• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

STRATEGI DAKWAH DALAM MENANGGULANGI DAMPAK NEGATIF GLOBALISASI

A. Ruang Lingkup Dakwah 1. Pengertian Dakwah

Kata dakwah merupakan bentuk masdar dari kata da’a, yad’u, da’watan (dakwah), yang berarti ajakan. Ini merupakan mauzun (yang menyerupai) dari wazan fa’ala, yaf’ulu, fa’lan (tsulatsi mujarad). Memang banyak para pakar yang mendefinisikan tentang dakwah, tetapi pada hakikatnya memiliki maksud yang sama, ajakan.

Secara etimologi, dalam kamus bahasa Arab al-Munawir kata dakwah berarti “doa, seruan, panggilan, ajakan, undangan ataupun permintaan.12 Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dakwah didefinisikan :

“Penyiaran atau propaganda, penyiaran agama dan pengembangannya dikalangan masyarakat, seruan untuk memeluk, mempelajari dan mengamalkan ajaran agama.13

Dalam pengertian yang lebih khusus dakwah berarti mengajak (individu atau kelompok) untuk berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah

12

A. W. Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Lengkap, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), Cet Ke-14, edisi 2, h.407.

13

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1997), Cet.ke 9, h.205.

ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya, serta meninggalkan larang-Nya (amar ma’ruf nahi munkar). Di surat Ali ‘Imron: 104 Allah Swt berfirman:14

 

 

!"

#

$ %&

'

(* +

,-. % / %&

#012

Artinya:

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mereka adalah orang-orang yang beruntung.”(QS. 3: 104)

Dari makna kata dakwah di atas dapat disumpulkan bahwa kata dakwah mengandung unsur panggilan, ajakan atau seruan. Sedangkan secara terminologi, banyak pendapat tentang difinisi dakwah. Muhammad Nasir mendifinisikan dakwah sebagai:

”Usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan dan seluruh umat tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini yang meliputi amar ma’ruf nahi munkar dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya dalam perikehidupan perseorangan, berumah tangga, bermasyarakat dan bernegara. 15

Keterlibatan seorang muslim di dalam gerakan dakwah menjadi suatu keharusan, sesuai dengan potensi yang dimilikinya masing-masing. Dengan

14

Al-Qur’an dan Terjemah, (Saudi Arabiah : Mujamma’ Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush-Haf Asy-Syarif Medinah Munawwarah), hal. 93.

15

demikian menjadi jelas bahwa dakwah merupakan kewajiban yang harus diemban oleh setiap pribadi yang merasa dan mengaku muslim demi terwujudnya kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dakwah memang berintikan pada pengertian mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindarkan diri dari keburukan. Ajakan tersebut dilakukan dengan tujuan tegaknya Islam. Dengan kata lain, dakwah sebenarnya bertujuan untuk menghidupkan atau untuk memberdayakan, sehingga masyarakat memperoleh momentum untuk meningkatkan taraf hidup sejahtera, serta menimbulkan suasana yang kondusif bagi tegaknya nilai-nilai Islam.16

Memahami dakwah bukan hanya mengajak orang lain untuk selalu mengikuti larangan dan perintah Allah. Akan tetapi adalah ajakan pada kebaikan, dengan tulisan, lisan dan keteladanan diri. Dakwah merupakan nilai kepedulian dan kesadaran dan merupakan pekerjaan mulia yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Dakwah akan semangkin memiliki makna bila dimulai dari diri sendiri. Bila sudah dimulai orang lain pun akan melihat kenyataan jalan hidupnya, karena mana mungkin orang lain berubah kalau dalam diri da’i tidak ada tindakan nyata.

Dalam kerangka epistemologinya, dakwah memiliki sistem. Sistem ini saling berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya, yaitu: da’i, mad’u, materi dakwah, media dakwah, metode dakwah, dan tujuan dakwah. Jika aktivitas dakwah ingin berjalan dengan baik, maka keenam sistem tersebut harus ada (seiring berjalan). Apabila salah satu diantaranya tidak ada, otomatis aktivitas

16

Yunan, Dakwah dalam Perspektif Otonomi Daerah, Risalah dakwah, Penerbit Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, vol. 5 No.1 Juni 2003 h. 16.

dakwah tidak akan berjalan dengan baik. Di era globalisasi, media dakwah yang digunakan sangat memegang peran penting. Oleh karena itu, media dakwah harus menjadi salah satu unsur yang harus diperhatikan.

Hamzah Ya’qub membagi media dakwah menjadi lima, yaitu: media lisan, tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak. Sedangkan DR. Moh. Ali aziz membagi media menjadi dua, yaitu: media tradisional dan modern (elektronik).17 Media tradisonal ini cukup banyak, salah satu diantarnya adalah wayang. Media wayang ini dahulu digunakan oleh para Walisongo saat berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.

Di era tradisional dakwah biasa dilakukan di tempat ritual keagamaan (mesjid atau surau) atau majlis ta’lim dengan media seadanya. Seiring dengan perkembangan zaman, media dakwah lebih variatif dan bisa dilakukan dimana saja (fleksibel). Tentunya dengan bantuan media yang canggih, yang dapat meminimalisir hambatan-hambatan efektivitas dakwah.

Sementara media modern (elektronik) ramai digunakan di millenium ke tiga, yaitu di zaman sekarang ini. Media modern ini berupa radio, film, televisi, internet, dan semacamnya. Dakwah sebagai komunikasi keagamaan dihadapkan kepada perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi yang semakin canggih, memerlukan adaptasi terhadap kemajuan tersebut.18

Kalau di era tradisional dakwah hanya dilakukan di tempat tertentu, maka saat ini dakwah bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. Karena media massa sudah mampu mengatasi salah satu faktor penghambat aktivitas dakwah (jarak,

17

Dr. Moh. Ali Aziz M.Ag,”Ilmu Dakwah”, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. Ke-1, h. 120. 18

Dr. M. Bahri Ghazali, “Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah,” (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1997), Cet. Ke-1, h. 33.

ruang, dan waktu). Media massa yang dimaksud adalah televisi. Kemampuannya melipat jarak, ruang, dan waktu ditambah dengan kekuatan audio-visual membuat aktivitas dakwah menjadi lebih masif dan komprehensif.

2. Hukum Dakwah Islam

Dalam sejarah Islam, yang boleh kita katakan sejarah perkembangan dakwah dalam agama Islam semenjak zaman Nabi Muhammad Saw19, Ismail Yakub mengatakan dakwah itu sudah menjadi tugas umat Islam sejak turun surat An-Nahl ayat 12520 yang berbunyi:

234

( 5

&

&

"

7

8%! +

91 :

;

-%

'

(<

,-=8 /

&

3

> ? @4

7

,-=8 /

AB !%&

#0C 2

Artinya:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. 16: 125)

19 TK. Ismail Yakub, “Dakwah Islam dan Kepastian Hukum : Aturan Permainan Itu Sudah Ada” (Yogyakarta: Prima Duta, 1983), Cet. Ke-1, hal. 101.

20

Kata ud’u yang artinya diterjemahkan dengan “serulah” atau “ajaklah” adalah fiil amr, yang menurut aturan ushul fiqih menjadi wajib hukumnya selama belum ada ketentuan lainnya yang dapat menggantikan hukum tersebut. Sebagaimana dijelaskan Prof. H.M. Toha Yahya Omar, MA:

”…setiap fiil amr menjadi perintah wajib yang harus dipatuhi selama tidak ada dalil-dalil lain yang memalingkannya dari wajib itu kepada “sunnat” dan lainnya.”21

Dari beberapa kutipan dalil di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa dakwah merupakan kewajiban bagi setiap individu untuk menyerukan kebenaran agama Islam dan mengajak masyarakat di manapun mereka berada menuju jalan yang diridhai oleh Allah SWT (siroth al-mustakim). M. Natsir mengatakan bahwa:

“Islam sebagai agama mempunyai dua dimensi, yaitu keyakinan atau aqidah dan sesuatu yang diamalkan atau alamiah. Amal perbuatan tersebut merupakan perpanjangan dan implementasi dari aqidah itu sendiri. Islam adalah agama risalah untuk manusia keseluruhan. Umat Islam adalah pendukung amanah untuk melaksanakan risalah dengan dakwah baik kepada umat yang sama maupun kepada umat yang lain, ataupun selaku perseorangan maupun kolektif, di tempat manapun ia berada, menurut kemampuan masing-masing.”22

Kewajiban berdakwah ini tentunya bukan tanpa maksud dan tujuan. Menurut Sayyid Qutub, bahwa tujuan dakwah adalah mengenal Allah SWT dan mengesakan-Nya (tauhid)23 bila manusia memiliki landasan tauhid yang kuat, maka implementasi dari sikap tauhid tersebut adalah bagaimana mengaplikasikan ke dalam aspek tata kehidupan.

21

H. M. Toha Yahya Omar, ”Islam dan Dakwah,” (Jakarta: PT. AL-MAWARDI PRIMA,2004), Cet. Ke-1, hal. 71.

22

M. Natsir, “Fiqhudh Dakwah,” (Jakarta: Media Dakwah, 1983), Cet. Ke-4, h. 110. 23

3. Unsur-unsur Dakwah

Dalam kerangka epistemologinya, dakwah memiliki sistem. Sistem ini saling berkesinambungan antara satu dengan yang lainnya dan tidak bisa terpisahkan, yaitu: da’i, mad’u, materi dakwah, media dakwah, metode dakwah, dan tujuan dakwah. Jika aktivitas dakwah ingin berjalan dengan baik, maka keenam sistem tersebut harus ada (seiring berjalan). Apabila salah satu diantaranya tidak ada, otomatis aktivitas dakwah tidak akan berjalan dengan baik. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

a. Subjek Dakwah (Da’i)

Da’i sebagai subjek dakwah memegang peranan peting untuk mencapai hasil dakwah yang dilakukannya.24 Seorang da’i harus memiliki wawasan dan keilmuan yang mumpuni ia bisa menjadi sandaran umat berkonsultasi dan bertanya tentang persoalan agama dan umum.

Kewajiban seorang muslim melakukan dakwah tergantung pada tingkat kemampuan dan kadar iman masing-masing. Selain itu, kesadaran seorang muslim juga merupakan persoalan yang harus ditanamkan dalam jiwa masing-masing bahwa mereka memiliki kewajiban menegakkan amar ma’ruf nahi munkar agar kemaksiatan tidak meraja lela.

b. Objek Dakwah (mad’u)

Untuk mencapi hasil yang maksimal seorang da’i harus memahami objek dakwah yang ia hadapi. Jika seorang da’i sudah mengenal mad’u yang dihadapi, maka ia bisa menyiasati penerapan strategi dakwah yang

24

Zaini Muhtaram, Dasar-dasar Manajemen Dakwah (Yogyakarta : al-Amin Press dan IFKA, 1996), h. 14.

tepat untuk menghadapi mad’u-nya tersebut. Hal ini perlu diperhatikan mengingat mad’u sangat heterogen.

c. Materi Dakwah

Pada dasarnya materi dakwah hanyalah berlandaskan Al-Qur’an dan As-sunah sebagai sumber utamannya. Keduanya merupakan warisan Nabi Muhammad SAW yang harus disampaikan kepada seluruh umat manusia sebagai pedoman hidup (way of life) menuju jalan yang diridoi oleh Allah SWT, yaitu jalan keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat. Karena segala aspek kehidupan ada di dalamnya; petunjuk, pedoman, sejarah serta prisip-prinsip baik mengangkat masalah keyakinan, peribadatan, pergaulan, akhlak dan lain-lain.25

Dalam al-quran dan sunnah materi dakwah jelas sangat luas karena menyangkut hal-hal yang dibutuhkan dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Namun, demikian ada lima materi pokok yang dapat dijadikan garis besar dakwah tersebut, yaitu: (1.) masalah kehidupan, (2.) masalah kemanusiaan, (3.) masalah harta benda/kekayaan, (4.) masalah ilmu pengetahuan, (5.) masalah aqidah dan ilmu pengetahuan.

Berdasarkan keluasan ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadits tersebut, maka seorang da’i dituntut untuk bisa memilah dan menentukan topik tertentu yang relevan dengan objek dakwahnya agar apa yang disampaikan dapat dimengerti dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Penyampaian pesan dakwah ini tentunya harus

25

Slamet Muhaimin Abda, Prinsip-prinsip Metodologi Dakwah, Cet I (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), h.45.

dikemas dengan baik. Sebab pengemasan pesan dakwah akan membantu seorang mad’u untuk meresapi dan mengamalkannya.

d. Metode Dakwah

Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata thariq.26 Apabila kita artikan secara bebas, metode adalah cara yang telah di atur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud. Metode ini memiliki peran penting bagi setiap umat manusia yang ingin melaksanakan segala bentuk aktivitas keseharian untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Jika kita pahami seksama, maka dari kutipan ayat 125 surat an-Nahl di atas dapat kita perinci bahwa metode dakwah ada tiga, yaitu:

1) Bil Hikmah

Secara etimologi al-hikmah mempunyai arti : al-adl (keadilan), al -hilmu (kesabaran), al-Nubuwah yang dapat mencegah seseorang dari kebodohan, mencegah seseorang dari kerusakan dan kehancuran, setiap perkataan yang cocok dengan al-haq (kebenaran), juga meletakkan sesuatu pada tempatnya.27

Secara terminologi, hikmah adalah memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah, materi yang disampaikan tidak memberatkan mad’u, tidak membebani sesuatu yang memberatkan sebelum jiwa menerimannya, banyak sekali cara yang di tempuh untuk mengajak mereka sesuai dengan keadaannya, tidak perlu mengebu-gebu dan

26

Hasanudin, Hukum Dakwah, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya 1996), Cet Ke-1 h. 35. 27

Muhammad Husain Abdullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Quran, cet-I (Jakarta : Lentera, 1997), h. 40.

bernafsu, karena semua itu melampaui batas hikmah.28 Metode hikmah ini biasa memanfaatkan cara melalui; komparatif, kisah, perumpamaan, sumpah, tasyir (wisata).

Dalam khazanah ilmu komunikasi, hikmah menyangkut apa yang disebut sebagai frame of reference, field of reference dan field of experience, yakni situasi total yang mempengaruhi sikap komunikatop terhadap sikap komunikan (objek dakwah).29 Dengan kata lain, hikmah yaitu memperhatikan situasi dan kondisi sasaran dakwah dengan menitik beratkan pada kemampuan mereka, sehingga di dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam selanjutnya, mereka tidak lagi merasa terpaksa atau keberatan.

2) Mauidzah al-Hasanah

Ali Mustafa Yakqub menyatakan bahwa Mauidzah Hasanah ialah ucapan yang berisi nasehat-nasehat yang baik dimana ia dapat bermanfaat bagi siapa saja yang mendengarkannya, seperti pesan dakwah yang memuaskan sehingga mad’u dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh subjek dakwah.30 Metode ini biasanya menggunakan bahasa yang relevan, nasehat, wasiat, kabar gembira dan tauladan. Metode ini

28

Ghazali Darus Salam, ”Dakwah Yang Bijak,” (Jakarta: Lentera), Cet. Ke - II, h. 26. 29

Toto Tasmoro, ”Komunikasi Dakwah,” (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987), h. 37. 30

Ali Mustafa Yakqub, Sejarah Metode Dakwah Nabi, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1997), h. 16.

diaplikasikan dalam bentuk tabsyir (mengajak dengan kabar gembira) dan tanzir (mengajak dengan peringatan dan ancaman.

Sebagai subjek dakwah, seorang da’i harus mampu menyesuaikan dan mengarahkan pesan dakwahnya berdasarkan mad’u yang sedang dihadapi, agar tujuan dakwah sebagai ikhtiar untuk membumikan ajaran Islam ke dalam kehidupan pribadi dapat terwujud.

3) Mujadalah

Bentuk aktivitas dakwah sangat variatif. Karena itu dakwah bisa dilakukan: melalui lisan (bil lisan), tulisan (bil qalam), maupun perbuatan (bil hal).31 Masing-masing cara ini memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri sebagai pendekatan dalam aktivitas berdakwah. Dan menurut hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa dakwah pun bisa dilakukan cukup dengan hati. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dijelaskan sebagai berikut:

#$%&ی ﻝ () ﻥ+& ! #$%&ی ﻝ (, -. /

0+123 ﻝ ! "!

(+4ی5

)

&

-(

Artinya:

“Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran, maka rubahlah dengan tanganmu, maka jika kamu tidak mampu, maka dengan perkataan, dan jika tidak mampu, maka dengan hatimu. Dan yang demikian itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Metode mujadalah ini bisa kita masukkan ke dalam metode bil lisan. Implementasi bentuk dakwah al-mujadalah bisa berupa seminar,

31

J. Suyuti Pulungan, “Universalisme Islam,” (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2002), Cet. Ke-1, hal. 65.

diskusi interaktif, forum tanya jawab, saresehan, dan semacamnya. Metode ini biasanya sering digunakan oleh para intelektual Islam dalam membahas sebuah permasalahan. Karena metode ini bisa menghasilkan sebuah sitesis yang matang dan memiliki sifat mengakomodir dan mengklarifikasi. Metode ini biasanya diaplikasikan dalam bentuk al-asilah dan ajwibah.

Selain ketiga metode di atas, ada juga metode dakwah bil harakah, yaitu, dakwah pergerakan.32 Artinya metode dakwah ini lebih menekankan pada aspek tindakan (aksi) daripada wacana (teoritisasi). Orientasi metode dakwah ini menurut al-Qaththani sebagaimana dikutip oleh Dr. A. Ilyas Ismail, M. A adalah pengembangan terhadap masyarakat Islam dengan melakukan reformasi dan perbaikan (islah) dalam segi-segi kehidupan manusia mulai dari perbaikan individu, keluarga, pemerintah dan negara. e. Media Dakwah

Kalau kita melihat kamus komunikasi, maka kita akan menemukan kata media. Dalam istilah komunikasi, “media berarti sarana yang digunakan oleh komunikator sebagai saluran untuk menyampikan pesan kepada komunikan, apabila komunikan jauh tempatnya, banyak jumlahnya atau keduanya. Media juga mempunyai bentuk dan jenis yang beranekaragam.33

32

Ilyas Ismail, “Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,” (Jakarta: Penamadani, 2006), Cet. Ke-1, h. 12.

33

Ghazali BC.TT, ”Kamus Istilah Komunikasi,(Bandung:Djambatan, 1992)H, 1992), h. .227.

Media merupan salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang da’i saat berdakwah. Karena pemilihan media memiliki peran penting dalam menentukan bagaimana hasil aktivitas dakwah yang dilakukan seorang da’i. Media dakwah dapat memudahkan para juru dakwah untuk menyampaikan pesan pada khalayak atau komunikannya dengan cepat dan pesan yang disampaikan dapat tersebar dengan luas.34

Hamzah Ya’qub membagi media dakwah menjadi lima, yaitu: media lisan, tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak. Sedangkan DR. Moh. Ali aziz membagi media menjadi dua, yaitu: media tradisional dan modern (elektronik).35 Media tradisonal ini cukup banyak, salah satu diantarnya adalah wayang. Media wayang ini dahulu digunakan oleh para Walisongo saat berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam di Indonesia, khususnya di pulau Jawa.

Di era tradisional dakwah biasa dilakukan di tempat ritual keagamaan (mesjid atau surau) atau majlis ta’lim dengan media seadanya. Seiring dengan perkembangan zaman, media dakwah lebih variatif dan bisa dilakukan dimana saja (fleksibel). Tentunya dengan bantuan media yang canggih, yang dapat meminimalisir hambatan-hambatan efektivitas dakwah.

Sementara media modern (elektronik) ramai digunakan di millenium ke tiga, yaitu di zaman sekarang ini. Media modern ini berupa radio, film, televisi, internet, dan semacamnya. Dakwah sebagai

34

M. Bahri Ghazali, ”Dakwah Komunikasi, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1997), Cet. Ke - I h. 12.

35

komunikasi keagamaan dihadapkan kepada perkembangan dan kemajuan teknologi komunikasi yang semakin canggih, memerlukan adaptasi terhadap kemajuan tersebut.36

Kalau di era tradisional dakwah hanya dilakukan di tempat tertentu, maka saat ini dakwah bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. Karena media massa sudah mampu mengatasi salah satu faktor penghambat aktivitas dakwah (jarak, ruang, dan waktu). Media massa yang dimaksud adalah televisi. Kemampuannya melipat jarak, ruang, dan waktu ditambah dengan kekuatan audio-visual membuat aktivitas dakwah menjadi lebih masif dan komprehensif.

Pendekatan yang digunakan oleh para da’i merupakan kunci sukses diterimanya Islam di masyarakat (Indonesia), yaitu melebur pada kebiasaan masyarakat sekitar (kebudayaan). Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Walisongo dalam menyebarkan Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Dalam bukunya yang berjudul “Mengantar Da’i Sebagai Pendamping Masyarakat,”

Khamami Zada mengatakan:

“Dakwah Islam yang dilakukan para da’i masa awal-awal Islam masuk ke Indonesia berhasil menaklukkan hati masyarakat Indonesia yang waktu itu menganut agama Kepercayaan, Hindu dan Budha. Keberhasilan para da’i di abad 16-17 itu lebih banyak disebabkan oleh cara dakwah mereka yang menunjukkan hubungan yang dialogis, akomodatif, dan adaptif terhadap masyarakat setempat. Inilah yang kemudian menyebabkan Islam mudah diteterima oleh masyarakat Indonesia.”37

36

M. Bahri Ghazali, “Dakwah Komunikatif: Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah,” (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1997), Cet. Ke-1, h. 33.

37

Mujtaba Hamdi, “Dakwah Transpormatif,” (Jakarta: PP LAKPESDAM NU, 2006), Cet. Ke-1, h. 2.

4. Strategi Dakwah

Bicara mengenai strategi dakwah sangat erat kaitannya dengan managemen. Karna orientasi kedua term atau istilah tersebut sama-sama mengarah pada sebuah keberhasilan planning yang sudah ditetapkan oleh individu maupun oraganisasi. Pengertian managemen strategi adalah suatu proses kegiatan managerial yang berdasar dan menyeluruh dalam mendayagunakan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi sesuai dengan misi dan visi yang telah ditentukan.

Sedangkan pengertian dakwah sebagaimana dijelaskan terdahulu secara singkat adalah upaya yang dilakukan individu maupun kelompok (kolektif, lembaga, organisasi). Dalam merealisasikan ajaran Islam di tengah-tengah manusia melalui metode-metode tertentu dengan tujuan agar terciptanya kepribadian dan masyarakat yang menerapkan ajaran Islam secara utuh (kaffah) dalam mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, dakwah sebagai proses kegiatan yang universal dan tidak hanya sekedar bentuk kegiatan ritual keagamaan, tetapi meliputi segala aktivitas hidup manusia, bahkan dakwah juga dituntut untuk dapat menjadi problem solving bagi persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat, juga mengadopsi istilah managemen dan strategi untuk menjelaskan rangkaian kegiatan dakwah yang dapat membantu pencapaian tujuan dakwah itu sendiri.

Memperhatikan definisi tentang managemen strategi dan dakwah sebagaimana telah diuraikan di muka, maka dapat kita pahami bahwa pengertian

managemen strategi dakwah adalah suatu proses managerial yang berdasar dan menyeluruh dalam mendayagunakan sumber daya dakwah untuk mencapai tujuan dakwah sesuai dengan misi dan visi dakwah yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan segala kemampuan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman yang ada, baik dari factor sumber daya internal maupun lingkungan eksternal.

Dakwah yang berfungsi sebgai aktivitas untuk membumikan Islam sebagai agama yang universal, sempurna, dan komprehensif, senantiasa dihadapkan pada masalah-masalah yang internal dan eksternal yang berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan dakwah sering dijumpai adanya kekuranngan, kesalahan, kejanggalan, dan kendala dalam komponen-komponen dakwah, seperti: da’i yang kurang menguasai materi, objek, media dakwah, materi yang tidak sesuai dengan objek dakwah, terbatasnya dana, kurang tepatnya penggunaan metode dakwah, minimnya perencanaan dan koordinasi dalam pengelolaan maupun pelaksanaan dakwah, dan lain sebagainya.38

Sebab itu, setiap pelaksana dakwah harus selalu sadar dan waspada terhadap perkembangan yang terjadi di masyarakat dewasa ini sehingga ia lebih sensitif dan peka terhadap lingkungan sekitar. Pelaksanaan dakwah yang meliputi kegiatan yang begitu kompleks, hanya akan berjalan efektif dan efesien bila dilaksanakan oleh tenaga-tenaga pelaksana yang secara kualitatif dan kuantitatif

38

Rafiuddin dan Maman Abd. Jalil, “Prinsip dan Strategi Dakwah,” (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke- 1, h. 43.

mampu melaksanakan tugasnya dapat diorganisir dan dikombinasikan sedemikian rupa dengan unsur-unsur lain yang diperlukan.39

Ini berarti bahwa tenaga-tenaga pelaksana dakwah yang bermacam-macam

Dokumen terkait