• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.1. Ruang Lingkup Penggabungan, Peleburan,

2.1.4. Penutupan perusahaan

Penutupan perusahaan merupakan bentuk lain dari tindakan pengusaha terhadap perusahaan yang dimilikinya. Penutupan perusahaan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (24) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi bahwa : “Penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan”. Pengertian penutupan perusahaan pada ketentuan tersebut merupakan bentuk tindakan pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap sebagian maupun seluruh pekerja dalam perusahaan.

Penutupan perusahaan wajib memperhatikan prosedur dalam ketentuan Undang-Undang. Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock-out) dilakukan dengan sekurang-kurangnya memuat :21

1. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan;

2. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan; 3. tanda tangan pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan.

Penutupan perusahaan yang dilakukan oleh pengusaha harus didasarkan pada alasan dan sebab-sebab yang jelas. Pada ketentuan Pasal 146 Undang-

21 Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, h. 146.

Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak membenarkan pengusaha melakukan penutupan perusahaan dengan sebab sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 164 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mengenal ada 3 (tiga) hal yang dapat digunakan pengusaha sebagai alasan atau sebab-sebab terjadinya penutupan perusahaan yakni :

a. Perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun;

b. Keadaan memaksa (force majeur); c. Perusahaan melakukan efisiensi.

Perusahaan mengalami kerugian secara terus-menerus selama 2 (dua) tahun, berarti dalam kurun waktu minimal 2 (dua) tahun beroperasinya perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus yang tidak dapat dihindari oleh perusahaan. Kerugian perusahaan secara terus menerus ini biasanya disebabkan karena lemahnya penjualan produk perusahaan dalam pasar. Perusahaan tutur selain disebabkan adanya kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, perusahaan tutup disebabkan terjadinya keadaan memaksa. Pengaturan mengenai maksud dan jenis-jenis keadaan memaksa dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memberikan penjelasan terhadap tersebut.

Pada permasalahan perdata, Suryodiningrat memberikan batasan mengenai keadaan memaksa yakni :

“keadaan memaksa ialah peristiwa yang terjadi di luar kesalahan debitor setelah dibuat perikatan yang debitor tidak dapat memperhitungkannya terlebih dahulu pada saat dibuatnya perikatan, atau sepatutnya tidak dapat memperhitungkannya, dan yang merintangi pelaksanaan perikatan.”22

Berdasarkan pada pendapat tersebut, keadaa memaksa merupakan keadaan yang terjadi diluar kesalahan seseorang atau keadaan yang terjadi diluar perhitungan seseorang. Pada umumnya keadaan memaksa yang terjadi berupa terjadinya bencana alam, kebakaran, maupun terjadinya perang. Penutupan perusahaan yang disebabkan dengan terjadinya kerugian secara terus-menerus dalam perusahaan, serta terjadinya keadaan memaksa (force majeur), sebagaimana dalam ketentuan pasal 164 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003, maka perusahaan harus membuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

Penutupan perusahaan selain terjadi akibat perusahaan mengalami kerugian selama 2 (dua) tahun secara terus menerus dan keadaan memaksa (overmacht), penutupan perusahaan dapat terjadi dalam hal perusahaan melakukan efisiensi. Pada ketentuan ini terdapat ketidakjelasan mengenai efisiensi seperti apa yang mengakibatkan perusahaan tutup. Sebelum Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011, banyak perusahaan menggunakan istilah efisiensi sebagai tindakan penutupan sementara perusahaan dalam hal perusahaan melakukan renovasi. Pada Putusan tersebut, permasalahan diawali ketika beberapa pekerja dalam sebuah perusahaan mengalami pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan yang melakukan penutupan akibat renovasi

perusahaan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adanya ketidakjelasan mengenai penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan melakukan efisiensi dalam pasal tersebut, maka para pekerja mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi.

Berkaitan dengan permohonan uji materi tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011 mengeluarkan amar putusan yang menyatakan pada amar nomor 2 dan 3 sebagai berikut :

- Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;

- Menyatakan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”;

Berdasarkan pada amar putusan tersebut, makna perusahaan tutup dalam ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, harus dimaknai sebagai perusahaan tutup secara permanen, sehingga tindakan efisiensi perusahaan seperti renovasi perusahaan yang mengakibatkan perusahaan tidak tutup secara permanen tidak

dapat dijadikan sebagai alasan atau sebab terjadinya penutupan perusahaan dengan mendasarkan pasal tersebut.

Pada dasarnya penutupan perusahaan secara permanen dengan alasan efisiensi perusahaan ini dapat mengakibatkan perusahaan tersebut menjadi bubar, namun tidak semua penutupan perusahaan secara permanen sebagaimana dalam ketentuan Pasal 164 ayat (3) tersebut mengakibatkan terjadinya pembubaran perusahaan, misalnya penutupan perusahaan cabang secara permanen dengan alasan efisiensi sehingga mengakibatkan pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap sebagian maupun seluruh pekerja pada perusahaan cabang tersebut. Penutupan perusahaan cabang secara permanen dengan alasan efisiensi tersebut tidak mengarah pada terjadinya pembubaran perusahaan karena induk perusahaan masih ada dan berjalan sebagaimana mestinya.

Dokumen terkait