Barat ditinjau dari perspektif UNCLOS

Peraturan mengenai penentuan jalur ALKI baru diatur lebih lanjut dalam UNCLOS 82 pasal 53 ayat 1, namun dalam penentuan ALKI ini tidak diwajibkan, pemerintah Indonesia boleh saja tidak menentukan ALKI nya tapi yang konsekuensinya, semua kapal internasional diperbolehkan melewati jalur-jalur navigasi yang sudah normal digunakan dalam pelayaran dunia UNCLOS 82 pasal 53 ayat 12, apabila Pemerintah Indonesia telah menentukan ALKI, maka kapal internasional yang akan melewati jalur ALKI tersebut harus mengikuti jalur yang sudah tentukan.

Tidak boleh lagi bercabang dalam bernavigasi atau menyisir area ke daratan sesuai rute pelayaran yang terdahuluMisalnya dalam menentukan jalur ALKI timur – barat atau ALKI IV. Selama ini, rutepelayaran melalui laut jawa banyak cabangnya, seperti di pulau Bawean. Kapal bolehberlayar di utara Bawean dan ada pula yang melintasi jalur di selatan pulau Bawean.Nah, apabila tidak ditentukan ALKI timur – barat atau ALKI IV, maka semua kapalinternasional berhak melewati semua area pada jalur tersebut. Akan tetapi, apabilatelah ditentukan jalur ALKI IV ini, kemudian kita usulkan ke PBB bahwa jalur kapal harus melalui sebelah utara pulau Bawean, maka semua kapal internasional yangmelewati laut jawa wajib melalui rute diutara pulau Bawean tersebut.Terkait dengan keuntungan dan kerugian ALKI IV (ALKI timur – barat), yang butuh jalur ALKI tersebut kelihatannya negara Amerika, Inggris atau Australia dimanaterdapat kepentingan militer ataupun perdagangan. Akan tetapi sebetulnya, yangmemerlukan jalur ALKI IV itu adalah Negara Indoneisa. Bagi Negara-negara besartersebut, tanpa adanya ketentuan jalur ALKI IV, kapal-kapal mereka sesukanya dapatmelewati area dimana aja selama jalur tersebut belum ditetapkan. Namun apabila jalurALKI IV itu ditentukan,tentunya negara-negara asing akan menghormatinya denganhanya melewati jalur ALKI IV yang telah ditetapkan tersebut. Sehingga bisa dilihatdari sisi

hukum internasional, dibukanya rute itu akan menguntungkan kita NegaraKesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang utuh.

BAB VI

LANDAS KONTINEN (CONTINENTAL SHELF)

Dalam dokumen UNCLOS 1982 KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA (Halaman 43-47)

Dokumen terkait