• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implementasi

Menurut kamus umum Bahasa Indonesia, kata implementasi sama dengan kata pelaksanaan. Implementasi adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program. Implementasi program merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan program. Hal ini dapat dilihat seperti yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn yang mendefenisikan implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik individu, pejabat, atau kelompok pemerintah atagu swasta yang diarahkan pada tercapainya suatu tujuan yang telah digariskan dalam kebijaksanaan (Wahab, 1991 : 134).

Adapun tiga pilar-pilar kegiatan dalam upaya implementasi adalah sebagai berikut ini :

1. Organisasi : pembentukan atau penataan kembali sumber daya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan.

2. Interpretasi : menafsirkan agar program (misalnya, hal status) menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima dan dilaksanakan.

3. Penerapan : ketentuan rutin pelayanan, pembayaran atau yang lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program (Jones, 1991 : 89)

Berhasil tidaknya suatu program diimplementasikan tergantung pada unsur pelaksanaannya, dan unsur pelaksana ini merupakan unsur ketiga. Pelaksanaan program penting artinya baik itu organisasi, lembaga ataupun perorangan bertanggungjawab dalam

pengolaan maupun pengawasan dalam proses implementasi. Dengan demikikan isi dari kebijaksanaan dalam pokoknya meliputi adanya program yang bermanfaat, adanya kelompok sasaran, terjadinya jangkauan perubahan, terdapatnya sumber-sumber daya serta adanya pelaksana-pelaksana program. Hasil akhir dari sebuah kegiatan dalam kegiatan implementasi ini dapat dilihat dari damp;aknya terhadap masyarakat, individu, kelompok-kelompok dan dari tingkat perubahan penerimaannya.

Kegagalan dan keberhasilan implementasi dapat dilihat dari kemampuannya secara nyata. Dalam mengoperasikan implementasi program-program agar tercapai suatu tujuan serta terpenuhinya misi program diperlukan kemampuan yan g tinggi pada organisasi-organisasi pelaksanaannya. Organisasi ini bisa dimulai dari organisasi di tingkat atas sampai yang berada di level itu, baik negeri atau swasta. Baik tidaknya suatu program atau kebijaksanaan yang telah ditetapkan merupakan masalah yang sungguh-sungguh kompleks bagi setiap organisasi, termasuk pemerintah. Hal ini menjadi maslah karena biasanya terdapat kesenjangan waktu antara penetapan program atau kebijaksaan dan pelaksanaannya. Dalam kaitan ini, jones mengatakan bahwa implementasi adalah suatu proses interaktif antara suatu perangkap tujuan dan tindakan atau bersifat interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijakan yang mendahuluinya. Dengan kata lain, pelaksanaan merupakan kegiatgan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program dalam pilar-pilarnya organisasi, interpretasi dan penerapan (Jones, 1991 : 93).

2.2Konsep Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal yang bersifat (berciri) keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.

Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2004 adalah meliputi suami, istri, dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dimana orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam kalimat sebelumnya adalah dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (Sinar grafika, 2009 : 3)

Menurut Undang-Undang RI No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemersekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Sinar grafika, 2009 : 2)

Kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi didalam hubungan keluarga, antara pelaku dan korbannya memiliki kedekatan tertentu. Tercakup disini penganiayaan terhadap istri, bekas istri, tunangan, anak kandung dan anak tiri, penganiayaan terhadap orangtua, serangan seksual atau perkosaan oleh anggota keluarga.

Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan kekerasan berbasis gender (gender based violence). Bentuk kejahatan ini merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara denagn laki-laki, tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik dan kejahatan yang berdalih kehormatan. Keekrasan kategori ini muncul akibat pemposisian perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat perlindungan dari seseorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya kemudian suaminya.

Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk sekaligus dilembagakan secara sosial. Dalam hal ini, masyarakat menentukan batas-batas kepantasan dan melabelkan peran-peran streotip bagi laki-laki dan perempuan. Apa yang ditentukan oleh masyarakat ini sudah berjalan berabad-abad lamanya, dan di anggap kodrat yang tidak bisa berubah, oleh sebab itu seseorang hanya bisa eksis dan dianggap benar apabila mengikuti batas-batas dan label-label sosial yang berlaku. Sebaliknya, seseorang akan merasa bersalah dan dipersalahkan apabila keluar dari batas-batas dan label-label sosial tersebut (Luhulima, 2000 : 8).

Salah satu bukti adanya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender adalah banyaknya perempuan yang mengalami tindak kekerasan. Kenyataan ini disebabkan oleh kurangnya penghargaan dan adanya batas-batas kepantasan yang diperlakuakn secara diskriminatif terhadap perempuan sehingga perempuan dipandang tidak lebih dari sekedar objek yang pantas diperlakukan sewenang-wenang. Selanjutnya, yang dimaksud dengan kekerasan-kekerasan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, dan perampasan kemerdekaan dirumuskan sebagai berikut:

1. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh seseorang, dan atau menyebabkan kematian.

2. Kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya pada seseorang.

3. Kekerasan seksual adalah tiap-tiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki, dan atau melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban, dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya.

4. Kekerasan ekonomi adalah tiap-tiap perbuatan yang membatasi seseorang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang, dan atau membiarkan korban bekerja untuk mengeksploitasi, atau menelantarkan anggota keluarga.

5. Perampasan kemerdekaan secara berwenang-wenang adalah semua perbuatan yang menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan sosialnya (Ciciek, 1999 : 30).

2.3 Pelaku dan Korban Kekerasan

Perempuan sering dilukai dan mengalami kekerasan dalam lingkup personal, baik dalam kaitannya dalam perannya sebagai istri atau anggota keluarga lain (misal: anak, adik ipar). Meskipun demikian kekerasan jenis ini merupakan satu kekerasan yang sangat selit diungkap antara lain karena:

1. Cukup banyak pihak yang menganggap hal demikian lumrah saja (bahkan menjadi bagian dari pendidikan yang dilakukan suami pada istri).

2. Konflik dalam rumah tangga sangat sering dilihat sebagai masalah intern keluarga yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Pandangan ini diyakini baik oleh orang-orang luar maupun orang-orang di dalam keluarga itu sendiri.

3. Pelaku maupun korban sangat sering menutup-nutupi kejadian yang sesungguhnya dari orang lain dengan alasan-alasan yang berbeda (Ciciek, 1999 : 22)

Pelaku menganggap apa yang terjadi dalam urusan keluarga dan hak pribadinya, orang lain tidak perlu tahu dan tidak berhak campur tangan sementara korban merasa sangat malu dengan hal yang terjadi, akan kehilangan kehormatannya bila aib sampai terbuka, karena itu korban berusaha sekuat tenaga menutupi. Bahkan kekerasan membela orang yang telah melakukan kekerasan padanya. Bila kekerasan seksual atau perkosaan oleh orang yang telah dikenal atau berhubungan dekat dengan korban lebih mungkin terjadi berulang, demikian pula tindak kekerasan fisik dan psikologis dalam keluarga dan hubungan intim.

Kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan intim mencakup usaha-usaha dari pasangan untuk mengintimidasi, baik dari ancaman atau melalui penggunaan kekuatan fisik pada tubuh perempuan atau barang-barang miliknya. Tujuan dari serangan tersebut adalah untuk mengendalikan tingkah laku si perempuan, atau untuk memunculkan rasa takut. Mendasari semua bentuk kekerasan adalah ketidakseimbangan kekuasaan dan kekuatan antara pelaku kekerasan dan korbannya (Luhulima, 2000 : 21).

2.3.1 Pelaku Kekerasan

Pelaku adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku kekerasan rumah tangga (dalam berbagai bentuk kekerasan) ternyata tidak terbatas pada usia, tingkat pendidikan, agama, status sosial-ekonomi, suku, kondisi psikopatologi, maupun hal-hal lain.

Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga sering memiliki persamaan dalam hal latar belakang kehidupan pelaku dan kepribadian yang berkaitan dengan tingkah laku agresif. Banyak pelaku kekerasan dalam rumah tangga berasal dari keluarga yang biasa terjadi kekerasan dalam kehidupan sehari-harinya, karenanya pelaku belajar dari keluarganya itu menjadi menganggap kekerasan sebagai bentuk pengkambingitaman atau sekedar sebagai tumpahan frustasi, merupakan bentuk penyelesaian konflik yang biasa dan dapat diterima.

Salah satu karakteristik penting pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah rendahnya harga diri. Seorang suami atau laki sering memiliki anggapan bahwa laki-laki harus menjadi penguasa, pengambil keputusan, orang nomor satu, mungkin (diakui atau tidak) merasa ia tidak dapat mencapai tuntutan itu atau sulit menggapainya, sehingga merasa tidak kompeten, tidak cukup hebat, tidak cukup kuat, tidak cukup berhasil. Ia kemudian melakukan penganiayaan pada yang lebih lemah sebagai bentuk mekanisme perthanan dirinya, untuk mengatasi perasaan tidak berdayanya (Ciciek, 1999: 39)

2.3.2 Perempuan (Istri) Sebagai Korban Kekerasan

Korban adalah orang yang mengalami tindak kekerasan dalamlingkup rumah tangga. Perempuan korban kekerasan, seperti juga pelaku kekerasannya, dapat berasal

dari berbagai latar belakang usia, pendidikan, tingkat sosial-ekonomi, agama, dan suku bangsa. Khusus untuk kekerasan dalam rumah tangga, korban kekerasan yang dapat teridentifikasi adalah mereka yang mencari pertolongan dan datang ke lembaga-lembaga yang mereka anggap dapat membantu mereka. Perempuan demikian tidak jarang tampil sebagai perempuan yang sangat pasif, menunjukan ketakutan dan kekhawatiran berlebihan, terkesan sangat emosional, (labil, banyak menangis, histeris) atau sebaliknya terkesan sangat sulitdiajak berkomunikasi dan terpaku kepada pemikiran-pemikirannya sendiri (Luhulima, 2000 : 32).

Menganggapi hal ini, orang-orang yang tidak menekuni isu kekerasan terhadap perempuan akan cenderung mengambil sikap blaming the victim dengan menyatakan bahwa perempuan tersebut memang aneh, memiliki banyak masalah pribadi atau mungkin sedikit terganggu sehingga pasangan hidupnya kehilangan kesabaran menghadapinya. Sementara itu, konselor yang memahami isu kekerasan terhadap perempuan, atau berpandangan feministik akan mengajukan atau memandang gangguan atau patoogi yang ditampilkan korban sebagai akibat kekerasan yang dialami bukan sebagai penyebab.

Studi terhadap perempuan-perempuan korban kekerasan domestik memang menunjukkan bahwa perempuan dengan sejarah kekerasan yang panjang memang cenderung menjadi sangat membatasi diri dan terisolasi. Mereka sering menarik diri dari temen-temen dan keluarga karena merasa malu dan bersalah. Dapat dipahami bila perempuan demikian akan menunjukan respon penyesuaian sosial yang canggung. Bahkan aneh dimata orang luar yang tidak memahami permasalahannya secara mendalam.

Banyak sekali pertanyaan dan keheranan : mengapa banyak perempuan tetap tinggal dalam hubungan yang penuh kekerasan? Mengapa mereka tidak meninggalkan suaminya? Beberapa alasannya adalah :

a. Ketiadaan dukungan sosial yang sungguh memahami kompleksitas situasi yang dihadapi perempuan

b. Citra diri yang negatif

c. Keyakinan bahwa suami akan berubah d. Kesulitan ekonomi

e. Kekhawatiran tidak dapat membesarkan anak dengan baik tanpa kehadiran pasangan

f. Keraguan bahwa meraka akan dapat bertahan dalam dunia yang kejam

g. Akhirnya perempuan dapat terus bertahan daam kondisi kekerasan karena kekhawatiran adanya pembalasan dan kekerasan yang lebih hebat yang akan diterimanya (Luhulima, 2000 : 33).

2.3.3Anak Sebagai Korban Kekerasan

Dalam UU RI No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pustaka yustisia, 2010 : 2)

Seorang anak haruslah dipandang sebagai orang yang harus dilindungi, dikembangkan dan dijamin kelangsungan hidupnya. Bukan sebaliknya memandang anak sebagai sasaran empuk tindak kekerasan. Perlindungan yang dapat dilakukan yaitu

kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sehingga dapat melakukan cita-cita bangsa.

Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa menyatakan bahwa anak membutuhkan orang lain dalam perkembangannya. Dan ada orang lain yang paling utama dan pertama bertanggungjawab adalah orangtua sendiri. Orangtualah yang bertanggungjawab memperkembangkan keseluruhan eksistensi si anak (Gunarsa, 1995:28).

Anak yang hidup dalam keluarga yang diwarnai kekerasan adalah anak yang rentan, yang dalam bahaya karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

1. Laki-laki yang menganiaya istri dapat pula menganiaya anaknya.

2. Istri atau perempuan yang mengalami penganiayaan dari pasangan hidupnya dapat mengarahkan kemarahan dan frustasinya pada anak-anaknya.

3. Anak-anak dapat cedera secara tidak sengaja ketika mencoba menghentikan kekerasan dan melindungi ibunya.

4. Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan adalah cara penyelesaian masalah yang wajar, dibolehkan. Anak laki-laki dapat berkembang menjadi laki-laki dewasa yang juga menganiaya istri dan anak, dan anak perempuan dapat saja menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak menjadi korban kekerasan (Ciciek, 1999 : 35)

Anak-anak dari keluarga yang diwarnai kekerasan dapat mengembangkan pemikiran bahwa:

a. Seorang suami boleh memukul istrinya.

c. Perempuan adalah lemah, memiliki posisi lebih rendah, tidak mampu menjaga dirinya sendiri dan tidak mampu menjaga anak-anaknya.

d. Laki-laki dewasa adalah pengganggu dan berbahaya.

Anak-anak dari keluarga demikian akan cenderung kurang mampu menyatakan perasaan-perasaannya secara verbal, dan lebih terbiasa menunjukan kegelisahannya, ketakutan dan kemarahan melalui prilakunya. Bila sikap diam karena hal takut adalah hal lumrah pada keluarga yang diwarnai kekerasan dapat dimengerti bahwa cara adaptasi seperti ini juga dipelajari oleh anak. Anak akan menekan perasaan-perasaannya sendiri. Emosi-emosi negatif yang tidak dapat diberinya nama dirasakan campur aduk, takut, marah, bingung, merasa bersalah, sedih, khawatir, kecewa, ambivalen (Cicie, 1999 : 37)

2.4 Peran Pekerja Sosial dalam Masalah KDRT

Beberapa peranan pekerja sosial yang saling berkaitan, menunjang dan melengkapi dalam penyelesaian masalah kekerasan dalam rumah tangga tercakup dalam aspek-aspek sebagai berikut:

a. Informasi, yaitu menghimpun, mengembangkan, memanfaatkan serta menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penanganan masalah kekerasan dalam rumah tangga.

b. Partisipasi, yaitu mengambil langkah-langkah aktif asilitas, proaktif dalam penyediaan sumber yang dibutuhkan oleh sasaran serta pengembangan pendekatan penanggulangan masalah dan peningkatan kesejahteraan sasaran.

c. Pemberdayaan, yaitu meningkatkan pengertian, kesadaran, tanggungjawab, komitmen, partisipasi dan kemampuan semua pihak yang terkait dengan penanganan masalah kekerasan dalam rumah tangga.

d. Fasilitas, yaitu memberikan kemudahan berupa sumber dan peluang bagi organisasi dan lembaga penyedia pelayanan sosial dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga.

e. Asistensi, yaitu menyediakan bantuan, baik material maupun konsultasi, bagi organisasi dan lembaga penyedia pelayanan sosial dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga.

f. Mediasi, yaitu menjalurkan kepentingan berbagai pihak, baik kepentingan antar organisasi atau lembaga penyedia peayanan maupun antara pihak yang membutuhkan dengan pihak pemilik sumber, sehingga tercipta suatu sistem yang baik untuk penanganan kekerasan dalam rumah tangga.

g. Kemitraan, yaitu menjalin hubungna dengan pemilik sumber serta menyalurkan hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi atau lembaga penyedia pelayanan dengan pemilik sumber.

h. Mobilisasi, yaitu menghimpun, mendayagunakan, mengembangkan dan mempertanggungjawabkan sumber-sumber yang dibutuhkan dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga (Solekhah, 2009 : 8).

2.5Kerangka Pemikiran

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah kekerasan dalam keluarga yang banyak terjadi menimpa rumah tangga di Indonesia saat ini. Kekerasan dalam

rumah tangga kadang dikaitkan dengan istilah kekerasan terhadap pasangan. Adapun kekerasan pasangan didefenisikan sebagai penggunaan kekerasan fisik oleh pasangannya yang terjadi pada hubungan yang tela intim pada pasangannya. Kekerasan pasangan ini mencakup kekerasan secara psikologis seperti intimidasi, ancaman, penghinaan dimuka umum, kata-kata kasar dilakukan secara berulang-ulang. Perkembangan ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga selanjutnya ialah bentuk kekerasan terhadap anak, yang sering ikut manjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh berbagai faktor yang memicu terjadinya kekerasan tersebut. Faktor-faktor pemicu ini menjadi alasan pelaku untuk melakakukan kekerasan terhadap isteri atau anak yang menjadi korban kekerasan. Korban menjadi tempat pelampiasan si pelaku dalam menyalurkan emosinya yang dikeluarkan dalam bentuk kekerasan, sehingga menyebabkan korban merasa tersakiti.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh beberapa belah pihak keluarga inipun seringkali memutuskan untuk membawa permasalahan kekerasan dalam rumah tangga langsung diproses pada pengadilan agama/hukum yang hanya akan memberikan solusi untuk bercerai.

Untuk itu, Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga Deli Serdang yang bergerak di bidang kesejahteraan keluarga memuat adanya penanganan kekerasan dalam rumah tangga. Dari penanganan kekerasan dalam rumah tangga diharapkan para keluarga dapat menghindari terjadi berkembang, dan terjadinya kembali masalah yang dialami anggota keluarga; mengatasi masalah serta memulihkan dan meningkatkan kedudukan dan peranan sosial anggota keluarga, dan mempertahankan dan sekaligus memperbaiki

dan meningkatkan kualitas kondisi yang ada pada saat ini agar tidak terjadi penurunan yang berdampak pada tumbuh kembangnya masalah.

Dimana dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga mempunyai jenis pelayanan yaitu konsultasi dan advokasi. Konsultasi berupa informasi, program, dan pemecahan masalah keluarga, sedangkan advokasi berupa advokasi terhadap penanganan kasus.

Tujuan dari lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga itu sendiri adalah agar keluarga dapat memanfaatkan pelayanan, agar keluarga dapat memecahkan masalah kekerasan dalam rumah tangga dan agar keluarga memperoleh informasi tentang pencegahan dan pemecahan masalah keluarga.

2. Advokasi

Advokasi keluarga adalah suatu peroses pertolongan untuk membantu keluarga sehingga mendapatkan pelayanan atau dapat memanfaatkan sumber-sumber yang dibutuhkan atau yang menjadi hak mereka dengan cara-cara melindungi martabat mereka serta untuk mempengaruhi dan mendorong terjadinya perubahan dalam kebijakan-kebijakan praktek-praktek dan aturan-aturan dalam memecahkan masalah atau mewujudkan kesejahteraan kelurga pada suatu komunitas atau masyarakat secara menyeluruh. Berdasarkan pengertian tersebut advokasi sosial keluarga berupa advokasi kasus menunjukan advokasi pada satu kasus. Advokasi ini dilaksanakan dalam situasi dimana individu konflik dengan suatu organisasi karena satu dan lain hal menyebabkan hak atau kebutuhannya tidak terpenuhi oleh organisasi.

BAB III

Metode Penelitian

Adapun penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki, dengan menggambarkan atau melukiskan berdasarkan pada objek penelitian pada saat sekarang. Tipe penelitian deskriptif yang bertujuan untuk memberi gambaran atau melukiskan kenyataan yang ada tentang masyarakat atau sekelompok orang tertentu dipandang secara analisa yang prosesnya meliputi penguraian hasil observasi dari suatu gejala yang diteliti atau lebih (Bungin, 2005 : 35).

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kecamatan lubuk pakam kabupaten deli serdang. Alasan penulis memilih lokasi yaitu karena kecamatan lubuk pakam ini adalah salah satu kecamatan dampingan lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga untuk melaksanakan penanganan kekerasan dalam rumah tangga.

3.3 Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan unit analisis, yaitu objek yang akan diteliti (Soehartono, 2004 : 57). Populasi dari penelitian ini adalah warga di kecamatan lubuk pakam yang mengkonsultasikan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga kepada lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga yang berjumlah 22 keluarga. Oleh karena dalam penelitian ini populasi hanya berjumlah 22 orang, maka seluruh populasi diambil datanya.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 1. Studi Kepustakaan

Yaitu teknik pengumpulan data yang menelaah buku, majalah, surat kabar atau tulisan lainnya yang memperkuat pertimbangan teoritis yang relevan dengan masalah yang akan diteliti.

2. Penelitian Lapangan

Yaitu teknik pengumpulan data diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung di lokasi penelitian untuk mencari hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti melalui :

a. Observasi

Yaitu pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Dilakukan dengan melihat, mendengar dan mencatat kejadian sasaran penelitian.

b. Wawancara

Yaitu data variabel (kata-kata) sebagai data yang diperoleh melalui percakapan atau tanya jawab.

c. Angket

Yaitu kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebar suatu daftar pertanyaan tertutup dan terbuka untuk dijawab oleh responden.

3.5 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dimana pengolahan data dilakukan dengan manual, data dikumpulkan dari hasil kuesioner dan wawancara, kemudian ditabulasikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan kemudian dianalisa.

BAB IV

Deskripsi Lokasi Penelitian

Kehadiran LK3 merupakan media berkonsultasi bagi orang-orang yang mengalami masalah sosial psikologis dalam keluarga, yang mengganggu pelaksanaan peran dan fungsinya sebagai pribadi, anggota keluarga, anggota kelompok sosial lainnya. Masalah sosial psikologis keluarga dapat muncul dan berkembang di karenakan oleh kurangnya penanaman budi pekerti dan pengaruh berbagai budaya dari luar serta mudahnya mengakses secara bebas arus informasi

Dokumen terkait