• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN

2.1 Sejarah Munculnya Pariwisata

Pariwisata dewasa ini adalah sebuah mega bisnis. Jutaan orang mengeluarkan triliunan dollar Amerika, meninggalkan rumah dan pekerjaan untuk memuaskan atau membahagiakan diri (pleasure) dan untuk menghabiskan waktu luang (leisure). Hal ini menjadi bagian penting dalam kehidupan dan gaya hidup di negara –negara maju. Namun demikian memosisikan pariwisata sebagai bagian esensial dalam kehidupan sehari – hari merupakan fenomena yang relatif baru. Hal ini mulai terlihat sejak berakhirnya Perang Dunia II di saat mana pariwisata meledak dalam skala besar sebagai salah satu kekuatan sosial dan ekonomi (MacDonald, dalam Yoeti: 1996)

Sesungguhnya pariwisata telah dimulai sejak dimulainya peradaban manusia itu sendiri, yang ditandai oleh adanya pergerakan manusia yang melakukan ziarah atau perjalanan agama lainnya. Namun demikian tonggak – tonggak sejarah dalam pariwisata sebagai fenomena modern dapat ditelusuri dari perjalanan Marcopolo (1245-1324) yang menjelajahi Eropa, sampai ke Tiongkok, untuk kemudian kembali ke Venesia, yang kemudian disusul perjalanan pangeran Henry (1394-1460), Christoper Colombus (141-1506), dan Vasco DA Gama (akhir abad XV). Sedangkan sebagai kegiatan ekonomi, pariwisata baru berkembang pada awal abad ke-19; dan sebagai industri internasional, pariwisata dimulai tahun 1869 (Crick; Graburn dan Jafari; Pitana dan Gayatri, dalam Yoeti: 1996)

Pada zaman prasejarah, manusia hidup berpindah–pindah (nomadism) sehingga perjalanan yang jauh (tavelling) merupakan gaya dan cara untuk bertahan hidup. Orang primitif sering melintasi tempat yang jauh untuk mencari makanan, minuman, pakaian, dan iklim yang mendukung kehidupannya (Leiper; Theobald; MacDonald; dan Wang, dalam Yoeti: 1996). Sejarah panjang dari nomaden mempengaruhi pikiran manusia sehingga secara tidak sadar membuat aktivitas perjalanan (travel) secara insting menjadi perilaku yang alamiah. Seiring perjalanan waktu, orang dengan sengaja memperperlakukannya karena aktivitas tersebut menyenangkan. Pada abad ke-11 sampai abad ke-15 dalam sejarah peradaban barat, terjadi model baru perjalanan manusia untuk melakukan ziarah ke tempat khusus untuk alasan religius.

Selanjutnya, abad ke-17 sampai abad ke-20 merupakan era perpindahan dan perjalanan manusia melintasi negara (internasional) dan benua (interkontinental). Ini adalah periode migrasi dimana jutaan manusia meninggalkan satu benua untuk bermukim di benua lain (orang Inggris bermukim dan menjadi penduduk Australia dan Amerika, orang China menjadi penduduk Amerika, dan sebagainya). Pendatang tersebut membangun tempat tinggal baru dan memulai beradaptasi dengan tempat baru seolah–olah sebagai ‘tempat aslinya’. Beberapa orang yang telah mencapai tingkat kesejahteraan dan mempunyai waktu luang mulai melakukan perjalanan bukan untuk mencari tempat bermukim baru, tetapi untuk kesenangan dan mengisi waktu luang, atau untuk alasan budaya. Fenomena terkhir inilah yang menjadi potret awal lahirnya pariwisata, yang mulai meledak diakhir abad ke-20. Seiring perjalanan sejarah,

menurut Theobald, MacDonald dan Wang (dalam Yoeti: 1996), motivasi orang berpergian juga bertambah, tidak hanya untuk berwisata tetapi juga untuk berdagang (ekonomi), perjalanan religius, perang, migrasi, dan keperluan studi.

Istilah tour telah menjadi perbendaharaan kata dalam Bahasa Inggris sejak berabad–abad lalu, yang artinya adalah perjalanan ke suatu tempat yang mana orang tersebut akan kembali ke titik awal dari mana dia berangkat. Kata tour berasal dari Bahasa Latin (Yunani) yang awalnya berarti ‘alat untuk membuat lingkaran’. Journal of Tourism History mengklaim bahwa sebuah keluarga di Eropa, de la Tour, di tahun 1500-an mempunyai bisnis memberangkatkan orang. Nama keluarga ini kemudin menjadi istilah genetik untuk tour/tourist (Leiper, dalam Yoeti 1996). Namun istilah tour yang berarti ‘perjalanan’ baru secara luas dikenal dan dipakai setelah abad ke-16.

Beberapa bentuk perjalanan untuk tujuan yang menyenangkan dikonotasikan dengan tour. Hal ini sedikit berbeda dengan istilah travel yang yang berasal dari kata travail yang secara literal berarti ‘sulit, menyiksa, menyakitkan’ sebagaimana kalimat “I was sorely travailed by my long journey”. Memang, sebelum munculnya alat transportasi modern seperti sekarang ini, perjalanan ke tempat yang jauh umumnya sangat menyiksa, sulit, dan menyakitkan. Travel merupakan bentuk dari kerja sedangkan tour yang kemudian menjadi tourism adalah bentuk dari leisure (kegiatan di waktu luang saat tidak ada pekerjaan atau mengambil tanggung jawab sehari–hari), namu keduanya tidaklah bersifat ekslusif. Travel bisa ditumpangi leisure, dan sebaliknya. (Crick, dalam Syafiie: 2009)

Sekitar tahun 1740-an di Inggris Raya dan Eropa dikenal istilah Grand Tour yang berarti perjalanan yang cukup panjang tetapi bersifat menyenangkan untuk tujuan pendidikan dan tujuan lain yang bersifat budaya oleh orang muda dari kelas atas. Oleh karenanya, leisure tour atau tourism dianggap memiliki cikal bakal dari perdaban Barat. Saat ini setiap tahun jutaan orang meniru pola tersebut, yang secara luas dikenal sebagai kegiatan pariwisata.

Adam Smith (Leiper, dalam Pitana: 2009), seorang ekonom, menambah akhiran ist ke kata tour untuk membentuk istilah baru di tahun 1770-an. Namun konotasi Adam Smith bersifat negatif dengan menganggap tourist sebagai orang yang mengerjakan sesuatu yang tidak penting sehingga kurang dihargai. Persepsi Adam Smith disebabkan oleh karena pada zaman tersebut banyak orang mengikuti ritual Grand Tour di kawasan Prancis dan Itali, yang kemudian kehilangan karakter dan jiwa yang menjadi alasan mengapa perjalanan tersebut dilakukan. Ritual ini hanya dilakukan untuk mengikuti rute perjalanan yang sudah ada dalam rangka mendapat pengalaman pribadi melihat situs, kota, dan objek terkenal. Orang–orang yang diberi label wisatawan ada zaman Adam Smith ini, di samping tidak tertarik dengan budaya dari tempat yang dikunjungi, jika tinggal terlalu singkat untuk sekedar memahami sesuatu dibalik apa yang dilihat dalam perjalanannya.

Umumnya perjalanan yang dilakukan dalam era Grand Tour ini adalah untuk kebutuhan hiburan dalam beragam bentuknya, dan kebanggaan status dengan kemampuan mengkalim bahwa mereka sudah pernah ke suatu tempat dan sesuatu di tempat tersebut (dikenal dengan konsep “I have been there”).

Tahun 1840-an Thomas Cook mulai memberangkatkan sekelompok orang (group) dalam paket modern atau tour inklusif. Mula–mula dalam wilayah England dan kemudian berkembang di dataran Eropa. Istilah wisatawan di zaman Adam Smith mulai mendapat sense bari di zaman Thomas Cook ini. Tahun 1840-an merupk1840-an awal dilakuk1840-annya perjal1840-an1840-an jauh deng1840-an menggunak1840-an sistem transportasi massal.

Pada abad ke-20, khususnya periode tahun 1960 ke 1980, tampak adanya peningkatan pesat pada jumlah orang yang melakukan perjalanan wisata. Lebih dari 300 orang juta wisatawan internasional tiap tahunnya di beberapa negara tujuan wisata. Sejumlah survai mencatat bahwa jumlah orang yang melakukan perjalanan wisata di negaranya sendiri sebagai wisatawan domestik jauh lebih besar dari wisatawan internasional.

Bagi Indonesia, jejak pariwisata dapat ditelusuri kembali ke dasawarsa 1910-an, yang ditandai dibentuknya VTV (Vereeneging Toeristen Verkeer), sebuah badan pariwisata Belanda, di Batavia. Badan pemerintahan ini sekaligus juga bertindak sebagai tour operator dan travel agent, yang secara gencar mempromosikan Indonesia, khususnya Jawa – Bali. Pada 1926 berdiri pula, di Jakarta, sebuah cabang dari Lislind (Lissonne Lindeman) yang pada 1928 berubah menjadi Nitour (Nederlandsche Indische Touriten Bereau), sebagai anak perusahaan pelayaran Belanda (KPM). KPM secara rutin melayani pelayaran yang menghubungkan Batavia, Surabaya, Bali dan Makasar, dengan mengangkut wisatawan (Spillane, dalam Pitana: 2009).

2.2 Pengertian Pariwisata

Pariwisata merupakan konsep yang sangat multidimensional layaknya pengertian wisatawan. Tak bisa dihindari bahwa beberapa pengertian pariwisata dipakai oleh para praktisi dengan tujuan dan perspektif yang berbeda sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam Pitana (2009: 44) beberapa ahli mendefinisikan pariwisata sebagai berikut:

“Tourism comprises the ideas an opinions people hold which shape their decisions about going on trips, about where to go (and where not to go) and what to do or nor to do, abaout how to relate to other tourists, locals and service personnel. And it is all the behavioural manifestations of those ideas opinions” (Leiper, 1995, dalam Richardson & Flicker, 2004: 6). “The activities of persons travelling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes” (WTO, dalam Richardson & Flicker, 2004: 6).

“The sum of the phenomena and relationship arising from the interaction of tourists, businesses, host governments, and host communities, in the process of attracting and hosting these tourists and other visitor” ( MacIntosh, 1980: 8)

“Tourism is the sum total of the phenomena and relationship arising from the interaction among tourists, business supplier, host goverment, host communities, origin governments, universities, community colleges and non-governenmental organisations, in the process of atracting, transporting, hosting, and managing these tourists and other visitors” (Weaver and Opperman, 2003: 3),

“Tourism is defined as the interrelated system that includes tourist and the associalted services that are propived and utilised (facilities, attractions, transportation, and acomodation) to aid in their movement” (Fannel, 1994: 4).

“Tourism comprises the activities of persons, travelling to and staying in place outsides their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes” (UNWTO, 1995, dikutip dari Richardson dan Fluker, 2004: 7).

Definisi pariwisata memang tidak dapat persis sama di antara para ahli, hal yang memang jamak terjadi dalam dunia akademis, sebagaimana juga bisa ditemui pada berbagai disiplin ilmu lain.

Meskipun ada variasi batasan, ada beberapa komponen pokok secara umum disepakati di dalam batasan pariwisata (khususnya pariwisata internasional), yaitu sebagai berikut:

1. Traveller, yaitu orang yang melakukan perjalanan antar dua atau lebih lokalitas.

2. Visitor, yaitu orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan, dan tujuan perjalanannya bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari nafkah, pendapatan, dan penghidupan di suatu tempat tujuan.

3. Tourist, yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi (WTO, dalam Pitana: 2009).

Semua definisi yang dikemukakan selalu mengandung beberapa unsur pokok, yaitu:

1. Adanya unsur travel (perjalanan), yaitu pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain;

2. Adanya unsur ‘tinggal sementara’ di tempat yang bukan merupakan tempat tinggal yang biasanya; dan

3. Tujuan utama dari pergerakan manusia tersebut bukan untuk mencari penghidupan/pekerjaan di tempat yang dituju (Richardson and Fluker 2004, dalam Pitana: 2009).

Selanjutnya, Mathieson and Wall (1982, dalam Pitana: 2009) mengatakan bahwa pariwisata mencakup tiga element utama, yaitu:

1. a dynamic element, yaitu travel ke suatu destinasi wisata ; 2. a static element, yaitu singgah di daerah tujuan, dan

3. a consequential element, atau akibat dari dua hal di atas (khususnya terhadap masyarakat lokal), yang meliputi dampak ekonomi, sosial, dan fisik dari adanya kontak dengan wisatawan.

2.3 Pengertian Wisatawan

Pengertian umum biasanya dipakai dalam pemikiran dan komunikasi sehari–hari ketika seseorang mendeskrisikan berbagai perilaku atau perwujudan, baik orang maupun tempat yang touristy (temat yang banyak dikunjungi orang sehingga dapat dianggap daerah wisata) atau touristic (sifat yang mencerminkan seseorang berprilaku seperti seorang wisatawan). Beberapa kamus mencoba menstandarisasi pengertian wisatawan tetapi tidak ada yang komprehensif karena ada terlalu banyak variasi arti dan rujukan. Seseorang mungkin berprilaku seperti seorang wisatawan, seperti berjalan – jalan sambil melihat pemandangan dan memotret di sana–sisni. Terlebih lagi kalau, melihat penampilan fisik yang diamati, seperti pakaian, gaya bicara, atau teman berpergiannya yang

mencerminkan bahwa orang tersebut adalah pengunjung dari daerah lain dalam suatu negara atau dari luar negeri.

Sebagian orang mungkin membatasi pengertiannya tentang wisatawan untuk orang asing, atau pengunjung dari negara lain. Sebagian lagi membatasi pengertian wisatawan sebagai anggota dari suatu grup yang terorganisasi, yaitu tour-group. Pengertian yang tumpang tindih ini terjadi karena beberapa pihak menghubungkan wisatawan dengan konotasi perilaku tertentu berdasarkan berbagai prasangka perilaku yang dapat diamati. Persoalannya adalah berbagai atribut yang melekat pada prsepsi seseorang untuk mengartikan apakah seseorang itu wisatawan atau bukan, juga berbeda–beda.

Kata wisatawan (tourist) merujuk pada orang. Secara umum wisatawan menjadi subset atau bagian dari traveller atau visitor. Untuk dapat disebut sebagai wisatawan, seseorang haruslah seorang traveller atau seorang visitor. Seorang visitor adalah seorang traveller, tetapi tidak semua traveller adalah tourist. Traveller memiliki konesp yang lebih luas, yang dapat mengacu kepada orang yang mempunyai beragam peran dalam masyarakat yang melakukan kegiatan rutin ke tempat kerja, sekolah dan lain sebagainya sebagai aktifitas sehari–hari. Orang–orang menurut kategori ini tidak dapat dikatakan sebagai tourist.

Theobald (2005, dalam Damanik: 2006) mengemukakan beberapa elemen yang dipakai sebagai patokan untuk menentukan apakah seseorang dapat dikatakan sebagai wisatawan atau tidak menurut standar internasional, yaitu sebagai berikut:

1. Tujuan perjalanan (purose of trip). Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan selain untuk tujuan bisnis (leisure traveling), walaupun ada kalanya sebuah perjalanan bisnis juga dapat diikuti oleh kegiatan wisata (non-bisnis).

2. Jarak perjalanan dari tempat asal (distance traveled). Untuk tujuan statistik, ketika memerhitungkan jarak total ulang-alik (round trip) antar tempat tinggal dan tujuan wisata. Umumnya jarak yang dipakai bervariasi antara 0-160 km (0-100 mil) tergantung ketentuan masing – masing negara. Oleh karenanya, perjalanan yang dilakukan seseorang, walaupun bukan untuk bisnis, tetapi bila kurang dari ketentuan yang ditetapkan, maka orang tersebut tidak akan dihitung sebagai wisatawan.

Lamanya perjalanan (duration of trip). Umumnya definisi mengenai wisatawan yang mencakup perjalanan aling tidak satu matam (over night) ditemat yang menjadi tujuan perjalanan. Namun adakalanya persyaratan ini dikesampingkan pada kasus perjalanan wisata yang memang didesain kurang dari 24 jam tetapi nyata–nyata berdampak pada kegiatan bisnis pariwisata, sebagai restoran, atraksi wisata, hotel, dan sebagainya, di daerah tujuan wisata.

2.4 Objek dan Daya Tarik Wisata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan menyebutkan bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai berupa keanekaragaman kekayaan alam,

budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sarana atau tujuan kunjungan wisatawan.

Daya tarik wisata juga disebut objek wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata. Menurut Suwantoro (1997:19) bahwa objek dan daya tarik wisata dikelompokkan atas : a. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata dikelompokkan ke dalam: pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam, pengusahaan objek dan daya tarik wisata budaya, pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat khusus.

b. Umumnya daya tarik suatu objek wisata berdasar pada:

• Adanya sumberdaya yang dapat menimbulkan rasa senang, indah, nayaman dan bersih.

• Adanya aksesbilitas yang tinggi untuk dapat mengunjunginya. • Adanya ciri khusus/spesifikasi yang bersifat langka.

• Adanya sarana dan prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang hadir.

• Objek wisata alam mempunyai daya tarik karena keindahan alam, pegunungan, sungai, pantai, pasir, hutan dan sebagainya.

• Objek wisata budaya mempunyai daya tarik tinggi karena memiliki nilai khusus dalam bentuk atraksi kesenian, upacara-upacara adat, nilai luhur yang terkandung dalam suatu objek buah karya manusia pada masa lampau.

c. Pembangunan suatu objek wisata harus dirancang dengan bersumber pada potensi daya tarik yang memiliki objek tersebut dengan mengacu pada kriteria keberhasilan pengembangan yang meliputi berbagai kelayakan.

• Kelayakan Finansial

Studi kelayakan ini menyangkut perhitungan secara komersial dari pembangunan objek wisata tersebut.

• Kelayakan Sosial Ekonomi Regional

Studi kelayakan ini dilakukan untuk melihat apakah investasi yang ditanamkan untuk membangun suatu objek wisata juga akan memilki dampak sosial ekonomi secara regional, dapat menciptakan lapangan pekerjaan, dapat meningkatkan devisa dan sebagainya.

• Layak Teknis

Pembangunan objek wisata harus dapat dipetanggungjawabkan secara teknis dengan melihat daya dukung yang ada. Tidaklah perlu memaksakan diri untuk membangun suatu objek wisata apabila daya dukung oleh wisata tersebut rendah. Daya tarik suatu objek wisata akan berkurang atau bahkan hilang bila objek wisata tersebut membahayakan keselamatan para wisatawan.

• Layak Lingkungan

Analisis dampak lingkungan dapat dipergunakan sebagai acuan keegiatan pembangunan suatu objek wisata. Pembangunan objek wisata yang mengakibatkan rusaknya lingkungan harus dihentikan pembangunannya. Pembangunan objek wisata buaknlah untuk merusak lingkungan tetapi sekedar memanfaatkan sumberdaya alam untuk kebaikan manusia dan untuk meningkatkan kulitas hidup manusia sehingga menjadi keseimbangan, keselarasan dan keserasian.

2.5 Produk Industri Pariwisata

Produk adalah suatu barang yang ditawarkan pada konsumen untuk memperoleh pendapatan (income) melalui sistem perdagangan yang umum berlaku. Produk industri pariwisata tidak banyak berbeda dengan komoditi yang banyak diperdagangkan seperti yang kita ketahui. Dalam perdagangan produk industri pariwisata, juga berlaku hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply).

Produk industri itu dikemas dari bermacam–macam produk perusahaan kelompok industri periwisata yang dikonsumsi wisatawan dalam perjalanan wisata yang dilakukannya. Produk–produk yang membentuk suatu paket wisata (package tour) itu paling sedikit terdiri dari tempat duduk (seats) di pesawat, kamar hotel (rooms) tempat dimana akan menginap, makanan dan minuman (food and bavarages) di restoran, objek dan atraksi wisata yang akan dikunjungi.

Produk industri pariwisata tersebut merupakan produk line yaitu produk yang penggunaannya dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Setiap hotel memiliki ‘main product line’ seperti: kamar (room), makanan (foods), dan minuman (beverages). Produk lain, handuk (towels), sabun (soaps), shampo (shampoo) yang semua digunakan bersamaan waktu mandi. Dalam perjalanan wisata, wisatawan selalu menggunakan secara bersamaan: tempat duduk di

pesawat (seats), kamar hotel (room), makanan dan minuman (food and beverages) di restoran, hiburan (entertainment), city sighseeing & tours, cenderamata (souvenirshops).

Bila tidak demikian, paket wisata yang dibelinya tidak akan memberikan kepuasan kepada wisatwan, sehingga tujuan untuk bersenang–senang (to pleasure) yang diinginkan tidak dapat terwujud. Yang perlu kita ketahui dalam paket wisata yang disusun oleh BPW, berapa banyak yang ditambahkan untuk membentuk paket wisata yang ditemani oleh calon wisatawan. Harus diingat, adanya product line itu akan membuat paket wisata lebih menarik bagi segmen pasar yang beragam (customer mix) dengan kebutuhan (needs), keinginan (wants), harapan (expectations) yang bermacam–macam (Lundberg, dalam Yoeti: 2008).

BAB III

GAMBARAN UMUM KABUPATEN KARO

3.1 Kabupaten Karo 3.1.1 Letak Geografis

Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi Pegunungan Bukit Barisan dan merupakan Daerah Hulu Sungai. Luas wilayah Kabupaten Karo adalah 2.127,25 Km2 atau 212.725 Ha atau 2,97 persen dari luas Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, dan secara geografis terletak diantara 2o50’ – 3o19’ Lintang Utara dan 97o55’ – 98o

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat dan Deli Serdang 38’ Bujur Timur. Batas – batas wilayah Kabupaten Karo adalah :

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Toba Samosir 3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten

Simalungun

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)

Ibukota Kabupaten Karo adalah Kabanjahe yang terletak sekitar 67 Km sebelah selatan kota Medan ibukota Provinsi Sumatera Utara.

Kabupaten Karo terkenal sebagai daerah pertanian penghasil buah–buahan dan bunga–bungaan. Keadaan hutan cukup luas yaitu mencapai 192.749 Ha atau 60,99 persen dari luas Kabupaten Karo. Kabupaten Karo merupakan Daerah Hulu Sungai (DHS) dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu/Ular, sub Daerah Aliran Sungai Laubiang. Potensi industri yang ada adalah aneka industri kecil dan

rumahan yang mendukung pertanian dan kepariwisataan. Potensi sumber mineral dan pertambangan yang ada di Kabupaten Karo cukup potensial namun masih memerlukan survei lapangan. Suhu udara rata – rata di Kabupaten Karo berkisar antara 18,4oC – 19,3oC pada waktu malam hari dan 21oC – 22o

C pada siang hari, dengan kelembaban udara rata – rata setinggi 88,39 persen, tersebar antara 86,3 persen sampai dengan 90,3 persen. Kabupaten Karo sama seperti daerah lainnya di Indonesia, memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau.

3.1.2 Kependudukan, Agama, dan Sistem Mata Pencaharian

Hasil sensus pertengahan tahun 2009, jumlah penduduk Tanah Karo diperkirakan sebesar 370.619 jiwa yang mendiami wilayah seluas 2.127,25 Km2. Kepadatan penduduk diperkirakan 174,22 jiwa/ Km2

Tabel 3.1 Data Pemeluk Agama di Kabupaten Karo

. Laju pertumbuhan penduduk Tanah Karo tahun 2000 – 2009 (keadaan tengah tahun) adalah sebesar 3,01% per tahun. Mayoritas penduduk Karo memeluk agama Kristen Protestan yakni sekitar 47,93%. Berikut ini data tentang pemeluk agama di Kabupaten Karo

No. Agama Persentase

1. Kristen Protestan 42,93%

2. Kristen Khatolik 28,08%

3. Islam 24,12%

4. Hindu dan Budha 2,48%

5. Lain – lain 2,39%

Mata pencaharian penduduk yang terutaa adalah usaha pertanian pangan, hasil hortikultura dan perkebunan rakyat. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Karo dijelaskan dalam keterangan berikut :

Tabel 3.2 Mata Pencaharian Penduduk Karo No. Mata Pencaharian Persentase

1. Pertanian 79,93% 2. Pedagang 11,49% 3. Pegawai Negeri 9,17% 4. Transportasi 1,13% 5. Konstruksi 1,12% 6. Industri 0,64% 7. Pertambangan 0,32% 8. Keuangan 0,09%

9. Perusahaan Listrik, Gas, Air mineral 0,87%

10. Lain – lain 0,37%

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Karo. 2010

3.1.3 Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata Kabuaten Karo

Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) Kabupaten Karo didominasi oleh ODTW alam, budaya, dan minat khusus. Dilihat dari potensi keariwisataan, daerah ini memiliki objek wisata menarik meskipun objek wisata yang ada sebagian belum dikelola dengan optimal. Objek–objek wisata tersebut tersebar di hampir seluruh penjuru wilayah Kabupaten Karo. Dinas pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Karo melakukan identifikasi mengenai tinjauan beberapa kebijaksanaan dan hasil pengamatan survei lapangan terdapat objek wisata alam, objek wisata budaya, peninggalan sejarah serta beberapa atraksi wisata yang

menyebar disetiap wilayah kecamatan. Secara rinci sebaran obyek wisata di Kabupaten Karo dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 3.2 Sebaran Daya Tarik Wisata di Kabupaten Karo

No. Jenis dan Nama Objek Wisata

Lokasi Objek Wisata

Dokumen terkait