• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klausul Martens pertama kali lahir pada tahun 1899, tepatnya saat Preambule Konvensi Den Haag II (mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat) oleh Prof. Fyodor Fyodorovich Martens (dalam bahasa rusia) atau Prof. Frederic Fromhold de Martens (dalam bahasa Prancis) yang merupakan seorang pengacara dan anggota delegasi untuk konferensi perdamaian asal Rusia. Klausul ini muncul setelah pada konferensi perdamaian yang diadakan di Den Haag gagal menyepakati permasalahan tentang status warga sipil yang mengangkat senjata melawan pasukan negara musuh. Klausul ini juga sebenarnya hanya di formulasikan untuk pemecahan masalah khusus yang berkaitan tentang prinsip kemanusiaan didalam perang. Namun di tahun-tahun berikutnya setelah deklarasi klausul ini, muncul kembali pada hampir disetiap perjanjian tentang konflik bersenjata antar-negara.

Masalah yang pada klausul ini yaitu memiliki pemahaman atau penafsiran yang sulit. Tidak sedikit negara yang salah menginterpretasi/menafsirkan klausul ini, sebagai contoh Inggris. Klausul Martens juga terdapat dalam Preambule Konvensi Den Haag IV 1907, Preambule Konvensi Conventional Weapons 1980, Pasal 63 Konvesi Jenewa I 1949, Pasal 1 ayat (2) Protokol Tambahan I 1977. Adapun isi dari Prinsip Martens Clause atau Klausula Martens, adalah sebagai berikut ;

”Until a more complete code of the laws of war is issued, the High Contracting Parties think it right to declare that in cases not included in the Regulations adopted by them, populations and belligerents remain under the

protection and empire of the principles of international law, as they result from the usages established between civilized nations, from the laws of humanity and the requirements of the public conscience.”

ARTINYA :

“Hingga undang-undang tentang hukum perang dikeluarkan, pihak-pihak yang mengadakan perjanjian memikirkan haknya untuk menyatakan bahwa perkara yang tidak ada didalam peraturan yang telah mereka setujui, para penduduk dan negara yang berperang tetap berada dibawah perlindungan atas prinsip-prinsip hukum internasional, yang timbul dari kebiasaan antara negara yang beradab, yang berprinsip pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani masyarakat”.

Maksud dari isi klausul tersebut yakni menempatkan penduduk sipil combatan maupun non-combatan, serta militer yang tidak dilindungi oleh Konvensi Den Haag, tetap dalam perlindungan dari prinsip-prinsip hukum humaniter yang berasal dari kebiasaan antar-negara yang beradab dan dari hati nurani masyarakat.21

Secara ringkas, klausul ini menentukan bahwa apabila hukum humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum Internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantaranya negara-negara yang beradab; dari hukum kemanusiaan; serta dari pendapat publik (public conscience).

21

Tulisan ini disarikan dari Rupert Tscehurst, “The Martens Clause and the Laws of

Klausul Martens sangat penting karena, dengan mengacu pada hukum kebiasaan internasional, klausul ini menekankan pentingnya norma-norma kebiasaan dalam pengaturan sengketa bersenjata. Selanjutnya, klausula ini juga mengacu pada prinsip-prinsip kemanusiaan (principles of Humanity) dan pendapat publik (the dictates of public conscience). Kedua istilah ini harus sepenuhnya dimengerti, Ungkapan Principleof Humanity adalah serupa dengan “laws of humanity” (hukum kemanusiaan). Ingat bahwa versi pertama Klausula Martens yang terdapat dalam Pembukaan Konvensi Den Haag II 1899 mengacu pada “laws of humanity” ; sedangkan versi berikutnya (dalam Protokol Tambahan I) mengacu pada ungkapan “principles of Humanity”. Prinsip-prinsip kemanusiaan ini ditafsirkan sebagai pelarangan atas sarana dan metode berperang yang tidak penting bagi tercapainya suatu keuntungan militer yang nyata. Jean Pictet menginterpretasikan arti kemanusiaan sebagai “...penangkapan lebih diutamakan dari pada melukai musuh, dan melukai musuh adalah lebih baik dari pada membunuhnya; bahwa non-kombatan harus dijauhkan sedapat mungkin dari arena pertempuran; bahwa korban-korban yang luka harus diusahakan seminimal mungkin, sehingga mereka dapat dirawat dan diobati; bahwa luka-luka yang terjadi harus diusahakan seringan-ringanya menimbulkan rasa sakit”.22 Sedangkan ungkapan “the dictates of public consciense”, menurut hakim Nauru dalam kasus tahun 1996 di ICJ, harus mengacu kepada instrumen hukum yang terjadi akibat dari adanya kesadaran umum masyarakat, sebagaimana terwujud dalam

22

rancangan-rancangan peraturan (draft rules), resolusi, deklarasi dan ungkapan-ungkapan lainnya yang dikeluarkan oleh perorangan maupun institusi.

Namun, masalah yang dihadapi adalah bahwa tidak ada suatu penafsiran pun yang diterima mengenai Klausula Martens, karena klausula ini menimbulkan banyak penafsiran, baik penafsiran sempit maupun penafsiran luas. Penafsiran yang paling sempit menyatakan bahwa hukum kebiasaan internasional tetap diterapkan setelah diterimanya suatu norma hukum perjanjian. Penafsiran yang lebih luas menyatakan bahwa karena sejumlah kecil perjanjian internasional mengenai hukum sengketa bersenjata sudah lengkap, maka Klausula Martens menentukan bahwa sesuatu yang tidak dilarang secara ekspilisit oleh suatu perjanjian adalah tidak ipso facto diperbolehkan. Sedangkan penafsiran yang paling luas menyatakan bahwa tindakan dalam sengketa bersenjata tidak hanya dibenarkan menurut perjanjian dan kebiasaan, tetapi juga menurut prinsip-prinsip hukum internasional sebagaimana terkandung dalam Klausula Martens Advisory Opinion dari ICJ mengenai masalah legalitas penggunaan atau ancaman senjata-senjata nuklir yang dikeluarkan pada tanggal 8 Juli 1996 menggunakan analisis yang bersifat ekstensif mengenai hukum sengketa bersenjata. Dalam opininya, ICJ semata-mata mengacu kepada Klausula Martens yang menyatakan bahwa klausula ini terbukti sebagai suatu cara yang efektif dalam menghadapi perkembangan teknologi yang demikian cepatnya. Hal ini memberikan petunjuk mengenai bagaimana klausula ini ditafsirkan dalam praktek.

Klausula Martens ini juga mempunyai Hubungan dengan Prinsip Kemanusiaan, Prinsip Pembedaan dan Prinsip Pembatasan sebagaimana Klausul Martens secara tersirat menerangkan bahwa pentingnya norma adat dalam konflik bersenjata, artinya bahwa didalam konflik bersenjata harus tetap mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional terutama prinsip humanity. Prof. Martens ingin menerangkan pada deklarasinya bahwa jika didalam suatu perjanjian konflik bersenjata tidak mengatur tentang sesuatu, selama itu tetap berjalan harus mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional (humanity, militer necessity, chilvary, proportionality, distriction, dan limitation). Untuk lebih mudah memahami, sebagai contohnya adalah misalnya pada tahun 2032 nanti Indonesia konflik senjata dengan Malaysia. Kemudian kedua negara menyatakan untuk berperang, lalu keduanya membuat perjanjian perang ataupun tidak harus membuatnya jika sebelumnya telah ada perjanjian jika kedua negara terjadi perang. Jika didalam perjanjian tidak mengatur tentang penggunaan senjata nuklir dalam perang, maka kedua negara tersebut tidak boleh menggunakannya.

Atas dasar apa tidak boleh digunakan? Padahal didalam perjanjian mereka tidak tertera pengunaan senjata nuklir.

Sekali lagi penting untuk dikatakan bahwa pihak yang berperang harus memperhatikan prinsip kemanusiaan, prinsip pembedaan, sekaligus prinsip pembatasan. Penggunaan senjata nuklir dalam perang akan menghasilkan kemusnahan massal dengan tidak memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan saat perang berlangsung. Selain itu nuklir yang jatuh ke area target, tidak akan ada pemisahan objek target antara military object dengan civilian object. Ini jelas-jelas

melanggar prinsip distriction. Kemudian hasil dari ledakan nuklir juga berakibat fatal untuk area tersebut di kemudian hari. Lingkungan akan mengalami radiasi nuklir selama bertahun-tahun, contohnya sumber air yang telah teradiasi oleh nuklir menyebabkan seluruh tumbuhan mati dan amat berbahaya untuk manusia tinggal di wilayah yang terkena radiasi nuklir. Kali ini melanggar prinsip limitation tentang pembatasan penggunaan senjata yang berkategori perusak secara berlebihan.

Selain itu terdapat berbagai pertentangan terhadap Klusula Martens, Penentangan terhadap Martens Clause lebih sering dilakukan oleh negara besar yang memiliki armada militer yang kuat. Hal ini didukung dengan peningkatan kekuatan senjata dari negara-negara tersebut, seperti pengembangan rudal balistik antar benua yang dimiliki Amerika dan rusia. Senjata nuklir yang dimiliki Amerika, Rusia, Inggris, Perancis, India, Pakistan, Israel, Iran, Tiongkok, Korea Utara.

C. Pengaturan Hukum Humaniter Internasional mengenai Prinsip

Dokumen terkait