• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bab ini, penulis menguraikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.

commit to user

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Negara Hukum

Menurut Soepomo bahwa konsepsi negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk menentang konsep absolutisme yang telah melahirkan negara kekuasaan. Pada pokoknya kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi agar jangan memperlakukan rakyat dengan sewenang- wenang. Pembatasan itu dilakukan dengan jalan adanya supremasi hukum, yaitu bahwa segala tindakan penguasa tidak boleh sekehendak hatinya, tetapi harus berdasar dan berakar pada hukum dan undang-undang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada pembagian kekuasaan negara, khususnya kekuasaan yudikatif harus dipisahkan dari penguasa (Mukhtie Fadjar, 2004:7).

Secara umum, dalam teori negara hukum, terdiri dari konsep negara hukum dalam arti rechtsstaat, dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of law. Konsep rechtsstaat dikembangkan di negara Eropa Kontinental sedangkan konsep rule of law dikembangkan di negara Anglo Saxon.

Konsep rechtstaat bersumber dari rasio manusia, liberalistik individualistik, humanisme yang antroprosentrik, serta pemisahan negara dan agama secara mutlak-ateisme dimungkinkan. Adapun unsur-unsur utama menurut F.J. Stahl terdapat empat unsur dari negara hukum, yakni (Sirajudin dan Zulkarnain, 2006:15) :

a. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia; b. Adanya pembagian kekuasaan;

c. Pemerintah haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan d. Adanya peradilan administrasi.

Dari keempat unsur utama negara hukum tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut Stahl negara hukum bertujuan untuk melindungi

commit to user

hak-hak asasi warga negaranya dengan cara membatasi dan mengawasi gerak langkah dan kekuasaan negara dengan undang-undang. Jadi hanya mengedepankan aspek formalnya saja, sehingga hak asasi dan kebebasan individu terlindungi secara formal. Hasilnya hanya membawa persamaan dalam aspek hukum dan politik saja. Konsep Stahl ini merupakan penyempurnaan terhadap konsep negara hukum liberal (Ni‟matul Huda, 2011:7).

Konsep rechsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria rechsstaat dan kriteria the rule of law.

Konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum konstinental yang disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law. Karakteristik civil law adalah administratif, sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Adapun ciri-ciri rechsstaat adalah:

a. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;

b. Adanya pembagian kekuasaan negara; dan

c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (Ni‟matul Huda, 2011:10).

Ciri di atas dengan jelas menunjukkan bahwa ide sentral daripada rechsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya undang-undang dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan persamaan. Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindarkan penumpukan kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung kepada penyalahgunaan kekuasaan, berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan (Ni‟matul Huda,2011:11).

commit to user

A.V. Dicey menjelaskan bahwa konsep rule of law sumbernya sama dengan konsep rechstaat. Adapun unsur-unsur utamanya mencakup:

a. Supremasi aturan-aturan hukum. Tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang dalam arti bahwa seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum; b. Kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalil ini berlaku, baik bagi

mereka rakyat kebanyakan maupun pejabat; dan

c. Terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan (Sirajudin dan Zulkarnain, 2006:16).

Dicey mengemukakan bahwa supremasi hukum berarti warga negara diatur oleh hukum, dan dengan hukum itu sendiri seseorang dapat dihukum karena melanggar hukum, bukan dihukum karena sesuatu alasan yang lain. Tentang persamaan di depan hukum, semua kelompok masyarakat memiliki ketertundukan yang sama di mata hukum umum negara, yang dijalankan oleh peradilan umum. The rule of law tidak mengenal adanya pengecualian bagi pejabat pemerintah atau orang-orang tertentu terhadap hukum yang mengatur warga negara secara keseluruhan, seperti halnya pada pengadilan administratif (droit administratif). Kaitannya dengan due process of law, jaminan atas hak-hak pribadi adalah hasil dari keputusan pengadilan, dan parlemen sebagai simbolisasi raja dan demos-warga, khusus mengenai mekanisme pelaksanaan kekuasaan. Jadi konstitusi yang berisikan jaminan hak-hak pribadi warga negara merupakan hasil dari hukum umum negara (Wahyudi Djafar, 2010:153).

Menurut Wirjono Projodikoro, negara hukum berarti suatu negara yang didalam wilayahnya:

a. semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari Pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku;

commit to user

b. semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku (Ni‟matul Huda,2011:11).

International Commission of Jurists, dalam konferensinya di Bangkok, pada tahun 1965, mencirikan konsepsi negara hukum adalah yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.

a. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi juga mengatur prosedur untuk mengakses perlindungan atas hak-hak tersebut;

b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak; c. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat; d. Kebebasan untuk berserikat dan beroposisi; dan

e. Pendidikan kewarganegaraan (Wahyudi Djafar, 2010:153-154).

Sementara Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara hukum klasik dan negara hukum materiel atau negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu negara hukum materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya (Jimmly Asshiddiqie, 2006:153).

Sedangkan Wolfgang Friedman, dalam Law is a Changing Society, membagi negara hukum dalam pengertian the rule of law menjadi negara hukum formal dan negara hukum material. Secara formal the rule of law berarti organized public power, atau kekuasaan umum yang terorganisasi. Sedangkan dalam arti material, the rule of law didefinisikan sebagai rule of just law, artinya dalam konsep the rule of law, di dalamnya tercakup pula keadilan yang sifatnya lebih substantif dan esensial, tidak sekedar memfungsikan bunyi dari undang-undang tertulis (Wahyudi Djafar. 2010:154).

Menurut Jimmly Asshiddiqie (2006:154-161) yang mendasarkan pada beragam pemikiran tentang negara hukum, menyebutkan terdapat dua belas prinsip pokok yang merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum

commit to user

(the rule of law ataupun rechtsstaat). Adapun prinsip-prinsip pokok negara hukum sebagai berikut.

a. Supremasi hukum (supremacy of law)

Adanya pengakuan nomatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi.

b. Persamaan dalam hukum (equality before the law)

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. c. Asas legalitas (due process of law)

Setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis.

d. Pembatasan kekuasaan

Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal bertujuan agar kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

e. Organ-organ eksekutif independen

Independensi lembaga dianggap sangat penting untuk menjamin prinsip negara hukum dan demokrasi.

f. Peradilan yang bebas dan tidak memihak

Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).

commit to user

Setiap negara hukum harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara oleh pejabat administrasi negara.

h. Peradilan Tata Negara (constitutional court)

Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional court) ini adalah upaya memperkuat sistem checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi. i. Perlindungan hak asasi manusia

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting dari suatu negara hukum yang demokratis.

j. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat)

Dianut dan dipraktekannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.

k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat)

Cita-cita hukum, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara hukum (nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.

l. Transparansi dan kontrol sosial

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat

commit to user

dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran.

Indonesia adalah negara hukum, hal ini secara normatif dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara dan penduduknya harus didasarkan atau sesuai dengan hukum. Dengan ketentuan demikian dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan. Hukumlah yang memegang kekuasaan dan memimpin penyelenggaraan negara, sebagaimana konsep nomocratie, yaitu kekuasaan dijalankan oleh hukum (nomos).

Mahfud MD menyatakan bahwa sejak perubahan tahap ketiga UUD 1945, konstitusi kita sudah mengarahkan agar penegakan hukum di Indonesia secara prinsip menganut secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi rechsstaat dan the rule of law sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan menegakkan keadilan substansial (Ni‟matul Huda, 2011:18).

Penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, serta pernyataan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka, mengandung spirit untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan, menegakkan prinsip persamaan di depan hukum dan melindungi campur tangan baik yang bersifat internal maupun eksternal terhadap kekuasaan kehakiman dalam rangka mencegah dan menghindari kegagalan pencapaian keadilan (Ni‟matul Huda, 2011:18).

Secara mendasar, gerakan reformasi harus diinterpretasikan sebagai suatu upaya yang terorganisir dan sistematis dari bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi, yang disepanjang kekuasaan rezim Orde Baru terlanjur telah dimanipulasi dan diselewengkan. Berdasarkan interpretasi reformasi tersebut, maka agenda nasional harus difokuskan pada upaya pengembangan yang terus „indeks demokrasi‟ (indices of democracy).

commit to user

Indeks itu dapat dikelompokkan ke dalam empat aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, keberadaan sistem pemiliha umum yang bebas dan adil. Kedua, keberadaan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif. Ketiga, pemajuan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik seluruh warga tanpa kecuali. Keempat, keberadaan masyarakat yang memiliki rasa percaya diri yang penuh (Ni‟matul Huda, 2011:18).

Dalam hubungannya dengan reformasi hukum dalam kerangka empat aspek dasar demokrasi di atas, pemerintah harus secara sistematis menerapkan reformasi yang didasarkan kepada elemen-elemen konsep sistem hukum yaitu; (1) struktur hukum; (2) elemen substansi hukum; (3) elemen budaya hukum. Lawrence M. Friedman menegaskan, bagaimanapun baiknya norma hukum, suatu undang-undang tanpa didukung penegak hukum yang handal dan dipercaya, hukum tidak akan efektif mencapai tujuannya. Hukum dengan norma yang baik dan didukung dengan aparat penegak hukum yang handal dan dipercaya juga akan kurang efektif tanpa didukung budaya hukum masyarakat yang bersangkutan (Ni‟matul Huda, 2011:19).

2. Tinjauan tentang Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balances a. Teori Pemisahan Kekuasaan

Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan trias politica-nya. Trias Politica dari Montesquieu ialah kekuasaan negara yang dibagi atau tegasnya dipisahkan menjadi tiga dan masing-masing kekuasaan dilakukan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, yaitu:

1) Kekuasaan perundang-undangan (legislatif);

2) Kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif); dan 3) Kekuasaan kehakiman (yudikatif) (Soehino, 2000:117).

Sebenarnya, konsep awal mengenai hal ini dapat ditelusuri kembali dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Government” yang

commit to user

berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. Oleh Montesquieu, pemikiran John Locke itu diteruskannya dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasan negara menjadi tiga cabang kekuasaan tersebut. Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan rujukan doktrin separation of power di zaman sesudahnya (Jimmly Asshiddiqie, 2006:15).

Istilah pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula yudikatif hanya dilakukan oleh cabang kekuasaan yudisial. Sehingga pada intinya, satu organ hanya dapat memiliki satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dapat dijalankan oleh satu organ (Jimmly Asshiddiqie, 2006:16).

Untuk membatasi pengertian separation of powers itu, G. Marshall dalam bukunya “Constitutional Theory” yang dikutip oleh Jimmly Asshiddiqie (2006:21-22), membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan kekuasaan ke dalam 5 (lima) aspek, yaitu :

1) Differentiation

Doktrin pemisahan kekuasaan itu bersifat membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial. Legislator membuat aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan pengadilan menilai konflik atau perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan aturan itu dan menerapkan norma aturan itu untuk menyelesaikan konflik atau perselisihan.

commit to user

Doktrin pemisahan kekuasaan menghendaki orang yang menduduki jabatan di lembaga legislatif tidak boleh merangkap pada jabatan di luar cabang legislatif.

3) Isolation, immunity, independence

Doktrin pemisahan kekuasaan menentukan bahwa masing-masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap kegiatan organ yang lain. Dengan demikian, independensi masing-masing cabang kekuasaan dapat terjamin dengan sebaik-baiknya.

4) Checks and balances

Doktrin pemisahan kekuasaan dianggap paling penting adalah adanya prinsip checks and balances, di mana setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Adanya perimbangan yang saling mengendalikan tersebut, diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di masing-masing organ yang bersifat independen itu.

5) Co-ordinate status and lack of accountability

Prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu semua organ atau lembaga negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif dan yudisial mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai hubungan yang bersifat co-ordinatif, tidak bersifat sub-ordinatif satu dengan yang lain.

Konsep pemisahan kekuasaan secara akademis dapat dibedakan antara pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian luas, konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) mencakup pengertian pembagian kekuasaan yang biasa disebut dengan istilah division power (distribution of power). Pemisahan kekuasaan merupakan konsep hubungan yang bersifat horizontal, sedangkan konsep pembagian kekuasaan bersifat vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, dan judikatif. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power)

commit to user

kekuasaan negara dibagikan secara vertikal dalam hubungan “atas-bawah” (Jimmly Asshiddiqie, 2000:1).

Meskipun dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan negara secara murni atas teori Montesquieu yang memisahkan secara tegas antar tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, sejak awal, khusus berkenaan dengan cabang kekuasaan yudikatif sudah dengan tegas ditentukan harus bebas dan merdeka dari pengaruh cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah (http://www.scribd.com/doc/27668229/Ot onomiDaerahDanParlemen-Di-Daerah diakses pada tanggal 20 November 20122 pukul 09:07 WIB).

b. Sistem Checks and Balances

Perubahan Ketiga UUD 1945 telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada, yang disebut dengan mekanisme checks and balances (Maruarar Siahaan, 2008:49).

Checks and balances system adalah sistem dimana orang-orang dalam pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain dalam pemerintahan jika mereka meyakini adanya pelanggaran terhadap hak. Pengawasan (checks) sebagai bagian dari checks and balances adalah suatu langkah maju yang sempurna. Mencapai keseimbangan lebih sulit untuk diwujudkan. Gagasan utama dalam checks and balances adalah upaya untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam cabang-cabang kekuasaan dengan tujuan mencegah dominannya suatu kelompok. Apabila seluruh ketiga cabang kekuasaan tersebut memiliki checks terhadap satu sama lainnya, checks tersebut dipergunakan untuk menyeimbangkan kekuasaan (Djatmiko Anom Husodo, 2010:24).

commit to user

Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya (Ni‟matul Huda, 2007:74-75).

Ketika reformasi membuka pintu bagi dilakukannya amandemen atas UUD 1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah memasukkan sistem checks and balances antara lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan antara Presiden dan DPR, maka dominasi Presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Jika dalam waktu 30 hari sejak disahkan di DPR sebuah RUU belum ditandatangani (disahkan) oleh Presiden, maka RUU tersebut sah sebagai UU dan wajib diundangkan tanpa harus ditandantangani oleh Presiden [Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan]. Dalam hal hubungan antara yudikatif dan legislatif, maka gagasan checks and balances mengumandangkan usul agar lembaga yudisial diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD. Ini pun kemudian diterima dan dituangkan di dalam Pasal 24 yang mengatur bukan pengujian isi (uji materi) saja tetapi juga pengujian prosedur (uji formal). MK menguji UU terhadap UUD, sedangkan MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang di atasnya (Mahfud MD, 2010:68).

3. Tinjauan tentang Independensi Kekuasaan Kehakiman

Doktrin terpenting guna tercapainya independensi kekuasaan kehakiman adalah doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang

commit to user

dalam perkembangan dunia modern tidak berarti pemisahan secara total organ-organ negara, melainkan tercipta melalui sistem checks and balances (Susi Dwi Harijanti, 2008:32).

Kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum yang demoktratis haruslah mandiri dan terlepas dari campur tangan apa pun dan dari mana pun. Montesquieu menekankan pentingnya kekuasaan yudikatif karena kekuasaan kehakiman yang independen akan menjamin kebebasan individu dan hak asasi manusia. Mengenai perlunya pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang-cabang kekuasaan negara lainnya, Montesquieu mengemukakan bahwa,

kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan legislatif, kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembuat hukum. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan eksekutif, hakim bisa menjadi penindas (Sirajudin dan Zulkarnain, 2006:31).

Lebih lanjut oleh Montesquieu menjelaskan pula mengenai independensi peradilan, adalah :

bahwa peradilan tidak lain merupakan mulut undang-undang, sehingga putusan hakim merupakan suatu putusan hukum, bukan dipandang sebagai putusan politik. Putusan pengadilan semata merupakan konkretisasi apa yang dimuat dalam undang-undang, bukan lahir dari tekanan atau lobi politik (Muhammad Nasrun yang dikutip oleh Iriyanto A. Baso Ence, 2008:129).

Independensi peradilan bukanlah sesuatu yang otomatis terjadi karena kekuasaan-kekuasaan di luar pengadilan memiliki potensi mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan. Hal ini terlihat pada pemerintahan di Perancis sebelum revolusi Perancis 1789, yakni peradilan merupakan bagian dari kekuasaan yang absolut. Oleh karena itu, peradilan yang tidak independen sangat berbahaya, karena proses peradilan akan secara mudah dimanipulasi untuk mencegah pengadilan mempertanyakan legalitas tindakan-tindakan illegal atau semena-mena oleh para pelaksana kekuasaan negara (Iriyanto A. Baso Ence, 2008:127).

commit to user

Sementara oleh The International Association of Judges menerangkan mengenai independensi kekuasaan kehakiman yakni:

judicial independence is independence from any external influence on a judge’s decisions in judicial matters, ensuring [for] the citizens impartial trial according to law. This means that the judge must be protected against the possibility of pressure and other influence by the executive and legislative powers of [the] state as well as by the media, business enterprises, passing popular opinion etc. But it also implies guarantees against influence from within the judiciary itself” (Jaan Ginter,2010:109).

Berdasarkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang ada di Negara Amerika Serikat, Charles G. Geyh (2003:159) menjelaskan sebagai berikut:

“Independence” literally means the absence of dependence, which

Dokumen terkait