TINJAUAN PUSTAKA
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
2. Penyakit infeksi
Interaksi antara infeksi, status gizi, dan sistem imun telah diketahui sejak lama. Infeksi mengakibatkan malnutrisi dan malnutrisi menyebabkan kerentanan terhadap terjadinya infeksi. Malnutrisi yang
disertai infeksi akan memperburuk malnutrisi yang ada, sebaliknya infeksi yang menyertai malnutrisi dapat memperburuk derajat infeksi yang terjadi serta mengakibatkan terjadinya infeksi berulang. Malnutrisi berat akan menghambat imunitas tubuh terhadap infeksi, merusak barier perlindungan kulit dan membran mukosa serta menurunkan jumlah dan kapasitas fagositosis lekosit sebagai bagian dari sistem imunitas tubuh, sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Pada saat terjadinya infeksi, tubuh kehilangan zat-zat gizi yang diperlukan dalam sistem imunitas akibat diare, gangguan absorpsi usus, anoreksia, proses katabolisme, peningkatan penggunaan zat-zat gizi dan penarikan zat-zat gizi dari tubuh yang dibutuhkan untuk sintesis dan pertumbuhan jaringan, yang semuanya menurunkan sistem imunitas tubuh sehingga berakibat pada memburuknya infeksi yang ada (Schrimshaw NS; Brown KH, 2003).
Malnutrisi dapat mempengaruhi sistem imun pada beberapa tahap yaitu:
a. Perkembangan dan diferensiasi sel imun b. Inisiasi respons terhadap patogen
c. Hambatan perlindungan sistem imun
Efek defisiensi gizi terhadap respons imun tergantung pada tingkat dan lamanya defisiensi. Kurang energi protein (KEP) berhubungan dengan kerentanan terhadap infeksi, derajat infeksi yang
lebih berat, dan morbiditas yang tinggi akibat infeksi. KEP menyebabkan atrofi organ limfoid dan gangguan sistem imun, khususnya imunitas seluler dimana terjadi pergeseran populasi limfoid dari populasi sel T ke sel non T, non B dengan mempertahankan jumlah dan persentase sel limfoid. Peningkatan null cell secara nyata berhubungan dengan peningkatan populasi sel natural killer (NK cell) (Sorensen RU et.al., 1993)
Sedangkan infeksi dapat mempengaruhi masukan zat gizi dan metabolisme melalui peranan sitokin. Sitokin merupakan mediator larut dari respons imun, yang memegang peranan penting dalam pengaturan imun. Sitokin diproduksi sebagai respons terhadap faktor pencetus seperti infeksi, respons inflamasi, dan stress seperti kelaparan. Respons sitokin penting dalam pertahanan tubuh, tapi juga dapat menyebabkan kondisi ekstrim seperti syok septik dan menyebabkan kehilangan jaringan tak berlemak (lean tissue) dan lemak tubuh.
Penelitian juga menunjukkan bahwa kerentanan terhadap infeksi pada KEP mungkin berhubungan langsung dengan defisiensi zat gizi mikro, komplikasI yang sering terjadi pada malnutrisi. Zat gizi mikro penting dalam perkembangan dan pertumbuhan organ limfoid dan respons imun (Cunningham-Rundles S dan Cervia JS, 1997).
Infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur, tetapi lebih nyata pada kelompok anak-anak. Infeksi juga mempunyai kontribusi terhadap defisiensi kalori, protein, dan zat gizi lain karena menurunnya nafsu makan sehingga asupan makanan berkurang. Kebutuhan energi pada saat infeksi bisa mencapai dua kali kebutuhan normal karena meningkatnya metabolisme basal (Thaha, 1995).
Respon katabolik terhadap infeksi ditandai dengan demam, hipermetabolisme dan gangguan metabolisme glukosa, protein dan lemak. Glukoneogenesis hepatik, lipolisis perifer dan proteolisis meningkat. Hipermetabolisme dapat meningkatkan kebutuhan basal sampau 20 – 60 %. Kembalinya metabolisme menjadi normal dan keseimbangan nitrogen positif tergantung eliminasi infeksi (Williamsonm 1992). Interaksi-antara infeksi dan status gizi telah lama diketahui. Infeksi mengakibatkan status gizi kurang dan status gizi kurang menyebabkan kerentanan terhadap terjadinya infeksi. Gizi kurang disertai infeksi akan memperburuk derajat infeksi yang terjadi serta meningkatkan kejadian infeksi berulang (Keusch, 2003).
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu panyakit infeksi yang erat kaitannya dengan masalah gizi. Tanda dan gejala penyakit ISPA ini bermacam-macam antara lain batuk, kesulitan bernafas, tenggorakan kering, pilek demam dan sakit telinga. ISPA disebabkan lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan ricketsia. Dua
penelitian yaitu Maltene (1991) dan Walker (1992) menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara berat badan dan infeksi saluran pernafasan. Pada anak umur 12 bulan batuk sebagai salah satu gejala infeksi saluran pernafasan hanya memiliki asosiasi yang signifikan dengan perubahan berat badan, tidak dengan perubahan tinggi badan (Depkes, 1996).
Berbagai hasil studi menujukkan terjadinya penurunan berat badan anak setiap hari selama ISPA berlangsung (Noor, 1996). Diperkirakan panas yang menyertai ISPA memegang peranan penting dalam penurunan asupan status gizi karena menurunnya nafsu makan anak (Thaha, 1995).
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya. Diare menjadi penyebab penting bagi kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh adanya anoreksia pada penderita diare, sehingga ia makan lebih sedikit daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan juga berkurang. Padahal kebutuhan tubuh akan makanan meningkat akibat dari adanya infeksi. Setiap episode diare dapat menyebabkan kekurangan gizi, sehingga bila episodenya berkepanjangan maka
dampaknya terhadap pertumbuhan anak akan meningkat (Depkes RI., 1999).
Diare secara epidemiologik didefinisikan sebagai keluarnya tinja yang lunak atau cair tiga kali atau lebih dalam satu hari. Secara klinik ada tiga macam sindroma diare (Depkes RI., 1999) yaitu
a. Diare akut adalah pengeluaran tinja yang lunak atau cair yang sering dan tanpa darah, biasanya berlangsung kurang dari 7 hari. Diare ini dapat menyebabkan dehidrasi dan bila masukan makanan kurang akan mengakibatkan kurang gizi.
b. Disentri adalah diare yang disertai darah dalam tinja. Akibat penting disentri antara lain anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat dan kerusakan mukosa usus karena bakteri invasif.
c. Diare persisten adalah diare yang mula-mula bersifat akut, namun berlangsung lebih dari 14 hari. Episode ini dapat dimulai sebagai diare cair atau disentri. Kehilangan berat badan yang nyata sering terjadi dan volume tinja dalam jumlah yang banyak sehingga ada risiko mengalami dehidrasi. Diare persisten berbeda dengan diare kronik yaitu diare intermiten (hilang-timbul), atau yang berlangsung lama dengan penyebab non infeksi, seperti sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme yang menurun.