• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi

2.1.1 Pengertian Evaluasi

Baik tidaknya suatu program dapat dilihat dari proses evaluasi yang dilakukan. Evaluasi sangat dibutuhkan untuk melihat sejauh apa perkembangan dan capaian daripada suatu program yang telah ditetepkan dan dilaksanakan. Evaluasi sangat berkaitan dengan suatu proses perencanaan, dan keduanya saling memiliki kaitan timbal balik. Evaluasi (bahasa Inggris:Evaluation) adalah proses penilaian. Dalam perusahaan, evaluasi dapat diartikan sebagai proses pengukuran akan efektifitas strategi yang digunakan dalam upaya mencapai tujuan perusahaan. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut akan digunakan sebagai analisis situasi program berikutnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Evaluasi diakses 20 mei 2014 pukul 23.30).

Evaluasi adalah suatu upaya untuk mengukur secara objektif terhadap pencapaian yang telah dirancang dari suatu aktivitas atau program yang telah dilaksanakan sebelumnya, yang mana hasil penelitian yang dilakukan menjadi umpan balik bagi aktivitas perencanaan baru yang akan dilakukan berkenaan dengan aktivitas yang sama dimasa depan ( Siagian dan Agus, 2012:171)

Menurut Alkin (1969), evaluasi sebagai suatu proses meyakinkan keputusan, memilih informasi yang tepat, mengumpulkan, dan menganalisis informasi sehingga dapat melaporkan ringkasan data yang berguna bagi pembuat keputusan dalam memilih beberapa alternatif.

5 macam evaluasi menurut Alkin, yakni:

1. Sistem assessment, yang memberikan informasi tentang keadaan atau posisi sistem.

2. Program planning, membantu pemilihan program tertentu yang mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhan program.

3. Program implementation, yang menyiapkan informasi apakah program sudah diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang tepet seperti yang direncanakan. 4. Program improvement, yang memberikan informasi tenteng bagaimana program

berfungsi, bagaimana program bekerja, atau berjalan? Apakah menuju pencapaian tujuan, adakah hal-hal atau masalah-masalah baru yang muncul tak terduga? 5. Program cetification, yang memberi informasi tentang nilai atau guna program

(http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/197108 082001121-DIDING_NURDIN/Bab_2_Model_Evaluasi_SP.pdf diakses30 juni 2014).

2.1.2 Pendekatan-pendekatan terhadap Evaluasi

Evaluasi memiliki tujuan-tujuan alternatif dan tujuan-tujuan tersebut mempengaruhi evaluasi suatu program atau kegiatan. Mengenal pandangan-pandangan yang beraneka ragam dan mengetahui bahwa tidak semua evaluator setuju pada pendekatan tersebut dalam melakukan evaluasi suatu program/kegiatan adalah penting. Ada beberapa pendekatan umum dalam melakukan evaluasi yaitu:

Fokus pada pendekatan ini hanya tertuju kepada tujuan program/proyek dan seberapa jauh tujuan itu tercapai. Pendekatan ini membutuhkan kontak intensif dengan pelaksana program/proyek yang bersangkutan.

2. Pendekatan kedua adalah pendekatan three-dimensional cube atau Hammond’s evaluation approach.

Pendekatan Hammond melihat dari tiga dimensi yaitu instruction (karateristik pelaksanaan, isi, topik, metode, fasilitas, dan organisasi program/proyek), institution (karakteristik individual peserta, instruktur, administrasi sekolah/kampus/organisasi), dan behavioral objective (tujuan program itu sendiri, sesuai dengan taksonomi Bloom, meliputi tujuan kognitif, afektif dan psikomotor).

3. Pendekatan ketiga adalah management-oriented approach.

Fokus dari pendekatan ini adalah sistem (dengan model CIPP: context-input-proses-product). Karena pendekatan ini melihat program/proyek sebagai suatu sistem sehingga jika tujuan program tidak tercapai, bisa dilihat di proses bagian mana yang perlu ditingkatkan.

4. Pendekatan keempat adalah goal-free evaluation.

Berbeda dengan tiga pendekatan di atas, pendekatan ini tidak berfokus kepada tujuan atau pelaksanaan program/proyek, melainkan berfokus pada efek sampingnya, bukan kepada apakah tujuan yang diinginkan dari pelaksana program/proyek terlaksana atau tidak. Evaluasi ini biasanya dilaksanakan oleh evaluator eksternal.

5. Pendekatan kelima adalah consumer-oriented approach.

Dalam pendekatan ini yang dinilai adalah kegunaan materi seperti software, buku, silabus. Mirip dengan pendekatan kepuasan konsumen di ilmu Pemasaran, pendekatan ini menilai apakah materi yang digunakan sesuai dengan penggunanya,

atau apakah diperlukan dan penting untuk program/proyek yang dituju. Selain itu, juga dievaluasi apakah materi yang dievaluasi di-follow-up dan cost effective.

6. Pendekatan keenam adalah expertise-oriented approach.

Dalam pendekatan ini, evaluasi dilaksanakan secara formal atau informal, dalam artian jadwal dispesifikasikan atau tidak dispesifikasikan, standar penilaian dipublikasikan atau tidak dipublikasikan. Proses evaluasi bisa dilakukan oleh individu atau kelompok. Pendekatan ini merupakan pendekatan tertua di mana evaluator secara subyektif menilai kegunaan suatu program/proyek, karena itu disebut subjective professional judgement.

7. Pendekatan ketujuh adalah adversary-oriented approach.

Dalam pendekatan ini, ada dua pihak evaluator yang masing-masing menunjukkan sisi baik dan buruk, disamping ada juri yang menentukan argumen evaluator mana yang diterima. Untuk melakukan pendekatan ini, evaluator harus tidak memihak, meminimalkan bias individu dan mempertahankan pandangan yang seimbang. 8. Pendekatan terakhir adalah naturalistic & participatory approach.

Pelaksana evaluasi dengan pendekatan ini bisa para stakeholder. Hasil dari evaluasi ini beragam, sangat deskriptif dan induktif. Evaluasi ini menggunakan data beragam dari berbagai sumber dan tidak ada standar rencana evaluasi. Kekurangan dari pendekatan evaluasi ini adalah hasilnya tergantung siapa yang menilai (Tayipnafis, 2000 :9).

Berbagai pendekatan untuk mengevaluasi suatu program atau proyek diterapkan untuk mendapatkan keefektifan dan keefisienan program atau proyek tersebut baik secara internal yaitu pihak pengembang atau pengelola, maupun secara eksternal yaitu pengguna. Bentuk-bentuk pendekatan evaluasi yang telah ada harus

terus dikembangkan untuk meningkatkan kepuasan pengguna sebagai tujuan utama suatu program dijalankan.

2.1.3 Proses Evaluasi

Dalam proses suatu program, pada hakekatnya selalu dimualai dari suatu rencana, bertitik dari situ maka proses evaluasi atau pelaksanaan evaluasi terhadap suatu program tentu saja harus didasarkan atas rencana evaluasi program tersebut. Namun dalam praktek sering sekali evaluasi terhadap suatu program tidak direncanakan. Hal ini tidak saja menimbulkan ketidakjelasan fungsi evaluasi, institusi, personal yang sebaiknya melakukan evaluasi dan biaya untuk evaluasi.

Dalam melakukan proses evaluasi ada beberapa etik birokrasi yang perlu diperhatikan olek pihak-pihak yang erat hubungannya dengan tugas-tugas evaluasi antara lain:

1. Semua tugas/tanggungjawab pemberi tugas/yang menerima tugas harus jelas. 2. Pengertian dan konotasi yang tersirat dalam evaluasi yaitu mencari kesalahan

harus dihindari.

3. Pengertian evaluasi adalah untuk memperbandingkan rencana dengan pelaksanaan dengan melakuakan pengukuran-pengukuran kuantitatif/kualitatif totalitas program secara teknik, maka dari itu hendaknya ukuran-ukuaran kualitas dan kuantitas tentang apa yang dimaksud dengan berhasil telah dicantumkan sebelumnya dalam rencan program secara eksplisit.

4. Tim yang melakukan evaluasi adalah pemberi saran/nasehat kepada manajemen, sedangkan pendayagunaan saran/nasehat tersebut serta pembuat keputusan atas dasar saran/nasehat tersebut berada ditangan manajemen program.

5. Dalam proses pengambilan keputusan yang telah dilakukan atas data-data/penemuan teknis perlu dikonsultasiakan secara cermat mungkin karena menyangkut banyak hal tentang masa depan proyek dalam kaitannya dengan program.

6. Hendaknya hubungan dan proses selalu didasari oleh suasana konstruktif dan objektif serta menghindari analisa-analisa subjektif. Dengan demikian, evaluasi dapat diterapkan sebagai salah satu program yang sangat penting dalam siklus manajemen program (Sirait: 1990:160).

2.1.4 Tolak Ukur Evaluasi

Suatu program dapat dievaluasi apabila ada tolak ukur yang bisa dijadikan penilaian terhadap program yang telah berlangsung tersebut. Berhasil atau tidaknya suatu program berdasarkan tujang yang dimiliki tolak ukur yang nantinya harus dicapai dengan baik oleh sumber daya yang mengelolanya, diantaranya:

1. Tolak ukur evaluasi pada tahap perencanaan adalah: a. Mempunyai suatu program yang akan disosialisasikan b. Mempunyai tujuan yang akan disosialisasikan

c. Mempunyai metode-metode yang akan digunakan untuk disosialisasikan

2. Tolak ukur dalam evaluasi pada tahap pelaksanaan adalah:

a. Apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah direncanakan b. Apakah tujuan dapat dicapai sesuai dengan yang direncanakan c. Apakah metode-metode sesuai dengan yang telah direncanakan

d. Apakah sarana yang ada dapat mencapai tujuan yang telah direncanakan

3. Tolak ukur evaluasi pada tahap pasca pelaksanaan adalah:

a. Apakah hasil yang diperoleh(efektivitas dan efisien) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai (Suwito, 2002:16)

2.2 Evaluasi Program

Evaluasi program merupakan suatu langkah, yaitu awal dalam supervisi, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula. Fokus utama penilaian suatu program meliputi tiga arah, yaitu masukan, hasil, dan dampak. Oleh karena itu, pelaksanaan suatu penilaian terhadap suatu program harus mengimplementasikan indikator yang tepat. Ditinjau dari aspek tujuannya, maka penilaian berupaya mengetahui dengan apa sungguh-sungguh terjadi pelaksanaan atau implementasi program.

Penilaian suatu program bertujuan:

1. Mengetahui tingkat pencapaian tujuan dari suatu program. 2. Mengukur dampak langsung yang muncul bagi kelompok sasar.

3. Mengetahui dan menganalisis dampak-dampak lain yang mungkin terjadi.

Jika ditinjau dari aspek tingkat pelaksanaannya, secara umum evaluasi terhadap suatu program dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu :

1. Penilaian atas perencanaan, yaitu mencoba memilih dan menetapkan prioritas terhadap berbagai alternatif dan kemungkinan atas cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

2. Penilaian atas pelaksanaan, yaitu melakukan analisis tingkat kemajuan pelaksanaan dibandingkan dengan perencanaan, di dalamnya meliputi apakah pelaksanaan program sesuai dengan apa yang direncanakan, apakah ada

perubahan-perubahan sasaran maupun tujuan dari program yang sebelumnya direncanakan.

3. Penilaian atas aktivitas yang telah selesai dilaksanakan, yaitu menganalisis hasil yang diperoleh sesuai dengan tujuan yang sebelumnya ditetapkan (Siagian dan Agus, 2012 : 172).

2.3 Lembaga Pemasyarakatan

2.3.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangani pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan disebut Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih dikenal dengan istilah sipir penjara.Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, di mana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah

mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat (http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan diakses 30 juni 2014).

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dalam tata peradilan pidana. Lembaga pemasyarakatan yang berkembang sekarang ini menganut sistem pemasyarakatan yaitu suatu tatanan arah dan batas serta cara pembinaan terhadap narapidana berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas narapidana agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

2.3.2 Petugas Pemasyarakatan

Kewajiban untuk mengeluarkan narapidana dari lembaga pemasyarakatan untuk kembali ke masyarakat tidak kalah pentingnya daripada untuk memasukkan narapidana ke dalam lembaga pemasyarakatan. Berhasilnya tugas untuk mengeluarkan dan mengembalikan narapidana menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum, tergantung kepada petugas-petugas negara yang diserahi tugas menjalankan si stem pemasyarakatan. Adapun petugas pemasyarakatan yang memiliki mental yang baik dah sehat ditunjukkan dalam 5 aspek, yaitu:

1. Berfikir realistis

3. Mampu membina hubungan dengan orang lain 4. Mempunyai visi dan misi yang jelas

5. Mampu mengendaliakan emosi

Berdasarkan surat edaran Dirjen Pemasyarakatan berikut ini adalah sepuluh kewajiban petugas pemasyarakatan:

1. Menjunjung tinggi hak-hak warga binaan pemasyrakatan.

2. Bersikap belas kasih dan tidak sekali-kali menyakiti warga binaan pemasyarakatan.

3. Berlaku adil terhadap warga binaan pemasyarakatan 4. Menjaga rahasia pribadi warga binaan pemasyarakatan 5. Memperhatikan keluhan warga binaan pemasyarakatan. 6. Menjaga rasa keadilan masyarakat.

7. Menjaga kehormatan diri dan menjadi teladan dalam sikap dan perilaku.

8. Waspada dan peka terhadap kemungkinan adanya ancaman dan gangguan keamanan.

9. Bersikap sopan tetapi tega dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat 10.Menjaga keseimbangan antara kepentingan pembinaan dan keamanan.

Petugas lembaga pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang seluk-beluk system pemasyarakatan dan terus menerus meningkatkan kemampuan, dalam menghadapi narapidana. Petugas-petugas yang dimaksud dalam uraian diatas melakukan peranan sesuai denga kewenangannya yang ditunjuk oleh peraturan, dan berusaha menciptakan bentuk kerjasama yang baikmuntuk membantu penyelenggaraan “proses pemasyarakatan” sedemikian rupa pelaksanaan sistem pemasyarakatan

2.4 sistem Pemasyarakatan

2.4.1 Konsep Sistem Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan muncul setelah adanya sistem kepenjaraan yang telah berlangsung selama ratusan tahun yang lebih menekankan pada pembalasan atau penghukuman pada masyarakat yang telah melakukan tindak pidana dan dinyatakan bersalah oleh pihak pengadilan. Perbedaan sistem pemasyarakatan dan system kepenjaraan terletak pada asa, tujuan, dan pendekatan yang mendasari tata perlakuan terhadap para pelanggar hukum. Perbedaan ini secara keseluruhan memperlihatkan bahwa sistem pemasyarakatan jauh lebih baik dan sangat memperlihatkan aspek kemanusiaan dibandingkan sistem kepenjaraan.

Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan, meliputi : falsafah, dasar hukum, tujuan, pendekatan system klasifikasi, perlakuan terhadap narapidana, orientasi pembinaan, sifat pembinaan, remisi, bentuk bangunan, narapidana, keluaraga narapidana, dan Pembina/pemerintah (Harsono, 1995:5).

UU nomor 12 Tahun 1995 Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan tata peradilan pidana. Konsepsi Pemasyarakatan bukan semata merumuskan tujuan dari pidana penjara, melainkan suatu sistem pembinaan, metode dalam bidang “treatment of offenders”. Soedjono menjelaskan Sistem pemasyarakatan adalah proses pembinaan terpidana yang berdasarkan azas Pancasila dan memandang terpidana sebagai

makhluk Tuhan, individu, dan anggota masyarakat (Sujatno dalam Nurulaen, 2012:91).

Sistem pemasyarakatan pada Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 dijelaskan :

Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat kembali diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Tujuan pemasyarakatan pada pasal 2 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 dijelaskan :

Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tinadakan pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat berperan aktif dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Fungsi sistem pemasyarakatan pada pasal 3 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 1995 dijelaskan:

Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapakan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Menurut Djakaria, yang dapat menentukan berhasilnya sistem pemasyarakatan adalah tergantung subyek materi yang satu sama lainnya saling menunjang, yaitu narapidana, petugas pemasyarakatan, dan masyarakat (Nurulaen, 2012:38).

Dalam perkembangan di lembaga pemasyarakatan, sistem kepenjaraan diganti dengan sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan secara konseptual dan historisnya sangat berbeda dengan sistem kepenjaraan. Dalam system pemasyarakatan azas yang dianut menempatkan narapidana sebagai subjek yang dipandang sebabgai pribadi dan warga negara serta dihadapi bukan dengan pembalasan melainkan pembinaan yang terarah agar kedepannya dapat menyadarkan sipelaku kejahatan. Sedangkan pembinaan narapidana dalam system kepenjaraan sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Pada 15 Juli 1963, penganugrahan gelar Doctor Hounouris Causa ilmu hukum, Sahardjo dalam pidatonya menyatakan :

a. Tujuan dari pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita akibat dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.

b. Tujuan dari pidana penjara adalah pemasyarakatan (Sahardjo dalam Atmasasmita, 2002 : 6)

Sahardjo merupakan tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya perbaikan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara.

Dalam konferensi Dinas Pemasyarakatan yang pertama kali pada 27 April 1964 pokok-pokok pikiran Sahardjo tersebut pada akhirnya dijabarkan dan dirumuskan sebagai sistem pembinaan narapidana sebagai berikut :

1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan diberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik, yakni masyarakat Indonesia yang menuju ke tata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. Bekal hidup tidak hanya berupa finansial dan materiil, tetapi yang juga lebih adalah mental, fisik, keahlian, keterampilan, hingga orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga negara yang baik, tidak melanggar hukum dan berguna dalam pembangunan negara.

2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara perawatan atau penempatan. Derita yang dihilangkan hanya kemerdekaannya.

3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma kehidupan, serta diberikan kesempatan untuk merenungkan perbuatan yang lampau.

4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga pemasyarakatan. Karena itu diadakan pemisahan antara : a. Yang residivis dan yang bukan residivis.

b. Yang telah melakukan tindak pidana yang berat dan yang ringan. c. Macam tindak pidana yang dibuat.

d. Sudah tua (40 tahun keatas, dewasa (25-40 tahun), remaja (18-25 tahun). e. Orang terpidana dan orang tahanan.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus diperkenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya. Pada waktu mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan pengasingan dari masyarakat dalam arti “kultural”. Secara bertahap mereka akan dibimbing di tengah-tengah masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan.

6. Pekerjaan diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukan kepentingan Jawatan atau kepentingan Negara sewaktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus suatu pekerjaan di masyarakat yang ditujukan kepada pembangunan nasional, karena harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan.

7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila. Pendidikan dan bimbingan harus berisikan asas yang tercantum didalam Pancasila, kepada narapidana harus diberi kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotong-royongan, toleransi, kekeluargaan, bermusyawarah untuk mufakat positif. Narapidana harus untuk kegiatan demi kepentingan-kepentingan bersama dan umum.

8. Tiap harus manusia harus sebagai layaknya manusia, meskipun telah tersesat. Tidak boleh selalu ditujukan kepada narapidana bahwa ia itu adalah penjahat. Ia harus selalau merasa bahwa ia dipandang dan diperlukan sebagai manusia. Sehubungan dengan itu petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memaki kata-kata yang dapat menyinggung perasaan narapidana.

9. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan. Perlu diusahakan agar narapidana mendapat mata pencaharian unntuk keluarga dengan jalan menyediakan/memberikan pekerjaan upah. Bagi pemuda dan anak-anak

disediakan lembaga pendidikan yang diperlukan, ataupun diberi kesempatan kemungkinan mendapatkan pendidikan diluar lembaga pemasyarakatan.

10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang berada ditengah-tengah kota ke tempat yang sesuai kebutuhan proses pemasyarakatan (Sahardjo dalam Atmasasmita, 2002 : 8). (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39847/4/Chapter%20II.pdf diakses 06 juli 2014).

Sistem baru ini kemudian dikenal dengan nama “Sistem Pemasyarakatan” yang merupakan tujuan dari pidana penjara. Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, bertujuan mengembalikan narapidana sebagai warga negara yang baik,dan merupakan penerapan serta bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yanng terkandung dalam Pancasila.

Dalam pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem kepenjaraan karena dalam sistem pemasyarakatan, narapidana hanya dibatasi bergeraknya saja sedangkan hak-hak kemanusiaannya tetap dihargai. Didasarkan atas pertimbangan sistem kepenjaraan sudah tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang didalam kehidupan sehari-hari berpedoman kepada filsafah Pancasila. Sistem pemasyarakatan yang dikenal adalah suatu pembinaan narapidana yang didasarkan Pancasila sebagai Falsafah bangsa Indonesia dan memandang narapidana sebagai makhluk Tuhan, sebagai individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat.

2.4.2 Pembinaan dalam Sistem Pemasyarakatan

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 31 pasal 1 ayat (1) tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan narapidana yang dimaksud “pembinaan adalah suatu aktivitas untuk yang ditujukan bagi narapidana guna meningkatkan kualitas iman dan ketakwaan, intelektual, sikap, perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan”.

Pembinaan merupakan suatu cara untuk dapat meningkatkan, mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan serta sikap seseorang atau kelompok sehubungan dengan kegiatan, dan pekerjaan. Pembinaan terkait dengan pengembangan manusia sebagai bagian dari pendidikan, baik ditinjau dari segi teoritis maupun praktis. Dari segi teoritis, yaitu pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan dari segi praktisnya lebih ditekankan pada pengembangan sikap, kemampuan dan kecakapan. Pembinaan merupakan kegiatan yang dilakukan

Dokumen terkait