• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga akan terjawab pertanyaan apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan serta berisi saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi maupun lembaga- lembaga yang terkait secara umum.

27

BAB II

SEJARAH DAN PRAKTEK HUBUNGAN SIPIL-MILITER DI MASA ORDE BARU

2.1 Lahirnya Orde Baru

Orde Baru adalah tonggak sejarah baru setelah periode pemerintah Soekarno. Diawali dengan adanya pemberontakan G 30 S/PKI yang secara cepat dapat diatasi oleh ABRI dan rakyat, kemudian diperburuk lagi dengan adanya krisis politik yang tidak menentu akibat Soekarno enggan untuk menyelesaikan kasus G 30 S/PKI, krisis ekonomi menjadi semakin parah, masyarakat menjadi gelisah dan tidak puas sehingga akhirnya terjadilah demontrasi-demontrasi mahasiswa yang mengajukan 3 tuntutan atau yang dikenal aksi Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) 10 Januari 1966, yaitu :

1. Bubarkan PKI 2. Turunkan harga, dan 3. Retool kabinet Dwikora26

ABRI sebagai kekuatan sosial politik mengeluarkan pernyataan bahwa ABRI tetap patuh dan taat pada Pimpinan Besar Revolusi/Panglima Tertinggi ABRI dan menyerukan agar memelihara kekompakan sesama ABRI dan kekompakan antara rakyat-ABRI. Hal ini dilakukan oleh ABRI mengingat adanya kekuatan-kekuatan ABRI yang terpecah-pecah dalam dua kelompok, yaitu :

28

1. Pendukung gerakan atau aksi mahasiswa yang menuntut dibubarkannya PKI yang antara lain adalah RPKAD (Resimen Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat) dan Kostrad (Komando Strategis dan Cadangan TNI Angkatan Darat). 2. Kelompok yang memebela barisan Soekarno seperti KKO AL dibawah Mayjen

KKO Hartono dan Brimob-Polri.27

Untuk mengatasi krisis nasional yang semakin parah tersebut, maka pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno memerintakan kepada Menteri/PANGDAM Letjen Soeharto untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi mengambil segala tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan wibawa kepemimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima angkata lainnya dengan sebaik-baiknya. Surat Perintah yang dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1966 itulah yang dikenal dengan ‘’Supersemar’’ (Surat Perintah Sebelas Maret) kemudian dianggap sebagai titik awal Orde Baru.

Dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret ini, secara politik dimanfaatkan oleh Lenjen Soeharto untuk tidak ada alasan lagi untuk membubarkan PKI karena

27

Sayidiman Suryohardiprojo, Kepemimpinan ABRI dalam Sejarah dan Perjuangannya, Intermasa,1996, hal 220-222.

29

dianggap sebagai sumber ketidakamanan serta ketidaktentraman masyarakat. Disinilah peranan ABRI semakin besar dalam perpolitikan di Indonesia terutama karena Letjen Soeharto menjadi pemegang Supersemar.

Sementara itu, dorongan kalangan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia semakin keras untuk mendesak pimpinan TNI AD untuk mengambil langkah-langkah pergantian kepemimpinan nasional. Namun Letjen Soeharto berpedoman pada ketentuan bahwa segala sesuatu harus berdasarkan konstitusi, karena ABRI menghendaki kembali pada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Maka berdasarkan hal itu, segera dilaksanakan pelaksanaan Sidang MPRS (pada waktu itu belum ada MPR yang sebenarnya, karena sejak Indonesia kembali ke UUD 1945 belum pernah ada Pemilu, yang ada baru MPRS yang anggotanya diangkat) untuk membicarakan keadaan negara yang semakin kacau.

Dalam sidang tersebut menghasilkan beberapa ketetapan penting, diantaranya adalah ketetapan tentang pengukuhan Supersemar (Tap MPRS No.IX/1966), pembubaran PKI (Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966), pembentukan Kabinet Ampera (Tap MPRS No.XIII/MPRS/1966) pelaksanaan Pemilu dalam tempo dua tahun (Tap MPRS No.XI/MPRS/1966), koreksi politik luar negeri agar kembali pada politik

30

bebas-aktif yang tetap anti-imprialisme dan kolonialisme (Tap MPR No.XII/MPRS/1966).28

2.2 Konsep dan Landasan Dwi Fungsi ABRI

Militer merupakan alat pertahanan negara sebenarnya telah mempunyai konsep yang baik dalam perannya menjaga stabilitas politik dan keamanan di Indonesia, yaitu dengan Dwi-fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI adalah sebuah konsep dasar militer dalam menjalankan peran sosial politik mereka di negeri ini. Dwi Fungsi ABRI yang diketahui masyarakat luar lingkungan ABRI merupakan sebagai bentuk militerisme, intervensi militer dalam permasalahan urusan politik, campur tangan militer dalam permasalahan negara yang penting dalam menyangkut hidup orang banyak.Dwi fungsi ABRI dilihat dari capur tangan militer dan legitimasi militer untuk melakukan tindak kekerasan terhadap masyarakatnya. Yang artinya masuknya militer dalam posisi-posisi jabatan penting pemerintahan sehingga mengurangi porsi masyarakat sipil. Keadaan tersebut membuat kondisi masyarakat sipil yang cenderung stagnasi dalam proses regenerasi dan kaderisasi untuk melanjutkan tonggak pemerintahan yang baru.

Konsepsi Dwi fungsi ABRI pada dasarnya muncul sebagai bentuk konsep “Jalan Tengah” yang diusulkan oleh Jendral A.H. Nasution. Pemimpin TNI-AD pada saat itu, kepada Presiden Soekarno dalam peringatan Ulang Tahun Akademi Militer

31

Nasional di Magelang, Jawa Tengah pada 13 November 1958 yang memberrikan peluang bagi peranan terbatas TNI di dalam pemerintahan sipil.

Kalau melihat arti kata Dwi Fungsi dalam bahasa Sansekerta, berarti Dwi diartikan sebagai dua, secara konotasi berarti ganda. Jadi, Dwi Fungsi adalah doktrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa militer memiliki dua tugas yaitu sebagai menjaga keamanan dan keterlibatan negara dan memegang kekuasaan negara. Dengan adanya peran ganda tersebut, militer Indonesia diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan.

Dengan adanya Dwi Fungsi ABRI tersebut maka militer mengambil jalan tengah diantara dua hal tugas ganda yang diembankan secara konsepsi diatas. Seperti ABRI tidak melibatkan dirinya kedalam politik dengan kudeta , tetapi tidak pula menjadi penonton dalam konstalasi politik. Perwira tinggi militer harus diberikan kesempatan melakukan partisipasinya dalam pemerintahan atas dasar pedoman konsepsi dasar tersebut.

Dwi Fungsi ABRI mempunyai beberapa landasan yang dapat menguatkan perannya dalam politik. Landasan tersebut yaitu :29

1. Tap MPRS No. II/MPRS/1960 dibuat sebelum masa orde baru dan menyebutkan :

32

“tentara dan polisi diikutsertakan dalam proses produksi dengan tidak tugas utama masing-masing, golongan-golongan di dalam masyarakat wajib berusaha mencapai tujuan nasional dan tak terkecuali juga tentara dan polisi turut memikul tanggung jawab mereka terhadap negara, peran dan kegiatan tentara dan polisi dibidang produksi membuat pendekatannya dengan rakyat menjadi lebih intensif dalam proses pembangunan terutama dalam industrialisasi.”

Ketetapan MPRS diatas telah memberikan peluang kepada militer untuk ikut serta dalam masalah ekonomi, produksi dan industrialisasi.itu jelas posisi dan peran yang sangat luas bagi militer, yang memerlukan tenaga dan pikiran yang tidak ringan. Tentu saja akan merugikan bagi usaha meningkatkan profesionalismenya dalam mengemban tugas diluar lingkungan militer.

2. UU No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahan keamanan negara. Pada pasal 26 menyebutkan :

“Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai kekuatan sosial.”

Dalam Undang-Undang ini tidak disebutkan “politik” tetapi hanya sosial. Namun dalam prakteknya, militer menjadi kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik.

33

3. UU No. 20 tahun 1982 pasal 28, menyebutkan :

“Angkatan bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkokoh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan, mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan UUD1945 dalam segala kegiatan dan usaha pembangunan nasional.”

4. UU No. 2 tahun 1988 tentang prajurit ABRI. Pasal 3 ayat 2 menyebutkan :

“Prajutir ABRI bersumpah setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.”

Ini berarti tentara harus setia kepada pemerintah selama pemerintah setia dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945. Membela, melindungi dan memperjuangkan kepentingan rakyat, serta didukung oleh rakyat.

5.UU No. 2 tahun 1988 pasal 6 yang berbunyi :

“Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mengemban Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yaitu sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan sosial politik.”

2.3 Praktek Dwi Fungsi ABRI

Pada masa orde baru, peran militer yang begitu kuat melampaui spesifikasinya di bidang pertahanan nasional. Keterlibatan militewr di bidang politik biasanya di sebut dengan intervensi. Akan tetapi, begitu besarnya peran militer dalam politik

34

tidak serta merta bisa dikatakan lagi dengan intervensi dikarenakan begitu sederhananya bahasa tersebut. Namun, pada sisi lain politikus di masa orde lama dan orde baru cenderung menggunakan kekuatan militer demi terwujudnya kepentingan politik yang ada.

Salah satu perwujudan Dwi Fungsi ABRI yang paling nyata di masa orde baru adalah penugasan prajurit tentara dalam lembaga, instansi, badan atau jajaran diluar lingkungan ABRI. Alasan utamanya tentunya untuk menghempang kekuatan politik komunis di Indonesia. Tetapi, alasan tersebut berlanjut menjadi konsepsi pembanguan di masa orde baru.

Praktek yang tidak seluas dengan spesialisasi fungsi militer di atas dibenarkan dengan mengeksploitasi tafsiran sejarah, ideologi dan konstitusi. Peran yang begitu sangat dominan dikatakan selaras dengan kenyataan bahwa militer adalah tentara rakyat, dimana adanya dikotomisasi bahwa militer memiliki hubungan dan kedekatan yang sangat erat dengan rakyat.

Keadaan tersebut membuat kokohnya budaya militer dalam kehidupan sipil, melalui peran sosial dan politik. Secara struktural organisasi ABRI disusun mengikuti struktur organisasi pemerintahan sipil, dimulai dari Bintara Pembinaan Desa,atau Babinsa di Tingkat Kelurahan, Komando Rayon Militer (Koramil) di Tingkat Kecamatan, Komando Distrik Militer (Kodim) di Tingkat Kotamadya/Kabupaten,

35

Komando Resor Militer (Korem) di Tingkat Karesidenan, Komando Daerah Militer di Tingkat Provinsi.

Militer dijadikan alat kekuasaan oleh Soeharto yang berakibat kurangnya simpati masyarakat terhadap militer. Soeharto juga mendayagunakan peran sosial dan politik ABRI untuk mewujudkan stabilitas ekonomi dan politik dengan membentuk format politik orde baru dengan menonjolkan politik yang sentralistik di tangan eksekutif, intervensi terhadap partai politik, menjadikan Partai Golkar sebagai kekuatan di parlemen, peran ABRI dalam legislatif dan kontrol terhadap birokrasi. Dalam prakteknya untuk mengkontrol dan menjalankan status quo pemerintahan pada saat itu dilakukan beberapa tindakan yaitu :

2.3.1 ABRI dan Kelahiran Golkar

Kelahiran Golkar tidak terlepas dari peran dan dukungan dari militer sebagai reaksi atas meningkatnya kampanye PKI. Milter menggalang kekuatan poltik memalui unsur-unsur golongan fungsional (golongan yang tidak berafiliasi pada suatu partai, termasuk militer) yang kemudian disatukan dalam suatu federasi bernama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Pembentukan Sekber Golkar pertama kali ditujukan untuk merespon PKI dan kekuatan sayap kiri lainnya, bukan menjadikan partai politik untuk mengatur negara. Hanya setelah kudeta PKI tahun 1965, Sekber Golkar secara berangsur-angsur berubah menjadi semacam partai politik. Apalagi setelah kudeta PKI 1965 dapat digagalkan oleh militer, maka militer

36

muncul menjadi satu-satunya kekuatan sosial dan politik yang sangat berpengaruh dalam pemerintahan.30

Ketika orde baru muncul, Sekber Golkar menjadi pilihan pemerintah Orde Baru, karena menganggap tidak ada satu pun partai politik yang mewakili

Sebenarnya sebagai golongan fungsional (untuk membedakan dengan istilah Golongan Karya yang dikembangkan tahun 1959) organisasi ini dapat ditelusuri lebih jauh sebelum kemerdekaan. Konsep Golongan Fungsional ini sudah ada pada zaman Belanda sebgaia golongan yang duduk di volksraad yaitu semamacam parlemen pada masa itu. Setelah kemerdekaan, terutama dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), golongan fungsional ini duduk mewakili kelompok tani dan buruh. Kehadiran golongan fungsional dalam lembaga-lembaga tersebut belum sepenuhnya mencerminkan peran politik yang lebih luas.

Dalam perjuangannya, ABRI sendiri menyadari sepenuhnya bahwa terjadinya instabilitas keamanan dalam negeri yang berupa pemberontakan bersenjata di setiap daerah. Oleh karena itu, ABRI pada tahun 1958 mengambil langkah-langkah politik dengan tujuan merangkul dan membina kekuatan dalam bentuk kerjasama dalam upaya stabilitas keamanan dalam negeri. Militer juga membentuk organisasi massa untuk menghempang kekuatan PKI yang dipimpin oleh perwira militer seperti Soski, Kosngoro, MKGR dll.

37

kepentingan militer. Partai politik lebih mementingkan kepentingan kelolmpoknya sendiri seperti NU, Masyumi, PNI dan Parkindo. Oleh karena itu, pemerintah menjatuhkan pilihannya kepada Sekber Golkar sebagai alat untuk menjamin posisi dominasi militer di dalamnya.

Militer mulai memaikan peranan politiknya dengan memberikan dukungan dan mitra seperjuangan kepada Sekber Golkar sewaktu melawan PKI. Pada tanggal 30 Juli 1966, Jenderal Soeharto sebagai ketua presidium Kabinet memberikan pidato tertulis dalam “Pekan Latihan Sekber Golkar” dengan mengungkapkan bahwa golkar harus mempunyai misi. Sejak itulah dimulai revitalisasi Sekber Golkar yang ditujukan untuk melegitimasi sekaligus menjamin posisi dominasi militer.31

Dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I tanggal 9-11 Desember 1965 sekber golkar masih berkutat pada masalah konsolidasi dan pembentukan pengurus baru. duduknya orang yang masih pro terhadap Soekarno menjadi hambatan terbesan organisasi ini. Sehingga pada Mukernas II orang yang pro terhadap Soekarno berhasil disingkirkan barulah militer berhasil mendominasi struktur kepengurusan yang ada. Untuk memuluskan jalan militer menggapai kekuasaan dengan sekber golkarnya maka dibuatlah ketentuan bahwa keanggotaan yang berada dilingkungan MPRS dan DPRGR haruslah orang golongan fungsional murni yang artinya tidak berafiliasi terhadap suatu partai politik manapun.

38

Munculnya kekuatan Golkar sebagai kekuatan baru sering dianggap sebagai kekuatan bulduzer orde baru karen dalam kaitan ini, Golkar didukung oleh tiga kekuatan dominan orde baru yaitu, ABRI sebagai kekuatan kunci untuk melakukan tekanan atas kekuatan sipil yang coba mengganggu kekuatan Golkar, monoloyalitas birokrasi yang dibangun, dan Golkar dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui formulasi yang dianggap demokrasi dengan tata cara prosedur pemilihan umum.32

Setelah Sekber Golkar berhasil meraih kemenangan Pemilu tahun 1971, maka dipandang sudah waktunya untuk mengadakan konsolidasi lebih lanjut. Dalam hal ini, dipandang perlu untuk merubah bentuk organisasi dari federasi menjadi bentuk kesatuan, sebagai langkah awalnya dilakukanlah perubahan sekber golkar menjadi Golkar.

Sebagai kekuatan bulduzer orde baru hubungan antara Golkar, ABRI, dan pemerintah ditata sedemikian rupa sehingga semua unsur itu harus mempunyai peran dalam suatu sinergi untuk memenangkan Golkar dalam pemilihan umum. Hubungan tersebut dilakukan untuk melawan kekuatan politik yang warisan Orde Lama seperti NU, Masyumi PNI dan barisan kiri. Sinergisitas yang terbangun itu untuk menciptakan format politik dari pusat hingga daerah untuk mengusir lawan politiknya dengan harapan dapat menciptakan mayoritas tunggal.

39

2.3.2 Intervensi Militer dalam Partai-Partai Politik Menjelang Pemilu

pada awalnya pemimpin-pemimpin Organisasi Induk (Kino) mempunyai pandangan yang berbeda mengenai strategi menghadapi Pemilu 1971. Ada yang berpendapat bahwa masing-masing Kino berdiri sendiri-sendiri dengan tanda gambar sendiri pula dan hasilnya digabung dalam satu fraksi di badan-badan perwakilan. Ada pula Pimpinan Kino yang menginginkan agar semua Kino memasuki Pemilu dengan satu tanda gambar. Meskipun demikian, akhirnya Jenderal Soeharto sebagai Pembina Utama Sekber Golkar memutuskan agar semua Kino memasuki Pemilu dengan satu tanda gambar. Dengan demikian konsolidasi organisasi menjelang Pemilu 1971 dapat berhasil dengan lancar.33

Disamping melakukan usaha konsolidasi internal organisasi Sekber Golkar, Jenderal Soehatro juga melakukan operasi-operasi keluar yang yang ditujukan kepada partai-partai peserta pemilu tahun 1971. Dalam rangka usaha ini, Jenderal Soeharto menugaskan Ali Moertopo untuk melakukan tugas apa yang disebut dengan penggalangan dalam konteks pengamanan Pancasila dari bahaya kekuatan extrem manapun. Sejarah mencatat bahwa operasi Ali Moertopo melalui Operasi Khusus (Opus) memaikan peran yang sangat menonjol serta begitu disegani dan ditakuti,

40

sekaligus dibenci karena dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendak.34

Peranan politik Ali Moertopo didasarkan pada pengalamanya di masa lalu yaitu masa orde lama, di mana negara tidak bisa melaksanakan pembanguna di bidang ekonomi dikarenakan terlalu sibuk mengurusi masalah-masalah politik, terutama dalam perebutan kekuasaan antara paratai politik. Berdasarkan pengalaman ini, maka orde baru berusaha untuk bagaimana membangun sistem politik yang dapat stabil sehingga menunjang pembangunan ekonomi. Operasi yang dilakukan seperti pelemahan partai politik dan di pihak lain memperkuat posisi Sekber Golkar.35

Operasi tersebut dilakukan melalui intervensi pemerintah dan militer pada rapat-rapat dan kemudian memanipulasi konvensi-konvensi yang pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong pemimpin yang akomodatif dengan pemerintah. Target utama Opsus adalah Partai nasionalis terbesar yaitu PNI.36

Campur tangan militer terhadap PNI terjadi hampir di semua wilayah yang mempunyai basis massa pendukung kuat PNI. PNI mejadi sasaran disebabkan kedekatan yang sangat erat dengan Presiden Soekarno di masa lalu. PNI mempunyai basis massa besar, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Para pengikut PNI diperkirakan akan mendapatkan dukungan besar dari bekas-bekas PKI yang telang

34

Ikrar Nusa Bhakti, Opcit hal 132

35

Arif Yulianto, Opcit hal 267

41

menjadi partai terlarang. Oleh karena itu, bagi kalangan militer serta sekutunya menentang keras adanya PNI bahkan meminta untuk pemerintah melarangnya. Namun, Jenderal Soeharto berpandangan lain yaitu dengan cara tetap mempertahankan PNI untuk sementara waktu, dengan maksud menjadikannya sebagai penghubung antara pemerintah dan sebagian besar rakyat, juga sebagai penyeimbang terhadap partai-partai islam.37

Langkah awal Soeharto tersebut dalam intervensi terhadap PNI adalah dengan mendesak PNI agar melakukan kongres. Dengan singkatnya kongres dapat dilakukan “Kongres Persatuan” tanggal 24-27 April 1966, dalam kongres tersebut pihak pemerintah melalui militernya berhasil memunculkan sosok atau pimpinan baru Osa Maliki Wangsadinata sebagai ketua umun dan Usep Ranuwidjajasebagai Sekretaris Jenderal yang sangat anti-komunis dan besebrangan dengan kubu Ali Sastromidjaja (yang setuju tentang NASAKOM).38

Intervensi pemerintah melalui militernya untuk mendapatkan pemimpin yang sejalan dengan konsep orde baru, dibarengi juga dengan langkah-langakh untuk mengawasi partai Islam yang didirikan tahun 1968, yaitu Partai Muslimin Indonesi (Permusi). Tidaklah mengherankan jika pemerintah melalui Opusnya perlu mengintervensikan susunan personalia dalam kepengurusan partai Islam seperti

37

Ibid hal 186

42

Parmusi, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama guna mendapatkan kepemimpinan yang pro terhadap pemerintah.39

Dari ketidaksiapan pemerintah tersebut mengakibatkan pemilu tidak bisa dilakukan sesuai dengan TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966, sehingga pemerintah memperpanjangnya sampai tahun 1971. Ketakutan pemerintah Orde Baru dapat dilihat sampai bulan Oktober 1969 di mana pemerintah belum menjelaskan kepada

Berbeda dengan PNI dan Parmusi, Nahdlatul Ulama tidak merasa direndajkan oleh adanya intervensi Opus kedalam urusan-urusan partainya. Dikarenakan pemimpin militer mengubah strateginya, yaitu dengan tidak lagi intervensi atau pembersihan partai pendukung Orde Lama, tetapi lebih menekankan menggalang kerjasama seperti militer memberikan bantuan dana untuk melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan.

Pada saat menjelang Pemilu partai-partai politik antusias menanggapinya, bahkan di tingkat elite partai politik seperti NU dan PNI menghendaki pemilu lebih dipercepat sehingga menghasilkan TAP MPRS No. XIII/MPRS/1966 yang menyerukan pelaksanaan Pemilu dalam tempo 2 tahun selambat-lambatnya sebelum 5 Juli 1968. Pemerintah dan kalangan militer justru ragu-ragu dan khawatir apakah Sekber Golkar yang dibentuk dapat menang dalam pemilu. Masalah yang dihadapi pada waktu itu adalah masih rapuhnya kekuatan pendukung pemerintah Orde baru.

43

pemimpin-pemimpin partai apakah pemilu akan dilaksanankan. Maksud sebenarnya pemerintah mengadakan pemilu adalah memberikan rasa berperan serta kepada partai-partai di dalam sistem politik tanpa mengancam kekuasaan militer khususunya Angkatan Darat atas pemerintahan.40

Pemerintah Orde Baru semakin ragu memutuskan untuk mengadakan pemilu karena ada masukan bahwa hasil pemilihan umum nanti hanya akan memperkuat

status quo parlemen yang kira-kira 60% kursinya diduduki oleh wakil-wakil partai.

Meskipun pemerintah telah membentuk dan mengembangkan Sekber Golkar menjadi partainya, begitu juga melalui intervensi dalam Operasi Khusus terhadap partai lain, seperti NU, PNI dan Parmusi. Namun, tampaknya pemerintah tidak begitu berharap dapat menciptakan mesin pemilihan umum yang benar-benar mampu menyusutkan arti partai-partai yang telah mapan.41

Disamping melalui Operasi Khusus atau intervensi terhadap partai-partai politik dalam mendapatkan kepemimpinan partai yang pro-pemerintah, berbagai usaha lain juga dilaksanakan untuk memenangkan Sekber Golkar. Sekber Golkar menggunakan cara yang berbeda-beda dalam menanggapi setiap lawannya. Menghadapi PNI, Golkar menggunakan Kokarmendagri, suatu organisasi karyawan dari Departemen Dalam Negeri, dari mana dulu PNI mendapatkan banyak dukungan. Pada tahun 1970 rupannya Menteri Dalam Negeri Amir Machmud memutuskan

40

Harold Crouch, Opcit hal 196

44

bahwa departemen akan menjadi tulaang punggung Sekber Golkar, sehingga perwujudannya PNS ditekan untuk mendatangi loyalitas tunggal kepada pemerintah yaitu Sekber Golkar. Walaupun Menteri selalu mengatakan bahwa mereka yang mementingkan partai akan dipecat dan keanggotaan partai menjadi penghambat kenaikan pangkat.42

Usaha pemerintah untuk memenangkan pemilu ditujukan juga kepada partai-partai islam. Dalam tahun 1970, pemerintah dan militer melakukan usaha untuk

Dokumen terkait