• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisikan kesimpulan penelitian yang dirumuskan dari hasil analisis data, kemudian dilanjutkan dengan saran yang direkomendasikan berdasarkan kesimpulan penelitian yang diperoleh.

23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Urbanisasi dan Masalah yang Ditimbulkan 2.1.1 Pengertian Urbanisasi

Secara sederhana urbanisasi dapat diartikan sebagai peristiwa berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan. Dengan demikian, urbanisasi menjadi faktor yang mempengaruhi dinamika penduduk. Di satu sisi urbanisasi menjadi salah satu faktor yang mengurangi jumlah penduduk perdesaan atau setidaknya dapat menahan laju pertumbuhan penduduk perdesaan. Sedangkan di sisi lain, urbanisasi menjadi salah satu faktor yang menambah jumlah penduduk perkotaan atau meningkatkan laju pertumbuhan penduduk perkotaan.

Ningsih (2002: 25) mengemukakan, urbanisasi bukanlah sekadar perpindahan penduduk dari desa ke kota. Lebih dari itu, urbanisasi merupakan suatu gejala atau suatu proses yang sifatnya multi aspek. Dengan kata lain, urbanisasi tidak hanya bersentuhan dengan aspek ekonomi, seperti upaya untuk memperoleh pekerjaan yang selanjutnya mengakibatkan perolehan pendapatan yang lebih tinggi yang dilakukan masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Lebih dari itu, urbanisasi juga bersentuhan dengan aspek budaya, dimana masyarakat memiliki kecenderungan lebih memilih kota sebagai tempat tinggalnya, dan menganggap desa sebagai lingkungan yang membosankan serta dianggap dapat menghambat dinamika dalam hidupnya.

Firman (dalam LIPI, 2014: 15) mengemukakan, urbanisasi merupakan sebuah transformasi hidup dari perdesaan menjadi hidup dengan cara industri di daerah perkotaan. Artinya, urbanisasi bukan sekadar perpindahan penduduk, melainkan juga

24 perubahan pola hidup dari agraris ke industri. Oleh karena itu, pelaku urbanisasi dituntut mampu melakukan pola hidup yang lebih modern. Tanpa perubahan pola hidup tersebut maka urbanisasi akan menimbulkan masalah bukan saja bagi lingkungan dan pemerintah, melainkan juga bagi pelaku urbanisasi itu sendiri.

Robert dan Hohmann (dalam LIPI, 2014: 17) mengemukakan, laju urbanisasi yang tinggi akan menjadikan pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi pula. Sehubungan dengan hal ini, maka dikenal konsep tingkat urbanisasi suatu wilayah. Adapun tingkat urbanisasi suatu wilayah ini dilihat berdasarkan proporsi penduduk perkotaan (urban population) terhadap penduduk keseluruhan. Sedangkan perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan dapat dikategorikan sebagai migrasi penduduk maupun mobilitas penduduk. Migrasi penduduk adalah perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan dengan tujuan untuk tinggal menetap di daerah perkotaan. Sedangkan mobilitas penduduk berarti perpindahan penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan yang hanya bersifat sementara atau bukan untuk menetap.

2.1.2 Faktor-faktor Penyebab Urbanisasi

Urbanisasi tentu merupakan suatu pilihan bagi masyarakat yang menjadi pelaku urbanisasi tersebut, atau yang secara umum dikenal dengan kaum urbanis. Hidayat (dalam Kompas, 2012) mengemukakan, untuk menimbulkan niat untuk melakukan migrasi dari desa ke kota, biasanya seseorang harus mendapatkan pengaruh yang kuat, yang antara lain adalah dalam bentuk:

a) Ajakan

b) Informasi media massa c) Impian pribadi

25 d) Terdesak kebutuhan ekonomi

Dalam kajiannya tentang masalah kesejahteraan masyarakat perkotaan The World Bank (2004: 29) mengemukakan bahwa fenomena urbanisasi terjadi sebagai produk faktor pendorong dan faktor penarik. Adapun faktor pendorong bersumber dan terdapat di daerah asal, yakni di desa-desa, yaitu:

1) Lahan pertanian yang semakin sempit

2) Merasa tidak cocok lagi dengan budaya tempat asalnya di desa-desa 3) Menganggur sebagai dampak sempitnya lapangan pekerjaan di desa-desa 4) Terbatasnya sarana dan prasarana di desa-desa

5) Diusir dari daerah asal atau dari desanya 6) Memiliki impian kuat menjadi orang kaya

Sedangkan faktor penarik berasal dari kota-kota sebagai alternatif tujuan migrasi, yaitu:

1) Kehidupan kota yang lebih modern

2) Sarana dan prasarana kota yang lebih baik dan lebih lengkap 3) Banyak lapangan pekerjaan di kota

4) Pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi yang ada di kota jauh lebih baik dibandingkan dengan yang ada di desa

Firman (dalam LIPI, 2014: 32) mengemukakan bahwa urbanisasi di Indonesia terutama dipicu oleh pembangunan ekonomi, terutama pada sektor industri dan jasa, yang cenderung berlokasi pada kota-kota besar. Akibatnya muncullah fenomena daerah perkotaan dengan segala kemegahannya, dimana kota-kota menjadi pusat pemerintahan, pusat industri, dan pusat perdagangan dengan 7 (tujuh) karakteristik sebagai berikut:

26 2) Adanya pembagian fungsi antara kota inti dan wilayah sekitarnya yang

semakin proporsional

3) Perubahan dari satu pusat ke banyak pusat wilayah perkotaan;

4) Perubahan penggunaan lahan pada pusat kota dan konversi lahan pertanian di luar kawasan perkotaan;

5) Pembangunan infrastruktur skala besar;

6) Peningkatan besar pada produksi serta terakhir pertumbuhan penglaju (commuters) dan

7) Peningkatan waktu bagi para penglaju.

Sofyan (2014: 32) mengemukakan, bahwapokok persoalan kenapa urbanisasi masih saja terjadi ialah tidak meratanya pembagian kue pembangunan. Mustahil disangka hingga sekarang pembangunan tetap sentralistis, terpusat di kota-kota besar. Penduduk desa terdorong pindah ke kota, sebab desa sulit menjadi sandaran hidup. Sebaliknya, kota yang kian gemerlap karena pembangunan menumpuk di sana, amat kuat menarik minat ubanisator. Kuat pemikiran bahwa sepahit-pahitnya hidup di kota, masih lebih manis ketimbang hidup di desa karena banyak peluang pekerjaan yang tersedia.

Sofyan menambahkan, bahwa urbanisasi jelas bukan tanggung jawab pemerintahan kota semata. Urbanisasi adalah bentuk kegagalan negara dalam menyebarkan kue pembangunan dan mengikis kesenjangan. Selama kesenjangan antar wilayah terus berlangsung, selama itu pula urbanisasi akan terus terjadi. Selama Jakarta masih menjadi pusat kembang gula, selama itu pula orang desa berbondong-bondong dan berkerumun untuk mencicipinya.

Hasil penelitian LIPI (2014: 203) antara lain menyimpulkan, dalam beberapa tahun terakhir, urbanisasi ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya,

27 Makassar dan Medan makin berkurang. Orang pulang lebaran lebih banyak dari kota-kota menengah yang sekarang menjadi Ibukota Kabupaten – Kota, seperti Kendari, Pekalongan, Lampung, Tangerang, Jember dan sebagainya. Dalam jangka panjang sebenarnya tidak perlu dikawatirkan karena proses desentralisasi dengan sendirinya akan memberi kesempatan daerah terus berkembang.

Faktor lain yang membuat orang desa mencari pekerjaan di kota, karena mereka tidak memiliki lahan pertanian. Menurut data resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) 80% tanah kita yang berupa sawah, dan terutama hutan, aset negara itu dikuasai oleh 10% oleh orang-orang kaya di kota. Akibatnya ekonomi sawah tidak jalan, dan semakin hari semakin berkurang. Selain itu juga tidak ada perkembangan signifikan dalam pembangunan desa. Karena itu, disamping otonomi daerah diperkuat, sekarang desa diberi hak dan kepercayaan untuk membangun desanya sendiri.

2.1.3 Masalah yang Ditimbulkan Urbanisasi

Berbicara tentang urbanisasi pada umumnya akan menyentuh masalah-masalah yang ditimbulkan. Artinya, urbanisasi dibicarakan dan dibahas banyak kalangan justru karena banyaknya masalah yang ditimbulkannya. Andaikan urbanisasi tidak menimbulkan banyak masalah, maka urbanisasi tidak akan dibicarakan banyak orang. Berbicara tentang masalah urbanisasi, biasanya berkisar pada masalah yang dihadapi pemerintah maupun masyarakat perkotaan (Sutejo, 2011: 78).

Andiantara (2005: 98) mengemukakan, sejatinya fenomena urbanisasi tidak menjadi masalah serius jika seandainya pertambahan penduduk di kota-kota besar sejalan dengan pertumbuhan ekonomi serta peningkatan jumlah sarana dan prasarana

28 perkotaan. Namun karena pertambahan jumlah penduduk perkotaan tidak sebanding dengan perkembangan ekonomi dan sarana prasarana, maka timbullah dampak negatif dari urbanisasi, yaitu:

1. Kemacetan Lalu Lintas

Pertumbuhan jumlah kendaraan yang sangat cepat (yang diakibatkan oleh semakin bertambahnya jumlah penduduk di kota-kota besar) dan lambatnya pertambahan infrastruktur jalan dan kendaraan umum, membuat arus lalu lintas semakin padat. Terutama ketika masyarakat mulai berangkat kerja dan sekolah pada saat pagi hari dan saat pulang dari aktivitas tersebut ketika sore dan malam hari. Apalagi kendaraan yang melaju pun tidak hanya berasal dari dalam kota tetapi juga dari daerah-daerah di sekitarnya yang hendak beraktivitas di kota-kota besar, sehingga semakin memperparah kemacetan lalu lintas yang ada.

2. Bertambahnya Polusi

Meningkatnya laju urbanisasi juga berakibat pada meningkatnya polusi. Antara lain polusi udara, air, tanah, cahaya, dan suara. Polusi udara, cahaya, dan suara disebabkan oleh tingginya volume kendaraan yang melaju di kota-kota besar, yang mana sebagian dari kendaraan tersebut merupakan kendaraan yang dimiliki oleh para pendatang. Polusi juga berasal dari sampah rumah tangga, industri, bangunan komersial, maupun perkantoran. Baik sampah-sampah yang langsung dibuang ke selokan dan sungai maupun sampah yang ada di tempat pembuangan akhir. Ada pula polusi cahaya yang berasal dari sinar lampu jalan dan papan iklan. Ada beberapa dampak yang ditimbulkan dari polusi-polusi tersebut. Dampak kesehatan yang dirasakan oleh manusia antara lain: gangguan pernafasan, penyakit kulit, mengganggu tidur, kerusakan otak, kerusakan ginjal, dan gangguan pendengaran. Sedangkan dampaknya bagi lingkungan antara lain: mengurangi

29 kualitas air tanah dan permukaan, merusak struktur bangunan, mengganggu kehidupan hewan dan tumbuhan, peningkatan suhu bumi, merusak lapisan ozon, perubahan iklim, merusak ekosistem, menimbulkan bencana alam (banjir, tanah longsor, erosi, kekeringan), serta penurunan hasil tangkapan para nelayan dan penurunan kualitas pertanian. Polusi (yang diakibatkan oleh polusi cahaya) juga menyebabkan terbatasnya daya pandang terhadap objek-objek di luar angkasa. 3. Makin sulitnya Memperoleh Pekerjaan

Derasnya arus urbanisasi yang tak diimbangi dengan kemampuan kota besar dalam menyediakan lapangan pekerjaan formal serta keahlian para pendatang itu sendiri, membuat sebagian pendatang cukup kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang layak. Sehingga sebagian dari mereka menganggur dan yang lainnya hanya bisa memperoleh pekerjaan nonformal dengan penghasilan yang tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Seperti tukang becak, pembantu rumah tangga, pedagang asongan, pedagang kaki lima, pengemis, pengamen, pemulung, gelandangan, dan lain-lain. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang melakukan tindak kriminal yang meresahkan masyarakat. Seperti pencopetan, pencurian, dan perampokan.

4. Berkurangnya Lahan untuk Ruang Terbuka Hijau

Para pendatang ke kota-kota besar ternyata cukup banyak yang mendirikan bangunan-bangunan di pusat kota. Karena sangat banyaknya bangunan yang ada, membuat lahan di pusat kota semakin terbatas sehingga lahan yang digunakan untuk ruang terbuka hijau pun semakin sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Padahal, ruang terbuka hijau sangat berperan dalam menjaga keseimbangan alam di perkotaan. Berbagai macam polusi bisa diredam oleh tanaman-tanaman yang ada. Selain itu, ruang terbuka hijau juga bisa menjadi sarana rekreasi, ajang

30 bersosialisasi, mengurangi penat dan stres, menyejukkan suhu udara, serta mempercantik pemandangan kota.

Rudianto (2013: 65) mengemukakan bahwa urbanisasi telah menimbulkan berbagai persoalan di kota-kota besar di Indonesia, seperti:

a) Tumbuhnya tempat-tempat pemukiman baru

b) Meningkatnya tuna karya, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan

c) Semakin menyempitnya lahan bagi perumahan sehingga muncul rumah-rumah yang tidak memenuhi persyaratan

d) Banyak kawasan dengan lingkungan yang tidak sehat e) Meningkatnya kerawanan sosial dan kriminal

Suheri (2008: 54) mengemukakan bahwa dampak negatif yang ditimbulkan oleh tingginya arus urbanisasi di Indonesia adalah sebagai berikut:

a) Semakin minimnya lahan kosong di daerah perkotaan. Pertambahan penduduk kota yang begitu pesat, sudah sulit diikuti kemampuan daya dukung kotanya. Saat ini, lahan kosong di daerah perkotaan sangat jarang ditemui. ruang untuk tempat tinggal, ruang untuk kelancaran lalu lintas kendaraan, dan tempat parkir sudah sangat minim. Bahkan, lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) pun sudah tidak ada lagi. Lahan kosong yang terdapat di daerah perkotaan telah banyak dimanfaatkan oleh para urban sebagai lahan pemukiman, perdagangan, dan perindustrian yang legal maupun ilegal. Bangunan-bangunan yang didirikan untuk perdagangan maupun perindustrian umumnya dimiliki oleh warga pendatang. Selain itu, para urban yang tidak memiliki tempat tinggal biasanya menggunakan lahan kosong sebagai pemukiman liar mereka. hal ini menyebabkan semakin minimnya lahan kosong di daerah perkotaan.

31 2. Menambah polusi di daerah perkotaan. Masyarakat yang melakukan urbanisasi

baik dengan tujuan mencari pekerjaan maupun untuk memperoleh pendidikan, umumnya memiliki kendaraan. Pertambahan kendaraan bermotor roda dua dan roda empat yang membanjiri kota yang terus menerus, menimbulkan berbagai polusi atau pemcemaran seperti polusi udara dan kebisingan atau polusi suara bagi telinga manusia. Ekologi di daerah kota tidak lagi terdapat keseimbangan yang dapat menjaga keharmonisan lingkungan perkotaan.

3. Penyebab bencana alam. Para urban yang tidak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal biasanya menggunakan lahan kosong di pusat kota maupun di daerah pinggiran Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk mendirikan bangunan liar baik untuk pemukiman maupun lahan berdagang mereka. Hal ini tentunya akan membuat lingkungan tersebut yang seharusnya bermanfaat untuk menyerap air hujan justru menjadi penyebab terjadinya banjir. Daerah Aliran Sungai sudah tidak bisa menampung air hujan lagi.

4. Pencemaran yang bersifat sosial dan ekonomi. Kepergian penduduk desa ke kota untuk mengadu nasib tidaklah menjadi masalah apabila masyarakat mempunyai keterampilan tertentu yang dibutuhkan di kota. Namun, kenyataanya banyak diantara mereka yang datang ke kota tanpa memiliki keterampilan kecuali bertani. Oleh karena itu, sulit bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Mereka terpaksa bekerja sebagai buruh harian, penjaga malam, pembantu rumah tangga, tukang becak, masalah pedagang kaki lima dan pekerjaan lain yang sejenis. Hal ini akhitnya akan meningkatkan jumlah pengangguran di kota yang menimbulkan kemiskinan dan pada akhirnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, orang orang akan nekat melakukan tindak kejahatan seperti mencuri,

32 merampok bahkan membunuh. Ada juga masyarakat yang gagal memperoleh pekerjaan sejenis itu menjadi tunakarya, tunawisma, dan tunasusila

5. Penyebab kemacetan lalu lintas. Padatnya penduduk di kota menyebabkan kemacetan dimana-mana, ditambah lagi arus urbanisasi yang makin bertambah. Para urban yang tidak memiliki tempat tinggal maupun pekerjaan banyak mendirikan pemukiman liar di sekitar jalan, sehingga kota yang awalnya sudah macet bertambah macet. Selain itu tidak sedikit para urban memiliki kendaraan sehingga menambah volum kendaraan di setiap ruas jalan di kota.

6. Merusak tata kota. Pada negara berkembang, kota-kotanya tdiak siap dalam menyediakan perumahan yang layak bagi seluruh populasinya. Apalagi para migran tersebut kebanyakan adalah kaum miskin yang tidak mampu untuk membangun atau membeli perumahan yang layak bagi mereka sendiri. Akibatnya timbul perkampungan kumuh dan liar di tanah-tanah pemerintah. Tata kota suatu daerah tujuan urban bisa mengalami perubahan dengan banyaknya urbanisasi. Urban yang mendirikan pemukiman liar di pusat kota serta gelandangan-gelandangan di jalan-jalan bisa merusak sarana dan prasarana yang telah ada, misalnya trotoar yang seharusnya digunakan oleh pedestrian justru digunakan sebagai tempat tinggal oleh para urban. Hal ini menyebabkan trotoar tersebut menjadi kotor dan rusak sehingga tidak berfungsi lagi.

2.2 Kemiskinan

2.2.1 Pengertian Kemiskinan

Memahami masalah kemiskinan seringkali memang menuntut adanya upaya untuk melakukan pendefinisian dan pengukuran. Sehubungan dengan hal ini, perlu disadari bahwa masalah kemiskinan telah dipelajari oleh berbagai ilmuwan sosial

33 yang berasal dari latar belakang disiplin yang berbeda. Oleh sebab itu, wajar pula apabila kemudian dijumpai berbagai konsep dan cara pengukuran tentang masalah kemiskinan. Dalam konsep ekonomi misalnya, studi masalah kemiskinan akan segera terkait dengan konsep standart hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan. Sementara itu, ilmuwan sosial yang lain tidak ingin berhenti pada konsep-konsep tersebut, melainkan mengkaitkan dengan konsep kelas, stratifikasi sosial, struktur sosial dan bentuk-bentuk diferensiasi sosial yang lain.

Siagian (2012: 2-3) mengemukakan, Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta dimana seseorang atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak sebagai manusia disebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam memaparkannya kita harus lebih dahulu menyatakan fakta yang menggambarkan kondisi kehidupannya, bukan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini harus benar-benar dipahami karena banyak individu maupun keluarga yang sesungguhnya tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi kondisi kehidupannya justru layak sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat, karena mendapat dukungan dari orang lain, seperti keluarga luas. Dalam konteks ini, pihak yang menurut kemampuan sendiri sesungguhnya dipastikan miskin, namun mereka ternyata berada di dalam lingkaran yang memiliki mekanisme penanggulangan kemiskinan tersendiri secara internal, yang juga sering dinamakan dengan mekanisme pertahanan kelompok. Akibatnya, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup tersebut tidak mengakibatkan mereka jatuh ke jurang kemiskinan.

Sementara sebagai suatu proses, kemiskinan merupakan proses menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang atau sekelompok orang sehingga pada gilirannya ia atau kelompok tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya

34 dan tidak pula mampu mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Kata kunci dalam kajian kemiskinan sebagai suatu proses adalah daya dukung. Konsep daya dukung dalam kaitannya dengan kehidupan manusia menunjukkan bahwa kondisi kehidupan yang dihadapi dan sedang dijalani manusia merupakan produk dari proses dimana dalam proses itu terlibat berbagai unsur.

Soetomo (2002: 45) mengemukakan, kemiskinan memiliki beberapa ciri yaitu:

a. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar yaitu pangan, sandang dan papan.

b. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya seperti kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi.

c. Ketiadaan jaminan masa depan yang dikarenakan tidak adanya investasi untuk pendidikan dan keluarga.

d. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. e. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya

alam.

f. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.

g. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

h. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental

i. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial seperti anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil.

35 Friedman (dalam Suharto, 2009: 23) mengemukakan, kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial, yang meliputi :

1. Modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan). 2. Sumber keuangan (pekerjaan, kredit).

3. Organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial).

4. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang dan jasa. 5. Pengetahuan dan ketrampilan.

6. Informasi yang berguna untuk kemajuan hidup.

Selanjutnya Bappenas (2000: 14) mendefinisikan kemiskinan dalam 3 kriteria yaitu :

1. Berdasarkan Kebutuhan Dasar

Suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga, dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum antara lain: pangan, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan dan pedidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Ketidakmampuan ini akan mengakibatkan rendahnya kemampuan fisik dan mental seseorang, keluarga dan masyarakat dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

2. Berdasarkan Pendapatan

Suatu tingkat pendapatan atau pengeluaran seseorang, keluarga dan masyarakat berada di bawah ukuran tertentu (garis kemiskinan). Kemiskinan ini terutama disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset seperti lahan, modal dan kesempatan usaha.

36 Suatu keterbatasan kemampuan dasar seseorang dan keluarga untuk menjalankan fungsi minimal dalam suatu masyarakat. Keterbatasan kemampuan dasar akan menghambat seseorang dan keluarga dalam menikmati hidup yang lebih sehat, maju dan berumur panjang serta memperkecil kesempatan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat dan mengurangi kebebasan dalam menentukan pilihan terbaik bagi kehidupan pribadi.

Dengan menggunakan perspektif yang lebih luas lagi, David Cos (2004) (dalam Suharto, 2009: 28) membagi kemiskinan ke dalam beberapa kelas:

1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan kalah. Pemenang umumnya negara maaju, sedangkan negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas.

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsistem (kemiskinnan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan perdesaan

(kemiskinan akibat peminggiran perdesaan dalam proses pembangunan, kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotan).

3. Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian kejadian lain atau faktor-faktor eksternal diluar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan dan tingginya jumlah penduduk.

4. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak dan kelompok minoritas.

37 2.2.2 Jenis-jenis Kemiskinan

Siagian (2012: 45-65) mengemukakan, dalam membicarakan masalah kemiskinan atau pemiskinan, kita akan menemui beberapa istilah kategoritatif kemiskinan seperti kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan struktural, kemiskinan situsional (natural) dan kemiskinan kultural.

1. Kemiskinan Absolut

Seseorang dapat dikatakan miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum hidupnya untuk memelihara fisiknya agar dapat bekerja penuh dan efisien. Orang yang dalam kondisi ini dikategorikan dalam jenis kemiskinan absolut. Kemiskinan ini sangat ditentukan oleh nutrisi yang ditentukan oleh nutrisi yang dibutuhkan setiap orang. Nutrisi tersebut akan mempengaruhi jumlah kalori yang dibutuhkan terutama untuk dapat bekerja. Di Indonesia garis batas minimum kebutuhan hidup yang ditentukan BPS sebesar 2.100 kalori per tahun.

2. Kemiskinan Relatif

Kemiskinan Relatif muncul jika kondisi seseorang atau sekelompok orang dibandingkan dengan kondisi orang lain. Misalnya, seseorang adalah orang yang sangat kaya di desanya, tetapi setelah dibandingkan dengan orang-orang di kota ternyata seseorang tersebut tergolong miskin atau sebaliknya.

3. Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural lebih menunjuk kepada orang atau sekelompok orang yang telah miskin karena struktur masyarakatnya yang timpang, tidak menguntungkan bagi golongan yang lemah. Mereka tetap miskin atau menjadi miskin bukan karena tidak mau berusaha memperbaiki nasibnya

Dokumen terkait