• Tidak ada hasil yang ditemukan

permasalahan yang diteliti. Sub bab II. Saran yang mungkin diberikan dari hasil penemuan-penemuan dilapangan yang dianggap bermanfaat secara ilmiah. Dengan demikian, bab penutup ini merupakan rangkuman jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini.

1.6.6 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai tempat pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban atas masalah. Lokasi penelitian ini bertempat pada Lembaga Kajian dan Konsultasi Bantuan Hukum Sarnelli, Kota Waikabubak, Pulau Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.

59

Negara menjamin setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah dan berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Pada pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, dikatakan bahwa :

“Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini mengamanatkan kepada

pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk dapat mengelola bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dengan sebaik-baiknya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Isi ayat pasal tersebut bermakna bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk di dalamnya air beserta kekayaan alam lainnya milik atau berada dalam wilayah teritori NKRI berarti dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan olen negara atau pemerintah dengan segenap lembaga pengelolanya untuk dipergunakan bagi memakmurkan atau mensejahterakan rakyat Indonesia seluruhnya. Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai dari Negara termasuk dalam Undang-Undang Pokok Agraria pasal 1 dan pasal 2 yang memberi wewenang kepada negara untuk :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan bumi, air dan ruang angkasa;

3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang menenai bumi, air dan ruang angkasa.

Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

Pasal-Pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, Pasal 16 ayat 1 dan 53. Pasal 4 ayat 1 dan 2 bunyinya sebagai berikut :44

1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai dimaksud dalam pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. 2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang

untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi.

Hak atas tanah juga dapat dicabut jika tanah dipergunakan untuk kepentingan umum. Pencabutan hak dilakukan, jika diperlukan tanah untuk kepentingan umum, sedang musyawarah yang telah diusahakan untuk mencapai kesepakatan bersama mengenai penyerahan tanah dan ganti ruginya tidak membawa hasil, padahal tidak dapat digunakan tanah lain. Dalam pencabutan hak yang empunya tanah tidak melakukan suatu pelanggaran atau melalaikan suatu kewajiban sehubungan dengan penguasaan tanah yang dipunyainya. maka pengambilan tanah yang bersangkutan wajib disertai pemberian ganti kerugian yang layak, seperti yang dikemukakan dalam uraian di atas mengenai pelepasan hak. Pencabutan hak diadakan semata-mata bagi

44

kepentingan umum dan dilakukan dengan Surat Keputusan Presiden. demikian juga bentuk dan jumlah ganti kerugiannya.

Menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, pemerintah memang diberikan wewenang untuk mengambil alih tanah penduduk guna keperluan pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenan. Pasal 6 menegaskan semua tentang hak atas tanah yang berbunyi :

”Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya”.

Pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan ambil alih atas tanah-tanah masyarakat untuk keperluan pembangunan.

Menurut hukum yang berlaku di Indonesia ada dua (2) cara yang ditempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat, yaitu dengan cara pembebasan atau pelepasan hak atas tanah

(prijsgeving) dan cara pencabutan hak atas tanah (Onteigening).

Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum, yang didalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam pasal 1 UU Nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa :

“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengar menteri agraria, kehakiman dan menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”.

Memperhatikan ketentuan yang ada pada pasal 1 UU nomor 20 tahun 1961

diatas, maka sebelum presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah yang akan dicabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu permohonan yang diajukan kepada yang berkepentingan seperti yang telah tertuang di dalam pasal 2 UU Nomor 20 tahun 1961. Dan dasar pokok dari UU No. 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah itu adalah ketentuan pasal 18 UU Nomor 5 tahun 1960 UUPA yang menggariskan untuk kepentingan umum negara dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Pada pasal 18 UUPA tersebut selengkapnya sebagai berikut :

“ Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.

Untuk melaksanakan ketentuan pasal 18 UUPA tentang Pencabutan hak atas tanah tersebut dituntut persyaratan tegas dan ketat sebagai berikut : pencabutan hak hanya dapat dilaksanakan bilamana kepentingan umum benar-benar menghendaki. Unsur kepentingan umum ini harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 20 tahun 1961 pencabutan hak atas tanahnya dapat dilakukan atas izin Presiden. Pencabutan hak atas tanah tersebut harus disertai ganti rugi yang layak.

2.1 Pelaksanaan Per mohonan Ganti Kerugian Oleh Penggugat

Sengketa dan konflik pertanahan yang semakin semarak dan kompleks belakangan ini terlihat sangat jelas lebih banyak konflik dan sengketa vertikal antara masyarakat dengan pemerintah atau pihak yang berwenang. Salah satunya ialah yang berkenaan dengan ganti kerugian. Istilah ini sudah mulai

dipersoalkan karena dapat mengandung konotasi yang negatif yaitu suatu penggantian yang mengakibatkan orang menjadi rugi.

Hak atas tanah diperuntukkan untuk Warga Negara Indonesia (WNI), hal ini berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria pasal 9 ayat 1 jo pasal 21 ayat 1 UUPA yang menyatakan bahwa “ hanya Warga Negara Indonesia

(WNI) dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa”.

Pasal 21 yang dengan tegas UUPA menyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia dan badan-badan hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang dapat memliki tanah. Bagi WNA atau Warga Negara Asing diperbolehkan memiliki hak atas tanah berupa hak milik karena tidak jarang WNA melakukan penyelundupan hukum, bahwa dia melakukan jual beli tanah hak milik atau tanah yang tidak bersertifikat dengan menggunakan saudaranya atau orang lain yang berkedudukan sebagai warga negara Indonesia. Tapi akibat dari perbuatan tersebut berdampak negatif artinya bisa menimbulkan suatu sengketa atas tanahnya. Apalagi si pemilik tanah menelantarkan tanahnya maka akan ada pihak yang menguasai tanah tersebut tanpa hak. Seperti dalam contoh kasus berikut.

Dalam Kasus ini sesuai dengan Kasus Putusan Nomor 13/Pdt.G/2010/PN. Wkb, bahwa Ny.Lanny Kalumata dalam hal ini sebagai Penggugat mengaku dirinya sebagai pemilik sah Tanah Objek Sengketa. Dalam pelaksanaan permohonan ganti kerugian ini, akan dijelaskan dari awal kepemilikan hak atas tanah pada Tahun 1986 yang pada saat itu Penggugat masih berstatus sebagai Warga Negara Asing (WNA) dan belum mendapatkan

pengesahan sebagai Warga Negara Asing, dan pada tahun yang sama, pemilik tanah L Kana Bora Gaina membutuhkan uang dan hendak menjual sebidang tanah miliknya yang terletak di Desa Rua, Kecamatan Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat dan karena itu L Kana Bora Gaina mencari pembeliuntuk membeli sebidang tanah miliknya tersebut. Pada saat itu L Kana Bora Gaina mendatangi Penggugat dan mengemukakan maksudnya untuk menjual tanah miliknya kepada Penggugat, dan saat itu Penggugat bersedia untuk membantu L Kana Bora Gaina dengan membeli tanah yang hendak dijual tersebut. Namun demikian, pada saat itu Penggugat masih berstatus sebagai WNA, maka secara hukum belum dapat melakukan transaksi jual beli dengan L Kana Bora Gaina sehingga disepakati bahwa uang untuk pembayaran harga tanah tersebut ditanggung oleh Penggugat tetapi yang melakukan transaksi dalam bentuk penandatanganan surat-surat bukti jual beli adalah saudara kandung Penggugat yang bernama Lian Bun Heng, dengan kesepakatan lisan bahwa nantinya setelah Penggugat berstatus sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) barulah dilakukan penyerahan kepada Penggugat.

Pada tanggal 10 Maret 1986 terjadilah transaksi jual beli dan pembayaran terhadap sebidang tanah dengan luas ± 10.000 M² yang terletak di Desa Rua Kecamatan Wanokaka Kabupaten Sumba Barat, antara Lian Bun Heng sebagai Kakak Penggugat dengan L Kana Bora Gaina, dimana tanah tersebut memiliki batas-batas sebagai berikut :

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Pantai Rua;

- Sebelah Timur berbatasan dengan Muara Sungai;

- Sebelah Utara berbatasan dengan Tanah Gereja/Hutan Kecil;

Selanjutnya disebut sebgai tanah objek sengketa, dan saat itu tanah objek sengketa

tersebut dibayar oleh Penggugat melalui Lian Bun Heng kepada L Kana Bora

Gaina seharga Rp. 500.000,00 (lima ratus rupiah). Kemudian dibuatkanlah bukti pembayaran berupa satu lembar kwitansi tertanggal 10 Maret 2010 dan ditandatangani oleh L Kana Bora Gaina. Sebagai tindak lanjut dari pembayaran atas bidang tanah sengketa tersebut, maka pada tanggal 10 Maret 1988 atau lebih tepatnya 2 (dua) tahun kemudian setelah pembayaran harga tanah tersebut, dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, maka dibuatkanlah Surat Keterangan Penyerahan Sebidang Tanah atas nama L Kana Bora Gaina kepada Lian Bun Heng, dan surat pernyataan tersebut dibuatkan diatas kertas segel serta ditandatangani oleh kedua belah pihak dihadapan para saksi, dan diketahui oleh Kepala Desa Rua saat itu dan sejak itulah tanah objek sengketa tersebut menjadi milik dan dikuasai oleh Penggugat melalui Lian Bun Heng.

Pada tanggal 26 Maret 1986 Penggugat menikah dan masuk sebagai Warga Negara Indonesia, dan kemudian pada tanggal 07 Januari 2004 kakak Penggugat membuat Surat Pernyataan Penyerahan Kembali Sebidang Tanah dan bukti-bukti surat asli pembelian kepada pemilik dana, dan surat itu ditandatangani oleh Lian Bun Heng dengan Penggugat dan dilakukan dengan saksi-saksi. Sejak saat itulah Penggugat memiliki dan menguasai secara penuh tanah sengketa tersebut tanpa adanya masalah atau keberatan dari pihak manapun juga. Beberapa tahun kemudian, tanpa adanya proses pembebasan hak milik atas tanah, Tergugat VII yaitu Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten

Sumba Barat membangun fasilitas berupa bangunan di atas tanah milik Penggugat, yang kemudian bangunan tersebut dihuni serta didiami oleh Turut Tergugat sampai dengan sekarang ini.

Pada tahun 2009, Penggugat baru mengetahui kalau di atas tanah miliknya telah didirikan bangunan oleh Tergugat II dan Tergugat I yang akan diperuntukkan bagi daerah tujuan wisata dan kawasan objek wisata serta menjadi asset daerah. Mengetahui akan hal itu, Penggugat mencari informasi tentang bagaimana sampai Tergugat I dan Tergugat II bisa mendirikan bangunan di atas tanah milik Penggugat tanpa adanya koordinasi,dan tanpa ada pembicaraan serta tanpa adanya pemberitahuan kepada Penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah objek sengketa tersebut.

Pada saat itu juga, Penggugat mengirimkan surat kepada Tergugat I untuk meminta penyelesaian termasuk pembebasan hak milik atas tanah yang harus dipenuhi oleh Tergugat I dan Tergugat II kepada Penggugat, dari surat tersebut ditindaklanjuti oleh Tergugat I, Tergugat II, Bagian Tatapem Pemda Sumba Barat, Kepala Satpol PP Kabupaten Sumba Barat dan pihak-pihak terkait lainnya bersama dengan DPRD kabupaten Sumba Barat dan Penggugat turun ke lokasi tanah sengketa guna memastikan letak bangunan milik Tergugat I dan Tergugat II di atas tanah milik Penggugat.

Dari hasil pemeriksaan ke lokasi tanah sengketa tersebut, ditemukan fakta bahwa benar bangunan yang didirikan oleh Tergugat I dan Tergugat II berada di atas tanah milik Penggugat. Dan saat itu, tergugat I dan Tergugat II berjanji kepada Penggugat dihadapan DPRD Kabupaten Sumba Barat bahwa Tergugat I dan Tergugat II akan melaksanakan kewajiban berupa pembayaran

ganti rugi pembebasan tanah milik Penggugat tersebut setelah melakukan musyawarah dengan Penggugat, dimana untuk tindak lanjutnya Tergugat I dan Tergugat II akan mengundang Penggugat untuk hadir dalam pertemuan di ruang kerja Tergugat I.

Penggugat yang menunggu itikad baik dari Tergugat I dan Tergugat II, ternyata tidak ada tindak lanjut yang dilakukan berdasarkan kesepakatan di lokasi objek sengketa, maka pada tanggal 14 september 2009, Penggugat mengirimkan surat kepada Tergugat I dan Tergugat II untuk meminta agar dilakukan penyelesaian sebagaimana kesepakatan yang terjadi sebelumnya, dan sekaligus memohon kepada Tergugat I agar dapat memerintahkan Tergugat II untuk sementara waktu tidak melanjutkan pekerjaan pembangunan diatas tanah sengketa sambil penyelesaian pembebasan hak di atas tanah sengketa itu direalisasikan. Pada tanggal 28 Oktober 2009, surat dari Penggugat yang bertanggal 14 Oktober 2009 dijawab Oleh Tergugat I menjelaskan bahwa berdasarkan hasil pengkajian lapangan oleh Tim dari Tergugat II serta Tergugat III pada tanggal 18 Maret 2009, menyatakan tidak sesuai dengan alasan dalam surat tersebut, maka Tergugat I menyatakan menolak permintaan atau permohonan dari Penggugat karena tidak bersesuaian dan salah alamat, karena kajian tersebut dilakukan terhadap tanah yang bukan menjadi objek sengketa dalam gugatan ini.

Berdasarkan surat tersebut, Penggugat berkesimpulan telah adanya upaya untuk menghindar dari tanggung jawab melaksanakan kesepakatan yang dibuat sebelumnya diatas tanah objek sengketa. Keterlibatan Tergugat II dan Tergugat III dalam Tim tersebut, sama skali bertolak belakang dengan

kenyataan dilapangan pada saat dilaksanakan pemeriksaan ke lokasi tanah sengketa, dan Penggugat merasa tidak dilibatkan pada saat melaksanakan kajian lapangan. Lebih aneh lagi adalah dalam kajian tersebut menyebut tanah yang didalamnya terdapat bangunan milik Tergugat I dan Tergugat II bukanlah merupakan tanah sebagaimana dimaksud oleh Penggugat, melainkan tanah milik Lazarus Leru Bani di atas tanah tersebut, padahal tanah yang saat ini menjadi objek sengketa berada di luar dari tanah yang bersertifikat atas nama Lazarus Leru Bani. Untuk Tergugat VI, sesuai data dan informasi yang Penggugat peroleh, bahwa untuk kepentingan dari Tergugat I dan Tergugat II, maka Tergugat VI yaitu Duang Magang yang melakukan penyerahan tanah milik Penggugat kepada Tergugat I tanpa seizin dan tanpa sepengetahuan dari Penggugat sebagai pemilik yang sah. Perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat IV yaitu Camat Wanokaka saat itu dan Tergugat V yang saat itu di jabat oleh Julius Kura Haba adalah bersama-sama sebagai pihak yang mengetahui dan mensahkan penyerahan tanah yang dilakukan oleh Tergugat VI kepada Tergugat I dan Tergugat II yang kemudian digunakan untuk membangun fasilitas sekarang ini, dan perbuatan itu dilakukan seluruhnya tanpa izin dan tanpa sepengetahuan pula dari Penggugat sebagai pemilik tanah sengketa.

Dalam surat gugatan, perbuatan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, Tergugat V, Tergugat VI dan Tergugat VII serta Turut tergugat diatas tanah objek sengketa yang adalah milik Penggugat, baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri dan atau secara bersama-sama maupun sebagai yang menerima hak dari Para Tergugat adalah jelas-jelas merupakan suatu perbuatan melawan hak dan melanggar hukum, dan perbuatan Para Tergugat tersebut

telah mencoreng rasa keadilan Penggugat serta menyebabkan kerugian materiil maupun immaterial yang dialami oleh Penggugat.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Waikabubak agar mengabulkan gugatan Penggugat Seluruhnya dan Menyatakan sebagai hukum, bahwa objek sengketa berupa sebidang tanah seluas ± 10.000 M² yang terletak di Desa Rua Kecamatan Wanokaka Kabupaten Sumba Barat adalah sah milik Penggugat dan menyatakan Para Tergugat telah melakukan Perbuatan melawan hak dan melanggar hukum yang mendatangkan kerugian material maupun immaterial kepada Penggugat.

Ganti kerugian adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan/tanaman dan/atau benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.45 Ganti kerugian bukan hanya berupa uang tetapi dapat pula berupa tanah pengganti dan pemukiman kembali atau gabungan dari kemungkinan-kemungkinan tersebut misalx diberikan pemukiman kembali disuatu lokasi tertentu yang cukup layak ditinjau dari perkembangan sosial ekonomi dan budaya ditambah dengan uang penggantian yang kalau diperhitungkan jumlah nilai antara pemukiman barunya ditambah dengan penggantian uang tidak jauh berbeda dari jual nilai tanah dan rumah yang diserahkan atau dilepaskannya tersebut.

Dalam pasal 13 Keppres No. 55 Tahun 1993 ditentukan bahwa bentuk ganti kerugian dapat berupa:

45

H. Abdurrahman, Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

a. uang;

b. tanah pengganti;

c. pemukiman kembali;

d. gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c dan;

e. bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Ganti kerugian dengan uang adalah menyangkut besarnya ganti kerugian dikaitkan dengan harga tanah, bangunan dan tanaman yang akan diganti. Sehubungan dengan ganti kerugian ini memang banyak hal yang dapat dicatat, masalahnya memang berkaitan dengan persoalan ekonomi dan mempunyai dampak terhadap kehidupan ekonomi baik perorangan maupun masyarakat pada umumnya. Seorang yang mendapat ganti kerugian pada dasarnya akan merasa rugi karena pada tanah yang mereka kuasai tertanam nilai lebih yang kadang-kadang tidak diperhitungkan sehingga karenanya ada satu nilai diharapkan dan karenanya masyarakat meminta harga yang tinggi dan dirasakan keterlaluan oleh karena pihak panitia atau penilai termassuk apa yang digariskan dalam Keppres No.55 Tahun 1993 adalah bertumpu pada harga riil.

Kemudian lebih jauh dalam pasal 13 sub e dimugkinkan pula ganti kerugian dalam bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini penting berkaitan dengan kesempatan kerja dan sumber penghasilan pada masa yang akan datang, sehingga pembangunan suatu proyektidak akan menyengsarakan rakyat bahkan sebaliknya akan dapat lebih membantu kemakmuran seperti misalnya keikutsertaan bekerja dalam proyek baik pada tahap pra konstruksi, konstruksi dan pasca konstruksi atau dimaksudkan sebagai pemegang saham yang dapat memperoleh imbalan yang diterimanya

pada masa yang akan datang. Karena itu, penggantian ini tidak hanya sekedar layak tetapi juga edukatif dan mengarah pada kepentingan masa depan warga masyarakat.

2.2 Pelaksanaan Ganti Kerugian Bagi Penggugat Akibat Penguasaan Tanah Tanpa Hak Oleh Pemer intah

Pada umumnya penderita yang menuntut ganti kerugian harus dapat membuktikan besarnya kerugian. Akan tetapi karena sulitnya pembuktian tersebut, hakim dapat menentukan besarnya kerugian menurut rasa keadilan. Putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Mei 1970 Nomor 610 K/SIP/1968, menentukan “Meskipun tuntutan ganti rugi jumlahnya dianggap tidak pantas, sedangkan penggugat tetap pada tuntutannya, hakim berwenang untuk menetapkan berapa

pantasnya harus dibayar. Dan hal tersebut tidak melanggar pasal 178 HIR yang

menentukan bahwa :

1. Hakim dalam waktu bermusyawarah karena jabatannya harus mencakupkan

alasan-alasan hukum yang mungkin tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak.

2. Ia berkewajiban mengadili segala bagian gugatan.

3. Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat.

Proses pemeriksaan perkara perdata di sidang pengadilan pada hakekatnya

bertujuan untuk menyelesaikan perkara yang dimanifestasikan dalam bentuk putusan pengadilan ini dimaksudkan untuk mengakhiri persoalan yang menjadi sengketa dan menetapkan bagaimana hukumnya dari perkara itu pemeriksaan perkara memang diakhiri dengan putusan akan tetapi dengan dijatuhkannya putusan saja belumlah selesai persoalannya, putusan ini harus dilaksanakan atau dijalankan. Maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa

oleh alat-alat negara. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada putusan hakim adalah putusan yang berbunyi :”Demi keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”.

Hubungan hukum antara sesama anggota masyarakat kadang-kadang terganggu karena kewajiban seseorang terhadap yang lain tidak dipenuhi,

Dokumen terkait