• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian di atas, salah satu tujuan nasional kita adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negara memerlukan sumber daya yang tidak sedikit sehingga membutuhkan partisipasi dari seluruh masyarakat. Untuk itu, Pemerintah bersama-sama dengan DPR telah menyusun dan mengesahkan berbagai macam Undang-Undang Perpajakan yang antara lain adalah UU PPh;

Pemungutan pajak atas penghasilan di Indonesia telah dimulai sejak berlakunya Ordonansi Padjak Perseroan 1925 dan Ordonansi Padjak Pendapatan 1944. Seiring dengan reformasi perpajakan 1983, Ordonansi tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan DPR telah beberapa kali melakukan perubahan terhadap UU PPh, yang terakhir adalah melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983.

Untuk memperoleh keseragaman pemahaman tentang ketentuan pokok yang terkait dengan Pajak Penghasilan, Pemerintah memberikan penjelasan secara umum mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. Subjek Pajak Penghasilan

Subjek Pajak Penghasilan menurut Pasal 2 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 adalah:

a. Orang Pribadi;

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

c. Badan;

d. Bentuk Usaha Tetap.

Mengingat pokok permasalahan yang diajukan Pemohon terkait dengan kewajiban perpajakan Wajib Pajak orang pribadi maka penjelasan Pemerintah selanjutnya lebih ditekankan pada Wajib Pajak Orang Pribadi;

2. Objek Pajak Penghasilan

Objek Pajak Penghasilan adalah semua penghasilan. Namun demikian, dalam menghitung jumlah pajak penghasilan terdapat beberapa jenis penghasilan (objek pajak) yang dikecualikan, artinya penghasilan tersebut seharusnya dikenakan pajak tetapi Undang-Undang menggariskan agar tidak dikenakan pajak. Dalam UU PPh Tahun 2008, pengecualian yang diberikan tersebut telah banyak diperluas dibandingkan dengan UU PPh Tahun 2000, antara lain berupa sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama selain agama Islam yang diakui di Indonesia, pemberian bea siswa, sisa lebih dari lembaga non profit yang bergerak di bidang pendidikan dan penelitian pengembangan, serta bantuan/santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dengan ada dan bertambahnya pengecualian objek pajak tersebut, menunjukkan bahwa Pemerintah telah dan semakin memberikan keringanan pembayaran pajak kepada masyarakat Wajib Pajak;

3. Biaya Yang Merupakan Pengurang Penghasilan

Dalam menghitung kewajiban pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak, biaya merupakan faktor pengurang dari penghasilan. Hal ini berarti semakin besar biaya yang diperkenankan dalam menghitung kewajiban pajak maka semakin kecil kewajiban pajak yang harus dibayar untuk setiap penghasilan yang sama. Dalam UU PPh Tahun 2008, biaya yang diperkenankan sebagai pengurang dari penghasilan dalam rangka menghitung kewajiban pajak menjadi lebih luas dibandingkan dengan UU PPh Tahun 2000. Perluasan tersebut antara lain

berupa boleh dikurangkannya pemberian sumbangan bea siswa dalam menghitung penghasilan kena pajak. Untuk mendorong peran serta masyarakat, pengeluaran Wajib Pajak berupa bea siswa kepada siapapun, sepanjang memenuhi peraturan perundangan, dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dapat dimasukkan sebagai unsur pengurang dari penghasilan;

4. Tarif Pajak Penghasilan

Dalam UU PPh Tahun 2008, Pemerintah menurunkan tarif pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi, yaitu dari tarif tertinggi sebesar 35% menjadi 30%. Selain itu, lapisan penghasilan kena pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi diperluas dari kisaran Rp 0 sampai dengan Rp 200.000.000,00 menjadi sampai dengan Rp 500.000.000,00 untuk batasan tarif sebelum tarif yang tertinggi. Sebagai contoh, Wajib Pajak Orang Pribadi dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp 201.000.000,00 per tahun, berdasarkan ketentuan UU PPh Tahun 2000 termasuk dalam lapisan tarif 35%, sedangkan berdasarkan UU PPh Tahun 2008 menjadi masuk dalam lapisan tarif 15%. Secara rinci penjelasan mengenai perubahan tarif Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi tersebut akan diuraikan sendiri dalam bagian Pokok-Pokok Perubahan UU PPh Tahun 2008.

5. Penghasilan Tidak Kena Pajak

Dalam menghitung kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Pemerintah bersama DPR yang merupakan representasi dari seluruh rakyat Indonesia sepakat untuk memberikan insentif dalam jumlah tertentu yang disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan pemerintah dalam bentuk Penghasilan Tidak Kena Pajak. Insentif tersebut diberikan untuk meningkatkan daya beli masyarakat dengan mengurangkan sejumlah penghasilan yang seharusnya dihitung dalam memenuhi kewajiban pajak tetapi dapat digunakan untuk konsumsi Wajib Pajak. Perkembangan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak sejak berlakunya UU PPh Tahun 2000 sampai dengan berlakunya UU PPh Tahun 2008 adalah sebagai berikut:

Tabel 4

Perubahan Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak Berdasarkan UU PPh Tahun 2000 dan

UU PPh Tahun 2008 (dalam Rupiah) No Keterangan UU PPh Tahun 2000 UU PPh Tahun 2008 Pasal 7 ayat (1) KMK No. 564/ KMK.03/ 2004 PMK No. 137/ PMK.03/ 2005 Pasal 7 ayat (1) 1 Untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840,000,00 2 Tambahan untuk Wajib

Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00

3

Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dgn penghasilan suami

2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840.000,00

4 Tambahan untuk setiap

tanggungan 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00

Dari tabel 4 tersebut di atas nampak bahwa berdasarkan UU PPh Tahun 2008, Penghasilan Tidak Kena Pajak meningkat dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya sebagaimana diatur dalam UU PPh Tahun 2000 juncto Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan ketentuan sebelumnya adalah Rp 13.200.000,00 bagi Wajib Pajak dengan status tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan. Besaran tersebut berdasarkan ketentuan UU PPh Tahun 2008 meningkat menjadi Rp 15.840.000,00;

Untuk kondisi Wajib Pajak yang berbeda, yaitu Wajib Pajak kawin atau mempunyai tanggungan akan mendapatkan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak sejumlah tertentu. Besaran tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut jika dibandingkan antara ketentuan yang berlaku saat ini dengan ketentuan sebelumnya terdapat peningkatan dari Rp 1.200.000,00 (untuk status kawin dan setiap tambahan tanggungan maksimal 3 orang) menjadi Rp 1.320.000,00. Jika Wajib Pajak memiliki status kawin dan istri tidak bekerja serta tanggungan maksimal 3 (tiga) orang, maka jumlah keseluruhan Penghasilan Tidak Kena Pajak meningkat dari Rp 18.000.000,00 menjadi Rp 21.120.000,00. Dalam hal istri Wajib Pajak bekerja, maka menurut UU PPh Tahun 2008 akan mendapatkan tambahan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp15.840.000,00. Jumlah

tersebut lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang diperkenankan pada ketentuan sebelumnya, yaitu sebesar Rp 13.200.000,00.

Hal yang perlu diketahui bahwa konsep pengenaan pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi di negara kita menganut satuan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi dan suami sebagai kepala keluarga. Adanya batasan maksimal jumlah tanggungan yang diperkenankan dalam menghitung besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah didasarkan kepada fungsi pajak untuk mengumpulkan dana bagi negara. Dengan demikian, perlu adanya pembatasan jumlah tanggungan yang dapat diberikan dalam menghitung besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak. Apabila tidak ada pembatasan jumlah tanggungan, maka dapat mengakibatkan jumlah pembayar pajak menjadi berkurang yang pada akhirnya penerimaan pajak juga menurun. Bahkan dapat berakibat pada meningkatnya kecenderungan masyarakat untuk memiliki keluarga yang besar guna menghindari kewajiban membayar pajak. Hal ini juga akan menyulitkan negara karena harus menyediakan barang publik (sarana dan prasarana) yang lebih banyak, sedangkan jumlah pembayar pajak menjadi semakin berkurang.

IV. PENJELASAN/ARGUMENTASI PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG