• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KARAKTERISASI PROTEIN SPESIFIK PADA PADI GOGO TOLERAN DAN PEKA NAUNGAN

Mekanisme Adaptasi

STUDI KARAKTERISASI PROTEIN SPESIFIK PADA PADI GOGO TOLERAN DAN PEKA NAUNGAN

ABSTRAK

Percobaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakter protein fotosintetik padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan. Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dalam pola faktorial diulang tiga kali. Faktor pertama adalah naungan terdiri atas 2 taraf yaitu naungan; 0 % dan 50 % sedang faktor kedua adalah varieas terdiri atas genotipe/varietas toleran (Jatiluhur) dan peka naungan (Kalimutu) yang ditanam pada polybag. Hasil penelitian menunjukkan naungan 50 % pada padi gogo genotipe toleran mengalami penurunan konsentrasi protein total dan protein kloroplas lebih tinggi dibandingkan genotipe peka Kalimutu pada fase vegetatif aktif dan fase pengisian biji, meskipun konsentrasi rata-rata genotipe toleran Jatiluhur masih lebih tinggi daripada genotipe peka Kalimutu. Sementara itu, peningkatan protein membran tilakoid pada genotipe toleran lebih rendah dari pada genotipe peka, baik pada fase vegtatif aktif maupun pengisian biji. Uji cepat pada naungan 50% selama 3, 9 dan 18 hari pada genotipe toleran mengalami penurunan konsentrasi protein membran tilakoid, namun penurunannya lebih rendah dari genotipe peka. Analisis protein spesifik pada padi gogo toleran yang dinaungi menunjukkan penurunan ketebalan pita protein kloroplas (pada bobot molekul 64 kDa yang dikenal sebagai polyfenol oksidase, protein 55 kDa dikode oleh gen rbc L sebagai enzim Rubisco sub unit besar (Rubisco-L), protein membran ekstrinsik 33 kDa dikode gen psb O dan 18 kDa dikode gen psb Q.), selain itu terjadi penurunan ketebalan pita protein pada membran tilakoid (pada bobot molekul 31 kDa dikode gen psb A, 23 kDa dikode gen psb Q dan protein 20 kDa merupakan produk gen Lhcb6 dikenal sebagai protein CP 24 yaitu kompleks protein-pigmen pemanen cahaya pada fotosistem II atau LHC-II-b ).

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman memanen energi cahaya pada spektrum tampak (400-700nm) dan mengubahnya ke dalam energi kimia (ATP) dan mereduksi (NADP) dalam proses fotosintesis. Energi cahaya yang ditangkap oleh klorofil yang terikat ke kompleks protein pemanen cahaya dan ditransfer kepusat reaksi pigmen P680 dan P700 pada fotosistem II (PS II) dan fotosistem I (PS I). Fotosintesis berada dalam organel semi-autonom kloroplas komponen yang terlibat dalam kedua kompartemen, larutan (stroma) dan membran (tilakoid). Kehadiran membran tilakoid yang tersusun dari wilayah appressed (bagian grana) dan interkoneksi non-appressed (stroma lamela) disekeliling lumen tilakoid (Hall dan Rao 1994).

Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan lebar yang disebabkan oleh pengurangan jumlah lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger 1991; Chozin et al. 2000; Sopandie et al. 2003a). Pada genotipe padi gogo dan kedelai toleran naungan terjadi pengurangan jumlah lapisan palisade yang lebih besar akibat cekaman naungan dibandingkan dengan genotipe peka yang menyebabkan daun menjadi lebih tipis (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2003a).

Tanaman ternaungi mengandung 4-5 kali klorofil a dan klorofil b per unit volume kloroplas dan mempunyai nisbah klorofil a/b lebih tinggi sebab kompleks pemanen cahaya (LHC) meningkat (Lawlor 1987). Hal ini ditunjukkan juga oleh genotipe toleran padi gogo dibanding gentotipe yang peka (Sulistyono et al. 1999; Chozin et al. 2000; Sopandie et al. 2003b; Lautt 2003) Kondisi serup juga terjadi pada tanaman kedelai (Khumaida 2002; Khumaida et al. 2003; Sopandie et al. 2003a; Tyas 2006; Jufri 2006). Penelitian lain melaporkan bahwa intensitas cahaya rendah menurunkan nisbah klorofil a/b (Hidema et al. 1992). Penurunan ini disebabkan oleh peningkatan klorofil b pada tanaman yang dinaungi yang berkaitan dengan peningkatan protein klorofil a/b pada kompleks pemanen cahaya IIb.

Intensitas cahaya yang rendah menyebabkan fotosistem I dan fotosistem II menurun tetapi nisbah antena klorofil ke pusat reaksi sedikit lebih besar dibandingkan pertumbuhan pada tanaman intensitas yang tinggi. Ini menggambakan bahwa pada tanaman yang ternaungi akan meningkatkan kapasitas penangkapan cahaya dan transfer energi ke pusat reaksi. Karena

tanaman ternaungi memiliki perangkat pemanen cahaya lebih besar tetapi pelengkap pembawa elektron lebih kecil dibandingkan tanaman yang tidak ternaungi (Allen dan Pfannschmidt 2000).

Tanaman yang ternaungi menyebabkan laju transpor elektron terbatas melalui jumlah foton yang jatuh pada daun. Kondisi ini tidak menguntungkan tanaman ternaungi untuk menghasilkan kapasitas yang besar pada rantai transpor elektron serta pool plastoquinon menerima elektron dari pusat reksi PS II. Namun demikian, sistim absorbsi cahaya yang dimiliki tanaman ternaungi sangat efektif dalam pengumpulan cahaya yang tersedia dan melewati dengan cepat ke pusat reaksi pada cahaya rendah (Lawlor 1987). Penelitian lain menunjukkan untuk mencapai toleransi yang tinggi pada genotipe toleran tanaman kedelai Ceneng terhadap intensitas cahaya rendah yaitu dengan cara meningkatkan laju transpor elektron dan laju fotosintesis, mempertahankan aktivitas enzim fotosintetik rubisco dan SPS (sukrosa fosfat sintase). (La Muhuria, 2007)

Kloroplas tanaman ternaungi biasanya jumlahnya sedikit pada sel mesofil dan tersusun dekat permukaan daun bagian atas walaupun sel pada mesofil lebih rendah dan sering memiliki klorofil lebih sedikit per unit luas daun. Grana sering tidak tetap orientasinya yang mungkin meningkatkan penangkapan cahaya difus/sebar atau orientasi cahaya berubah-ubah. Pada intensitas cahaya rendah kloroplas akan mengumpul pada dua bagian yaitu pada kedua sisi dinding sel terdekat dan terjauh dari cahaya (Salisbury dan Ross, 1995). Tanaman Gusmania monostachia yang ditumbuhkan pada intensitas cahaya rendah (50 µmol m-2 s-1) menghasilkan kloroplas per sel, volume kloroplas, kloroplas pada bidang cross-sectional, volume tilakoid dan jumlah tumpukan per granum lebih tinggi dibandingkan dengan yang tumbuh pada cahaya tinggi (650 µmol m-2 s-1) (Maxwell et al. 1999).

Gambaran diatas menunjukkan untuk mengenali mekanisme adaptasi tanaman terhadap cahaya rendah diperlukan informasi tentang karakter protein fotosintetik spesifik. Protein spesifik ini diduga terinduksi oleh adanya cahaya rendah yang kemungkinan terkait dengan mekanisme adaptasi terhadap cahaya rendah.

Tujuan

Percobaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakter protein fotosintetik padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan.

BAHAN DAN METODE

Bahan tanaman

Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan ini adalah dua genotipe/varietas standar toleran dan peka naungan yaitu varietas Jatiluhur (toleran naungan) dan varietas Kalimutu (peka naungan). Bahan tanaman diperoleh dari tanaman naungan paranet 50% yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan IPB Bogor, bulan Juli 1998 hingga Oktober 1998. Tanaman yang ditumbuhkan pada kondisi tanpa naungan (0%) dan kondisi naungan paranet (50%). Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dalam pola faktorial, dengan 3 ulangan. Faktor pertama terdiri atas 2 taraf naungan ; 0 % dan 50 %, sedang faktor kedua adalah dua varietas pada dua fase pertumbuhan sehingga kombinasi perlakuan terdapat 12 satuan percobaan dan setiap satuan percobaan menggunakan 12 polybag.

Analisis protein fotosintetik

Karakter yang diamati untuk identifikasi protein fotosintetik meliputi: kandungan total protein daun, protein kloroplas dan protein membran tilakoid. Pengukuran kandungan total protein daun, protein kloroplas, dan membran tilakoid dilakukan dengan menggunakan metode Bradford (1976). Prosedur disajikan pada Lampiran 28.

Pengukuran total protein daun, dilakukan di laboratorium biokimia MIPA-IPB, isolasi protein kloroplas dan isolasi protein membran tilakoid dilakukan di laboratorium PSPT, laboratorium HPT dan laboratorium BALITVET.

Persiapan Sampel. Sampel yang dibutuhkan untuk isolasi protein total daun, protein kloroplas dan protein membran tilakoid, diambil dari daun padi yang sudah berkembang penuh daun ke tiga dari atas, yang diperoleh dari 2 genotipe/varietas yang toleran dan peka masing-masing diambil pada perlakuan tanpa naungan (0 %) dan naungan 50 %. Pengambilan sampel pada saat pukul 10.00-11.00 pagi, dan pengambilan sampel dilakukan pada dua fase yaitu pada

fase vegetatif aktif (45 hari setelah tanam) dan pengambilan sampel pada fase pengisian biji, disesuaikan dengan umur stadia pengisian biji masing-masing genotipe (75 HST untuk Jatiluhur dan 65 HST untuk Kalimutu). Pengambilan sampel untuk kebutuhan pengujian singkat/ uji cepat (short term) (3, 9 dan18 hari dinaungi) diperoleh dari fase vegetatif yaitu tanaman padi selama kurang lebih 40 hari ditumbuhkan pada kondisi tanpa naungan, kemudian semua tanaman untuk kebutuhan analisis ditempatkan pada kondisi naungan 50%. Pengambilan sampel disesuaikan dengan perlakuan 3, 9 dan 18 hari setelah dinaungi.

Isolasi Total Protein Daun . Sampel daun padi (kurang lebih 3 g berat basah) digerus di dalam mortar dengan bantuan nitrogen cair kemudian ditambahkan buffer ekstraksi (100 mM Tris-HCl pH 7.4, 4 mM EDTA, 10 mM β- merkaptoetanol, 1 mM PMS, 1mM PVP, 1mM DTT) dengan perbandingan 1 : 2. Sampel disentrifus dengan kecepatan 20.000 g selama 30 menit. Supernatan yang diperoleh dipindahkan ketabung eppendorf dan disimpan dalam suhu 40 C sampai analisis selanjutnya.

Isolasi Protein Kloroplas. Isolasi protein kloroplas daun padi dilakukan dengan menggunakan metode Kin-Ying et al, (1996). Sampel daun padi (kurang lebih 3 g berat segar) dihomogenasi dengan menggunakan buffer ekstraksi (50 mM HEPES, pH 8.0, 1 mM MgCl2, 1 mM MnCl2, 2 mM EDTA, 330 mM Sorbitol, 5 mM Sodium askobat) dengan perbandingan 1 : 5. Sampel difiltrasi dengan menggunakan dua lapis Miracloth. Filtrat disentrifus dengan kecepatan 22.000 g selama 30 menit pada suhu 4 0C. Pelet (kloroplas) yang terkumpul selanjutnya dilisis dan diekstrak dengan buffer garam tinggi yang mengandung (20 mM HEPES pH. 8.0, 5 mM MgCl2, 1mM EDTA, 1mM DTT, 1mM PMSF, 1mM Benzanidin, 5mM ε- amino- n- caproic acid, 1 mM NaCl, 15 % gliserol). Presipitasi dilakukan dengan penambahan amonium sulfat selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 22.000 g selama 30 menit pada suhu 4 0C. Pelet yang didapatkan disuspensi dengan aquades, kemudian dilisis dengan buffer yang mengandung 50 mM Sodium pospat pH 6.8, 0.2 mM EDTA, 0.5 mM PMSF, 0.5 mM DTT dan 10 % Gliserol. Selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 22.000 g selama 30 menit pada suhu 4 0C. Kloroplas dikumpulkan dan disimpan dalam suhu -80 0C sampai analisis selanjutnya.

Isolasi Protein Membran Tilakoid. Isolasi protein membran tilakoid daun padi dilakukan dengan menggunakan metode Shinohara dan Akino (1996). Sampel 10 g digerus dengan bantuan nitrogen cair, selanjutnya dihomogenasi dengan 50 ml buffer A yaitu 50 mM HEPES-KOH (pH 7.6), 10 mM EDTA dan 10 % (w/v) PEG-4000. Filtrasi dilakukan dengan menggunakan 2 lapis miracloth dilakukan 2 kali. Debris disuspensi dalam buffer yang sama, kemudian dihomogenasi dan difiltrasi. Filtrat kemudian disentrifus dengan kecepatan 20. 000 g selama 60 menit pada suhu 40C. Pelet disuspensi dalam 5 ml bufer buffer B yaitu 50 mM HEPES-KOH (pH 7.6) dan 10 mM EDTA. Suspensi dibagi 3 lapisan dalam 3 tahap gradien (8 ml pada 2 M sukrosa, 1.5 ml pada 1.3 M sukrosa dan 8 ml pada 0.4 M sukrosa) dalam bufer (B) kemudian disentrifus pada kecepatan 80.000 g selama 60 menit pada suhu 40C. Membran tilakoid dikumpulkan dari lapisan antara batas larutan sukrosa 1.3 M dan 2 M sukrosa. Membran tilakoid yang didapatkan kemudian diencerkan 6 kali dengan aquades dan disentrifus dengan kecepatan 20.000 g selama 60 menit pada suhu 40C. Pelet (membran tilakoid) dikumpulkan dan disimpan pada suhu - 80 0C untuk analisis selanjutnya.

Analisis Pemisahan Protein. Pemisahan protein kloroplas, membran tilakoid dan protein membran tilakoid pada uji cepat dilakukan dengan menggunakan Elektroforesis SDS-PAGE. Prosedur kerja disajikan pada Lampiran 28.

Analisis data. Data kandungan total protein daun, protein kloroplas dan protein membran tilakoid dianalalisis dengan menggunakan prosedur Anova, dilanjutkan dengan Uji t pada taraf uji 5 %. Hasil analisis disajikan sebagian dalam bentuk Tabel, Grafik dan Histogram serta bentuk Gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Total Protein Daun

Kondisi naungan 50 % menyebabkan menurunnya konsentrasi protein total daun baik pada genotipe toleran naungan Jatiluhur maupun genotipe peka naungan Kalimutu (Tabel 5). Nampak pada Tabel 5 rata-rata konsentrasi total protein daun pada genotipe toleran Jatiluhur lebih rendah bila dibandingkan dengan genotipe peka Kalimutu baik pada kondisi tanpa naungan maupun pada naungan 50%, namun secara statistik tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 %.

Penurunan konsentrasi protein total lebih tinggi pada varietas Jatiluhur sebesar 23.03 % dibandingkan dengan varietas Kalimutu (7.03%) pada kondisi naungan 50% pada fase vegetatif aktif. Demikian pula pada fase pengisian biji penurunan lebih besar terjadi pada varietas Jatiluhur (20.92%) dibandingkan dengan Kalimutu (6.16 %).

Tabel 5. Konsentrasi total protein daun (μg g-1) pada genotipe toleran dan peka pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji

pada naungan 0 % dan 50 % Naungan Genotipe 0% 50% NR (%) Vegetatif Jatiluhur 424.36 a 326.61 a 76.97 Kalimutu 518.65 a 482.19 a 92.97 Pengisisan Biji Jatiluhur 279.56 c 221.09 c 79.08 Kalimutu 217.02 c 203.65 c 93.84

Keterangan : Huruf yang sama dalam baris dan kolom pada fase yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5 %.

NR = Nilai Relatif (persen kontrol).

Penurunan konsentrasi protein total daun diduga berkaitan dengan terganggunya sintesis protein yang bertanggung jawab terhadap proses fotontesis. Terganggunya sintesis protein tersebut, terkait dengan tingginya konsentrasi nitrogen terlarut dan konsentrasi protein N terlarut pada genotipe toleran bila dibandingkan dengan genotipe peka pada kondisi naungan 50% pada fase vegetatif aktif (Lampiran 12). Hal ini sesuai dengan pernyataan Murty dan Sahu (1987) bahwa terganggunya sintesis protein dan rendahnya ketersediaan karbohidrat dan tingginya kehampaan, erat kaitannya dengan peningkatan nitrogen terlarut dan protein-N terlarut.

Telah dilaporkan Evans (1988) bahwa terjadi penurunan protein terlarut dan tingkat Rubisco di daun akibat naungan. Jumlah total protein terlarut berkurang oleh naungan, untuk daun tanpa naungan sebesar 4.7 g m -2 dan daun dinaungi sebesar 3.5 g m -2 .

Protein Kloroplas

Rata-rata konsentrasi perotein kloroplas pada genotipe toleran Jatiluhur 430.66 μg g-1 lebih tinggi dibanding genotipe peka Kalimutu 414.65 μg μg g-1 pada kondisi tanpa naungan, tetapi secara statistik konsentrasi protein kloroplas tidak berbeda nyata antara genotipe toleran dan peka. Demikian pula pada kondisi naungan 50% konsentrasi perotein kloroplas pada genotipe toleran Jatiluhur 413.05 μg/g lebih tinggi dibanding genotipe peka Kalimutu 409.85 μg/g (Tabel 6).

Tabel 6. Konsentrasi protein kloroplas (μg g-1) pada genotipe toleran dan peka pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji pada naungan 0 % dan 50 %

Tingkat Naungan (%) Genotipe 0% 50% NR (%) Vegetatif Jatiluhur 430.66 a 413.05 a 95.91 Kalimutu 414.65 a 409.85 a 98.84 Pengisian Biji Jatiluhur 443.47 c 409.05 c 92.24 Kalimutu 422.66 c 415.07 c 98.20

Keterangan : Huruf yang sama dalam baris dan kolom pada fase yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5 %.

NR = Nilai Relatif (persen kontrol).

Perlakuan naungan 50% menurunkan konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran Jatiluhur dan genotipe peka Kalimutu dengan derajat yang relatif sama pada fase vegetatif aktif. Sedangkan pada fase pengisian biji, Jatiluhur mengalami penurunan konsentrasi protein kloroplas yang lebih besar dibandingkan Kalimutu nampak pada nilai relatif. Penurunan konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran naungan kemungkinan sebagai akibat aklimatisasi tanaman terhadap cahaya rendah sehingga terjadi perubahan komposisi kloroplas yang diindikasikan oleh menurunnya konsentrasi protein kloroplas. Hal tersebut kemungkinan terkait dengan laju fotosintesis maksimum tanaman lebih rendah pada intensitas cahaya rendah dibandingkan dengan laju fotosintesis maksimum pada intensitas cahaya tinggi.

Konsentrasi perotein kloroplas pada genotipe toleran Jatiluhur 413.05 μg g-1 lebih tinggi dibanding genotipe peka Kalimutu 409.85 μg g-1 pada kondisi

naungan 50% lebih tingginya konsentrasi protein kloroplas pada genotipe toleran, diduga merupakan suatu bentuk mekanisme adaptasi sebagai respon spesifik terhadap kondisi defisit cahaya. Hal ini didukung oleh pernyataan (Bjorkman 1981; Anderson 1986; Anderson et al. 1988, 1996) bahwa adaptasi tanaman tingkat tinggi terhadap perbedaan cahaya memerlukan spesifikasi tanaman pada struktur daun dan komposisi kloroplas.

Protein Membran Tilakoid

Konsentrasi protein membran tilakoid pada fase vegetatif aktif, genotipe toleran Jatiluhur maupun peka Kalimutu mengalami perubahan pada naungan 50% (Tabel 7).

Tabel 7. Konsentrasi protein membran tilakoid (μg g-1) padi genotipe toleran dan peka pada fase vegetatif aktif dan pengisian biji pada naungan 0 % dan 50 %

Tingkat Naungan (%) Genotipe 0% 50% NR (%) Vegetatif Jatiluhur 0.2081 a 0.2197 a 105.59 Kalimutu 0.1666 b 0.2002 b 120.20 Pengisian Biji Jatiluhur 0.1501 c 0.2792 c 186.01 Kalimutu 0.1514 d 0.2499 d 165.09

Keterangan : Huruf yang sama dalam baris dan kolom pada fase yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji t 5 %.

NR = Nilai Relatif (persen kontrol).

Genotipe toleran Jatiluhur mengalami peningkatan konsentrasi protein tilakoid akan tetapi genotipe peka Kalimutu mengalami peningkatan dengan derajat yang lebih besar. Peningkatan yang sama terjadi pada genotipe peka Kalimutu pada fase pengisian biji namun untuk genotipe toleran Jatiluhur mengalami peningkatan dengan sangat drastis dan secara statistik protein tilakoid berbeda nyata antara genotipe toleran dan peka baik pada kondisi tanpa naungan maupun pada naungan 50%.

Pada kondisi tanpa naungan, rata-rata konsentrasi perotein tilakoid pada genotipe toleran Jatiluhur 0.2081 μg g-1 lebih tinggi dibanding genotipe peka Kalimutu 0.1666 μg g-1. Demikian pula pada kondisi naungan 50%, konsentrasi

perotein tilakoid pada genotipe toleran Jatiluhur 0.2197 μg/g lebih tinggi dibanding genotipe peka Kalimutu 0.2002 μg/g.

Peningkatan konsentrasi perotein tilakoid pada genotipe toleran Jatiluhur terkait dengan aklimatisasi tanaman terhadap cahaya rendah diduga mempunyai peranan yang penting dalam memaksimalkan penangkapan cahaya. Dalam hal ini genotipe toleran Jatiluhur membutuhkan peningkatan protein tilakoid yang lebih besar untuk dapat beradaptasi pada kondisi defisit cahaya dibandingkan genotipe peka Kalimutu. Hal ini telah diteliti dengan baik oleh Maxwell et al. (1999) bahwa aklimatisasi fotosintesis tanaman cenderung rasionalis dalam cara tanaman mengoptimalisasi efisiensi fotosintetik pada kondisi cahaya berbeda; yaitu memaksimalkan penangkapan cahaya pada kondisi cahaya rendah dan memaksimalkan kapasitas fotosintetik pada kondisi cahaya tinggi.

0 0.2 0.4 0.6

Kons. Prot.Tilakoid (Ug/g)

3 9 18 L a ma N a un ga n (H a ri )

Jatiluhur Kalim utu

Gambar 11. Konsentrasi protein membran tilakoid padi genotipe toleran jatiluhur dan peka kalimutu pada uji cepat.

Perlakuan defisit cahaya (naungan) pada periode yang lama (long term), berbeda dengan uji cepat, perlakuan defisit cahaya pada 3, 9 dan 18 hari naungan (short term) menurunkan konsentrasi protein tilakoid secara drastis, terutama pada genotipe peka Kalimutu dibandingkan dengan genotipe toleran Jatiluhur (Gambar 11). Penurunan protein membran tilakoid pada uji cepat menunjukkan bahwa optimalisasi tanaman pada kondisi defisit cahaya untuk memaksimalkan penangkapan cahaya fotosintesis belum optimal, sehingga

protein membran tilakoid rendah dan kemungkinan tanaman pada kondisi cahaya terbatas disertai oleh pengurangan secara paralel penangkapan energi eksitasi.

Penurunan protein membran tilakoid yang lebih rendah pada genotipe toleran diduga merupakan suatu bentuk mekanisme untuk memelihara penggunaan cahaya fotosintetik pada kondisi cahaya terbatas agar dapat beradaptasi. Hal ini sejalan denghan pernyataan Maxwell et al. (1999) bahwa adaptasi tanaman terhadap lingkungan cahaya juga melibatkan perubahan fungsionil dan keseimbangan komposisi pada morfologi daun dan komposisi membran tilakoid dan enzim pelengkap. Meskipun demikian, mekanisme perubahan-perubahan tersebut masih belum jelas.

Pengaruh Naungan terhadap Komposisi Protein Fotosintetik

Protein kloroplas dan protein membran tilakoid yang diisolasi dari daun tanaman padi genotipe toleran dan genotipe peka naungan dianalisis pada periode yang lama (fase vegetatif aktif dan fase pengisian biji). Sedangkan membran tilakoid selain perlakuan defisit cahaya pada periode lama juga dilakukan pada periode singkat/uji cepat pada 3, 9 dan 18 hari naungan (short term).

Pola atau komposisi protein dianalisis dengan cara memurnikan protein kloroplas dan protein membran tilakoid melalui sentrifugasi gradien sukrosa (sucrose density gradient centrifugation) . Pemurnian protein kloroplas melalui sentrifugasi gradien sukrosa dengan komposisi gradien sukrosa yakni sejumlah 16 ml pada 60 % sukrosa untuk lapisan bawah dan 8 ml pada 30 % sukrosa untuk lapisan atas. Dilakukan sentrifus pada kecepatan 22.000 g, pada suhu 4

0C selama 30 menit.

Untuk memperoleh protein membran tilakoid dilakukan pemurnian melalui sentrifugasi gradien sukrosa dengan susunan sebagai berikut : sejumlah 8 ml pada konsentrasi 2 M sukrosa untuk lapisan pertama (bagian bawah), sejumlah 15 ml pada 1.3 M sukrosa pada lapisan kedua (tengah) dan 8 ml pada 0.4 M sukrosa pada lapisan ketiga (bagian atas). Dilakukan sentrifus dengan kecepatan 80.000 g, pada suhu 4 0C selama 60 menit. Pengumpulan protein kloroplas dan membran tilakoid dilakukan dengan cara mengeluarkan lapisan hijau yang terbentuk pada lapisan tertentu dengan bantuan jarum suntikan. Protein kloroplas yang terkumpul berwarna hijau terletak antara lapisan batas

antara 30 % dan 60 % sukrosa. Sedangkan protein membran tilakoid yang terkumpul terletak antara lapisan 1.3 M dan 2 M sukrosa (Gambar 12). Protein yang terkumpul disimpan pada suhu -80 0C sampai analisis selanjutnya.

Gambar 12. Profil kloroplas dan tilakoid daun padi pada gradien sukrosa berbeda. JL 0 JL 50 KM 0 KM 50 JL 0 JL 50 KM 0 KM 50

Kloroplas Membran Tilakoid

Keterangan: JL 0 = Jatiluhur naungan 0% JL 50 = Jatiluhur naungan 50% KM 0 = Kalimutu naungan 0% KM 50 = Kalimutu naungan 50%

A

nalisis pemisahan protein dengan elektroforesis menggunakan metode menurut Andrews (1986) yang telah dimodifikasi. Pemisahan protein dimulai dari persiapan pereaksi: pembuatan larutan stock, Bahan A : Tris-HCl 1.5 M pH = 8.8; bahan B : sodium dodecyl sulfate - 10 %, bahan C : akrilamid/bis = 30 %T, 2.67 % C; bahan D : Ammonium Persulfat 10 %; bahan E : Tris - Hcl 0.5 M Ph 6.8; bahan F : Running Buffer (25 Mm Tris, 192 Mm Glycine, 0.1 % Sds, Ph = 8.3); bahan G : Larutan Pewarna (Staining); bahan H : Larutan Pencuci (Destaining); bahan I : Buffer Contoh; bahan J : Ammonium Sulfat 60 %; bahan K : Sodium Dodecyl Sulfat 1 %. Selanjutnya pembuatan media gel, preparasi sampel, proses pemisahan (running elektroforesis), pewarnaan dan pencucian warna kemudian penetapan penanda protein. Estimasi bobot molekul (BM) dilakukan dengan cara mengukur jarak migrasi pita protein. Bobot molekul dari masing-masing protein monomer ditentukan dengan menghitung nilai Rf dari pita-pita protin yang tampak, lalu dibuat kurva standar Log BM terhadap nilai Rf pita protein standar (marker) untuk mengetahui bobot molekul dari sampel.

Analisis komposisi protein melalui SDS-PAGE, menunjukkan jumlah polypeptida yang diinduksi oleh perlakuan naungan pada genotipe toleran Jatiluhur lebih padat/tebal pada kondisi naungan 0% dibandingkan dengan kondisi naungan 50%. Sebaliknya pada genotipe peka Kalimutu tidak menunjukkan perbedaan kepadatan antara naungan 0% dan naungan 50% baik pada fase vegetatif maupun pada fase pengisian biji (Gambar 13).

18 33

S 1 2 3 4 5 6 7 8

85200

55600

39200

26600

20100

14300

(Da)

116400

64

k

55