• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1. PENDAHULUAN

1.5 Penjelasan Istilah Judul

Menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka beberapa istilah tersebut dikemukakan dengan definisi sebagai berikut:

1) Pengaruh adalah dampak atau hasil yang timbul dari perbuatan seseorang yang ikut membentuk watak, kepercayaan, dan perbuatan seseorang.

Pengaruh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dampak atau hasil yang timbul dari model pembelajaran Probing Prompting yang ikut membentuk watak, kepercayaan, dan perbuatan peserta didik terhadap kemampuan pemecahan masalah.

2) Model Probing Prompting yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang dilakukan dengan cara pendidik menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan dan pengalaman

9 peserta didik dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Langkah-langkah pembelajaran dengan model Probing Prompting adalah sebagai berikut:

a) Pendidik menghadapkan peserta didik pada situasi baru, misalkan dengan memerhatikan gambar, rumus, atau situasi lainnya dengan mengandung permasalahan.

b) Menunggu beberapa saat untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merumuskan jawaban atau melakukan diskusi kecil dalam merumuskannya.

c) Pendidik mengajukan persoalan kepada peserta didik yang sesuai dengan tujuan pembelajaran khusus (TPK) atau indikator kepada seluruh peserta didik.

d) Menunggu beberapa saat untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merumuskan jawaban atau melakukan diskusi kecil dalam merumuskannya.

e) Menunjuk salah satu peserta didik untuk menjawab pertanyaan.

f) Jika jawabannya tepat, pendidik meminta tanggapan kepada peserta didik lain tentang jawaban tersebut untuk meyakinkan bahwa seluruh peserta didik terlibat dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Namun, jika peserta didik tersebut mengalami kemacetan jawaban, dalam hal ini jawaban yang diberikan kurang tepat, tidak tepat, atau diam, pendidik mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain yang jawabannya merupakan petunjuk jalan penyelesaian jawaban. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang menuntut peserta didik berpikir pada tingkat yang lebih tinggi, sampai dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan kompetensi dasar atau indikator. Pertanyaan yang dilakukan pada langkah keenam ini sebaiknya diajukan pada beberapa peserta didik yang berbeda agar seluruh peserta didik terlibat dalam seluruh kegiatan Probing Prompting.

10

g) Pendidik mengajukan pertanyaan akhir pada peserta didik yang berbeda untuk lebih menekankan bahwa indikator tersebut benar-benar telah dipahami oleh seluruh peserta didik.

3) Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran dengan metode yang biasa dilakukan oleh pendidik.

Kegiatan pembelajaran berpusat pada pendidik dengan pendidik yang menyampaikan informasi sedangkan peserta didik dominan mendengarkan yang disampaikan pendidik sehingga membuat peserta didik pasif dalam kegiatan belajar mengajar. Langkah-langkah pembelajaran dengan pembelajaran konvensional adalah sebagai berikut: (1) Persiapan (preparation), (2) Penyajian (presentation), (3) Menghubungkan (correlation), (4) Menyimpulkan (generalization), (5) Penerapan (aplication).

4) Kemampuan pemecahan masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu upaya, tindakan atau proses untuk mencari penyelesaian dari masalah matematika yang dihadapi dengan menggunakan semua ilmu pengetahuan yang dimiliki. Dalam penelitian ini, kemampuan pemecahan masalah matematis akan diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut:

a) Mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan

b) Merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik c) Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis

dan masalah baru)

d) Menjelaskan/menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal

11 BAB 2

TINJAUAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Kemampuan Pemecahan Masalah

Menurut Hudoyo (Widjajanti, 2009: 403) bahwa soal/pertanyaan disebut masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab.

Beberapa orang dapat menjawab pertanyaan dengan mudah dan prosedur yang benar, namun bagi orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan waktu yang lama untuk mengerjakannya. Hal itu semua kembali lagi kepada ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya. Sedangkan Alkrismanto (2003: 5) menyatakan bahwa suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui si pelaku.

Kemudian Gorman (Tarigan, 2012: 10) menyatakan bahwa beberapa jenis masalah yaitu:

1) Masalah yang prosedur pemecahannya sudah ada dan telah diketahui oleh siswa.

2) Masalah yang prosedur pemecahannya belum diketahui oleh siswa.

3) Masalah yang sama sekali belum diketahui prosedur pemecahannya dan atau belum diketahui data yang diperlukan untuk mencari solusinya.

Dahar (Tarigan, 2012: 13) menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang telah diperoleh sebelumnya, dan bukanlah suatu keterampilan genetik yang dapat diperoleh secara instan. Wardani &

Yunianta (2017: 1033) menyimpulkan bahwa pemecahan masalah yaitu langkah-langkah atau upaya untuk menemukan solusi dalam masalah dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki. Sejalan dengan Neef (Tarigan, 2012: 14) menyatakan bahwa solving story problems is often difficult because it requires both reading comprehension and mathematics skills as well as the ability to transform words and numbers in to the appropriate operations.

12

(Memecahkan masalah cerita seringkali sulit karena memerlukan pemahaman dalam membaca dan keterampilan matematika serta kemampuan untuk mengubah kata dan angka ke dalam operasi yang sesuai).

Kemudian Branca menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah sangat penting dimiliki oleh setiap peserta didik karena (a) pemecahan masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika, (b) pemecahan masalah yang meliputi metode, prosedur dan strategi yang merupakan proses inti dan utama dalam kurikulum matematika, dan (c) pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar dalam belajar matematika (Sumartini, 2016:

149). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis adalah suatu upaya, tindakan, atau proses untuk mencari penyelesaian dari masalah matematika yang dihadapi dengan menggunakan semua ilmu dan pengetahuan yang dimiliki seseorang.

Kemampuan pemecahan masalah dapat membantu peserta didik mempelajari fakta, konsep, prinsip matematika dengan mengilustrasikan objek matematika dan kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan pemecahan masalah juga merupakan aktivitas yang memberikan tantangan bagi kebanyakan peserta didik serta dapat memotivasi peserta didik untuk belajar matematika.

Pemecahan masalah sebagai tujuan pembelajaran memuat penyelesaian masalah, meliputi:

1) Memahami masalah termasuk di dalamnya mengidentifikasi kecukupan data,

2) Membuat model matematik atau merumuskan masalah, 3) Memilih alternatif strategi yang relevan,

4) Melaksanakan strategi disertai dengan motivasi yang kuat, 5) Menjelaskan dan menginterpretasikan hasil, dan

6) Memeriksa kebenaran hasil atau jawaban Sumarmo (2013: 198).

Berikut langkah-langkah kegiatan pemecahan masalah menurut Polya (Susanto, 2014: 202), yaitu:

13 a. Memahami masalah

b. Merencanakan penyelesaian c. Melalui perhitungan

d. Memeriksa kembali proses dan hasil

Terdapat beberapa indikator yang menunjukkan kemampuan pemecahan masalah dalam matematika, jenis kemampuan ini meliputi:

1) Mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan

2) Merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik

3) Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar matematika

4) Menjelaskan/menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal 5) Menggunakan matematika secara bermakna

Sumarmo (2013: 5).

Berdasarkan paparan di atas, maka indikator pemecahan masalah matematis peserta didik yang akan peneliti gunakan adalah empat indikator kemampuan pemecahan masalah, yaitu:

1) Mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan

2) Merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik

3) Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru)

4) Menjelaskan/menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal

2.1.2 Model Probing Prompting

Mills menyatakan bahwa model adalah bentuk representasi yang akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model tersebut (Hamzah & Muhlisrarini, 2014: 153). Sejalan dengan itu, Pujiastuti (2002: 148) mengatakan bahwa model ialah pola pembelajaran yang diterapkan atau dipilih pendidik dalam menyampaikan materi bahan ajar, sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai

14

sesuai dengan yang dikehendaki pendidik. Berdasarkan dua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa model ialah suatu kerangka konseptual dalam pembelajaran yang diterapkan oleh pendidik yang akan digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam menyampaikan materi bahan ajar sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai sesuai dengan yang dikehendaki pendidik.

Knirk dan Gustafson (Putrayasa, 2013: 22) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi. Pembelajaran tidak terjadi seketika, tetapi sudah melalui tahapan perancangan pembelajaran. Proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien. Pembelajaran sebagai proses belajar peserta didik yang dibangun oleh pendidik untuk mengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik. Selain itu, dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran.

Menurut Hanggara & Alfionita (2015: 3) Probing-Prompting terdiri dari dua kata yaitu Probing dan Prompting, Probing adalah penyelidikan dan pemeriksaan, sementara itu Prompting adalah mendorong atau menuntun.

Jadi, dari pengertian tersebut model pembelajaran Probing-Prompting merupakan suatu perencanaan pelaksanaan pembelajaran yang terstruktur dengan menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali gagasan peserta didik sehingga dapat meningkatkan proses berpikir yang mampu mengaitkan pengetahuan yang dimiliki peserta didik dengan pengetahuan baru yang akan dipelajari. Siregar & Mulyana (2016: 3) menyatakan bahwa

Menurut arti katanya, Probing adalah penyelidikan, pemerikasaan, sedangkan menurut istilah Probing berarti berusaha memperoleh keterangan yang lebih jelas atau mendalam. Prompting dalam bahasa berarti mengarahkan, mendorong atau menuntun. Sedangkan Prompting menurut istilah adalah pertanyaan yang diajukan untuk memberikan arah kepada siswa dalam proses berfikirnya.

15 Kemudian Jacobsen (Susanti, 2017: 100) menambahkan bahwa probing merupakan teknik guru untuk meminta siswa memberikan informasi tambahan untuk memastikan jawabannya sudah cukup komprehensif dan menyeluruh, sedangkan promptingmerupakan teknik yang melibatkan penggunaan isyarat-isyarat atau petunjuk-petunjuk yang digunakan untuk membantu siswa menjawab dengan benar.Sejalan dengan itu, Shoimin (2014:

126) menyatakan bahwa teknik Probing Prompting adalah pembelajaran dengan cara guru menyajikan serangkaian pertanyaan yang sifatnya menuntun dan menggali sehingga terjadi proses berpikir yang mengaitkan pengetahuan dan pengalaman siswa dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Tugas peserta didik mengontruksi konsep, prinsip, dan aturan menjadi pengetahuan baru. Sehingga peserta didik dapat menemukan dan merumuskan pengetahuan baru.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Probing Prompting adalah suatu rancangan perencanaan pelaksanaan terstruktur yang dilakukan oleh pendidik untuk menuntun serta menggali kemampuan peserta didik dalam meningkatkan proses berpikir dan peserta didik mampu mengaitkan pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan baru yang akan dipelajari. Pada model pembelajaran ini pendidik membimbing peserta didik untuk meningkatkan rasa ingin tahu, menumbuhkan kepercayaan diri serta melatih peserta didik dalam mengkomunikasikan ide-idenya. Selain itu, model pembelajaran ini juga tersusun secara sistematis dan terstruktur sehingga peserta didik mampu mengikuti proses pembelajaran dengan baik dan mampu mengembangkan ide-ide kreatif yang dimilikinya.

Melalui model Probing Prompting, proses tanya jawab dilakukan dengan menunjuk peserta didik secara acak sehingga setiap peserta didik mau tidak mau akan berpartisipasi aktif selama proses pembelajaran.

Kemungkinan yang akan terjadi selama pembelajaran berlangsung, peserta didik akan merasa tegang, namun hal ini bisa dibiasakan. Untuk mencegah hal itu terjadi, diharapkan pendidik hendaknya mengajukan pertanyaan

16

dengan wajah ramah, suara menyejukkan, dan nada lembut namun tetap lantang. Selain itu perlu disertai canda, senyum, dan tertawa sehingga suasana yang tegang dapat menjadi nyaman, menyenangkan, dan ceria. Hal yang paling penting dalam model ini, jawaban peserta didik yang salah harus dikatakan kurang tepat dan harus dihargai karena dari jawaban yang salah adalah ciri peserta didik sedang belajar dan telah berpartisipasi. Model pembelajaran Probing Prompting memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, diantaranya:

• Mendorong peserta didik aktif berpikir.

• Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas sehingga pendidik dapat menjelaskan kembali.

• Perbedaan pendapat antara peserta didik dapat dikompromikan atau diarahkan.

• Pertanyaan dapat menarik dan memusatkan perhatian peserta didik sekalipun ketika itu peserta didik sedang ribut atau ketika sedang mengantuk hilang rasa kantuknya.

• Sebagai cara meninjau kembali (review) bahan pelajaran yang lampau.

• Mengembangkan keberanian dan keterampilan peserta didik dalam menjawab dan mengemukakan pendapat.

• Pertanyaan dapat menarik dan memusatkan perhatian peserta didik (Shoimin, 2014: 128-129).

Kemudian Shoimin menambahkan kekurangan dari model Probing Prompting, diantaranya:

• Dalam jumlah peserta didik yang banyak, tidak mungkin cukup waktu untuk memberikan pertanyaan kepada tiap peserta didik.

• Peserta didik merasa takut, apalagi bila pendidik kurang dapat mendorong peserta didik untuk berani, dengan menciptakan suasana yang tidak tegang, melainkan akrab.

• Tidak mudah membuat pertanyaan yang sesuai dengan tingkat berpikir dan mudah dipahami peserta didik.

17

• Waktu sering banyak terbuang apabila peserta didik tidak dapat menjawab pertanyaan sampai dua atau tiga orang.

• Dalam jumlah peserta didik yang banyak, tidak mungkin cukup waktu untuk memberikan pertanyaan kepada setiap peserta didik.

• Dapat menghambat cara berpikir anak bila tidak/kurang pandai membawakan diri, misalnya pendidik meminta peserta didiknya menjawab persis seperti yang dia kehendaki, kalau tidak dinilai salah (Shoimin, 2014: 129).

Berikut langkah-langkah dari pelaksanaan model pembelajaran Probing Prompting menurut Shoimin (2014: 127) yaitu:

1) Guru menghadapkan siswa pada situasi baru, misalkan dengan memerhatikan gambar, rumus, atau situasi lainnya dengan mengandung permasalahan.

2) Menunggu beberapa saat untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban atau melakukan diskusi kecil dalam merumuskannya.

3) Guru mengajukan persoalan kepada siswa yang sesuai dengan tujuan pembelajaran khusus (TPK) atau indikator kepada seluruh siswa.

4) Menunggu beberapa saat untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk merumuskan jawaban atau melakukan diskusi kecil dalam merumuskannya.

5) Menunjuk salah satu siswa untuk menjawab pertanyaan.

6) Jika jawabannya tepat, guru meminta tanggapan kepada siswa lain tentang jawaban tersebut untuk meyakinkan bahwa seluruh siswa terlibat dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Namun, jika siswa tersebut mengalami kemacetan jawaban, dalam hal ini jawaban yang diberikan kurang tepat, tidak tepat, atau diam, guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain yang jawabannya merupakan petunjuk jalan penyelesaian jawaban. Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang menuntut siswa berpikir pada tingkat yang lebih tinggi, sampai dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan kompetensi dasar atau indikator. Pertanyaan yang dilakukan pada langkah keenam ini sebaiknya diajukan pada beberapa siswa yang berbeda agar seluruh siswa terlibat dalam seluruh kegiatan Probing Prompting.

7) Guru mengajukan pertanyaan akhir pada siswa yang berbeda untuk lebih menekankan bahwa indikator tersebut benar-benar telah dipahami oleh seluruh siswa.

18

Sementara itu menurut Suherman (Widyastuti, Ganing, & Ardana, 2014: 3) mengatakan bahwa langkah-langkah model pembelajaran Probing Prompting adalah:

• Menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.

• Menyampaikan materi ajar.

• Memberikan serangkaian pertanyaan menggali secara teratur kepada siswa yang berkaitan dengan materi.

• Menampung jawaban siswa.

• Memberikan pertanyaan menuntun dengan pertanyaan bimbingan fokus terarah.

• Membimbing siswa untuk menyempurnakan jawaban.

Langkah-langkah di atas, sejalan dengan langkah-langkah model Probing Prompting sebagai berikut:

1) Pendidik menghadapkan peserta didik pada situasi baru.

2) Peserta didik diberi kesempatan untuk merumuskan jawaban.

3) Pendidik mengajukan persoalan kepada peserta didik yang sesuai dengan indikator kepada seluruh peserta didik.

4) Peserta didik diberi waktu untuk berdiskusi kecil untuk merumuskan jawaban.

5) Menunjuk salah satu peserta didik untuk menjawab pertanyaan.

6) Meminta tanggapan dari peserta didik lain tentang jawaban tersebut.

7) Pengajuan pertanyaan akhir

Sudarti (Novena & Kriswandani, 2018: 190-191).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pembelajaran Probing Prompting adalah:

1) Pendidik menghadapkan peserta didik pada suatu permasalahan yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan.

2) Pendidik memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merumuskan atau melakukan diskusi kecil dalam menyelesaikan permasalahan.

19 3) Pendidik mengajukan pertanyaan sesuai dengan materi ajar yang telah

diberikan.

4) Pendidik memberikan kesempatan kembali kepada peserta didik untuk merumuskan jawaban atau melakukan diskusi kecil dari pertanyaan yang diberikan.

5) Pendidik menunjuk salah satu peserta didik untuk menjawab pertanyaaan.

6) Jika jawaban yang diberikan peserta didik benar atau tepat, maka pendidik meminta tanggapan kepada peserta didik yang lain tentang jawaban tersebut untuk meyakinkan bahwa seluruh peserta didik terlibat dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Namun, jika peserta didik tersebut mengalami masalah dalam menjawab maka pendidik mengajukan pertanyaan lain yang membantu peserta didik untuk menjawab pertanyaan awal dengan benar dan tepat.

7) Pendidik mengajukan pertanyaan akhir kepada peserta didik yang berbeda untuk memastikan bahwa materi yang diberikan sudah dipahami oleh seluruh peserta didik.

2.1.3 Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa digunakan oleh kebanyakan pendidik dalam mendidik peserta didik. Sanjaya (2011: 115) menyatakan bahwa pembelajaran konvensional merupakan suatu model yang menempatkan siswa sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima pasif. Dalam pembelajaran ini pendidik lebih dominan sehingga peserta didik lebih banyak menerima, mencatat, dan menghafal materi yang dipelajari. Pada pembelajaran konvensional, penyampaian materi lebih dominan menggunakan metode ceramah. Dimulai dari pendidik memaparkan materi sedangkan peserta didik duduk dan memerhatikan materi yang dipaparkan oleh pendidik. Kemudian pendidik memberikan contoh dan soal latihan. Lalu peserta didik melakukan evaluasi setelah proses pembelajaran selesai.

20

Berikut keunggulan dan kelemahan dari pembelajaran konvensional, yaitu:

Tabel 3. Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Konvensional Aspek (Tempat, Metode,

Peserta Didik) Kelemahan Keunggulan Kelas satu-satunya tempat

belajar

Membosankan, tidak

memunculkan Ekonomis

Metode ceramah Membosankan, daya ingat terbatas

Semua materi tersampaikan Menyamarkan

karakteristik anak

Tidak efektif, menimbulkan salah

Waktu lebih sedikit, dapat dibuat Sumber: Sahimin, Nasution, & Sahputra (2017: 157)

Adapun langkah-langkah dari penerapan pembelajaran konvensional menurut Sanjaya (Sahimin, Nasution, & Sahputra, 2017: 158) adalah: 1) Persiapan (preparation), 2) Penyajian (presentation), 3) Menghubungkan (correlation), 4) Menyimpulkan (generalization), 5) Penerapan (aplication).

2.1.4 Pengaruh Model Probing Prompting terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Peserta Didik

Dalam proses pembelajaran matematika peserta didik sering kurang aktif, soal matematika dianggap sulit, menakutkan dan membosankan dalam penyelesaiannya sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah matematika. Untuk meningkatkan keaktifan peserta didik dan menghilangkan paradigma yang ada, maka pembelajaran matematika yang disajikan haruslah lebih menarik bagi peserta didik. Dalam menarik perhatian dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah salah satunya sangat dipengaruhi oleh model pembelajaran. Model pembelajaran yang dimaksud berpengaruh adalah model pembelajaran Probing Prompting.

21 Salah satu keuntungan model Probing Prompting adalah memudahkan peserta didik dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Model ini akan dapat mendorong peserta didik aktif berpikir, mengembangkan keterampilan berpikir, memusatkan perhatian, mengembangkan keberanian peserta didik dalam menjawab dan mengemukakan pendapat. Sehubungan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika yang biasanya menyebabkan peserta didik kurang aktif dalam proses pembelajaran serta rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika. Hal ini juga diakibatkan oleh paradigma bahwa matematika dianggap sulit, menakutkan dan membosankan. Sehingga seorang pendidik harus bisa membuat variasi pembelajaran agar peserta didik tetap mempunyai semangat belajar matematika.

2.2 Penelitian yang Relevan

Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis peserta didik. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Mustika & Buana (2017) yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Probing Prompting terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa”, menunjukkan bahwa thit= > ttab yaitu 2.081 > 1.997 dengan taraf signifikan 0,05. Sehingga H0 ditolak, hal ini berarti kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik dengan penerapan model pembelajaran Probing Prompting lebih baik daripada kemampuan pemecahan masalah matematika peserta didik yang dikenai pembelajaran konvensional.

Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh Azizah &

Sundayana (2016) yang berjudul “Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dan Sikap Siswa terhadap Model Pembelajaran Kooperatif Tipe AIR dan Probing Prompting”, menunjukkan bahwa kemampuan awal dan kemampuan akhir peserta didik menghasilkan pencapaian kemampuan pemecahan masalah matematis yang sama, namun peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis pada AIR mendapatkan peningkatan yang

22

sedang, sedangkan pada kelas Probing Prompting mendapatkan peningkatan yang tinggi.

Berdasarkan beberapa penelitian yang dipaparkan di atas, maka hal ini cukup relevan dengan yang akan peneliti lakukan, yaitu pengaruh model Probing Prompting terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis peserta didik.

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini adalah “Terdapat pengaruh model Probing Prompting terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis peserta didik kelas X SMK Taruna Satria Pekanbaru”.

23 BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemberian perlakuan berupa pembelajaran dengan model Probing Prompting dan pengaruhnya terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis peserta didik. Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen merupakan salah satu jenis penelitian kuantitatif yang sangat kuat untuk mengukur hubungan sebab akibat. Metode penelitian eksperimen digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan (Sugiyono, 2017: 72). Melalui penelitian eksperimen ini, peneliti berusaha menemukan data-data kuantitatif terkait dengan kemampuan pemecahan masalah matematis peserta didik.

3.2 Desain Penelitian

Menurut Sugiyono (2017: 73) terdapat beberapa desain eksperimen antara lain Pre-Experimental Design, True Experimental Design, Factorial Design, dan Quasi Experimental Design. Adapun desain yang dipilih oleh peneliti adalah Quasi Experimental Design atau eksperimen kuasi. Emzir

Menurut Sugiyono (2017: 73) terdapat beberapa desain eksperimen antara lain Pre-Experimental Design, True Experimental Design, Factorial Design, dan Quasi Experimental Design. Adapun desain yang dipilih oleh peneliti adalah Quasi Experimental Design atau eksperimen kuasi. Emzir