• Tidak ada hasil yang ditemukan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Martinez dkk (2000) melakukan penelitian terhadap paduan aluminium yang dilebur dalam dapur induksi (induction furnace) pada suhu 856-875 oC. Kemudian logam cair dituang ke dalam rongga cetakan dalam kondisi telah mengalami droptemperature hingga temperatur menjadi 700-800 oC.

Scamans dan Fan (2005) menyatakan bahwa metode rheocasting

digunakan untuk menghasilkan semisolid metal. Logam yang dicairkan pada temperatur cair (liquidus) atau di atas temperatur cair (superheat), logam cair yang mendingin akan melewati fasa semisolid metal (SSM) sebelum mencapai temperatur solidus. Jika pada fasa semisolid diberikan gaya geser berupa putaran maka struktur mikro yang awalnya berbentuk kolumnar atau dendritik akan terpotong menjadi butir baru yang globular.

Basner (2000) menyatakan teknologi pengecoran yang sedang dikembangkan untuk memproduksi semisolid metal (SSM) yaitu thixocasting dan

rheocasting. Bahan baku teknologi thixocasting adalah billet berstruktur mikro globular. Billet dipanaskan kemudian dipindahkan ke dalam shot chamber dalam mesin die casting, kemudian diinjeksikan ke dalam cetakan. Rheocasting terdiri dari pengadukan bahan paduan untuk menghasilkan fasa semisolid, kemudian diinjeksikan kedalam cetakan. Rheocasting memiliki beberapa keunggulan dibandingkan thixocasting antara lain prosesnya lebih sederhana, fraksi solid-nya dapat disesuaikan dengan aplikasi yang digunakan, tidak tergantung pada pemasok logam, dan biayanya lebih murah.

2.2 Dasar Teori

2.2.1 Proses Pengecoran

Teknik pengecoran merupakan salah satu proses produksi dengan cara mencairkan logam, kemudian dituang ke dalam cetakan dan dibiarkan mendingin di dalam cetakan. Dalam mencairkan logam dapat digunakan berbagai macam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5

tanur seperti kupola atau tanur induksi frekuensi rendah dipergunakan untuk besi cor, tanur busur listrik atau tanur induksi busur tinggi dipergunakan untuk baja cor dan tanur kurs untuk paduan tembaga atau paduan coran ringan.

Surdia (2000) menyatakan bahwa cetakan coran biasa dibuat dengan menggunakan bahan pasir alam yang mengandung tanah lempung yang terkadang dicampur pengikat khusus, umpamanya semen, resin furan, resin fenol, atau minyak pengering karena selain pasir yang harganya relatif dan mudah didapatkan juga karena penggunaan zat-zat tersebut dapat memperkuat cetakan. Selain dari cetakan pasir, dapat juga digunakan cetakan logam.

2.2.2 Pembekuan Logam

Pada cairan logam murni jika didinginkan secara perlahan maka pembekuan terjadi pada temperatur yang konstan, temperatur ini disebut titik beku. Dalam pembekuan logam cair, pada permulaan tumbuhlah inti kristal, kemudian kristal – kristal tumbuh disekeliling inti tersebut, akhirnya seluruhnya ditutupi oleh butir kristal sampai logam cair habis. Ukuran butir kristal tergantung pada laju pengintian dan pertumbuhan inti. Jika laju pertumbuhan lebih besar dari laju pengintian maka didapat kelompok butir yang besar dan Jika laju pengintian lebih besar dari laju pertumbuhan inti maka didapat kelompok butir yang halus.

Surdia (2000) menyatakan bahwa pembekuan logam dimulai dari bagian yang bersentuhan dengan cetakan, saat panas dari logam cair diserap oleh cetakan sehingga logam mendingin hingga mencapai titik beku kemudian muncul inti-inti kristal. Bagian dalam coran mendingin lebih lambat daripada bagian luar, sehingga kristal-kristal tumbuh dari inti asal mengarah bagian dalam coran dan terbentuklah struktur kolom, seperti terlihat pada gambar 2.1 berikut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6

Gambar 2.1 Struktur mikro pembekuan logam (ASM Handbook Vol.15, Casting)

2.2.3 Paduan Aluminium

Cook (1998) menyatakan bahwa aluminium silikon sangat banyak digunakan di dunia industri karena memiliki sifat fluiditas yang tinggi, mampu cor baik, densitas rendah serta sifat mekanik yang mudah dikontrol. Paduan silikon di bawah 11% disebut aluminium hypoeutectic, 11-13% disebut eutectic, dan di atas 13% adalah aluminium hypereutectic. Paduan lain yang sering ditambahkan seperti Fe, Cu, Mg, Ni, Zn bertujuan untuk mendapatkan hasil pengecoran atau properti mekanik yang diinginkan.

Proses solidifikasi dimulai dari fasa cair pada suhu T1 kemudian berlanjut sampai mencapai suhu Te. Pada saat temperatur liquidus (T1), dendrit tumbuh dan mengalami pengintian yang lebih banyak hingga mencapai temperatur eutektik

(Te). Solidifikasi sempurna terjadi setelah melewati temperatur eutektik (Te). Bentuk struktur dendrit dapat terlihat pada akhir pembentukan struktur mikro aluminium. Tetapi pada paduan aluminium eutektik (11-13% Si), solidifikasi terjadi pada temperatur eutektik. Pada temperatur eutektik semua sisa liquid akan membeku menjadi aluminium-silikon eutektik dalam paduan biner, terlihat pada Gambar 2.2 berikut.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7

Gambar 2.2 Diagram fasa paduan Al-Si (Cook, 1998)

2.2.4 Temperatur Liquidus dan Solidus Paduan Aluminium

Dobrzański (2006) menyatakan bahwa paduan aluminium-silikon

hypoeutectic akan melalui tiga tahap reaksi solidifikasi selama proses solidifikasi, berawal dari pembentukan dendritik aluminium dan diikuti pembentukan dua fasa utama eutektik. Adanya paduan dan elemen pengotor seperti: Cu, Mg, Mn, dan Fe menjadikan karakteristik metalografi lebih komplek.

Altenpohl (1982) menyatakan bahwa temperatur liquidus (Tl) adalah temperatur dimana proses solidifikasi dimulai, sedangkan temperatur setelah proses solidifikasi selesai disebut temperatur solidus (Ts). Temperatur liquidus

(Tl) dan temperatur solidus (Ts) ditentukan dengan cara membuat kurva pendinginan (temperatur vs waktu), yaitu dengan mengukur perubahan temperatur terhadap waktu pada saat proses pendinginan dari fasa cair sampai fasa padat. Temperatur liquidus (Tl) dan temperatur solidus (Ts) merupakan titik terjadinya perubahan gradien pada kurva pendinginan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

8

Gambar 2.3 Grafik temperatur liquidus-solidus paduan aluminium (Altenpohl, 1982)

2.2.5 Struktur mikro

Hubungan antara struktur mikro dengan sifat mekanik logam dipengaruhi oleh kuantitas fasa, ukuran fasa dan pengaruh bentuk fasa. Paduan Al-Si memiliki kombinasi karakteristik yang baik antara lain castability, ketahanan korosi yang baik (good corossion resistance), ketahanan aus (wear resistance), dan mampu mesin yang baik (machinability). Sifat mekanik pada dasarnya dikontrol oleh struktur mikro dari logam coran tersebut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan suatu komposisi dari aluminium cor sangat dimungkinkan dengan mengoptimasi ukuran butir, struktur eutektik, ukuran sel, serta ukuran dan distribusi dari fase intermetalik sehingga didapatkan sifat mekanik yang diinginkan. Semakin besar ukuran butir maka nilai kekerasannya semakin menurun. Penurunan nilai elongasi yang besar terjadi pada paduan aluminium yang ditambahkan grain refiner. Sifat mekanik aluminium juga dipengaruhi oleh ukuran sel dendrit. Tegangan tarik

ultimate dan nilai elongasi mengalami penurunan dengan meningkatnya ukuran sel dendrit. Struktur eutektik dan ukuran sel pada aluminium paduan terdapat

dendritefibers, yang dapat ditingkatkan sifat mekaniknya melalui perlakuan panas (Granger dan Elliott, 1998).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

9

Hongmin (2008) menyatakan bahwa proses baru rheocasting adalah dengan mengontrol ukuran butir yang terbentuk pada logam cair yang diberi tegangan geser sebelum menjadi slury. Logam cair yang diberi tegangan geser tersebut akan menghasilkan stuktur mikro globular. Salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya struktur mikro globular adalah rotasi putaran pengadukan. Dalam penelitiannya Hongming menyatakan bahwa semua spesiment hasil rheocasting akan diperiksa struktur mikronya. Pemeriksaan struktur mikro ini menggunakan mikroskop optik kemudian dilakukan pendekatan dengan rumus faktor bentuk untuk pemggambarannya. Pendekatan rumus faktor bentuk dapat dilihat pada persamaan (2.1).

Gambar 2.4 Bentuk Butir

F = 2 4 perimeter xA xp ...(2.1) A : Luasan butir F : Faktor bentuk (0 < F < 1)

Hasil dari analisa program Image Analysis kemudian dilakukan perhitungan standar deviasi dan nilai rata-rata faktor bentuk maupun ukuran butir. Perhitungan mencari nilai standar deviasi dan rata-rata dapat memakai rumus (Stroud dan Sucipto, 1996) :

Rumus standar deviasi : =

å

- 2

) ( 1 x x n s ...(2.2) Perimeter /keliling butir Area (A)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10 Rumus rata-rata : n x x=

å

...(2.3) x : rata-rata data x : besar data σ : standar deviasi n : jumlah data 2.2.6 Metode Rheocasting

Scamans dan Fan (2005) menyatakan bahwa metode rheocasting

digunakan untuk menghasilkan semisolid metal. Logam yang dicairkan pada temperatur cair (liquidus) atau di atas temperatur cair (superheat) akan melewati fasa semisolid metal (SSM) sebelum mencapai temperatur solidus. Jika pada fasa

semisolid diberikan gaya geser berupa putaran maka struktur mikro yang awalnya berbentuk kolumnar atau dendritik akan terpotong menjadi butir baru yang bulat (globular). Perbedaan struktur mikro dendritik dan globular diperlihatkan pada Gambar 2.5.

(a) (b)

Gambar 2.5 Gambar Struktur Mikro (a) dendritik, (b) globular

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

Rheocasting merupakan teknik semisolid forming yang memberikan perlakuan pada logam cair sebelum menjadi benda coran dalam mesin cor cetak. Proses yang dilakukan yaitu dengan memutar logam cair yang sedang membeku agar butir-butir dendrit terpotong sehingga terbentuk butir globular. Secara singkat pemutusan dendrit dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Skema pemutusan dendrit (Wannasin, 2006)

Setelah pengadukan logam semisolid, slury langsung diproses dalam pengecoran tekanan tinggi (high-pressure die casting). Slury ini mempunyai struktur mikro globular sehingga tekanan yang digunakan mesin die lebih kecil, serta komponen yang dihasilkan akan sedikit mengandung gas dan inklusi oksida karena tidak terjadi turbulen selama die casting berlangsung. Proses rheocasting

secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.7.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Bahan Penelitian

Bahan yang dipakai dalam penelitian ini yaitu paduan aluminium yang berasal dari velg mobil bekas. Velg yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kandungan 6,23% Si, sehingga dapat ditentukan bahwa velg yang dipakai adalah paduan aluminium-silikon hypoeutectic. Hasil dari pengujian komposisi kimia dapat di lihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Hasil pengujian komposisi velg

Unsur Komposisi (% wt) Unsur Komposisi (%wt) Al 92,89 Sn 0,025 Si 6,23 Ti 0,177 Fe 0,178 Pb 0,0012 Cu 0,0017 Be 0,0000 Mn 0,015 Ca 0,0017 Mg 0,411 Sr 0,0360 Cr 0,0041 V 0,0207 Ni 0,0078 Zr 0,0132 3.2 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mesin rheocasting sederhana

a. Bed

Bed ini berfungsi sebagai tempat diletakannya mold dan isolator panas.

b. Motor listrik

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

c. Pulley

Pulley yang digunakan adalah 2 buah dengan diameter 5 cm dan 10 cm. Antara pulley yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan V-belt.

d. Batang pengaduk

Batang pengaduk berfungsi sebagai media untuk mengaduk aluminium cair pada cetakan. Batang pengaduk dibuat dari baja karbon rendah

Gambar 3.1 Mesin rheocasting sederhana 2. Inverter

Inverter digunakan untuk mengatur kecepatan putar motor listrik.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

3. Data akusisi

Alat ini digunakan untuk menentukan besarnya temperatur

liquidus-solidus dan membantu alat kontrol temperatur. Alat ini disambungkan dengan CPU pada komputer dan kabel termokopel tipe K, sehingga pada layar monitor komputer dapat terlihat diagram perbandingan antara suhu dengan waktu.

Gambar 3.3 Data akusisi 4. Tungku Tahanan Listrik

Jenis tungku tahanan listrik yang digunakan pada penelitian ini berkapasitas 1100oC. Tungku tahanan listrik ini digunakan sebagai tempat peleburan logam bahan penilitian.

Gambar 3.4 Tungku tahanan listrik 1100oC 5. Mikroskop Optik

Mikroskop optik digunakan untuk membantu mengamati struktur mikro spesimen. Mikroskop dilengkapi lensa obyektif dengan perbesaran 4X, 10X, 20X, 40X.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

Gambar 3.5 Mikroskop optik 6. Mold

Mold atau cetakan dibuat dari pipa baja dengan diameter 55 mm yang didesain seperti gambar sehingga memudahkan dalam pengambilan dan tidak ikut diputar saat pengadukan.

Gambar 3.6 Mold

7. Ladle

Ladle berfungsi sebagai tempat peleburan bahan sekaligus tempat sebelum logam cair dituang ke dalam mold.

Gambar 3.7 Ladle

8. Isolator Panas

Isolator panas terbuat dari pipa baja dan dilapisi batu tahan api sehingga panas mold saat penuangan logam cair tidak mudah hilang

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

Gambar 3.8. Isolator panas 9. Termokopel

Termokopel digunakan sebagai sensor temperatur logam cair.

Termokopel yang akan digunakan pada penelitian ini adalah tipe K, karena termokopel ini mempunyai sensitivitas temperatur hingga 1250oC.

10. Pengaduk

Digunakan sebagai variasi pengaduk saat proses rheocasting. Bahan pengaduk yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, karbon, baja karbon dan tembaga. Pengaduk memiliki dimensi berdiameter 2 cm dan panjang 9 cm.

a. karbon b. tembaga c. baja karbon Gambar 3.9. Pengaduk

11. Gergaji

Gergaji ini digunakan untuk memotong spesimen yang akan diuji struktur mikronya.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

12. Mesin Ampelas

Mesin ini dilengkapi amril dan digunakan untuk menghaluskan spesimen.

13. Autosol

Autosol digunakan untuk menghilangkan goresan akibat penghalusan hasil mesin pengampelas.

14. Larutan etsa

Etsa dilakukan sebelum melakukan pengujian struktur mikro, hasil pengetsaan adalah korosi pada batas butir. Larutan etsa yang digunakan adalah HF (Hidroflouric Acid) 40% dan air dengan perbandingan 1:5.

3.3 Langkah Penelitian

Tahapan penelitian dilaksanakan sebagai berikut:

1. Memotong velg bekas dengan gerinda potong menjadi potongan-potongan kecil agar mudah dalam proses peleburan.

2. Melakukan pengujian komposisi kimia velg di Politeknik Manufaktur, Ceper dengan Spektrometer.

3. Membuat cetakan dari pipa baja berdiameter 55 mm, dan isolator panas dengan pipa baja yang dilapisi batu tahan api.

4. Melebur potongan velg ke dalam tungku penghantar listrik dengan temperatur 850oC, ditahan selama 30 menit.

5. Merangkai alat (unit pengaduk, inverter, data akusisi, termokopel, cetakan, isolator panas dan unit komputer).

6. Memasang batang pengaduk dengan variasi bahan baja karbon, tembaga dan karbon.

7. Menuang aluminium cair ke dalam cetakan

8. Menjalankan unit pengaduk dengan variasi kecepatan putar 100 rpm, 150 rpm dan 200 rpm.

9. Melakukan pengadukan dari temperatur 635oC sampai 610oC.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

11.Memotong logam coran pada di sekeliling dan di bawah pengaduk. 12.Menghaluskan spesimen dengan mesin amplas dengan kekasaran

bertahap mulai 250, 600, 1000 dan 1200.

13.Memoles spesimen dengan autosol hingga mengkilap.

14.Membuat larutan etsa yang terdiri dari HF 40% dan air dengan perbandingan 1:5.

15.Memasukkan spesimen ke dalam larutan etsa selama 15 detik. 16.Mengamati spesimen di bawah mikroskop optik.

17.Mengukur luas, diameter dan keliling dengan software Image Analysis.

18.Menghitung rata-rata dan standar deviasi data diameter, faktor bentuk dari masing-masing data.

19.Menganalisa data 20.Menarik kesimpulan.

3.4 Teknik Analisa Data

Teknik mencari luas area, perimeter dan ukuran butir dengan menggunakan program image analysis:

a. Persiapan gambar struktur mikro

- Gambar yang ditelit di pilih secara manual.

- Gambar yand diteliti karena efek croping diabaikan.

b. Menyeting program image analysis

- Menentukan objek gelap dan terangnya.

- Menentukan parameter yang dengan menekan tombol ’count and measure object’.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

- Menentukan batas nilai minimum dan maximum yang akan dibaca oleh program image analysis.

- Mengkalibrasi skala gambar dengan menekan tombol ’measure lenghts and distances’ sehingga akan terbaca perbandingan skala gambar. Berikut adalah contohnya 100µm : 52 pixel.

- Kemudian tinggal pilih ’count’ untuk mencari parameter yang akan dicari, dan semua parameter akan muncul untuk di tampilkan dalam bentuk file exel.

Data yang diperoleh adalah struktur mikro dari berbagai variasi penelitian. Dari gambar struktur mikro, selanjutnya diolah lebih lanjut untuk mendapatkan ukuran butir dan faktor bentuk. Ukuran butir ini dapat diketahui dengan menggunakan program image analysis. Parameter yang diperoleh dari program ini adalah luasan struktur mikro dan keliling (perimeter). Dengan menggunakan persamaan (2.1) faktor bentuk dapat diketahui dengan memasukan parameter yang telah di peroleh.

3.5 Penyimpulan Hasil Penelitian

Membandingkan data-data yang telah diperoleh dan diambil hasil yang terbaik, kemudian dilakukan analisa berdasarkan teori yang ada. Maka akan didapat dari analisa berupa spesimen yang mempunyai struktur mikro globular

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

3.6 Diagram Alir Penelitian

Pemotongan velg Persiapan Bahan

Peleburan Aluminium

Uji Komposisi kimia

Penyiapan struktur mikro

Pengamatan Struktur mikro

Data dan Analisa

Selesai Mulai

Rheocasting

· Variasi kecepatan putar 100 rpm, 150 rpm, 200 rpm

· Variasi bahan pengaduk baja karbon, tembaga, dan karbon

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB IV

DATA DAN ANALISA

4.1 Temperatur Liquidus-Solidus

Penentuan Temperatur liquidus-solidus dilakukan dengan menuang aluminium cair ke dalam CEmeter-cup yang telah dihubungkan dengan data akusisi sehingga dapat tercatat penurunan temperatur logam cair. Temperatur

solidus-liquidus digunakan untuk menentukan daerah semisolid sehingga pengadukan pada proses rheocasting dapat dilakukan pada fasa semisolid

dengan tepat. Penurunan temperatur logam cair sampai terbentuk fasa padat ditunjukan pada Gambar 4.1. Dari Gambar 4.1 dapat dilihat dari pengukuran bahwa T liquidus 620 oC dan T solidus 580 oC.

Gambar 4.1 Grafik temperatur solidus-liquidus 4.2. Hasil Rheocasting

Rongga yang terbentuk hasil rheocasting sangat tergantung dari bahan pengaduknya. Rongga ini terbentuk karena ketidakmampuan logam semisolid

mengisi kembali saat pengaduk diangkat. Ketidakmampuan tersebut diakibatkan oleh terbentuknya lapisan fasa padat yang terbentuk di sekeliling pengaduk. Lapisan ini terbentuk akibat dari penyerapan panas yang berlebih pada bagian logam cair yang bersentuhan dengan batang pengaduk. Besarnya penyerapan panas oleh batang pengaduk dipengaruhi konduktivitas thermal bahan.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21

Bahan pengaduk yang digunakan pada penelitian adalah karbon, baja karbon, dan tembaga yang ketiganya memiliki kondukitivitas thermal yang berbeda. Nilai

kondukitivitasthermal dari ketiga bahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Konduktivitasthermal bahan (Incropera, 1990)

Bahan Konduktivitas Thermal (W/moK)

Tembaga 401

Baja Karbon 15.1

Karbon 0.26

Sampel yang diperoleh dari proses rheocasting dibagi menjadi dua daerah yaitu daerah A dan B. Daerah A merupakan daerah sekeliling pengaduk dan daerah B merupakan daerah bawah pengaduk (Gambar 4.2).

a. Pengaduk karbon b. Pengaduk baja karbon c. Pengaduk tembaga Gambar 4.2 Coran hasil rheocasting dengan berbagi variasi bahan pengaduk

4.3. Pengaruh Kecepatan Putar Terhadap Struktur Mikro

Struktur mikro hasil proses rheocasting dapat ditunjukkan pada Gambar 4.3. Gambar 4.3 memperlihatkan struktur mikro yang terbentuk berbentuk globular dan sebagian terlihat rosete. Struktur mikro yang terbentuk pada awal proses pengecoran berbentuk dendritik. Dendritik ini akan terpotong oleh gaya pengadukan yang diberikan pada proses rheocasting. Tahap awal pertumbuhannya potongan tersebut akan tumbuh menjadi dendrit. Dengan di berikan gaya geser diberikan selama proses rheocasting maka pembekuan dendrit

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22

menjadi tidak sempurna dan tumbuh menjadi bentuk rosete. Dengan laju pendinginan yang lambat dan laju regangan gesernya besar maka bentuk rosete

akan berubah menjadi globular (Fleming, 1991).

Gambar 4.3 Struktur mikro rheocasting variasi kecepatan putar dan bahan pengaduk. (Lebih jelasnya lihat di lampiran )

BAHAN

PENGADUK BAGIAN

VARIASI KECEPATAN PUTAR (RPM)

100 150 200 KARBON

A

B

BAJA KARBON

A

B

TEMBAGA

A

B

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23

Pada kecepatan putar rendah n = 100 rpm selain terbentuk struktur globular juga ditemukan struktur rosete di daerah B. Hal ini disebabkan daerah B berada di bawah pengaduk sehingga mengalami laju regangan geser yang lebih rendah dibandingkan di daerah A. Laju regangan geser yang rendah tidak mampu mengubah struktur rosete menjadi struktur globular. Gambar struktur mikro pada masing-masing variasi kecepatan putar ditunjukkan Gambar 4.3.

Kecepatan putar yang meningkat akan menghasilkan struktur mikro yang memiliki faktor bentuk semakin bulat, karena semakin besar kecepatan putar yang diberikan akan memberikan gaya geser dan laju regangan yang semakin besar. Hal ini membuktikan bahwa semakin besar laju regangan geser maka struktur dendrit yang terputus akan berubah menjadi semakin globular seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.4.

a. Daerah sekeliling pengaduk b. Daerah bawah pengaduk Gambar 4.4 Grafik faktor bentuk dengan variasi kecepatan putar

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24

4.4 Pengaruh bahan pengaduk terhadap faktor bentuk dan ukuran butir

Penggunaan material batang pengaduk yang berbeda berpengaruh terhadap kemampuan penyerapan panas sehingga berpengaruh terhadap hasil rheocasting. Penyererapan panas pada proses rheocasting ini berpengaruh pada laju pendinginan logam cair dan lamanya pengadukan. Bahan yang memiliki

kondukitivitas thermal rendah akan memberikan waktu pengadukan lebih lama karena laju pendinginan yang lambat (Martines dan Flemings, 2003).

Pengaduk yang memiliki kondukitivitas thermal yang rendah akan lebih lambat menyerap panas daripada bahan pengaduk yang memiliki kondukitivitas thermal yang tinggi, sehingga pengadukan berlangsung lebih lama (Martines dan Flemings, 2003). Hasil proses rheocasting menggunakan kecepatan pengadukan yang sama dan divariasikan dengan bahan pengaduk yang berbeda dapat dilihat pada Gamber 4.5. Gambar 4.5 menunjukan bahan pengaduk karbon menghasilkan faktor bentuk yang lebih besar dibanding bahan yang lain.

Karbon memiliki kondukitivitas thermal yang kecil sehingga laju pendinginannya lambat, hal ini menyebabkan proses pengadukan berlangsung lebih lama yang membuat globularisasi lebih sempurna dibanding hasil

rheocasting yang menggunakan bahan pengaduk baja dan tembaga yang memiliki kondukitivitas thermal lebih tinggi. Faktor bentuk maksimal 0,666 dihasilkan dari

rheocasting yang menggunakan bahan pengaduk karbon pada kecepatan putar 200 rpm pada daerah A. Sedangkan faktor bentuk minimal 0,487 pada daerah B dihasilkan dari pengadukan dengan kecepatan 100 rpm yang menggunakan bahan pengaduk tembaga.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25

a. Daerah sekeliling pengaduk b. Daerah bawah pengaduk

Gambar 4.5 Grafik nilai kebulatan, variasi kecepatan putar dan bahan pengaduk

Sifat kondukitivitas thermal yang dimiliki tiap variasi bahan batang pengaduk berbeda-beda. Hal ini akan menyebabkan kemampuan menyerap panas yang akan berbeda, sehingga logam cair mengalami laju pendinginan yang berbeda pula. Laju pendinginan yang cepat ini menghasilkan ukuran butir α (Al)

primer yang kecil karena waktu pertumbuhan butir sedikit (Flemings, M.C, 1991). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan pengaduk karbon memiliki laju pendinginan yang paling kecil diantara bahan pengaduk karbon dan tembaga. Hal ini ditunjukkan pada tabel 4.2.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dokumen terkait