• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bagian ini diuraikan kesimpulan hukum dari analisa hukum dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis ciptakan sesuai dengan masalah yang dibahas.

BAB II

REGULASI MENGENAI PENYADAPAN BADAN INTELIJEN NEGARA

Seperti diketahui, saat ini di Indonesia, sedikitnya terdapat sembilan undang-undang yang memberikan kewenangan penyadapan kepada instansi penegak hukum, dengan mekanisme dan cara yang berbeda-beda. Kesembilan peraturan perundang-undangan tersebut adalah: (1) Bab XXVII KUHP tentang Kejahatan Jabatan, (2) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (4) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, (5) Perpu Nomor 1 Tahun 20002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disahkan menjadi Undang-undang nomor 15 tahun 2003, (6) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, (7) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (8) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan (9) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pengaturan penyadapan ini penting diatur diatur, karena penyadapan merupakan salah satu cara untuk memperoleh alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Apabila terjadi penyadapan, maka sangat jelas adanya pembatasan atau pengurangan hak dari seseorang yaitu, hak untuk memberikan informasi kepada orang lain atau salaing bertukar informasi dengan orang lain.

Badan Intelijen Negara adalah salah satu lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan berdasarkan pasal 31 Undang-undang nomor 17 tahun 2011. Secara prinsipil, dilihat dari fungsi dan kewenangannya,

lembaga Intelijen Negara sudah sepatutnya diberikan wewenang untuk melakukan intersepsi komunikasi yaitu penyadapan. Penyadapan ini berfungsi untuk memudahkan Negara dalam menyelidiki suatu tidak kejahatan terhadap keamanan Negara. Akan tetapi, penyadapan rentan dengan pelanggaran privasi seseorang. Maka itu, sebenarnya dalam praktik internasional, undang-undang nasional yang mengatur mengenai kewenangan penyadapan bagi lembaga intelijen, harus secara tegas mengatur mengenai hal-hal berikut ini: (1) tindakan intersepsi yang dapat dilakukan, (2) tujuan dalam melakukan intersepsi, (3) kelompok objek dan individu yang dapat dilakukan intersepsi, (4) batas kecurigaan atau bukti permulaan, yang diperlukan untuk membenarkan penggunaan tindakan intersepsi, (5) pengaturan mengenai pembatasan durasi dalam melakukan tindakan intersepsi, (6) prosedur otorisasi perijinan, dan (7) pengawasan serta peninjauan atas tindakan intersepsi yang dilakukan.

Pada bab ini akan dibahas mengenai bagaimana wewenang penyadapan oleh Badan Intelijen Negara itu dan apa saja kejahatan yang dapat dilakukan tindakan penyadapan.

A. Wewenang Mengenai Penyadapan oleh Badan Intelijen Negara.

Penyadapan diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. antara lain adalah Undang-undang Kamnas (Keamanan Nasional), UU Narkotika, UU KPK, UU Kejaksaan, UU Terorisme, UU Kepolisian dan Undang-undang Intelijen Negara.

Peraturan terkait dengan kewenangan penyadapan : 1. Undang-undang no 5 tahun 1997 tentang Psikotropika

2. Undang- undang nomor 22 tahun 1997 (diubah dengan undang-undang nomor 35 tahun 2009) tentang Narkotika

3. Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4. Undang-undang nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi 5. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana korupsi

6. Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 7. Undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat

8. Peraturan Pemerintah nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi

9. Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

10. Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

11. KUHP pasal 430 ayat 2

12. Permenkominfo nomor 11 tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi.

Di Indonesia, ada terdapat beberapa lembaga negara yang memiliki kewenangan penyadapan. Contohnya adalah KPK. Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Namun berbeda

penyadapan KPK dengan Badan Intelijen Negara. Penyadapan di KPK digunakan sebagai fungsi penegakan hukum, sedangkan Badan Intelijen Negara bukanlah menjalankan fungsi penegakan hukum.

Badan Intelijen Negara

Wewenang mengenai penyadapan, baik itu di dalam UU ITE, UU narkotika, dan Undang-undang lainnya, terdapat pengaturan regulasi mengenai penyadapan. Regulasi ini dimaksudkan untuk memberikan adanya kepastian hukum kepada masyarakat sipil. Berbicara mengenai wewenang mengenai Penyadapan oleh BIN, hal ini dimaksudkan agar Intelijen bisa melakukan deteksi sejak awal dari sebuah ancaman. Penyadapan hanya boleh dilakukan ketika ada indikasi yaitu berupa sebuah ancaman kepada negara. Biasanya, lembaga-lembaga negara seperti kepolisian, kejaksaan, ataupun yang lainnya diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Tak berbeda dengan Intelijen negara yang juga diberikan kewenangan tersebut.

Kewenangan penyadapan oleh BIN dapat dilihat yaitu menyadap, memeriksa aliran dana, dan penggalian informasi dengan meminta keterangan kepada kementerian lembaga pemerintah non kementerian dan atau lembaga lain.15

Badan Intelijen negara adalah merupakan lembaga negara yang diberikan kewenangan untuk melakukan kegiatan intelijen. Kegiatan Intelijen yang dilakukan Badan Intelijen Negara ini, sebagaimana tercantum dalam pasal 10 ayat

15

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=267284:bi n-berwenang-lakukan-penyadapan&catid=59:kriminal-a-hukum&Itemid=91

(1) Undang-undang Intelijen negara nomor 17 tahun 2011, yaitu menyelenggarakan fungsi intelijen dalam negeri dan luar negeri.

Tugas Badan Intelijen negara adalah untuk melaksanakan fungsi intelijen dalam dan luar negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang nomor 17 tahun 2011. Tugas dari Badan Intelijen Negara yang dimuat dalam Pasal 29 antara lain adalah melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen, menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah, melakukan perencanaan dan dan pelaksanaan aktivitas intelijen, membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing dan memberikan pertimbangan saran, rekomendasi tentang pengamanan penyeleggaraan pemerintahan.

Intelijen dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 29 Undang-undang nomor 17 tahun 2011, maka Badan Intelijen Negara diberikan wewenang. Wewenang Badan Intelijen Negara tercantum dalam pasal 30 dan 31 undang-undang nomor 17 tahun 2011. Kewenangan itu dalam Pasal 30 yaitu menyusun rencana dan kebijakan nasional di bidang intelijen secara menyeluruh, meminta bahan keterangan kepada kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, dan atau lembaga lain sesuai dengan kepentingan dan prioritasnya, melakukan kerjasama intelijen dengan negara lain, membentuk satuan tugas.

Selain daripada kewenangan yang tercantum dalam pasl 30 tersebut, BIN juga diberikan kewenangan oleh negara seperti yang tercantum dalam Pasal 31 undang-undang Intelijen Negara nomor 17 tahun 2011. Kewenangan tersebut

adalah melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan :

a. Kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional, meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup dan atau :

b. Kegiatan terorisme, separatisme, spionase dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.

Undang-undang nomor 7 tahun 2011 yang dimaksud dengan ancaman adalah setiap upaya, pekerjaan, kegatan dan tindakan baik dari dalam ataupun luar negeri yang dinilai dan/atau dibuktikan dapat membahayakan keselamatan bangsa, keamanan, kedaulatan, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kepentingan nasional, baik ideologi politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Ancaman ini, termasuk juga sebagai kejahatan terhadap kepentingan hukum negara.16

Tindak pidana yang termasuk dalam kategori mengancam kepentingan negara adalah tindak pidana yang diatur dalam Bab I, II, III, IV, VIII, IX, dan XXVIII Buku II KUHP. Dalam buku II KUHP dapat dilihat bahwa kejahatan yang diatur yaitu kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap negara (atau menyangkut ketatanegaraan). Menurut Simons, kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam buku II KUHP bukanlah merupakan satu-satunya jenis kejahatan yang

16

P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Kepentingan Negara, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 3

dapat dipandang sebagai kejahatan yang ditujukan terhadap kepentingan-kepentingan hukum dari negara, karena disamping kejahatan-kejahatan tersebut masih terdapat kejahatan lain yang dapat dimasukkan kedalam pengertiannya. Kejahatan tersebut antara lain :

a. kejahatan yang ditujukan terhadap pegawai negeri dalam melaksanakan tugas jabatan mereka yang sah ;

b. kejahatan yang ditujukan terhadap lembaga-lembaga yang secara langsung ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan ;

c. kejahatan yang ditujukan pada pelaksanaan tugas peradilan ; d. kejahatan yang dilakukan oleh pegawai negeri dalam jabatan.17

Undang-undang Intelijen Negara dalam Pasal 32 ayat 3 disebutkan bahwa penyadapan baru hanya dapat dilakukan terhadap sasaran yang telah mempunyai Dapat dilihat bahwa penyadapan merupakan kewenangan yang diberikan kepada negara kepada intelijen apabila sudah mempunyai bukti permulaan yang cukup. Pengaturan tentang penyadapan tak hanya diatur dalam Undang-undang Intelijen Negara dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya. Dalam pasal 32 ayat 2 bahwa penyadapan terhadap sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 undang-undang nomor 17 tahun 2011 dilaksanakan dangan ketentuan :

Untuk penyelenggaraan fungsi intelijen a. Atas perintah kepala badan intelijen

b. Jangka waktu penyadapan paling lama 6(enam) bulan dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

17

bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan ketua Pengadilan Negeri.

Meskipun demikian, penyadapan yang dilakukan oleh Badan Intelijen Negara adalah bukan merupakan fungsi penegakan hukum. Hal itu diperjelas dalam pasal 34 Undang-undang Nomor 17 tahun 2011 yang mengatakan bahwa penyadapan itu hanya dapat dilakukan untuk penyelenggaraan fungsi intelijen, perintah kepala Badan Intelijen Negara, tanpa melakukan penahanan/penangkapan, dan bekerja sama dengan penegak hukum yang terkait.

B. Bentuk Kejahatan Yang Dapat Dilakukan Penyadapan oleh Badan Intelijen Negara

Pasal 31 Undang-undang nomor 17 tahun 2011, Badan Intelijen Negara diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan oleh negara. Dalam pasal ini disebutkan bahwa Badan Intelijen Negara memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi terhadap sasaran yang terkait dengan :

a. Kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional, meliputi

ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan sektor kehidupan masyarakat lainnya, termasuk pangan, energi, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup dan atau :

b. Kegiatan terorisme, separatisme, spionase dan sabotase yang mengancam

keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional, termasuk yang sedang menjalani proses hukum.

Pasal 31 huruf b undang-undang Intelijen Negara dapat kita lihat uraiannya sebagai berikut :

1. Terorisme

Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta sering kali merupakan warga sipil. Sedangkan perang adalah sebuah aksi fisik dan non fisik (dalam arti sempit adalah kondisi permusuhan dengan menggunakan kekerasan), dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan.

Kegiatan terorisme mempuyai tujuan untuk membuat orang lain takut sehingga demikian dapat menarik perhatian orang kelompok atau suatu bangsa. Dalam Undang-undang terorisme nomor 15 tahun 2003, tidak disebutkan secara eksplisit pengertian terorisme. Namun, dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2002 yang selanjutnya diubah menjadi undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memberikan rumusan :

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas keerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitias internasional.”

Dari pengertian pasal 6 tersebut, dapat dilihat bahwa dalam hubungannya dengan tindak pidana lain adalah sebagai delik genus dari tindak pidana terorisme.

Sebagai delik genus, maka semua tindak pidana yang termasuk kategori terorisme harus mengandung/memuat sifat utama dari genus tindak pidana terorisme.18

Terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes Againts State menjadi Crimes againts Humanity. Crimes againts Humanity tersebut meliputi tindak pidana untuk menciptakan sesuatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana teror. Dalam kaitan Hak Azasi Manusia, crimes agints humanity termasuk dalam kategori gross violation of human rights yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa tak bersalah (public by Innocent).

Pengertian terorisme secara ekplisit memang belum ada. Dan hingga saat ini, pengertian terorisme menurut hukum Internasional juga belum ada. Pengertian Terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppresion of Teorism (ECST) di Eropa tahun 1977.

19

18

Badan Pembinaan Hukum Nasinal Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia RI,

Pengkajian Hukum Tentang Perlindungan Hukum Bagi Korban Terorisme, Jakarta, 2008, hal 13.

19

Abdul Wahid, Sunardi, Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2004

Namun, ada beberapa pengertian Terorisme dari beberapa lembaga ataupun pakar yaitu :

1. Central Inteligence Agency (CIA)

Terorisme Internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan

dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing

2. The Arab Convention on the Suppressioon of Terorism (1998)

Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjualankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun harta pribadi atau menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional.

3. Konvensi PBB tahun 1973

Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud mencipatakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok masyarakat luas.20

persengketaan terhadap lawan dengan serangan pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar dari segi agama Sedangkan menurut beberapa ahli yaitu

1. Evans dan Murphy

Terorisme adalah pengunaan kekerasan yang disengaja, atau ancaman penggunaan kekerasan oleh sekelompok pelaku yang diarahkan pada sasaran-sasaran yang dimiliki atau dibawah tanggungjawab pihak yang diserang. 2. Syed Hussein Alatas

Terorisme adalah mereka yang merancang ketakutan sebagai senjata

20

atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilakukan bagi mencapai tujuan matlamat persengketaan.

National Advisory Committee dalam The Report of the Task Force on Disorders and Terorism sebagaimana dikutip Muladi, terorisme dibagi dalam 5 tipologi yaitu :

a. Terorisme Politik ; mencakup perilaku kriminal yang dilakukan dengan

kekerasan yang didesain terutama untuk menimbulkan ketakutan di lingkungan masyarakat dengan tujuan politis;

b. Terorisme Nonpolitik ; dilakukan untuk tujuan-tujuan keuntungan pribadi, termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi;

c. Quasi Terorisme; menggambarkan aktivitas yang bersifat insidental untuk

melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan caranya menyerupai terorisme, tetapi tidak mempunyai unsur esensialnya ;

d. Terorisme Politik Terbatas; menunjuk kepada pembuatan terorisme yang

dilakukan untuk tujuan atau motif politik, tetapi tidak merupakan bagian dari suatu kampanye bersama untuk menguasai pengendalian negara ;

e. Terorisme Pejabat atau Negara (official or state terorism), terjadi di suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan.21

Organisasi teroris ini semacam organisasi terorisme yang paling sederhana. Organisasi ini tidak didukung oleh salah satu negara. Organisasi Karakteristik daripada organisasi terorisme adalah :

1. Nonstate-supported Group.

21

terorisme non state-supported ini adalah kelompok kecil yang memiliki kepentingan khusus, seperti kelompok anti korupsi, kelompok anti globalisasi dan lainnya. hanya saja dalam menjalankan aksi “anti” nya, kelompok ini menggunakan cara teror seperti pembakaran, penjarahan dan penyanderaan. Terlihat dari isu terornya, organisasi ini merupakan organisasi teror yang menekankan pada aspek perjuangan ideologi, dengan menciptakan kekacauan ideologi (disorder ideology) dalam tatanan masyarakat. Kelompok organisasi teroris dalam kategori ini, memiliki kemampuan terbatas, dan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang diperlukan untuk memberikan dukungan atau kontribusi lain demi kelangsungan kelompoknya dalam periode waktu tertentu

2. State-sponsored Groups.

Organisasi terorisme jenis ini memperoleh dukungan baik berupa logistik, pelatihan militer, maupun dukungan administratif dari negara lain. Berbeda dengan Nonstate sponsored Group, kelompok ini bersifat profesional, artinya memiliki struktur organisasi yang jelas meskipun bersifat rahasia atau tertutup (clandestine). Selain itu cara yang dipergunakan dalam melakukan teror lebih terorganisir dan terencana. Contoh kelompok teroris yang termasuk dalam golongan ini adalah Provisonal Irish Republican Army (PIRA) yang dibentuk pada tahun 1970 dengan jumlah anggota dua ratus sampai dengan empat ratus yang memiliki daerah operasi di Irlandia utara. PIRA merupakan kelompok teroris yang bertanggungjawab atas pembunuhan Rev. Robert Bradfort, anggota parlemen Inggris di Belfast dan juga pada peristiwa peledakan bom di pintu belakang Royal Courts. Kelompok ini mendapatkan sponsor dari Libya berupa pasokan senjata,

tempat pelatihan, dan logistik dalam menjalankan aksinya. Contoh teraktual dari kelompok dalam kategori ini adalah kelompok teroris yang diberi nama Jamaah Islamiah yang diduga memiliki hubungan yang erat dengan kelompok al-Qaeda dan bertanggungjawab atas peledakan bom di Bali tanggal 12 oktober 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang.

3. State-directed Groups.

Organisasi kelompok teroris ini berupa organisasi yang didukung langsung oleh suatu negara. Berbeda dengan State-sponsored Groups negara memberikan dukungannya secara terang-terangan, bahkan negara tersebut yang membentuk organisasi teroris tersebut, meskipun negara tersebut tidak pernah mengklaim organisasi bentukannya merupakan organisasi teror. Contoh dari organisasi ini adalah organisasi Special Force yang dibentuk Iran pada 1984, untuk tujuan penyebaran paham Islam Fundamentalis di wilayah teluk Persiadan Afrika Utara.

Sifat, tindakan pelaku dan tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, serta target-target metode terorisme kini semakin luas dana bervariasi. sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia ( crime aginst peace and security of mankind). Muladi berpendapat bahwa tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai mala par se atau mala in se yaitu tergolong kejahatan terhadap hati nurani menjadi suatu yang jahat bukan karena diatur atau dialrang undang-undang melainkan pada dasarnya tergolng sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves, bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh undang-undang.

2. Separatisme

Separatisme dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai paham atau gerakan untuk memisahkan diri (mendirikan negara sendiri). Separatisme sendiri biasanya dilakukan atas dasar nasionalisme atau kegiatan religius. selain itu juga separatisme bisa terjadi karena kurangnya kekuatan politis dan ekonomi suatu kelompok.22

Gerakan separatisme bukanlah hal yang asing bagi dunia internasional. Separatisme merupakan ancaman bagi setiap negara khususnya bagi negara yang bentuknya negara kesatuan. Negara superpower seperti USSR (Union of soviet socialist Republic) telah mengalami kerugian daripada ancaman gerakan seperatisme ini yang menyebabkan negaranya pecah. Tak hanya itu, negara-negara seperti Yugoslavia, Cina, India, dan banyak negara-negara lainnya juga pernah mengalaminya. Bahkan jika dilihat dari persamaanya dengan Indonesia, maka dapat dilihat bahwa negara Indonesia juga pernah mengalami hal yang sama. Contohnya adalah lepasnya provinsi Timor-timor dari Indonesia yang kini mendirikan suatu negara yang berdauat sendiri dengan nama Republik Demokratik Timor Leste pada tahun 2002.

Separatisme politis adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya manusia dengan kesadaran kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain).

23

Separatisme adalah salah satu bentuk kejahatan terhadap negara (makar). Digolongkannya separatisme sebagai kejahatan terhadap keamanan negara adalah

22 http://id.wikipedia.org/wiki/Separatisme 23 http://lk2fhui.wordpress.com/2010/03/01/separatisme-bentuk-kekecewaan-terhadap-negara/

karena separatisme memenuhi unsur kejahatan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 106 KUHP. Pasal 106 KUHP mengatakan bahwa :

“Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dan wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

Dapat dilihat dari pasal 106 bahwa yang menjadi objek penyerangan adalah kedaulatan negara. Dan dari cara yang disebutkan dalam pasal 106 KUHP tersebut kedaulatan negara dapat dirusak atau terganggu keamanannya melalui 2 cara yaitu :

Pertama adalah menaklukkan, kemudian menyerahkan seluruh daerah negara atau bagiannya kepada negara asing dan yang kedua adalah memisahkan sebahagian daerah dari negara itu kemudian membuat bagian daerah itu menjadi suatu negara yang berdaulat sendiri.24

Kejahatan separatisme ini, berhasil atau tidaknya ditentukan oleh faktor yang ada. Tindakan separatisme yang berhasil itu biasanya dipermudah dengan faktor seperti sejarah pembentukan negara yang diapksakan seperti Uni Soviet,

Separatisme juga sama dengan kejahatan yang lain. Namun, tindakan separatisme tidak ditentukan berdasarkan berhasil atau tidaknya kejahatan tersebut untuk dikategorikan sebagai kejahatan. Berbeda dengan kejahatan misalnya pembunuhan, walapun sudah ada pelaksanaan, dan apabila tindakannya gagal dan tidak menyebabkan kematian orang, maka hal itu bukanlah kejahatan

Dokumen terkait