• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

A. Nilai-nilai Budaya Lokal Aceh terkait dengan Kepemimpinan

Nilai budaya adalah satu bagian dari kebudayaan komunitas tertentu yang merupakan

suatu konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai tinggi dalam hidup, yang

menjadi pedoman tertinggi kelakuan dalam kehidupan satu masyarakat.60

Dengan demikian peribahasa mencakup ungkapan, bidal, perumpamaan, pepatah,

dan petitih, serta berisi tamsil, ibarat, perbandingan, nasihat, petuah, ajaran, asas hidup, atau

tata aturan tingkah laku yang dianut oleh bangsa pemilik bahasa yang bersangkutan dalam

menjalani hidupnya. Seperti dinyatakan oleh Danandjaja

Masyarakat Aceh

juga memiliki nilai budaya, yang salah satunya adalah nilai budaya yang terkait dengan

kepemimpinan. Pemahaman nilai budaya tentang prinsip kepemimpinan masyarakat Aceh

dengan menelaah dan mendalami peribahasanya. Kebenaran pendapat ini bertumpu pada

kenyataan bahwa arti luas peribahasa merupakan kata, frase, klausa, atau kalimat ringkas

yang baku dan tetap susunan serta pemakaiannya, yang (pernah) hidup dalam tradisi lisan

sesuatu bahasa, dengan isi yang selalu mengkiaskan maksud tertentu untuk dijadikan

penuntun berperilaku dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

61

60

Melalatoa, M. Junus. 2005. “Memahami Aceh Sebuah Perspektif Budaya”, dalam Bambang Bujono (ed.)

Aceh Kembali Ke Masa Depan. Jakarta: Katakita, Yayasan SET dan Gudang Garam. Hlm. 10 61

Danandjaja, James. 1984. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Gratifipers. , sebagai bagian folklore lisan

alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga

alat komunikasi dalam kontrol sosial. Karena kodratnya, isi peribahasa memang

dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, teladan, harapan dan nasihat, sehingga

idelanya dapat dijadikan bahan pelajaran berharga untuk diikuti dalam menjalani kehidupan

sehari-hari. Pelanggarnya disebut tercela.

Masyarakat Aceh mengenal peribahasa yang sesungguhnya menggambarkan jati

diri/watak dari masyarakatnya., yang disebut pula dengan hadis maja atau narit maja. Menurut Ali dkk62

Dalam sistem budayanya, masyarakat Aceh memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan

yang selaras dengan prinsip harmoni kehidupan di jagad raya. Hukum alam, fakta empris,

dan kesadaran logis untuk hidup berperaturan merupakan prinsip utama yang diyakini

sebagai poros kemaslahatan. Sebuah negeri, wilayah, kampung haruslah ada pimpinannya

narit maja menduduki tingkat kebenaran nomor tiga dalam masyarakat Aceh. Tingkat kebenaran pertama adalah WahyuAllah Swt. Tingkat kebenaran kedua adalah Hadis Rasulullah Saw. Tingkat kebenaran ketiga adalah Narit maja atau Peutitih peteteh. Karena kebenaran narit maja berada di bawah Hadis Nabi, maka orang-orang menyebutnya dengan atau hadih maja. Narit maja adalah tutur perkataan orang-orang tua zaman dahulu yang dapat dijadikan nasihat, petunjuk, petuah, ajaran, dan larangan itu pada

umumnya berkaitan dengan agama Islam, adat Istiadat, pendidikan, dan kehidupan

masyarakat. Narit yang tidak mengarah ke arah keluhuran budi tidak disebut narit/hadih maja.

62

yang diatur dengan peraturan dan hukum. Kalau prinsip-prinsip ini tidak ada, kehidupan

menjadi kacau balau disebut tidak berbudaya (no culture) bahkan lebih jauh lagi disebut tidak beradab (uncivilized). Berdasarkan teori serba sifat-sifat (traits theory) dalam kepemimpinan yang dipaparkan dalam kerangka teori, Di Aceh secara tradisional dikenal

tiga syarat minum dari seorang pemimpin, yaitu cerdas, berani, jujur.63

Dalam pandangan hidup orang Aceh pemimpin merupakan orang yang paling berat

tanggungjawabnya. Ia juga harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi karena seorang

pemimpin harus “tahan banting” dan tidak gampang menyerah atau berputus asa. Jika salah satu

syarat tidak terpenuhi gugur semua syarat lain atau gagal/tidak terpenuhi sebagai

pemimpin. Jelas syarat ini diwarisi dari keislaman. Ketentuan ini dinisbatkan kepada

tungku tempat menyerang periuk. Jadi hanya dua tungku pastilah gagallah acara

menyerang/menanak.

64

Selain

itu, seorang pemimpin harus mampu menerima berbagai kritik, baik yang sifatnya

konstruktif maupu yang sifatnya destruktif, sekaligus harus pula memahami karakter

masyarakat yang dipimpinnya secara baik.65

63

Wawancara dengan Bapak Azharudin Ramli, Keuchik gampong Lhok pawoh. Wawancara dilakukan tanggal 10 Mei 2015

64 ibid 65

ibid

Tanpa kesabaran dan rela menerima kritikan

tajam, seorang pemimpin di Aceh tidak bertahan lama, gagal, dan tidak berharga. Hal ini

tampak pada naritmaja berikut ini

(Kebun berpagar, sawah berpetak)

Nanggroe meusyarak maseng na raja

(Negeri berhukum semua ada raja)

Lagee mon tuha, Geulupak, tapeh keunan bandum

(Seperti sumur tua, Bongkah dan sabut kelapa semua ke situ)

Pada bagian lain, masyarakat Aceh juga memiliki beberapa prinsip dalam sistem

kepemimpinan mereka. Prinsip-prinsip kepemimpian itu diantaranya, yaitu:

1. Masyarakat Aceh tidak mengenal dualisme kepemimpinan.

Hal ini disebabkan akan terjadi silang kepentingan dan akhirnya terjadi perpecahan

yang dapat menyebabkan disharmoni dan disintegrasi negara dan bangsa. Hadih

maja yang menyatakan hal tersebut,

Nibak lon kalon dumnoe pie, Bakkeuh reule ho langkah ba, Hantom digob na digeutanyoe, Saboh nanggroe dua raja

(Daripada kulihat begini keadaannya, Biarlah hancur kemana langkah bawa, Tidak

pernah pada orang ada sama kita, Satu negeri dua orang raja)

Saboh nanggroe dua tanglong Saboh gampong dua peutua

2. Pemimpin adalah raja

Dalam terminologi masyarakat Aceh secara umum, pemimpin negara adalah raja.

Karena itu, orang yang berhak menjadi raja adalah keturunan raja atau anak raja

dari permaisuri. Hal ini terkait dengan legitimasi yang secara resmi mengakui

pengganti raja adalah anak raja yang sah secara hukum. Hukum adat tidak

membenarkan anak dari selir diangkat menjadi raja. Namun adalah yang penting

juga dengan konsep ini adalah bahwa pemimpin harus memenuhi syarat seorang

pemimpin, seperti baik keturunannya, baik sifatnya, cerdas sebagai factor/karakter

genetis, beragama, beradat, dan beradab. Hadih maja yang menyatakan hal ini

adalah:

Euncien bak putu bek tasok bak gitek, Aneuk bak gundek bek taboh keu raja

(Cincin di jari manis jangan dipakai di kelingking, Anak pada gundik jangan

diangkat menjadi raja)

3. Pemimpin haruslah memperhatikan rakyatnya dalam berbagai bidang

Masyarakat Aceh mengidamkan seorang pemimpin yang peduli terhadap rakyat

dalam segala bidang kehidupan. Prinsip ini masih dipegang oleh masyarakat. Bagi

seorang pemimpin yang mampu menjalankan amanah tersebut, maka rakyat akan

menaruh cinta kepadanya. Mereka akan mengikuti dengan sungguh-sungguh dan

menyerahkan semua urusan pemerintahan kepadanya. Hal ini tampak pada narit maja berikut ini,

Nyankeuh raja nyang seureuloe Aneuk nanggroe that geuaja

(itulah raja yang sangat utama Selalu mengajari rakyatnya)

Akan tetapi, jangan sekali-kali seorang pemimpin di Aceh menzalimi rakyat atau

bawahannya. Jika pemimpin mereka baik, orang Aceh akan mengikuti dengan baik,

tetapi jika pemimpin berlaku zalim, maka orang Aceh akan melawannya. Prinsip

ini tercermin dalam hadih maja berikut ini:

Raja ade geuseumah Raja laklem geusanggah

(Raja adil disembah Raja zalim disanggah)

Adapun alasan melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang zalim adalah

karena pemimpin zalim tersebut dapat menyebabkan sebuah negeri menjadi sial,

yaitu rusaknya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, untuk

mencegah kerusakan yang bakal terjadi, rakyat sebagai salah satu elemen penting

dalam negara harus memberikan peringatan kepada kepala negara, baik cara lembut

maupu keras sesuai dengan situasi dan kemampuan yang dimiliki. Dimungkinkan

halnya makmum dianjurkan menegur imam yang lalai atau keliru dalam rukun

shalat berjamaah. Hal ini tampak dari narit maja berikut

Paleh inong hana lakoe Paleh nanggroe laklem raja

B. Pengaruh Islam terhadap Sistem Kepemimpinan di Aceh

Islam beserta ajarannya bagi ureueng Aceh bukanlah suatu istilah atau nama yang asing. Masyarakat Aceh, dalam sejarahnya hingga kini, dianggap sebagai penganut Islam

yang kuat. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tolok ukur dan barometer atas segala

pola sikap, tindak -tanduk, tata perbuatan dan penampilan mereka dalam pergaulan

sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus jelek,

baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan apakah sejajar atau

bertentangan dengan ajaran Islam.

Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran Islam dalam kehidupannya.

Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran Islam diwujudkan dalam

bentuk akulturasi antara adat dengan ajaran agama. Hal ini berarti bahwa seseorang yang

telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat,

maka hal itu berarti ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agamanya pula,

atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut.66

1. “Adat bak Poteumeurohom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bakLaksamana”.

Oleh karena

itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas

dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek

seperti yang termaktub dalam beberapa narit maja di bawah ini.

66

Nyak Pha M. Hakim. 2000. “Adat dan Penegakan Disiplin Masyarakat”, dalam Haba No. 13/2000. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.hlm. 10.

(Adat-hukum pengaplikasiannya dalam masyarakat berada di bawah tanggung jawab sultan/raja/kepala pemerintahan, sedangkan hukum- hukum Islam berada di

bawah tanggung jawab ulama, adat-istiadat, tata upacara protokoler istana berada di

bawah tanggung jawab berada di bawah tanggung jawab - Putroe Phang/permaisuri

sultan dan adat istiadat atau kebiasaan lokal berada di bawah tanggung jawab

penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin setempat).

2. Hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet

(Hukum Islam dan Hukum adat ibarat benda dengan sifatnya, jadi tidak dapat

dipisahkan) karena hokum adat adalah perangkat pelaksanaan dari hukum.

3. Hukum ngon adat hanjeuet cree, lagee mata itam ngon mata puteh (Hukum Islam dan hukumadat tidak boleh berpisah seperti mata hitam dan mata putih)

Dalam kaitan dengan sistem kepemimpinan, Islam pun mempunyai sistem atau

mekanisme tersendiri. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,

“Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung-jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggujawab atas

kepemimpinannya. Seorang isteri adalah pemimpin dan bertanggungjawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang karyawan (pelayan) bertanggungjawab atas harta perusahaannya (majikan). Seorang anak bertanggungjawab atas penggunaan harta ayahnya. (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Nilai-nilai Islam tersebut kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam

diri anggota masyarakat Aceh. Sebagai sebuah masyarakat yang Islami, strata dan sistem

organisasi dalam masyarakat Aceh dibangun berdasarkan konsep pemerintahan yang

bernuansa Islami, Karena sejak dahulu sudah ada ungkapan, “Nanggroe meusyara’, lampôh meupageue, umong meuateueng, ureueng mepetua.” yang artinya Negeri bersyarak, kebun berpagar, sawah berpematang, orang berpimpinan’. Narit maja ini menyiratkan bahwa sebuah komunitas mestilah memiliki kaidah, hukum, konvensi, dan

batasan-batasan tertentu. Hal ini sangat berguna dalam rangka membangun sebuah

kehidupan yang harmonis.

Untuk itu, hukum Kerajaan Aceh Darussalam dinyatakan sebagai negara yang

berbudaya hukum. Pemahaman itu termaktub dalam Qanun al-Asyi, sebagai berikut:

”Bahwa negeri Aceh Darussalam adalah negeri hukum yang mutlak sah dan bukan negeri hukuman yang tidak mutlak sah. Dan rakyat bukan patung yang berdiri di tengah padang, akan tetapi rakyat seperti pedang sembilan mata yang amat tajam, lagi besar matanya, lagi panjang sampai ke timur dan ke barat, jangan dipermudah sekali-kali hak rakyat”.

Qanun al-Asyi yang disebut juga dengan Adat Meukuta Alam yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadist, Ijma’ Ulama dan Qias, menetapkan ada empat sumber hukum, bagi

kerajaan Aceh, yaitu:

b. Kekuasaan Adat (Eksekutif) yang dipegang oleh Sultan Malikul Adil.

c. Kekuasaan Qanun (Legislatif) yang dipegang oleh Majelis Mahkamah Rakyat

(Dewan Perwakilan Rakyat).

d. Kekuasaan Reusam (Hukum Darurat) yang dipegang oleh Penguasa Tunggal,

yaitu Sultan sebagai penguasa tertinggi dalam masa darurat atau waktu negara

dalam keadaan perang.

Kemudian dalam menjalankan empat jenis hukum dalam kerajaan, Qanun al- Asyi

menetapkan bahwa Raja dan Ulama harus menjadi Dwi Tunggal (tidak boleh jauh atau

bercerai) dalam sistem kepemimpinan di tingkat kerajaan, seperti disebutkan dalam Qanun:

”Artinya Ulama dengan Raja atau Rais tidak boleh jauh atau bercerai. Sebab jikalau ulama bercerai dengan Raja atau Rais, niscaya binasalah negeri. Barang siapa mengerjakan Hukum Allah dan meninggal-kan Adat, maka tersalah dengan dunianya dan barangsiapa mengerjakan Adat dan meninggalkan Hukum Allah, maka tersalah dengan Allah. Maka hendaklah Hukum dan Adat itu seperti gagang pedang dengan mata pedang”.

Dalam konteks yang lebih luas, negara atau kerajaan, keharmonisan tersebut

kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam distribusi kekuasaan antarelit dalam komunitas

tersebut, seperti dikatakan dalam narit maja sebelumnya, bahwa Adat bak Poteu

Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusambak Lakseumana. Atau Adat bak Poteu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang,

Reusam bak Bentara/Laksamana. Narit maja tersebut menyebutkan bahwa persoalan adat-istiadat, sistempemerintahan, hendaklah disesuaikan dengan konvensi para raja dan

diserahkan sepenuhnya pada raja, PoteuMeureuhôm. Namun, Persoalan hukum diatur oleh ulama, Syiah Kuala. Karenanya, tidak berlebihan kalau pararaja (masa lalu ataupun saat

ini) berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan, menghidupkan kembali, dan takut

sekali melanggar adat (walau kadang bertentangan dengan syariat Islam). Sikap ini

merupakan pengejawantahan pemikiran bahwa adat-istiadat yang ada dalam masyarakat

idealnya dipertahankan, tidak diubah, sesuai dengan maksud narit maja, “Boh malairi ie paseueng surôt, adat datôk nini beutaturôt” ‘buah malairi air pasang surut, adat nenek moyang hendaklah diturut’.

C. Bentuk/Wujud Sistem Kepemimpinan di Aceh Berdasarkan Qanun Meukuta Alam

Di dalam Qanun Meukuta alam ditekankan bahwa seorang penguasa diminta untuk menghormati dan merujuk kepada para ulama dalam urusan keagamaan, yang dalam

praktiknya kemudian para ulama ketika itu menempati berbagai posisi penting di kerajaan,

dari posisi yang berbentuk Agama (seperti qadhi, faqih, mufti, dan Shaykh al-Islam hingga posisi politis (seperti penasihat sultan, ketua dewan kerajaan dan wakil sultan). Ulama

merujuk kepada kitab suci Al Qur’an, Hadis Rasulullah, Qias

Merujuk pada hal tersebut di atas, maka dapat kita lihat juga pada aspek

kepemimpinan yang lain. Berdasarkan pendekatan historis, masyarakat Aceh dapat

ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan sultan yang merupakan pimpinan

atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pimpinan unit pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe (Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi (di Aceh Besar), Imeum Mukim yang menjadi pimpinan unit

pemerintahan Mukim dan Keuchik atau Geuchik yang menjadipimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Mereka semua atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu secara hierarkis dikenal sebagai lapisan

pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler.67

Tabel 1

Struktur Kepemimpinan Masyarakat Aceh

Tingkat/Hirarki

Jabatan

Pemimpin Agama

Pemimpin Dunia

Negara Kadhi Malikul Adil Sultan

67

Keuleebalangan

Qadli Uleebalang

Mukim Imeum Mesjid Imeum Mukim

Gampong Imeum Meunasah

(teungku)

Keuchik

Sumber: Agus Budi Wibowo (2009)68

1. Teungku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan Sementara golongan ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi

masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena para ulama ini mengurusi hal-hal yang

menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang cendekiawan yang berilmu agama

Islam, yang dalam istilah Aceh disebut ureueng malem. Dengan demikian tentunya sesuai dengan predikat/sebutan ulama itu sendiri, yang berarti para ahli ilmu atau para ahli

pengetahuan. Adapun golongan atau kelompok ulama ini dapat disebut yaitu :

68

keagamaan padasuatu unit pemerintahan Gampong (kampung).

2. Imeum Mesjid (Imam Mesjid), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah mesjid padawilayah mukim yang bersangkutan.

3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan (Kadhi Malikul Adil) dan

juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.

4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti

dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi ulama yang sudah cukup tinggi tingkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chik, setingkat diatasnya diberi gelar dengan Teungku Syeikh (Syaikhul Islam/guru besar), aulia (waliyullah), dan seterusnya.

Selain kepemimpinan yang telah disebutkan di atas terdapat pula beberapa bentuk

kepempimpinan pada tataran kampung atau gampong di Aceh. ”Keuchik” adalah pemimpin yang mengepalai sebuah Gampong (kampung). Gampong merupakan bentuk teritorial terkecil dari susunan Pemerintahan di Aceh, yang terdiri atas beberapa kelompok rumah

tangga dan memiliki sebuah tempat kegiatan bersama, bermusyawarah dan beribadat bagi

warga yang disebut dengan ”Meunasah”. Di samping itu ada ”Balei” tempat lebih kecil dari

Meunasah (fungsinya hampir sama). Keuchik merupakan tokoh sentral Gampong, dalam melaksanakantugasnya dibantu oleh Waki dan Tuha Peut Gampong.

Sistem pemerintahan yang ada dalam masyarakat Aceh diduga kuat berasal dari

Qanun Asyi (adat meukuta alam), sebuah undang-undang yang dibuat pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1675 M).14 Undang-udang ini mengatur sistem pemerintah mulai

pada level paling bawah (gampong) sampai pada level paling atas yaitu kesultanan. Pada masa ini tidak ada batasan waktu tertentu bagi seorang keuchik, waki, maupun tuha peet

dalam menjabat.69

Ada syarat untuk menjadi pemimpindan itu telah ditulis dalam Qanun Syara’

Al-Asyi, karena adat Aceh itu berdasarkan syariatIslam. Pada masa Sultan Shalahuddin

Syarat yang mesti dimiliki calon pemimpin gampong yang dalam istilah kitab

“Tazkirah Thabaqat” disebut Geusyik boleh dinamakan sebagai syarat kunci. Sebab semua

jabatan lain terlebih dahulu juga harus memiliki syarat-syarat ini; selain harus pula

mempunyai syarat-syarat khusus di bidang yang diembannya. Jadi, “syarat kunci” itu

selain berlaku untuk jabatan di bawah Geusyik, juga diterapkan buat jabatan yang tertinggi

dalam kerajaan; terkecuali bagi Sultan Aceh. Jabatan di bawah Geusyik pada masa dahulu

sejumlah 10 orang, yakni Wakil Kuchik, Tuha Peuet, Imam Rawatib atau Teungku

Meunasah dan 4 orang wakilnya. Sementara jabatan-jabatan di atas keuchik (Kepala desa)

banyak sekali seperti Kadli Malikul Adil/Jaksa Tinggi, Kerukun Katibul Muluk/Sekretaris

Negara, Kadli Mu’adham (Hakim Agung), para Menteri, Hulubalang-hulubalang, para

Mukim, Panglima Laot dan lain-lain. Maka semua mereka itu wajib memiliki syarat-syarat

kunci itu.

69

SyamsuSyah (881 H) beliau menyatakan, bahwa Aceh Islam. Adat istiadat, seni budaya

harus sesuai dengan Islam, yang tidak sesuai dengan Islam harus dimodifikasi sehingga

sesuai denganIslam. Dan yang tidak bisa dimodifikasi sepertipenyembahan terhadap

patung dan berhalaitu wajib ditinggalkan.

Syarat untuk dapat dipilih dan lalu diangkat sebagai Geusyik tersebut 20 (dua

puluh) macam kriterianya. Malah, kalau terus diperinci lagi akan menjadi 30 macam.

Namun, penyebutan istilah syarat dalam naskah lama ini, kalau dengan istilah bahasa

Indonesia modern sekarang bisa bermakna: “Syarat dan Tugas/Kewajiban.

Untuk lebih jelasnya, baiklah saya kutip syarat-syarat tersebut. Karena kitab

“Struktur Kerajaan Aceh” itu tertulis dalam bahasa Melayu, maka akan saya kutip secara

langsung, karena bahasanya tidak berbeda jauh dari bahasa Indonesia.

Syarat-syarat calon keuchik di Aceh tempoe dulu adalah sebagai berikut; yaitu:

1. Berumur sekurang-kurangnya 40 tahun.

2. Bukan bekas ‘abdi pemerdehkaan orang.

3. Mengetahui hukum wajib fardhu ‘ain dan hukum wajib fardhu kifayah.

4. Mengetahui hukum syarak Allah dan hukum syarak Rasulullah, dan hukum

syarak Qanun kerajaan Aceh.

5. Mengetahui rukun Qanun kerajaan negeri (negeri Aceh) yang sepuluh

perkara.

7. Memelihara lidah dari pada perkataan yang keji-keji.

8. Ahli ‘akal bijaksana, luas pikir, paham dalam.

9. Janganlah mendengar khabaran fitnah dan hasutan.

10.Janganlah thamak atas harta orang dengan merampas milik orang.

11.Handaklah memperdamaikan orang yang berkelahi, bantah dakwa-dakwi

dalam Gampong, yaitu Hukum dan Adat dan Resam, dan Qanun pada

masing-masing hak, sekali-kali jangan bertukar-ukar.

12.Hendaklah menyembunyikan rahasia dirinya dan rahasia rakyat Gampong

pada tiap-tiap yang keji, yang memberi ‘ayib kejahatan sehingga jadi sampai

haru-hara.

13.Dapat menikahkan orang dalam Gampong, apabila perlu datang masanya.

14.Qari dan fasih membaca Fatihah waktu jadi Imam Sembahyang Jamaah.

15.Dapat menunaikan fardlu kifayah, yaitu memandikan mayat, mengafani

mayat dan jadi imam sembahyang mayat dan lain-lain.

16.Dapat menahan amarah serta sabar atas kepayahan.

17.Jangan bersetia dan jangan bersahabat dengan orang yang jahil dan jahat

perangainya. Tetapi wajib dengan menghardik dengan memberi nasehat

dengan mempertakut mereka itu.

18.Dapat membahagikan harta zakat fitrah yang ada dalam Gampong;

Dokumen terkait