• Tidak ada hasil yang ditemukan

I

ndonesia yang telah menyerap berbagai kebudayaan sejak zaman purba, menyebabkan kebudayaan lokalnya sangat kaya dengan ungkapan bahasa tanda. Seperti masyarakat pendukung kebudayaan Bali, memiliki beberapa istilah untuk tanda, seperti cihna, ceciren, sasmita, wangsit, dan sawen. Kata cihna merupakan istilah untuk kata tanda. Ceciren merupakan tanda berdasarkan ciri-ciri. Sasmita, istilah tanda berdasarkan gerak pada alam atau gerak tubuh (gestur). Wangsit merupakan tanda isyarat dan sawen merupakan istilah untuk tanda larangan (rambu).

Ungkapan bahasa tanda pada kebudayaan tradisional di Indonesia pada umumnya bersifat simbolik. Arti tanda dan makna pada kebudayaan Timur sudah baku, seperti tanda candra sangkaladan surya sangkala, yang mengandung arti angka tahun berdasarkan peredaran bulan dan matahari. Contoh yang lain dapat dilihat padapersembahan sesaji masyarakat Hindu di Bali berupa canang sari. Sesaji persembahan berupa canang sari tersebut merupakan ungkapan tanda simbolik persembahan kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi, dengan penuh rasa cinta, kebahagiaan, dan terimaksih yang tulus suci.

Ada hal menarik lain yang dapat ditemukan di Bali, hal tersebut adalah adanya ungkapan bahasa tanda yang merepresentasikan adanya ungkapan tanda lintas budaya Timur dan Barat. Ungkapan bahasa tanda lintas budaya Timur dan Barat tersebut dapat ditemukan pada arsitektur dan desain interior bangunan Taman Ujung, peninggalan Kerajaan Karangasem. Ungkapan bahasa tanda lintas budaya Timur (Bali) dan budaya

Barat (Belanda) di Taman Ujung dapat ditemukan dalam beberapa bentuk dialog tanda.

Dialog Tanda pada Bentuk Arsitektur 1.

Dalam wujud visualnya, Taman Ujung tampak berbeda dengan wujud taman kerajaan lain yang ada di Bali, karena terdapat sebuah bangunan paviliun modern yang dikelilingi kolam besar. Sedangkan bangunan pada kolam yang satunya lagi, berbentuk bangunan terbuka yang disebut Bale Gili, mengikuti ciri khas bangunan taman kerajaan di Bali, yang disebut Bale Kambang (balai terapung) atau Taman Gili.

Pengaruh budaya Barat juga ditandai oleh adanya Bale Bundar bertiang dua belas untuk mengamati keindahan taman, yang identik dengan gazebo pada taman budaya Barat. Pada desain taman maupun arsitektur tradisional Bali, sebenarnya tidak pernah ada bangunan berbentuk bundar untuk mengamati lingkungan. Bangunan untuk mengamati lingkungan di Bali, biasanya dibangun dengan bentuk persegi dan disebut bale bengong.

Dialog Tanda pada Desain Interior 2.

Desain interior bangunan peristirahatan utama Gili A yang berwujud paviliun modern dengan 4 buah kamar dan sebuah aula kecil, menyiratkan tanda yang didominasi oleh interior modern Barat. Untuk mengimbangi dominasi suasana interior modern Barat tersebut, maka Raja Karangasem menciptakan dekorasi ruang berupa ragam hias tradisi Bali dengan teknik beton cetak. Seperti ragam hias berupa oranamen wayang dan singa ambara raja atau singa terbang

Adanya tanda lintas budaya Timur dan Barat terlihat pada interior ruang tamu paviliun. Selain terdapat ragam hias beton cetak dengan motif tradisi Bali, ruang tamu paviliun Taman Ujung juga dilengkapi seperangkat mebel bergaya klasik Eropa, berwarna putih dengan ragam hias berwarna keemasan

Dialog Tanda

3. Hibrid Teknologi

Dengan adanya konstruksi jembatan kecil dari beton di atas kolam Taman Ujung dan sisa-sisa bangunan Bale Kapal, terungkap makna bahwa telah terjadi hibrid teknologi beton dari budaya Barat dengan arsitektur tradisional Bali dari budaya Timur di Taman Ujung. Oleh karena, kebudayaan tradisional Bali belum mengenal teknologi beton untuk bangunan atau arsitektur pertamanannya pada masa kolonial, di awal abad ke-19.

Teknologi beton yang telah diadaptasi (hibrid) oleh Raja Karangasem tersebut juga diaplikasikan pada perwujudan ragam hias bangunan di Taman Ujung, yang dibuat dengan teknik beton cetak. Pembuatan ragam hias dengan teknik beton cetak juga belum pernah dilakukan di Bali sebelum masa kolonial. Pembuatan ragam hias tradisional Bali dengan teknik beton cetak pada saat pembangunan Taman Ujung, merupakan sebuah ide kreatif yang cukup selektif pada masanya. Keuntungan penggunaan ragam hias dengan teknik beton cetak adalah dapat mencetak ragam hias dengan pola berulang dalam jumlah bayak, dengan waktu yang singkat.

Dialog Tanda pada Ragam Hias 4.

Ungkapan bahasa tanda berupa dialog tanda pada ragam hias di Taman Ujung, dapat ditemukan pada gaya ornamen tradisional Bali (budaya Timur), tetapi visualisasinya berupa ragam hias singa bermahkota dan makota diapit oleh dua ekor singa. Ragam hias singa bermahkota merupakan tanda yang bersifat simbolik, yaitu tanda yang berkaitan dengan mahkota Ratu Wilhelmina. Sedangkan ragam hias mahkota diapit oleh dua ekor singa, merupakan tanda simbol Kerajaan Belanda. Motif ragam hias tersebut dibuat dengan teknik beton cetak. Oleh karena itu, ragam hias ini adalah ragam hias yang khas, sebagai sebuah kreativitas lokal (indigenous creativity) hasil kreasi Raja Karangasem A. A. Bagus Djelantik (StedehouderII).

Perwujudan ragam hias ini mengungkapkan makna, bahwa Raja Karangasem telah melakukan upaya diplomasi kebudayaan

den-gan Pemerintah Kolonial Belanda di Bali. Adanya ragam hias karang bentala yang bentuknya mirip mahkota pada puncak tiang jembatan beton di atas kolam Taman Ujung, juga memiliki makna simbolik berkaitan dengan mahkota Ratu Wilhelmina di negeri Belanda.

Melalui ragam hias ini, Raja Karangasem telah melakukan upaya negosiasi secara damai dengan Kerajaan Belanda. Dengan diplomasi kebudayaan melalui ragam hias, maka tak perlu lagi dilakukan perang dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Seperti yang pernah dilakukan oleh Raja Karangasem I Gusti Gde Karan-gasem pada 1849, Kerajaan Buleleng dengan perang di Desa Jag-araga pada pada 16 April 1849, Kerajaan Badung dengan perang puputan pada 20 September 1906 dan Kerajaan Klungkung den-gan perang puputan-nya pada 28 April 1908.

Dengan adanya ragam hias berwujud simbol Kerajaan Belanda bergaya tradisi Bali, dapat mengungkapkan makna bahwa pada masa lalu telah terjalin hubungan persahabatan yang baik antara Kerajaan Karangasem (Bali) dengan Kerajaan Belanda di Eropa. Bukti lainnya adalah adanya pertukaran cindera mata berupa gamelan Bali oleh Raja Karangasem dan seperangkat mebel oleh Ratu Wilhelmina untuk Raja Karangasem. Mebel hadiah Ratu Wilhelmina ditempatkan di Bale Maskerdam Puri Kanginan. Apabila tidak terjalin hubungan persahabatan yang baik, maka mustahil akan tercipta ragam hias berupa ornamen tradisional Bali yang memvisualkan simbol Kerajaan Belanda pada masa kolonial.

Berdasarkan pembahasan mengenai ungkapan bahasa tanda pada wujud arsitektur, desain interior, konstruksi bangunan taman, dan perwujudan ragam hiasnya, maka dapat disimpulkan bahwa desain Taman Ujung menyiratkan ungkapan bahasa tanda lintas budaya Timur (Bali) dan Barat (Belanda). Akan tetapi, proses pertemuan tanda lintas budaya tersebut cukup selektif, melalui proses dialog tanda, sehingga tidak mengorbankan nilai dan identitas budaya lokal Bali.

GLOSARIUM

Amertha : air kehidupan abadi

Bali Madya : Era kebudayaan Bali setelah mendapat pengaruh dari Majapahit.

Bhur Loka : Alam Bawah

Bhuwana Agung : Alam raya (makro kosmos) Bhuwana Alit : Alam mikro (mikro kosmos) Bwah Loka : Alam Tengah

Cakra : senjata Dewa Wisnu yang bentuknya seperti lingkaran,

Canang : Sirih.

Pada zaman dahulu, tradisi makan sirih adalah tradisi yang sangat dihormati dan bernilai tinggi.

Canang sari : Sarana persembahyangan di Bali.

Tanda simbolik sarinya bumi, yang dipersembahan kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi dengan rasa cinta dan kebahagiaan, serta terimaksih yang tulus suci

Candra sangkala : gambar-gambar simbolik, atau kata-kata ungkapan yang mempunyai arti angka Tahun Saka, yang telah disepakati bersama oleh masyarakat di Jawa dan Bali. Angka bilangan tahunnya dibaca dari belakang.

Capit urang : Bentuk pintu gerbang berupa candi seperti sepasang capit udang, disebut juga candi bentar. Ditempatkan pada halaman luar tempat suci atau halaman luar puri.

Candigelung : Pintu gerbang berupa candi dengan puncak menyatu, disebut juga candi kurung atau candi gelung (bermahkota)

Ceciren : istilah tanda berdasarkan ciri-ciri. Cihna : istilah untuk kata tanda

Karang Boma : Ragam hias berwajah kepala raksasa memegang dedaunan, simbol pelindung hutan

Kebudayaan : dalam konteks semiotika merupakan sistem tanda-tanda yang kompleks, sebagai hasil dari suatu kelompok masyarakat untuk mengenali, menginterpretasikan, dan mem produksi tanda dengan cara yang sama.

Kora : Berjalan mengelilingi Gunung Kailasha selama tiga hari perjalanan

Kori agung : Pintu masuk utama Pura atau Puri, yang memiliki tata nilai utama

Paksi : hewan bersayap dan berkaki dua (burung) Pepalihan : jenis ornamen berupa lekukan-lekukan pada

bagian bangunan.

Porosan : Unsur penting dalam sesajen berupa sirih dan kapur sirih.

Pralina : Kekuatan Tuhan untuk melebur kembali ke alam

Puputan : Berperang sampai titik darah penghabisan

Samudraman-tana : Mitologi pengadukan samudra menggunakan Gunung Mandhara oleh para Dewa dan denawa (raksasa)

Sasmita : tanda berdasarkan gerak di alam atau gerak tubuh (gestur)

Singa ambara

raja : Singa terbang, singa bersayap Sthiti : Kekuatan Tuhan sebagai pemelihara

Surya sangkala : Bahasa simbolik berupa gambar-gambar yang telah disepakati sebagai ungkapan angka Tahun Saka. Angka bilangannya dibaca dari depan. Swah Loka : Alam Atas

Tri angga Tiga struktur badan (kepala, badan, kaki) Tri Kona Tiga warna simbolik (merah, putih, hitam)

dalam konteks ini merupakan kekuatan Tuhan untuk menghidupkan bangunan

Tri Murti : Tanda simbolik kekuatan Tuhan saat mencipta, memelihara, dan melebur kembali ke alam. Undagi Ahli bangunan tradisional Bali yang sudah

melalui proses ritual

Utama mandala Halaman atau pelataran yang memiliki tata nilai utama (suci)

Utpati Kekuatan Tuhan saat mencipta Wirama syair lagu kidung suci.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Laurie Schneider. 1996. The Methodologies of Art: An Intruduction. Colorado: Westview Press.

Agung, Ide Anak Agung Gde. 1989. Bali Pada Aad XIX: Perjuangan Rakyat dan raja-Raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Agung, Anak Agung Ktut. 1991. Kupu Kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok: Lintasan Sejarah Kerajaan Karangasem (1661 – 1950). Denpasar: Upada Sastra.

Ardana, 1983. Penuntun Ke Obyek-obyek Purbakala Sekitar Desa Pejeng–Bedulu Gianyar. Denpasar: PT. Mabhakti.

Atmadja, Nengah Bawa. 1999. Ganesha sebagai Avighnesvara, Vinayaka, dan Penglukat. Surabaya: Paramitha.

Budiastra, Putu. 1980. Buku Pameran Werdhi Budaya I. Denpasar: Badan Pengelola Werdhi Budaya Bali.

Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana Universty Press.

Ginarsa, Ketut. 1979. Gambar Lambang. Denpasar: Sumber Mas Bali.

Gelebet, I Nyoman (dkk.). 1981/1982. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Helmi, Rio dan Leonardo Lueras. 1996. Bali High: Paradise from the

Kaler, I Gusti Ketut. 1983. Butir-Butir Tercecer Tentang Adat (Bagian 1). Denpasar: Bali Agung.

Kempers, 1960. Bali Purbakala (Petunjuk Tentang Peninggalan-Peninggalan Purbakala Di Bali). Jakarta: Balai Buku Ikhtiar. Mirsa, Rai, dkk., 1978. Petunjuk Wisatawan di Bali. Denpasar: Proyek

sasana Budaya Bali.

Mirsha, Rai, dkk., 1986. Sejarah Bali. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali Proyek Penyusunan Sejarah Bali.

Muljana, Slamet, 2005. Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit). Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. Muljana, Slamet. 2006. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan

Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS Pelangi Nusantara.

___________, 2006b. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Parisada Hindu Dharma. 1968. Upadesa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu. Denpasar: Pemda Bali.

Patra, I Made Susila. 1985. Hubungan Seni Bangunan Dengan Hiasan Dalam Rumah Tinggal Adati di Bali. Jakarta: Balai Pustaka. Pendit, Nyoman S, 1984. Nyepi: Hari Kebangkitan dan Toleransi.

Jakarta: Yayasan Merta Sari.

Putra. 1980. Cudamani: Kumpulan Kuliah-Kuliah Adat Agama Hindu. Denpasar: Institut Hindu Dharma.

Raharja, I Gede Mugi. 1988. “Tinjauan Aspek Desain Taman Gili-Kertha Gosa di Klungkung” (Skripsi). Denpasar: Program Studi Seni Rupa Dan Desain Universitas Udayana.

_____. 1999. “Makna Ruang Arsitektur Pertamanan Peninggalan Kerajaan-Kerajaan di Bali Sebuah Pendekatan Hermeneutik” (Thesis). Bandung: Pascasarjana Magister Desain Institut Teknologi Bandung.

_____. 2002. “Taman Ujung Karangasem: Menanti Keutuhan Istana Air itu Kembali” (artikel). Denpasar: Koran Bali Post, Minggu, 27-1-2002.

Roy, S.L. 1991. Diplomasi. Jakarta: Rajawali Press.

Seputro, B. Siswoyo, dkk. 1977. “Puri Gede Karangasem” (Paper Pengetahuan Seni Banunan Bali V). Denpasar: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana.

Shastri, Naredra Dev. Pandit. 1963. Sejarah Bali Dwipa. Denpasar: tanpa penerbit.

Sidemen, Ida Bagus, dkk., 1983. Sejarah Klungkung:Dari Smarapura Sampai Puputan. Klungkung: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung.

Simpen AB, Wayan. 1988. Candra Sangkala. Denpasar: Cempaka. Suardana, I Nyoman Gde. 2005. Arsitektur Bertutur. Denpasar:

Yayasan Pustaka Bali.

Walker, John A. 2010. Desain, Sejarah, Budaya: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Warna, I Wayan. dkk. 1993. Kamus Bali – Indonesia. Denpasar: Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Cetakan ke-2.

Wiana, I Ketut. 2000. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Surabaya: Paramita.

Panitia Dies Natalis Institut Teknologi Bandung ke-34.

Wirjosuparto, Sutjipto. 1956. Sejarah Kebudayaan India. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Zoest, Aart van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Referensi Internet

Anonim. 2008. “Titik Nol (10): Kora”. (Online), (http://sains.kompas. com, diunduh tgl. 31-8-2017).

Anonim. 2014. “Pura Taman Mayura”. (Online), (http:// id.lombokindonesia.org/pura-mayura-lombok, diunduh tgl. 30-6-2017).

Anonim. 2107. “Rahwana”. (Online), (https://id.wikipedia.org., diunduh tgl. 31-8-2017)

Arini, A. A. Ayu Kusuma. 2011. “Mengenang Kejayaan Taman Ujung Karangasem Yang Menyimpan Kenangan Seni” (Online), (http://www.isi-dps.ac.id, diunduh 30-6-2017).

Dinas Pariwisata Seni Dan Budaya Lombok Barat. 2012. “Sejarah Singkat Pura Lingsar” (Online), (http://lombokbaratkab.go.id/ sejarah-singkat-pura-lingsar, diunduh tgl. 30 – 6 – 2017). Rachmawati, Ira. 2016. “Sejarah Sang Raja di Taman Narmada

Lombok”. (Online), (http://travel.kompas.com, diunduh tgl. 30-6-2017).

Totally Deja. 2012. “Misteri Gunung Kailasha”. (Online), (http:// littledeja.blogspot.co.id/2012/04, diunduh tgl. 31-8-2017).

INDEKS

A

A. A. Bagus Jelantik ix, 31, 32, 40, 62, 63 A. A. Gde Jelantik 31, 32, 63 Adri Karang 29 Agung Maruti 26 Alengka 13 Amsterdam 32

Anak Agung Made Djelantik 6 Anak Agung Ngurah Agung 6 Anak Agung Ngurah Karangasem

34

Anak Wungsu 17

Anglurah Ketut Karangasem 33 Arya Batanjeruk 29

Aurangabad 13 B

Babad Lombok 33 Bal 4

Bale Gili ix, 41, 46, 49, 50, 51, 66. Lihat juga Bale Kam-bang

Bale Kambang 46, 49, 66 Bale Kapal ix, 41, 43, 44, 56, 61,

67

Bale Warak ix, 46, 47

Bali ii, iii, iv, v, vii, xii, 1, 3, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 25, 26, 29, 30, 31, 32, 36, 37, 40, 41, 45, 46, 47, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 62, 63, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 73, 74, 75, 79 Bangli 31 Ban Hong 24 Belanda iv, v, x, 26, 30, 31, 35, 36, 37, 39, 40, 47, 51, 52, 54, 55, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 73, 79 Bhur Loka 11, 69 Bhuwana Agung 10, 69 Bhuwana Alit 10, 69 Bonpo 14 Bryson 4

budaya Barat iv, xi, xii, 1, 51, 55, 58, 62, 65, 66, 67

budaya massa xi, 3 budaya populer xi, 3

budaya Timur iv, v, vi, xii, 1, 3, 4, 53, 55, 58, 62, 65, 66, 67, 68 Buddha 14, 22, 29 Budekeling 29 Buleleng 30, 31, 52, 63, 68 Bwah Loka 11 C

Canang sari xii, 69 candi gelung 11, 12, 70 candi Gua Ellora 13 candi paduraksa 11 candra sangakala 7

5 capit urang 11 chandrahasa 13 China 24, 32, 36, 39, 40 cihna 8, 65 D Dalem Bekung 29 Dalem Ketut Ngulesir 26 Dalem Waturenggong 26, 29 Danau Segara Anak 34 Danghyang Astapaka 29, 30 Dang Hyang Nirartha 15 Demak 24

Denpasar ii, iv, 18, 58, 73, 74, 75 Desa Bedulu 16

Desa Tumbu xii, 3 Dewa Berata 41 Dewa Siwa 11, 12, 13, 14, 16 Dewi Basundari 16 E Eropa 36, 53, 62, 66, 68 F Filipina 24 G Gajah Mada 24, 73 Ganesha 11 Gelgel 25, 26, 29 Gianyar 16, 20, 26, 45, 73 Goa Gajah ix, 16, 17, 18 Goris 17

Gunung Agung 37, 41

Gunung Kailasha ix, 13, 14, 15, 70, 76 Gunung Lempuyang 29 Gunung Mahameru 11, 16 Gunung Mandhara 19, 21, 50, 70 Gunung Rinjani 34

Gusti Ngurah Made Karangasem 31

H

Hari Raya Nyepi 23 Hayam Wuruk 24 Hibrid viii, 54, 67

Hindu xii, 10, 14, 20, 22, 23, 65, 74

I

I Dewa Karang Amla 29, 30 I Gusti Anglurah Ktut

Karangas-em 30

I Gusti Anglurah Made Karan-gasem Sakti 30

I Gusti Gde Karangasem 31, 60, 63, 68

I Gusti Ktut Jelantik 30 I Gusti Ktut Karang 30 I Gusti Nyoman Karang 30 I Gusti Pangeran Oka 29, 30 India 13, 14, 17, 20, 21, 22, 75 Indonesia v, xii, 1, 7, 21, 22, 23, 47, 58, 65, 75 Istana Air 36, 75 J Jagaraga 30, 31, 63, 68 Jainisme 14, 15 Jawa xii, 7, 17, 20, 21, 22, 23, 46, 69, 74

Jawa kuno xii, 17, 20 Jayapangus 17

K

kakawin Smaradahana 11 Kalimantan 24

Kanishka I 22

Karangasem i, ii, iii, iv, v, vi, vii, ix, xii, 1, 3, 6, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 39, 40, 41, 43, 46, 47, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 60, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 73, 75, 76, 80 karang Boma 16, 17 Kertarajasa Jayawardana 24. Lihat juga Raden Wijaya Kerthabhumi 24

Kertha Gosa 26, 74 Kidung Harsa Wijaya 23 Kitab Adi Parwa 11, 19

Klungkung ix, 12, 19, 20, 25, 26, 27, 63, 68, 74, 75 kode sosial 4, 7 kori agung 11, 12, 13, 15, 16, 17, 18 Ksirarnawa 19, 20, 21, 50 Kunyara Kunja 17 Kushana 22 L Lingarsapura 26 Lingsar 33, 34, 76 Lombok 30, 31, 33, 39, 63, 73, 76, 79 M Maharashtra 13 Maharesi Agastya 16, 17 Majapahit xii, 23, 24, 25, 26, 30, 31, 69, 74 Maluku 24

Mangku Negara VII 36 Marakata 17

Maskerdam ix, 32, 68 Mas Ruscita Dewi 18

Mayura ix, 33, 34, 35, 7 N Nagarakretagama 24, 31 Narmada ix, 33, 34, 39, 76 Nepal 14 Nieuwenkamp 39 Nilaludraka 12 niskala 9 Nusa Tenggara 24 P Padmasana 15 Palembang 34

Panembahan Jimbun 24. Lihat juga Raden Patah Papua 24 Pararaton 23 pasangkalan 21 Patih Jelatik 31 Pejeng 20, 73 Pendit 22, 74 Perang Paregreg 24 Pura Besakih ix, 15, 16 Pura Pusering Jagat ix, 20 Puri Ageng 30, 32

Puri Agung Kawan 46 Puri Amlaraja 30 Puri Cakranegara 31, 34 Puri Kaleran 30

Puri Kanginan v, ix, 6, 32, 39, 53, 54, 55, 68

Puri Kelodan 30 Puri Kesiman 18 Puri Mataram 31 Puri Singasari 34

Puri Smarapura ix, 12, 25, 26, 27 R

Raden Wijaya 23 Rahwana ix, 13, 14, 15, 76 Rangdenggirah 43 Ratna Kunjarapada 17 revolusi informatika xi S Sam Po Kong 24 Samprangan 26, 29 samudramantana 19, 20, 21, 49 Sanggar Agung 15

Sangku Sudamala ix, 20 Sanur iii, 18 Sasmita 8, 9, 65, 70 Sawen ix, 8, 9 sekala 9 Semarang 24 Semenanjung Malaya 24 Semiotika xi, 4, 76, 79 Serat Kanda 23, 24, 25 Shiva Tandava Stotra 13 Simpen 21, 22, 23, 25, 75 sirna-ilang-kertining-bumi 23,

25

sistem tanda vi, xi, 1, 5, 21, 70 Sri Agung Jambe 26

Sri Aji Pamahyun 29

Sri Astasura Ratna Bhumi Ban-ten 20

Sri Kresna Kepakisan 25 Sri Krisna 60

Sri Resi Anandha Kusuma 27 Sri Semara Kepakisan 26 subkultur xi, 3 Sulawesi 24 Sumatra 24 Sungai Gajah 17 Sungai Gangga 14 Sungai Petanu 16 Surya sangkala 25, 26, 71 Swah Loka 11, 71 Swecapura 26 T

Taman Kelepung 34. Lihat juga Mayura Teguh Dharmawangsa 20 Tibet ix, 14, 15 tri angga 11 Tri Kona 10, 71 Tri Lingga 17 Tri Murti 10, 71 Tumasik 24 Turkestan 22 U Umberto Eco 3, 4, 49 utama mandala 12 W Wangsit 8, 65 Widagdo iii, 5, 21, 75, 79 Wilhelmina (Ratu), 38, 56, 60, 61, 64, 69, 70 Wirjosuparto 22, 75 Y yathra 14 Yueh-chi 22 Z Zoest xi, 8, 76

TENTANG PENULIS

I Gede Mugi Raharja lahir di Mataram (Lombok), 5 Juli 1963. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMAN Singaraja pada 1982, Gede Mugi melanjutkan studi ke Jurusan Seni Rupa Fakultas Teknik Universitas Udayana. Jurusan ini kemudian menjadi Program Studi Seni Rupa Dan Desain (PSSRD Unud) pada 1983. Pada saat itu Gede Mugi memilih bidang studi Desain Interior, dan diselesaikannya pada 1988. Setelah menjadi Asisten Dosen selama 2 tahun, pada 1990 Gede Mugi diangkat menjadi dosen tetap di almamaternya, PSSRD Unud.

Ketika menempuh pendidikan S2 Desain di ITB Bandung pada 1996/ 1999, Mugi tertarik dengan mata kuliah Semiotika, ilmu tentang tanda. Pengetahuan semiotika strukturalis diperolehnya dari Dra. Rita Widagdo dan semiotika pos-strukturalis dari Drs. Yasraf Amir Piliang, M.A (kini Prof. Dr.). Prof. Yasraf kemudian menjadi Dosen Pembimbing Tesis-nya bersama Ir. Yuswadi Saliya, M.Arch, dosen senior arsitektur ITB (kini Dr.). Judul Tesis Gede Mugi adalah Makna Ruang Arsitektur Pertamanan Peninggalan Kerajaan-Kerajaan di Bali Sebuah Pendekatan Hermeneutik.

Pada saat menyusun tesis S2-nya itulah Gede Mugi mendapat informasi dari Dr. Yuswadi, bahwa di Taman Ujung terdapat tanda simbolik Kerajaan Belanda, antara lain berupa ragam hias karang bentala pada jembatan di atas kolam Taman Ujung. Akan tetapi, saat itu Taman Ujung masih dalam keadaan rusak. Dr. Yuswadi kemudian menyarankan, agar tesis Gede Mugi dikembangkan menjadi buku tentang taman kerajaan, dari masa Bali kuno hingga masa Bali madya.

Setelah Taman Ujung selesai direvitalisasi, Gede Mugi dapat melihat secara nyata wujud desain Taman Ujung. Pada 2012, Taman Ujung menjadi salah satu sampel penelitian Gede Mugi berkaitan dengan rekontekstualisasi keunggulan lokal taman peninggalan kerajaan di Bali. Pada 2016, barulah Gede Mugi mengkhususkan penelitiannya berkaitan dengan semiotika lintas budaya Timur dan Barat pada desain Taman Ujung. Hasil kajian inilah kemudian dikembangkan menjadi buku yang diberi judul: Ungkapan Bahasa Tanda Pada Arsitektur dan Interior Bangunan Taman Ujung Karangasem.

Dokumen terkait