Bab ini memberikan kesimpulan akhir dari penelitian yang telah dilakukan, keterbatasan penelitian, dan saran-saran untuk penelitian selanjutnya.
16 BAB II
TELAAH PUSTAKA
Dalam bab telaah pustaka ini dijabarkan pembahasan mengenai topik penelitian dari berbagai sumber pustaka secara spesifik. Bab ini berisi tiga subbab, yaitu landasan teori dan penelitian terdahulu, kerangka pemikiran teoretis, serta hipotesis penelitian.
Landasan teori dan penelitian terdahulu memberikan gambaran sejauh mana penelitian mengenai topik ini telah dilakukan. Subbab ini menjelaskan berbagai sudut pandang mengenai topik penelitian.
Kerangka pemikiran teoretis merangkum variabel-variabel penelitian dalam bentuk skema. Skema ini menunjukkan arah hubungan antara variabel-variabel penelitian. Variabel yang tergambar dalam skema ini meliputi variabel-variabel dependen, variabel independen, dan variabel kontrol.
Dari berbagai pengembangan teori dan penelitian-penelitian terdahulu, dapat ditarik sebuah kesimpulan sementara mengenai topik yang dibahas dalam penelitian. Kesimpulan sementara ini dinyatakan dalam hipotesis penelitian.
2.1 Landasan Teori dan Penelitian Terdahulu
Teori yang mendasari penelitian ini adalah teori trade-off dan teori pecking
order. Kedua teori ini merupakan teori yang menjelaskan hubungan antara pilihan
struktur modal dengan kinerja perusahaan. Kedua teori tersebut memiliki asumsinya masing-masing, sehingga mengakibatkan terjadinya pertentangan hasil
17
dalam penelitian-penelitian mengenai pengaruh struktur modal terhadap kinerja perusahaan.
2.1.1 Teori Trade-off
Teori trade-off menjelaskan bahwa perusahaan menentukan tingkat utang
yang optimal dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat dari pendanaan utang (Fama dan French, 2002). Analisis trade-off ini diawali dengan asumsi pendanaan
hanya dengan ekuitas, kemudian dilakukan pengamatan terhadap perubahan nilai seiring tergantikannya ekuitas dengan utang secara progresif. Penggunaan utang sebagai sumber pendanaan memiliki manfaat dalam meningkatkan nilai perusahaan hingga titik tertentu (Basyaib, 2007).
Trade-off menggambarkan suatu pengorbanan yang harus dilakukan
untuk mendapatkan suatu hal yang lain. Pengorbanan di sini berarti kehilangan arus kas untuk membayar biaya yang timbul dari pendanaan utang. Sebaliknya, hal yang didapatkan atau yang ditukar dengan pengorbanan tersebut adalah manfaat dari pendanaan utang.
Dengan pendanaan utang, perusahaan dapat memperoleh manfaat dari penghematan pajak (Modigliani dan Miller, 1963). Tarif pajak yang progresif mengakibatkan semakin tinggi laba suatu perusahaan, maka semakin tinggi pula jumlah pajak yang harus dibayarkannya. Utang membuat perusahaan memiliki kewajiban untuk membayar beban bunga setiap periode. Beban bunga adalah salah satu item pengurang laba kena pajak. Semakin tinggi beban bunga maka jumlah laba kena pajak akan semakin rendah. Oleh karena laba yang berfungsi sebagai dasar pengenaan pajak ini jumlahnya lebih rendah, maka jumlah pajak
18
yang harus dibayarkan oleh perusahaan pun menjadi lebih rendah. Dengan demikian, laba bersih perusahaan menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, apabila perusahaan tidak melakukan pendanaan utang, perusahaan tidak memiliki beban bunga yang berfungsi sebagai tax shield. Hal tersebut mengakibatkan perusahaan
membayar beban pajak dalam jumlah yang sangat besar, sehingga mengurangi laba perusahaan secara signifikan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, pendanaan utang memiliki manfaat yang lebih besar daripada biayanya. Dengan demikian, perusahaan dengan tingkat utang yang lebih tinggi dalam struktur modalnya akan menghasilkan kinerja yang lebih tinggi pula.
2.1.2 Teori Pecking Order
Teori kedua yang menjelaskan hubungan antara tingkat utang dan kinerja perusahaan adalah teori pecking order. Teori pecking order menyatakan bahwa
perusahaan memiliki tingkatan prioritas sumber pendanaan. Pertama, perusahaan akan lebih memilih untuk mendanai investasinya dengan laba ditahan. Apabila laba ditahan tidak mencukupi, barulah perusahaan akan melakukan pendanaan dari utang sebagai prioritas kedua dan penerbitan saham sebagai prioritas terakhir (Myers, 1984).
Laba ditahan menjadi pilihan pertama perusahaan karena pendanaan ini dianggap paling tidak berisiko dibandingkan utang atau penerbitan saham. Pendanaan dengan laba ditahan tidak menimbulkan kewajiban bagi perusahaan untuk membayar beban bunga atau membayar dividen. Dengan demikian, keuntungan perusahaan dapat dinikmati secara utuh oleh pemilik perusahaan.
19
Berikutnya, pendanaan utang lebih diminati perusahaan daripada penerbitan saham karena tidak menimbulkan campur tangan pihak luar dalam pengambilan keputusan internal, atau dengan kata lain, kreditor tidak memiliki hak suara untuk mempengaruhi kebijakan manajer. Selain itu, biaya penerbitan utang lebih rendah apabila dibandingkan dengan biaya penerbitan saham. Pendanaan utang juga tidak mengharuskan perusahaan berbagi keuntungan dengan pihak lain. Kewajiban perusahaan kepada kreditor hanya sebatas beban bunga dan pelunasan utang.
Penerbitan saham menjadi alternatif terakhir untuk pendanaan perusahaan karena beberapa alasan. Dengan penerbitan saham, pemilik perusahaan harus memberikan sebagian hak kepemilikannya kepada pihak lain. Hal tersebut menyebabkan adanya campur tangan pihak lain dan kewajiban untuk berbagi keuntungan sesuai dengan proporsi kepemilikan saham perusahaan. Selain itu, biaya penerbitan saham juga dinilai lebih mahal dibandingkan dengan biaya penerbitan utang (Myers, 1984).
Menurut teori pecking order, perusahaan dengan kinerja keuangan yang
lebih baik menggunakan lebih sedikit utang dalam struktur modalnya. Pendanaan utang memiliki risiko yang cukup tinggi, yaitu kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan karena ketidakmampuan perusahaan dalam membayar beban bunga yang tinggi. Perusahaan dengan tingkat utang yang tinggi dalam struktur modalnya memiliki kemungkinan kesulitan keuangan yang tinggi pula, sehingga dapat berdampak buruk bagi kinerja perusahaan.
20
2.1.3 Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan atau pengembalian atas sumber daya yang diinvestasikan di dalamnya. Pengembalian atas investasi modal merupakan indikator penting atas kekuatan perusahaan dalam jangka panjang (Subramanyam dan Wild, 2010). Perusahaan melakukan evaluasi kinerja di setiap akhir periode akuntansi. Kinerja perusahaan yang meningkat dari periode ke periode menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki prospek masa depan yang baik.
Kinerja perusahaan diukur dengan menggunakan rasio profitabilitas. Rasio profitabilitas dihitung menggunakan ukuran ringkasan utama dari laporan laba rugi (laba dan penjualan) dan neraca (aset dan ekuitas). Rasio profitabilitas diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu rasio profitabilitas dalam kaitannya dengan penjualan dan rasio profitabilitas dalam kaitannya dengan investasi (Husnan 1992). Berkaitan dengan penjualan, rasio profitabilitas dapat diukur dengan Gross Profit Margin (GPM), Operating Profit Margin (OPM), dan Net
Profit Margin (NPM). GPM menunjukkan rasio laba kotor terhadap penjualan.
Berkaitan dengan biaya pokok produksi, GPM berguna untuk menganalisis efisiensi biaya pada bagian produksi. Semakin tinggi rasio GPM menunjukkan bahwa laba kotor perusahaan tinggi, disebabkan oleh biaya pokok produksi yang semakin efisien. Sebaliknya, apabila GPM bernilai negatif maka mengindikasikan bahwa terjadi pemborosan di bagian produksi. OPM menunjukkan rasio laba operasi terhadap penjualan. OPM berguna untuk menganalisis apakah perusahaan
21
masih bisa going concern atau tidak. Apabila nilai GPM positif sedangkan nilai
OPM negatif, maka mengindikasikan bahwa beban operasi yang ditanggung perusahaan lebih besar dari laba yang dihasilkannya. Dengan kondisi yang demikian, sangat sulit bagi perusahaan untuk tetap mempertahankan aktivitas operasinya. NPM menunjukkan rasio laba bersih terhadap penjualan. NPM berkaitan dengan kebijakan pendanaan perusahaan. Apabila nilai OPM positif sementara nilai NPM negatif, maka mengindikasikan bahwa terjadi kesalahan dalam penentuan kebijakan perusahaan sehingga menimbulkan biaya modal yang tinggi dan menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Berikutnya, berkaitan dengan investasi, rasio profitabilitas dapat diukur dengan Return on Asset (ROA) dan
Return on Equity (ROE). ROA menunjukkan rasio laba bersih terhadap total aset.
ROA berguna untuk mengetahui tingkat keuntungan yang didapatkan perusahaan dari aset yang dimilikinya. Sementara ROE menunjukkan rasio laba bersih terhadap total ekuitas. ROE berguna untuk mengetahui tingkat pengembalian bagi pemegang saham atas modal yang diinvestasikannya (Subramanyam dan Wild, 2010).
2.1.4 Struktur Modal
Struktur modal mengacu pada sumber pendanaan perusahaan (Subramanyam dan Wild, 2010). Menurut Asnawi dan Wijaya (2005), struktur modal merupakan kombinasi antara berbagai komponen pada sisi kanan neraca, yaitu utang dan ekuitas. Saat memperoleh pendanaan, perusahaan akan menginvestasikannya pada berbagai aset yang digunakan untuk mendukung kegiatan operasional perusahaan, sehingga perusahaan dapat menghasilkan
22
keuntungan lebih. Setiap sumber pendanaan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Oleh karena itu, manajer harus mengkombinasikan berbagai sumber pendanaan tersebut untuk memperoleh struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal adalah struktur modal yang dapat memaksimalkan keuntungan perusahaan.
Menurut Djohanputro (2008), sumber pendanaan perusahaan yang berasal dari ekuitas dapat berupa laba ditahan dan penerbitan saham. Laba ditahan merupakan sumber dana yang paling aman. Namun, laba ditahan jumlahnya terbatas sehingga seringkali tidak mencukupi untuk pembiayaan investasi perusahaan. Pendanaan ekuitas lainnya adalah dengan penerbitan saham perusahaan. Pendanaan eksternal dengan penerbitan saham ini menyebabkan sebagian hak kepemilikan perusahaan berpindah ke tangan pihak lain. Di samping itu, penerbitan saham juga membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan biaya utang. Namun demikian, salah satu keuntungan dari penerbitan saham adalah perusahaan tidak perlu membayar dividen ketika sedang mengalami kerugian. Berbeda dengan pendanaan utang yang tetap mewajibkan perusahaan untuk membayar beban bunga, tidak peduli kondisi perusahaan sedang untung atau rugi.
Sumber pendanaan utang dapat berasal dari utang jangka pendek dan utang jangka panjang. Utang jangka pendek adalah utang yang waktu jatuh temponya kurang dari satu tahun. Sementara utang jangka panjang adalah utang yang waktu jatuh temponya lebih dari satu tahun. Menurut Subramanyam dan
23
Wild (2010), utang merupakan sumber pendanaan yang lebih disukai daripada penerbitan saham karena dua alasan:
1. Bunga atas sebagian besar utang jumlahnya tetap, dan jika bunga lebih kecil daripada pengembalian atas aset operasi bersih, selisih pengembalian tersebut akan menjadi keuntungan bagi investor ekuitas.
2. Bunga merupakan beban yang dapat mengurangi pajak, sedangkan dividen tidak.
Dengan tambahan dana dari utang, perusahaan dapat menjadi lebih produktif sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Namun demikian, utang juga harus diimbangi dengan produktivitas yang baik. Sebab jika tidak, perusahaan dapat mengalami kesulitan keuangan karena jumlah utang yang harus dibayar berikut dengan bunganya melampaui jumlah laba yang dihasilkan perusahaan.
Tingkat utang perusahaan dinyatakan dengan rasio leverage. Rasio
leverage meliputi Debt to Equity Ratio (DER) dan Debt to Asset Ratio (DAR).
DER merupakan rasio total utang terhadap total ekuitas. DER menunjukkan seberapa besar utang perusahaan dijamin oleh ekuitas pemilik. Sedangkan DAR merupakan rasio total utang terhadap total aset. DAR menunjukkan seberapa besar aset perusahaan didanai oleh utang (Husnan, 1992). Semakin tinggi rasio leverage
mengindikasikan bahwa semakin tinggi beban yang ditanggung perusahaan, sehingga semakin tinggi pula risiko yang ditanggungnya.
24
2.1.5 Penelitian Terdahulu
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menguji hubungan antara tingkat utang dan kinerja perusahaan. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan positif antara tingkat utang dan kinerja perusahaan, diantarannya adalah Modigliani dan Miller, 1963; Roden dan Lewellen, 1995; serta Kyereboah dan Coleman, 2007. Sementara itu, sejumlah penelitian lain menunjukkan hubungan negatif antara tingkat utang dan kinerja perusahaan, diantaranya adalah Majumdar dan Chibber 1999; Gleason et al., 2000; Zeitun dan Tian, 2007; serta Yazdanfar
dan Ohman, 2014.
Modigliani dan Miller (1958) melakukan sebuah studi di Amerika yang menyatakan bahwa struktur modal tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Penelitian ini berdasarkan pada asumsi pasar modal sempurna yang tidak ada di dunia nyata. Pada tahun 1963, Modigliani dan Miller melakukan sebuah studi koreksi. Asumsi dilonggarkan dengan mempertimbangkan adanya pajak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat utang berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, dikarenakan adanya tax shield.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Roden dan Lewellen (1995). Penelitian ini menguji pengaruh tingkat utang terhadap profitabilitas perusahaan. Ditemukan pengaruh yang positif antara tingkat utang terhadap profitabilitas. Begitu pula halnya pada penelitian Kyereboah dan Coleman (2007), yang menyatakan bahwa leverage berpengaruh positif terhadap ROA dan ROE.
Hubungan negatif antara tingkat utang dan kinerja perusahaan ditemukan pada penelitian Majumdar dan Chibber (1999), yang menyatakan bahwa tingkat
25
utang berpengaruh negatif terhadap marjin laba perusahaan. Gleason et al. (2000)
serta Yazdanfar dan Ohman (2014) juga menemukan bahwa tingkat utang berpengaruh negatif terhadap ROA.
Penelitian lain meguji pengaruh tingkat utang terhadap kinerja perusahaan secara terpisah antara utang jangka pendek, utang jangka panjang, dan total utang. Abor (2005) menyatakan bahwa rasio utang jangka pendek dan rasio total utang berpengaruh positif terhadap ROE, sementara rasio utang jangka panjang berpengaruh negatif terhadap ROE.
Pada tahun 2007, Abor kembali melakukan pengujian hubungan antara struktur modal dan kinerja pada perusahaan skala kecil dan menengah di Ghana dan Afrika Selatan. Pengujian pengaruh tingkat utang terhadap Gross Profit
Margin (GPM) di Ghana dan Afrika Selatan menyatakan bahwa utang jangka
pendek, total utang, dan utang dagang berpengaruh negatif terhadap GPM, sedangkan utang jangka panjang berpengaruh positif terhadap GPM. Pengujian pengaruh tingkat utang terhadap ROA di Ghana menyatakan bahwa utang jangka pendek, utang jangka panjang, total utang, dan utang dagang berpengaruh negatif terhadap ROA. Pengujian pengaruh tingkat utang terhadap ROA di Afrika Selatan menyatakan bahwa utang jangka pendek dan utang dagang berpengaruh positif terhadap ROA, sedangkan utang jangka panjang dan total utang berpengaruh negatif terhadap ROA. Terakhir, pengujian pengaruh tingkat utang terhadap
Market to Book Value (MBV) di Afrika Selatan menunjukkan bahwa utang jangka
pendek dan utang dagang berpengaruh positif terhadap MBV, sedangkan utang jangka panjang dan total utang berpengaruh negatif terhadap MBV.
26
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Peneliti Metode Analisis Variabel Hasil Modigliani dan Miller (1958) Regresi berganda Variabel dependen: nilai perusahaan. Variabel independen: struktur modal.
Struktur modal tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Modigliani dan Miller (1963) Regresi berganda Variabel dependen: nilai perusahaan. Variabel independen: tingkat utang.
Tingkat utang berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Roden dan Lewellen (1995) Regresi berganda Variabel dependen: profitabilitas. Variabel independen: tingkat utang
Tingkat utang berpengaruh positif terhadap profitabilitas. Majumdar dan Chibber (1999) Regresi berganda Variabel dependen: marjin laba. Variabel independen: tingkat utang
Tingkat utang berpengaruh negatif terhadap marjin laba.
Gleason et al. (2000) Regresi berganda Variabel dependen: ROA. Variabel independen: tingkat utang
Tingkat utang berpengaruh negatif terhadap ROA.
Abor (2005) Regresi berganda
Variabel dependen: ROE.
Variabel independen: Utang jangka pendek, utang jangka panjang, dan total utang.
Utang jangka pendek dan total utang berpengaruh positif terhadap ROE, sedangkan utang jangka panjang berpengaruh negatif terhadap ROE.
27 Peneliti Metode Analisis Variabel Hasil Abor (2007) Regresi berganda Variabel dependen: GPM, ROA, dan
Market to Book Value
(MBV)
Variabel independen: Utang jangka pendek, utang jangka panjang, total utang, dan utang dagang.
- Utang jangka pendek, total utang, dan utang dagang berpengaruh negatif terhadap GPM, sedangkan utang jangka panjang berpengaruh positif terhadap GPM (Ghana dan Afrika Selatan).
- Utang jangka pendek, utang jangka panjang, total utang, dan utang dagang berpengaruh negatif terhadap ROA (Ghana).
- Utang jangka pendek dan utang dagang
berpengaruh positif terhadap ROA,
sedangkan utang jangka panjang dan total utang berpengaruh negatif terhadap ROA (Afrika Selatan).
- Utang jangka pendek dan utang dagang
berpengaruh positif terhadap MBV,
sedangkan utang jangka panjang dan total utang berpengaruh negatif terhadap MBV (Afrika Selatan). Zeitun dan Tian (2007) Regresi berganda Variabel dependen: ROA dan MBV. Variabel independen: tingkat utang
Tingkat utang berpengaruh negatif terhadap ROA dan MBV. Kyereboah dan Coleman (2007) Regresi berganda Variabel dependen: ROA dan ROE. Variabel independen:
leverage
Leverage berpengaruh positif terhadap ROA dan ROE
28 Peneliti Metode Analisis Variabel Hasil Ebaid (2009) Regresi berganda Variabel dependen: ROA, ROE, dan GPM. Variabel independen: Utang jangka pendek, utang jangka panjang, dan total utang.
- Utang jangka pendek dan total utang berpengaruh negatif terhadap ROA, sedangkan pengaruh utang jangka panjang tidak signifikan. - Tingkat utang tidak
berpengaruh signifikan terhadap ROE dan GPM. Yazdanfar dan Ohman (2014) Regresi berganda Variabel dependen: ROA. Variabel independen: tingkat utang.
Tingkat utang berpengaruh negatif terhadap ROA.
2.2 Kerangka Pemikiran Teoretis
Dengan melihat hasil penelitian terdahulu mengenai pengaruh struktur modal terhadap kinerja perusahaan yang kontradiktif, maka penelitian ini perlu dilakukan untuk menguji kembali hubungan antara struktur modal dan kinerja perusahaan. Struktur modal sebagai variabel independen dalam penelitian ini diukur dengan tingkat utang perusahaan. Tingkat utang perusahaan yang diukur dalam penelitian ini meliputi rasio utang jangka pendek terhadap total aset (
Short-term Debt / STD), rasio utang jangka panjang terhadap total aset (Long-term Debt
/ LTD), dan rasio total utang terhadap total aset (Total Debt / TTD). Sementara
itu, kinerja perusahaan sebagai variabel dependen dalam penelitian ini diukur dengan Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE), dan Net Profit Margin
(NPM). Penelitian ini juga menyertakan satu variabel kontrol yaitu ukuran
29
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Teoretis
2.3 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan berdasarkan pada pembahasan teori struktur modal yang telah dilakukan di subbab sebelumnya, yaitu teori
trade-off dan teori pecking order. Penelitian ini dilakukan dengan tiga model, mengacu
pada penelitian Ebaid (2009). Model pertama menguji pengaruh tingkat utang jangka pendek terhadap kinerja perusahaan, model kedua menguji pengaruh tingkat utang jangka panjang terhadap kinerja perusahaan, dan model ketiga menguji pengaruh tingkat total utang terhadap kinerja perusahaan. Pengembangan hipotesis dalam penelitian ini disesuaikan dengan ketiga model yang digunakan.
VARIABEL INDEPENDEN STRUKTUR MODAL Short-term Debt (STD) Total Debt (TTD) Long-term Debt (LTD) VARIABEL DEPENDEN KINERJA PERUSAHAAN VARIABEL KONTROL UKURAN PERUSAHAAN (SIZE) H2 H3 H1
30
2.3.1 Pengaruh Tingkat Utang Jangka Pendek terhadap Kinerja Perusahaan.
Kewajiban jangka pendek merupakan kewajiban yang diharapkan akan dilunasi dalam waktu yang relatif pendek, biasanya satu tahun. Kewajiban jangka pendek dapat timbul dari aktivitas operasi dan aktivitas pendanaan. Kewajiban jangka pendek yang timbul dari aktivitas operasi meliputi utang usaha, pendapatan diterima di muka, utang gaji, utang pajak, dan beban operasi akrual lainnya. Kewajiban jangka pendek yang timbul dari aktivitas pendanaan meliputi kredit jangka pendek, utang bunga, serta bagian dari utang jangka panjang yang telah jatuh tempo.
Utang jangka pendek umumnya digunakan untuk mendanai aset lancar dan memerlukan penggunaan aset lancar dalam pelunasannya. Aset lancar meliputi kas dan aset lain yang bisa dikonversi menjadi kas atau digunakan oleh perusahaan dalam kurun waktu satu tahun. Aset yang termasuk dalam kelompok aset lancar antara lain kas, piutang, persediaan, beban dibayar di muka, dan surat berharga yang jatuh tempo dalam waktu satu tahun (Subramanyam dan Wild, 2010). Apabila perusahaan tidak bisa melunasi kewajiban jangka pendeknya, maka kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban jangka panjangnya akan dipertanyakan, dan kelangsungan hidup perusahaan pun diragukan.
Teori struktur modal memiliki beberapa pandangan yang berbeda mengenai pengaruh tingkat utang terhadap kinerja perusahaan. Teori trade off
menjelaskan bahwa tingkat utang berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Pendanaan utang diharapkan dapat meningkatkan kapasitas produksi
31
perusahaan dan dapat memberikan manfaat penghematan pajak. Sebaliknya, teori
pecking order menjelaskan bahwa tingkat utang berpengaruh negatif terhadap
kinerja perusahaan karena risiko yang dibawanya.
Penelitian Abor (2005) menunjukkan bahwa tingkat utang jangka pendek berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Hal ini disebabkan karena tingkat beban bunga untuk utang jangka pendek relatif kecil sehingga tidak membebani perusahaan. Sementara itu, Ebaid (2009) menyatakan bahwa tingkat utang jangka pendek berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan. Dari uraian di atas, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1: Tingkat utang jangka pendek berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
2.3.2 Pengaruh Tingkat Utang Jangka Panjang terhadap Kinerja Perusahaan.
Kewajiban jangka panjang merupakan kewajiban yang jangka waktu pelunasannya lebih dari satu tahun. Kewajiban jangka panjang meliputi kredit jangka panjang, utang obligasi, utang hipotik, utang wesel, atau utang sewa. Utang jangka panjang umumnya digunakan untuk membiayai aset tetap, seperti pengadaan gedung, mesin, dan peralatan (Malik, 2010).
Utang jangka panjang memiliki manfaat dan juga risiko yang lebih besar dibandingkan dengan utang jangka pendek. Waktu jatuh tempo pelunasan yang panjang memberikan kelonggaran bagi perusahaan dalam memanfaatkan sumber dana tersebut untuk menghasilkan keuntungan lebih. Dengan demikian, utang jangka panjang dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Namun di sisi lain, utang
32
jangka panjang memiliki tingkat bunga yang relatif lebih tinggi. Tingkat bunga yang tinggi dapat mengakibatkan perusahaan mengalami kesulitan dalam pelunasannya, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan. Apabila terjadi terus-menerus, hal ini dapat berakibat pada kebangkrutan.
Penelitian Abor (2005) menunjukkan bahwa tingkat utang jangka panjang berpengaruh negatif terhadap kinerja perusahaan. Hal ini disebabkan karena tingkat beban bunga untuk utang jangka panjang relatif tinggi sehingga menjadi beban bagi perusahaan, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan kinerja perusahaan. Sementara itu, Abor (2007) menunjukkan bahwa tingkat utang jangka panjang berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan yang diukur dengan
Gross Profit Margin (GPM). Hal ini disebabkan karena utang jangka panjang
dapat digunakan untuk meningkatkan penjualan, sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan. Dari uraian di atas, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H2: Tingkat utang jangka panjang berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
2.3.3 Pengaruh Tingkat Total Utang terhadap Kinerja Perusahaan.