• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penurunan ketebalan/gradasi pita protein kloroplas terjadi pada bobot molekul 64 kDa yang dikenal sebagai polyfenol oksidase, 55 kDa dikode

Mekanisme Adaptasi

4. Penurunan ketebalan/gradasi pita protein kloroplas terjadi pada bobot molekul 64 kDa yang dikenal sebagai polyfenol oksidase, 55 kDa dikode

oleh gen rbc L sebagai enzim Rubisco sub unit besar (Rubisco-L), protein membran ekstrinsik 33 kDa dikode gen psb O dan 18 kDa dikode gen psb Q. Pada membran tilakoid penurunan ketebalan pita protein terjadi pada bobot molekul 31 kDa dikode gen psb A, 23 kDa dikode gen psb Q dan protein 20 kDa merupakan produk gen Lhcb6 dikenal sebagai protein CP 24 yaitu kompleks protein-pigmen pemanen cahaya pada fotosistem II (LHC-II-b ) dalam membran tilakoid. Protein-protein yang teridentifikasi tersebut pada hakikatnya berperan dalam proses fotosintesis khususnya berperan dalam rantai transpor elektron.

5. Secara umum mekanisme adaptasi tanaman dari tinjauan fisologi menunjukkan tanaman padi gogo yang dinaungi menyebabkan peningkatan protein kloroplas dan protein membran tilakoid genotipe toleran dan penurunan ketebalan pita protein kloroplas maupun pita protein membran tilakoid diindikasi sebagai bentuk mekanisme adaptasi naungan. Ini berarti secara fisiologi toleransi tanaman padi gogo terhadap naungan ditentukan oleh konsentrasi protein kloroplas dan membran tilakoid.

Kendala utama yang dihadapi dalam budidaya tanaman sela di area ternaungi adalah rendahnya intensitas cahaya yang mencapai tanaman yang berakibat pada menurunnya pertumbuhan dan produksi tanaman karena tanaman mengalami penurunan laju fotosintesis. Upaya mengatasi rendahnya pertumbuhan dan produksi tanaman di area ternaungi adalah dengan memilih varietas/galur yang toleran terhadap kondisi ternaungi (stres cahaya rendah) tersebut dan dapat berproduksi optimal.

Pencapaian upaya mengatasi rendahnya pertumbuhan dan produksi tanaman pada kondisi suboptimal yang dalam hal ini kondisi defisit cahaya bukanlah suatu hal yang tidak mungkin sebab saat ini ketersediaan teknologi dan metode pemuliaan sangat mendukung dan progres pemuliaan sedapat mungkin dipercepat jika karakteristik morfologis, fisiologis maupun biokimia digunakan sebagai kriteria seleksi.

Di dalam program perbaikan tanaman dibutuhkan karakter-karakter yang unggul dari galur yang akan digunakan sebagai sumber genetik dalam persilangan sehingga akan diperoleh galur tanaman yang sesuai dengan karakter yang diinginkan dan tentunya dengan potensi hasil tinggi. Dalam hal ini kemungkinan padi gogo yang toleran naungan dapat dijadikan salah satu karakter yang baik sebagai sumber genetik dalam mendukung program tersebut. Pemahaman mekanisme adaptasi padi gogo terhadap kondisi defisit cahaya selain dari aspek karakter morfologi dan agronomi juga dibutuhkan pemahaman dari aspek karakter fisiologi maupun biokimia terutama pada perangkat fotosintetiknya. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa adaptasi tanaman padi gogo terhadap kondisi defisit cahaya berkaitan dengan karakter-karakter morfologi yang direfleksikan oleh luas daun yang lebih tinggi, ketebalan daun berkurang dan karakter fisiologi direfleksikan oleh peningkatan kandungan klorofil total, aktivitas Rubisco, aktivitas sukrosa fosfat sintase (SPS), aktivitas fosfogliserat kinase (PGK) tinggi pada genotipe toleran Jatiluhur (Chozin et al. 1999; Sopandie et al. 2003).

Hasil penelitian menunjukkan pemberian naungan 50% menyebabkan karakter morfologi dan agronomi mengalami perubahan dan besarnya perubahan dari setiap karakter berbeda antar kelompok genotipe toleran dengan yang peka (Tabel 1). Perubahan karakter tersebut diduga sebagai bentuk mekanisme adaptasi genotipe toleran terhadap naungan.

Kemampuan tanaman dalam mengatasi stres cahaya rendah adalah tergantung kepada kemampuan tanaman dalam berfotosintesis secara normal pada kondisi cahaya rendah. Oleh karena itu perubahan karakter morfologi pada genotipe toleran naungan lebih mengarah pada pembentukan arsitektur daun beserta perangkatnya yang efisien dalam pemanenan cahaya, penggunaan energi eksitasi dan proses fotosintesis yang normal tetap berlangsung pada kondisi cahaya rendah. Sementara perubahan karakter anatomi cenderung meningkatkan kandungan klorofil a dan mempertahankan nisbah klorofil a/b yang lebih tinggi, menekan peningkatan klorofil b dan menurunkan tingkat ketebalan sel-sel mesofil, guna mempertinggi efisiensi penangkapan cahaya dan penggunaan energi dari intensitas cahaya yang rendah.

Hasil penelitian menunjukkan pada naungan 50% genotipe toleran naungan memiliki jumlah anakan produktif dan jumlah gabah per malai lebih tinggi, persentase gabah hampa yang lebih rendah dan memiliki produksi relatif yang tinggi bila dibandingkan dengan genotipe peka naungan (Tabel 1). Hal ini didukung oleh hasil analisis sidik lintas (Gambar 16) yang memperlihatkan jumlah anakan produktif, jumlah gabah per malai dan persentase gabah hampa berpengaruh langsung terhadap produksi relatif (persen kontrol).

Keterangan : X1 : Jumlah gabah per Malai X2 : Persen gabah hampa X3 : Jum. anakan produktif Z4: Jum. anakan maksimum Z5 : Panjang malai Z6 : Bobot 1000 butir Z7 : Jumlah daun Y Produksi Relatif Z4 Z5 Z6 Z7 X1 X3 0.76* X2 0.47* -0.44 0.76* 0.53* -0.93 0.76*

Hasil analisis sidik lintas menunjukkan karakter jumlah gabah per malai, jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif, panjang malai dan jumlah daun berpengaruh positif terhadap produksi relatif (persen kontrol) padi gogo. Sebaliknya pada karakter persentase gabah hampa dan bobot 1000 butir berpengaruh negatif terhadap produksi relatif. Jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan produktif berpengaruh sangat nyata terhadap produksi relatif dan kedua karakter tersebut mempunyai pengaruh total sama yaitu 0.76 **. Keadaan ini menjelaskan bahwa suatu genotipe tanaman membentuk jumlah anakan maksimum yang relatif tinggi mempunyai kemampuan menghasilkan anakan produktif (membentuk malai ) yang tinggi pula pada kondisi ternaungi.

Persentase gabah hampa berpengaruh langsung negatif sangat nyata terhadap persentase produksi relatif dan pengaruh totalnya sebesar – 0.93 **. Hal ini menunjukkan bahwa persentase gabah hampa sangat berpengaruh terhadap penurunan produksi relatif padi gogo pada kondisi naungan 50 %. Dengan demikian dapat diartikan semakin tinggi persentase kehampaan akan mengakibatkan produksi relatif semakin rendah. Demikian pula dengan bobot 1000 butir pengaruhnya relatif kecil (- 0.44) terhadap penurunan produksi relatif.

Karakter panjang malai berpengaruh tidak langsung terhadap produksi relatif melalui persentase gabah hampa. Kedua karakter panjang malai dan persentase gabah hampa menunjukkan korelasi negatif tetapi berkorelasi positif terhadap jumlah gabah per malai. Keadaan ini menggambarkan semakin panjang malai dapat meningkatkan jumlah gabah per malai dan dapat menurunkan persentase gabah hampa. Sedangkan jumlah daun dan jumlah anakan maksimum berpengaruh tidak langsung terhadap produksi relatif melalui jumlah anakan produktif. Jumlah daun berkorelasi positif terhadap jumlah anakan maksimum dan jumlah anakan maksimum berkorelasi positif terhadap jumlah anakan produktif. Hal ini menunjukkan jumlah daun yang tinggi dapat meningkatkan jumlah anakan maksimum dan pada gilirannya dapat meningkatkan jumlah anakan produktif. Karakter bobot 1000 butir berpengaruh tidak langsung terhadap produksi relatif melalui jumlah gabah per malai dan menunjukkan nilai korelasi negatif antara keduanya yang artinya jumlah gabah per malai yang tinggi dapat mengurangi bobot 1000 butir.

Berdasarkan analisis sidik lintas pada Gambar 16 nampak karakter jumlah daun, bobot 1000 butir, panjang malai dan jumlah anakan maksimum berpengaruh tidak langsung terhadap produksi relatif. Hal ini mengindikasikan

bahwa karakter-karakter ini bukan merupakan karakter penentu produksi padi gogo. Dengan demikian, karakter tanaman yang menjadi karakter penentu produksi padi gogo adalah; jumlah gabah per malai, persen gabah hampa dan karakter jumlah anakan produktif. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa karakter-karakter tersebut memberi pengaruh langsung terhadap hasil produksi relatif padi gogo.

Galur-galur tanaman padi gogo yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil evaluasi di bawah tegakan karet (pengelompokkan genotipe toleran, moderat dan peka). Untuk melihat konsistensi toleransi galur–galur tersebut pada naungan paranet (50 %) maka dilakukan evaluasi toleransi dengan menggunakan metode Analisis Komponen Utama. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh 3 kelompok genotipe (toleran, moderat dan peka) yang masing-masing secara nyata dipisahkan oleh karakter tertentu (Gambar 4).

Hasil Dendogram (Gambar 5) menunjukkan 7 galur/varietas yang konsisten toleran ditunjukkan oleh galur Jatiluhur (nomor galur 1), B 9266 F-PN-7-MR-2-PN-4 (nomor galur 6), B 149 F-MR-7 (nomor galur 9), TB 13 G-TB-2 (nomor galur 8), ITA 247 (nomor galur 11), Dodokan (nomor galur 10), dan TB 165 E-TB-6 (nomor galur 7); dan terdapat 2 galur/varietas konsisten moderat yaitu S 382 B-2-2-3 (nomor galur 3) dan TB 177 E-30-B-3 (nomor galur 12) serta dua galur/varietas yang konsisten peka yakni Kalimutu (nomor galur 4) dan IRAT 379 (nomor galur 5).

Hasil analisis juga menunjukkan galur TB 177 E-28-B-3 (nomor galur 2) yang tidak konsisten toleran dan galur TB 154 E-TB-1 (nomor galur 13) tidak konsisten peka. Perubahan atau peralihan ke dua galur tersebut ke kelompok genotipe moderat terutama disebabkan oleh karakter jumlah daun dan jumlah anakan produktif yang rendah akan tetapi mempunyai jumlah gabah per malai yang cukup tinggi dimana karakter tersebut merupakan salah satu karakter yang paling menentukan dalam pengelompokan genotipe moderat.

Toleransi genotipe berdasarkan hasil analisis komponen utama sangat ditentukan oleh karakter agronomi dan morfologi yang ditunjukkan terutama karakter bobot gabah kering yang tinggi, jumlah anakan maksimum tinggi dan persentase gabah hampa yang rendah. Karakter-karakter tersebut sejalan dengan hasil analisis sidik lintas (Gambar 16) menunjukkan bahwa bobot gabah kering (produksi relatif) yang tinggi dan sangat ditentukan oleh karakter jumlah

anakan produktif, jumlah gabah per malai yang tinggi dan rendahnya persen gabah hampa.

Kemampuan tanaman dalam berfotosintesis secara normal pada kondisi cahaya rendah membutuhkan strategi fotosintetik dan strategi fotosintetik ini dapat dicapai melalui efisiensi fotosintesis. Hal tersebut dapat diperbaiki melalui efisiensi dari proses ini, salah satunya pada tingkat penangkapan cahaya. Peningkatan efisiensi fotosintesis melibatkan perubahan luas intersepsi cahaya pada tanaman dan organel yang berperan dalam proses ini adalah kloroplas.

Kloroplas merupakan organel yang berada di dalam subseluler perangkat fotosintetik yaitu membran besar kompleks polypeptida yang mempunyai fungsi untuk kebutuhan pigmen-pigmen untuk absorbsi cahaya, proses transfer energi eksitasi dan pengangkutan muatan seperti rantai transpor elektron yang digunakan untuk merubah energi cahaya ke dalam energi kimia terutama untuk pelepasan oksigen, NADPH dan produksi ATP.

Sel mesofil kloroplas mengandung organisasi seperti membran tilakoid dibedakan ke dalam wilayah appress (lamela grana) dan non-appress (lamela stroma). Wilayah ruang ini saling berhubungan yang menunjukkan asimetris polypeptida, lipid dan komposisi pigmennya (Hall dan Rao 1994). Protein kloroplas terdiri atas kompleks pemanen cahaya (LHC II), fotosistem II, kompleks Cyt b 6/f, fotosistem I termasuk LHC I dan ATPsintase. Protein fotosintetik termasuk sejumlah besar rubisco dan kompleks protein pemanen cahaya (LHC) menggambarkan proporsi total nitrogen daun (Evans 1983, 1989a; Field dan Mooney 1986).

Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi total nitrogen daun meningkat jauh lebih besar pada genotipe toleran Jatiluhur dibandingkan genotipe peka Kalimutu pada kondisi naungan 50 %. Peningkatan konsentrasi total nitrogen daun diduga sebagai bentuk mekanisme adaptasi terhadap naungan. Dugaan tersebut didukung oleh hasil penelitian Sinclair dan Horie (1989) bahwa nitrogen daun dibutuhkan untuk memaksimalkan fotosintesis daun melalui pertambahan luas daun. Peningkatan konsentrasi nitrogen pada luas daun dasar tanaman menghasilkan laju fotosintesis lebih tinggi yang berpengaruh pada efisiensi penggunaan cahaya.

Peningkatan konsentrasi total nitrogen daun kemungkinan sebagai bentuk upaya mempertahankan laju fotosintesis tanaman. Hal ini sejalan dengan pernyataan Lawlor (2002) bahwa nitrogen daun dalam jumlah besar

digunakan untuk menyusun protein-protein yang bertanggung jawab terhadap proses fotosintesis sehingga daun yang mempunyai konsentrasi total N daun yang tinggi cenderung memiliki laju fotosintesis potensial lebih tinggi. Besarnya pengaruh dari kandungan nitrogen daun terhadap efisiensi penggunaan cahaya dari daun adalah tergantung spesies, kemungkinan dalam hubungannya dengan pembagian nitrogen daun antara rubisco dan kompleks protein pemanen cahaya (LHC) (Evans 1989a).

Menurut Levitt (1980) salah satu bentuk adaptasi tanaman terhadap naungan dengan cara penghindaran melalui peningkatan efisiensi penangkapan cahaya dan penangkapan cahaya per unit area fotosintetik yaitu dengan meningkatkan proporsi area fotosintetik. Protein sebagai unsur pembentuk struktur dalam membran sel juga sebagai protein yang aktif, umumnya reaktif dan sangat spesifik. Strukturnya tidak stabil terhadap beberapa faktor seperti radiasi, pH, temperatur dan medium pelarut organik.

Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi total protein daun pada genotipe toleran menurun lebih besar setelah dinaungi dibandingkan dengan genotipe peka. Menurunnya konsentrasi total protein daun pada genotipe toleran diduga akibat sintesis protein terganggu dan ini sangat erat kaitannya dengan rendahnya konsentrasi nitrogen terlarut pada genotipe toleran pada fase vegetatif aktif (Lampiran 13). Keeratan tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya korelasi negatif (-0.92 **) antara nitrogen terlarut dan konsentrasi total protein daun. Keadaan ini menunjukkan bila konsentrasi nitrogen terlarut rendah akan mempengaruhi konsentrasi total protein daun rendah pula.

Konsentrasi nitrogen terlarut dan konsentrasi protein N terlarut pada genotipe toleran rendah pada kondisi naungan 50%. Rendahnya konsentrasi nitrogen terlarut dan konsentrasi protein N terlarut kemungkinan terkait dengan rendahnya jumlah cahaya yang diabsorbsi oleh daun pada kondisi tersebut. Keberadaan nitrogen terlarut rendah menunjukkan nitrogen tidak larut meningkat. Dengan meningkatnya nitrogen tidak larut mengindikasikan bahwa ketersediaan nitrogen dalam tanaman rendah. Gastal dan Lemaire (2002) mengemukakan bahwa kandungan nitrogen daun lebih rendah pada bagian kanopi tanaman pada intensitas cahaya rendah. Hal ini terkait dengan jumlah nitrogen daun lebih rendah dibutuhkan untuk memaksimalkan fotosintesis daun pada intensitas cahaya rendah.

Konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran Jatiluhur menurun pada kondisi naungan 50 % dengan derajat yang sama pada genotipe peka Kalimutu. Menurunnya konsentrasi protein kloroplas nampaknya berhubungan erat dengan konsentrasi nitrogen terlarut yang rendah yang ditunjukkan oleh korelasi yang sangat erat (-0.99 **) antara nitrogen terlarut dengan konsentrasi protein kloroplas.

Menurut Levitt (1980) peningkatan penangkapan cahaya per area fotosintetik dilakukan dengan menghindari refleksi, transmisi dan absorpsi cahaya yang tidak berguna. Penghindaran transmisi dilakukan dengan meningkatkan kandungan kloroplas dan kandungan pigmen per kloroplas. Hipotesis Levitt diperkuat oleh hasil penelitian Burkey et al. (1997) mengemukakan bahwa daun-daun yang ternaungi secara potensial terlibat dalam merespon penyesuaian cahaya termasuk perubahan kapasitas fotosintesis dan perubahan komposisi kloroplasnya.

Pada kondisi pencahayaan rendah hingga PFD rendah, kloroplas di dalam sel palisade pada daun aklimatisasi-naungan cenderung letaknya berdekatan pada dinding sel periklinal, tegak lurus pada sorotan cahaya (datangnya cahaya) dan dengan demikian kloroplas dalam posisi optimal untuk mengintersepsi energi cahaya (Chow et al. 1987). Posisi kloroplas tersebut tidak statis, kloroplas pada tanaman aklimasi-cahaya dan aklimasi-naungan dapat berpindah/bergerak dalam merespon terhadap perubahan kondisi cahaya agar memaksimalkan intersepsi cahaya bila cahaya terbatas dan meminimalisasi intersepsi cahaya bila kejenuhan cahaya (Haupt dan Schenerlein 1990).

Hasil penelitian ini menunjukkan naungan 50% menyebabkan perubahan konsentrasi protein kloroplas. Meskipun demikian, perubahan konsentrasi protein kloroplas ini relatif kecil baik pada genotipe toleran (4.1 %) maupun genotipe peka (1.6 %). Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe peka pada kondisi naungan 50% (Tabel 6). Hasil ini mengindikasikan genotipe toleran Jatiluhur mempunyai kemampuan untuk memelihara perkembangan kloroplas yang normal meskipun pada kondisi defisit cahaya dan ini diduga sebagai bentuk adaptasi tanaman terhadap naungan.

Tyas (2006) melaporkan bahwa bentuk kloroplas kedelai genotipe toleran Ceneng berbeda dengan genotipe peka Godek. Pada kondisi cahaya normal (100%) genotipe toleran Ceneng memiliki bentuk kloroplas memanjang dan

mengalami perubahan cenderung cembung pada kondisi cahaya 50%. Demikian pula kompak grana lebih banyak ditemukan pada cahaya 50 % dibandingkan cahaya 100%. Hal tersebut diduga agar dapat memperluas penangkapan cahaya dari berbagai sisi.

Kloroplas pada daun aklimasi-naungan mempunyai proporsi grana lebih besar, tumpukan membran tilakoid lebih besar (Chow et al. 1987; Anderson et al. 1988; Terashima 1989). Bjorkman dan Demmig-Adams (1995) menyatakan bahwa daun yang ternaungi cenderung mempunyai kloroplas dan volume serta jumlah grana yang lebih besar dan nisbah klorofil pemanen cahaya/enzim pada stroma yang lebih besar dibanding daun yang berkembang pada cahaya penuh. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Maxwell et al. (1999) menunjukkan daun pada tanaman yang ternaung biasanya mempunyai kloroplas lebih besar dan lebih banyak, tersusun paralel dipermukaan daun agar supaya memaksimalkan absorbsi cahaya dan mempunyai volume tilakoid lebih besar dan jumlah tumpukan lebih besar per granum, untuk membantu meregulasi distribusi energi cahaya di antara fotosistem pada lingkungan teresterial atau wilayah membran appress memberikan interkoneksi pada PS II untuk menangkap energi cahaya lebih efisien.

Protein supramolekul yang melekat dalam membran tilakoid merupakan kompleks protein yang berpartisipasi pada transpor elektron dari air ke NADP+. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi protein membran tilakoid meningkat setelah dianaungi 50 % pada kedua genotipe. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Maxwell et al. (1999) yang menunjukkan bahwa jumlah tilakoid per kloroplas dan jumlah tumpukan membran lebih tinggi pada kondisi cahaya rendah. Volume membran tilakoid kira-kira 38 % pada intensitas cahaya rendah, sedangkan volume membran tilakoid pada intensitas cahaya tinggi hanya 15 %. Rata-rata tumpukan membran per granum 14 pada intensitas cahaya rendah dan rata-rata 5 tumpukan pada intensitas cahaya tinggi. Meningkatnya derajat tumpukan tilakoid dikaitkan dengan konsentrasi tinggi pada kompleks pemanen cahaya periferal pada fotosistem II (LHC IIs) (Chow et al. 1987) dan berhubungan dengan peningkatan tarikan Van der Waals’ melalui peningkatan pada kelimpahan protein pemanen-cahaya klorofil a/b (Chow 1991).

Meningkatnya konsentrasi protein membran tilakoid berkaitan erat dengan meningkatkan konsentrasi total nitrogen daun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Maxwell et al. (1999) bahwa sintesis kebanyakan protein

kloroplastik meningkat sebanding dengan kandungan nitrogen daunnya. Evans (1988) mengemukakan bahwa bagian utama dari nitrogen daun adalah rubisco dan sisanya adalah protein yang berada di dalam membran tilakoid dan enzim-enzim siklus Calvin.

Berdasarkan data yang diperoleh rata-rata konsentrasi protein membran tilakoid lebih tinggi pada genotipe toleran dibandingkan dengan genotipe peka (Tabel 7). Tingginya konsentrasi protein membran tilakoid pada genotipe toleran diduga sebagai bentuk mekanisme untuk mempertahankan agar tetap berlangsungnya proses fotosintesis pada kondisi defisit cahaya. Hal ini dimungkinkan mengingat membran tilakoid yang sebagian besar berisi pigmen-pigmen fotosintesis klorofil a, klorofil b dan pigmen-pigmen pelengkap karotenoid dan sebagai tempat berlangsungnya pengangkutan elektron dan fotofosforilasi. Dugaan ini didasarkan pula pada kenyataan bahwa pada naungan 50 % klorofil, aktivitas Rubisco, aktivitas sukrosa fosfat sintase, aktivitas fosfogliserat kinase genotipe toleran lebih tinggi dari pada genotipe peka (Sopandie et al. 2003; Juhaeti et al. 2000; Soverda 2002; Lautt et al. 2000). Khumaida (2002) juga melaporkan bahwa perlakuan naungan 50% tidak menghambat perkembangan membran tilakoid pada kedelai genotipe toleran seperti Pangrango dan B613, tetapi menghambat perkembangan kloroplas genotipe peka Godek.

Konsentrasi protein membran tilakoid sangat nyata dipengaruhi oleh naungan pada perlakuan uji cepat dan tampak perubahan secara drastis terutama pada genotipe peka. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi protein membran tilakoid menurun pada genotipe toleran Jatiluhur sebesar 27.38% lebih rendah dibandingkan genotipe peka Kalimutu 45%. Gambar 15 menunjukkan penurunan konsentrasi protein membran tilakoid lebih tajam pada hari ke-9 setelah dinaungi dibandingkan pada hari ke-18 setelah dinaungi. Hal tersebut mengindikasikan tanaman melakukan optimalisasi pada kondisi cahaya terbatas yang ditandai telah terjadi proses penyesuaian setelah 9 hari naungan. Sebaliknya pada genotipe peka belum mencapai tahap adaptasi yang cukup. Meskipun demikian, mekanisme tersebut masih belum jelas.

Chow et al. (1990) menyatakan optimalisasi tanaman terhadap kondisi cahaya terbatas dapat dicapai dengan penyesuaian aktual pada jumlah PS II, PS I dan LHCP’s yang dimodulasi ukuran antena pemanen-cahaya tanaman tersebut. Hal ini dikemukakan pula oleh Anderson et al. (1988) bahwa penyesuaian pada tanaman ternaung dan kondisi cahaya rendah mempunyai

kompleks PS II lebih sedikit dengan ukuran antena pemanen cahaya lebih besar. Prioul et al. (1980) mengemukakan bahwa daun-daun menunjukkan penyesuaian struktur dan fungsi perangkat fotosintetik pada intensitas cahaya yang dialami selama pertumbuhan sangat reversibel dalam beberapa hari. Waktu yang dibutuhkan tanaman untuk dapat beradaptasi pada kondisi lingkungan stress cahaya sekitar 8 hari (Levitt 1980).

Tanaman telah mengembangkan berbagai strategi untuk dapat beradaptasi pada lingkungan yang terbatas. Kemungkinan perubahan-perubahan pada tanaman tersebut sebagai bentuk adaptasi morfologi maupun bentuk adaptasi fisiologi yang penting untuk mencegah kerusakan akibat defisit cahaya. Mullineaux dan Emlyn-Jones (2004) menunjukkan salah satu bentuk adaptasi tanaman adalah kondisi transisi (transition-state) yang secara fisiologis sangat penting untuk memaksimumkan efisiensi pemanen cahaya pada intensitas cahaya rendah. Maxwell et al. (1999) mengemukakan bila tanaman terekspos lama pada kondisi defisit cahaya akan terjadi proses induksi.

Hasil penelitian menunjukkan pola/komposisi protein yang dianalisis melalui SDS-PAGE pada kloroplas dan membran tilakoid memperlihatkan perbedaan pola pita yang jelas antara perlakuan tanpa naungan (0%) dan naungan 50 %. Perbedaan tersebut ditunjukkan oleh adanya penurunan (gradation) pita protein pada genotipe toleran atau terjadinya pengurangan ketebalan pita protein pada kondisi naungan 50%, sedangkan pada genotipe peka tidak terlihat adanya pengurangan ketebalan pita (ketebalan pita sama antara naungan 0 dan 50%).

Protein-protein yang mengalami penurunan ketebalan tersebut adalah protein yang terlibat di dalam proses fotosintetis yaitu pada rantai pengangkutan elektron pada fotosintem II (Gambar 17) dan merupakan protein-pigmen yang terikat pada antena yang terlibat dalam pemanen cahaya. Fotosistem II ini mengkatalisis proses pemecahan air pada induksi cahaya yang melepaskan molekul O2, dan merupakan membran kompleks protein terdiri atas kompleks pusat, dikelilingi oleh sistim antena dikenal sebagai LHC II yang terdiri atas 20 sub unit yang berbeda, yang ditandai oleh gen psb A sampai psb X mempunyai bobot molekul antara 3 - 47 kDa (Irrgang 1999).

Hasil elektroforesis protein kloroplas padi gogo (Gambar 13) menunjukkan empat akumulasi pita protein yang mengalami perubahan yakni terjadi pada protein bobot molekul 64, 55, 33 dan 18 kDa yang secara keseluruhan merupakan

protein yang bertanggung jawab dalam proses fotosintesis. Protein tersebut merupakan protein membran instrinsik maupun membran exstrinsik yaitu kompleks protein-pigmen yang berada pada antena periferal (kompleks