Peralihan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah memindahkan, sedangkan hak berarti benar.12 Jadi dalam pengertian peralihan hak atas tanah wakaf adalah memindahkan atau beralihnya penguasaan tanah wakaf yang semula milik sekelompok masyarakat ke masyarakat lainnya. Peralihan tersebut dapat dilakukan dengan cara menukar/memindahkan tanah wakaf. Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.
Peralihan penguasaan yuridis atas tanah wakaf tersebut, bisa beralihnya itu penguasaannya karena terjadi sengketa, dan bisa juga beralihnya itu karena peruntukan tanah wakaf tersebut tidak produktif lagi. Masalah perwakafan sebagai salah satu peralihan hak dalam hukum Islam, selain cara
dalam hal ini Allah SWT telah berfirman:
$yg•ƒr'¯»tƒ
šú ïÏ%©!$#
berbenturannya dua kepentingan di atas, tidak menutup kemungkinan juga hal tersebut juga terjadi pada tanah wakaf.
Tanah wakaf dalam perkembangannya masih banyak terdapat masalah baik dari segi pengelolaannya, maupun dari segi pengamanan atau penguasaannya. Tidak sedikit terdapat kasus tanah wakaf yang terjadi di tengah tengah masyarakat yang pada akhirnya terjadi peralihan penguasaan tanah wakaf yang semula merupakan aset umat dan digunakan untuk kepentingan umat menjadi penguasaan hak milik pribadi.
Beberapa contoh kasus berubahnya status penguasaan tanah wakaf menjadi milik pribadi dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Alun-alun Kota Bandung dan tanah disekitar Masjid Agung Kota Bandung yang saat ini ditempati toko-toko dan Hotel, konon berdasarkan informasi dari saksi-saksi, tanah-tanah tersebut merupakan tanah wakaf, yang merupakan kesatuan dari tanah masjid Agung Kota Bandung. Dengan dibangunnya toko-toko dan hotel, berarti tanah tersebut sekarang statusnya bukan lagi tanah wakaf, melainkan telah menjadi milik perseorangan atau perusahaan.16
2. Gedung di Jalan Tanjungan Kota Surabaya, berdasarkan informasi-informasi tanah tersebut semula merupakan tanah wakaf dan sekarang menjadi gedung gedung pertokoan yang dimiliki orang-orang warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina, India dan lain lain.17
16Rahmat Djatmika, Wakaf dan Masyarakat Serta Aplikasinya (Aspek-aspek
Fundamental). Mimbar Hukum Nomor 7 Tahun ke III, Jakarta, 1992 hlm 2
3. Tanah bekas gedung Madrasah Ibtidaiyah(MI) Nurul huda km 6 samping Masjid Taqwa Simpang Padang Harapan Kota Bengkulu, semula tanah tersebut merupakan tanah wakaf dan sekarang menjadi milik perorangan setelah digugat oleh keluarga (cucu) si Wakif. Lantaran kurang kuatnya bukti-bukti kepemilikan tanah wakaf tersebut, yang menjadi pegangan Departemen Agama.18
Karena besarnya potensi wakaf bagi kepentingan umat, maka diperlukan langka langka antisipatif dan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa tanah wakaf merupakan milik bersama, dan harus dipelihara dan dijaga secara bersama pula. Penyerobotan dan pengambilalihan tanah wakaf menjadi milik pribadi lebih banyak disebabkan oleh lemahnya bukti otentik sebagai hak milik wakaf yang seharusnya dibuktikan dengan sertipikat wakaf sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, di mana setiap bidang tanah tentunya termasuk tanah wakaf harus didaftarkan sehingga terjadi kepastian hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf prihal pendaftaran tanah wakaf ini juga disebutkan dalam Pasal 34 dan Pasal 36, yaitu menjadi kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Kalau dikaitkan dengan pendapat A.P. Perlindungan, yang menyatakan “Hak atas tanah wakaf yang sudah diberikan kepada usaha sosial dan keagamaan, hanya ada right to use saja, sedangkan right to disposal-nya
18Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Bengkulu, Direktori Wakaf Provinsi Bengkulu Tahun 1995.
tidak ada, karena dianggap ditariknya hak atas tanah tersebut dari peredaran lalu lintas ekonomi, sehingga tidak boleh diasingkan ataupun dijadikan jaminan hutang.19 Dengan berpedoman pada pendapat ini bertambah jelas, bahwa tanah wakaf bukan menjadi obyek perdagangan, artinya tidak bisa dialihkan secara hukum penguasannya sehingga menjadi hak milik perorangan.
Dalam undang-undang wakaf sendiri secara tegas menentukan bentuk-bentuk perbuatan hukum yang dilarang terhadap harta benda obyek wakaf, mulai dari pengikatan jaminan, penyitaan, hibah, jual beli, pewarisan, tukar menukar bahkan dalam bentuk perbuatan hukum lainnya yang mengakibatkan terjadinya peralihan harta benda wakaf.20 Bahkan disertai ancaman pidana, disebutkan jika setiap orang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan, mengalihkan, dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan tanpa izin, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banya Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah).
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tanah mempunyai peran yang amat penting, baik sebagai tempat tinggal, maupun kegiatan perkantoran, tempat kegiatan usaha, baik perdagangan, pertanian, perternakan dan lain- lainnya, maupun sebagai kegiatan pendidikan, peribadatan , tempat pelayanan kesehatan dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa modal utama dalam kehidupan kemasyarakatan Indonesia adalah
19A.P. Perlindungan, Loc. Cit, hlm 146
tanah.21 Apalagi dengan perkembangan yang begitu pesat, pembangunan di berbagai bidang membuat kedudukan tanah menjadi sangat penting. Akibatnya muncul berbagai perbedaan kepentingan antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat sehingga bermunculan kasus-kasus tanah termasuk pengalihan dan penguasaan tanah wakaf. memang secara umum ada kelemahan dalam masalah wakaf tanah yaitu mengenai adminitrasi perwakafan yang masih sangat lemah. Hal inilah di antaranya yang sering menjadi masalah dalam perwakafan.
Berdasarkan data di atas, maka peneliti simpulkan penyebab terjadinya peralihan penguasaan yuridis atas tanah wakaf yang banyak terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah disebabkan belum dilaksanakannya pendaftaran tanah wakaf, sehingga terjadi ketidakpastian hukum status tanah wakaf. Nazhir yang mengelola tanah wakaf dalam kaaus di mana tanah wakaf tidak didaftarkan, menjalankan fungsinya sebagai nazhir di bawah tangan. Keadaan ini dapat disalahgunakan oleh nazhir yang diberi kewenangan mengurus tanah wakaf itu untuk mengaku tanah wakaf sebagai miliknya. Yang diperparah lagi tidak adanya pengumuman kepada masyarakat bahwa bidang tanah tertentu itu merupakan tanah wakaf. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat tidak adanya dokumen tanah wakaf yang kuat, yaitu yang dibuat berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
21Van Dijk, Pengadilan Hukum Adat di Indonesia, Terjemahan MR. A.Serkardi,Cetakan III, Bandung, 1984, hlm 54.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, walaupun belum terevaluasi, namun kemungkinan akan terjadinya penyalahgunaan tanah wakaf oleh nazhir masih cukup besar, apalagi kalau pengawasan terhadap nazhir tidak berjalan maksimal. Hal ini bisa terjadi karena menurut Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, setiap bidang tanah wakaf yang didaftarkan dan disertipikatkan atas nama Nazhir. Untuk mengatasi terlalu bebasnya nazhir dalam menguasai tanah wakaf secara fisik, maka pengawasan terhadap nazhir harus diperketat, yakni dengan meminta laporan tahunan pelaksanaan tugas nazhir.
Penyebab lainnya, peneliti melihat bahwa tanah wakaf penguasaannnya diserahkan kepada nazhir, penguasaan tanah waaf oleh nazhir termasuk penguasaan fisik, karena wewenang nazhir terbatas pada wewenang mengurus/mengoah belaka, jadi nazhir bukan pemilik. Akan tetapi dalam sertipikat tanah wakaf, yang muncul adalah nama nazhir. Apabila pengawasan oleh Badan Wakaf Indonesia lemah, maka peluang disalahgunakannya tanah wakaf oleh nazhir menjadi sangat besar. Dengan demikian peneliti menyatakan lemahnya pengawasan terhadap penggunaan tanah wakaf yang dilakukan oleh badan wakaf Indonesia, atau sebelum adanya undag-undang wakaf pengawasan yang dilakukan oleh Kakanwil Depag cq kepala bidang yang diserahi mengawasi tanah wakaf, menjadi penyebab beralihnya penguasaan yuridis tanah wakaf kepada perorangan atau lembaga.
F.Peralihan Penguasaan Yuridis Hak Atas Tanah Wakaf Menurut Hukum Tanah Nasional.
Peralihan hak atas tanah menurut hukum agraria nasional selain dapat dilakukan melalui jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, warisan dan lain- lainnya, peralihan hak atas tanah dapat juga dilakukan dengan wakaf..22 Peralihan tanah dengan cara wakaf ini bersifat kekal, abadi dan untuk selama- lamanya. Dengan kata lain suatu tanah hak milik yang sudah dialihkan haknya kepada pihak lain dengan cara wakaf, berakibat tanah tersebut terlembagakan untuk selama-lamanya dan tidak bisa dialihkan kepada pihak lain lagi, baik melalui cara jual beli, tukar menukar, hibah dan sebagainya, kecuali ada alasan-alasan hukum yang membolehkannya.23
Mengingat sifat tanah wakaf itu kekal, artinya tidak boleh ada wakaf untuk jangka waktu tertentu saja, karena wakaf merupakan amal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara mengeluarkan atau menyisihkan sebahagian hartanya di jalan Allah SWT. Oleh karena itu maka benda (tanah) yang diwakafkan adalah benda yang manfaatnya berlaku secara berkepanjangan seperti tanah.24 Adapun tanah yang dapat diwakafkan adalah tanah yang mempunyai status hak milik, sehingga yang berstatus hak-hak
22Taufik Hamami, Perwakafan tanah dalam politik HukumAgraria Nasional,Tata Nusa,Jakarta 2003. hlm 30
23Ibid
lainnya misalnya tanah status hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan sebagainya tidak dapat diwakafkan.25
Menurut penulis dikhususkannya tanah obyek wakaf terhadap tanah hak milik, hal ini sesuai dengan sifat hak milik atas tanah, yaitu berlaku terus menerus, turun temurun, sehingga patut dijadikan obyek wakaf. Pelaksanaan wakaf tidak dibatasi jangka waktu terentu, melainkan sekali tanah itu diserahkan kepada nazhir (diwakafkan) maka untuk selama-lamanya tanah tersebut menjadi kekal penggunaannya sebagai tanah wakaf. Oleh karena itu tanah hak miliklah yang layak dijadikan obyek wakaf. Tanah hak milik yang diwakafkan itupun harus bebas dari segala beban ikatan, jaminan, sita dan sengketa.26 Berbeda dengan hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah, yang dibatasi jangka waktu tertentu. Ketentuan ini dimaksudkan agar setelah terjadinya peralihan hak atas tanah wakaf tidak menimbulkan permasalahan hukum dengan pihak lain.
Sebagaimana ketentuan peralihan hak milik atas tanah yang diatur dalam Hukum Agraria Nasional, juga berlaku dalam peralihan hak atas tanah wakaf, dinyatakan “Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan Badan Wakaf Indonesia (BWI).27 Secara rinci lagi proses peralihan hak milik tanah wakaf diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor
25Sudaryo Sejimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafik, Jakarta, 1985, hlm 69
26
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanannya, Djambatan, Jakarta,1999, Hlm 333
27Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang -Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, tepatnya dalam Pasal 37 yang menentukan:
(1) pejabat pembuat ikrar wakaf benda tidak bergerak berupa tanah adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dan atau pejabat yang menyelenggarakan urusan wakaf.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), tidak menutup kesempatan bagi wakif untuk membuat Akta ikrrar wakaf di hadapan notaris.
Setelah tanah wakaf dibuat Akta Ikrar Wakaf (AIW) oleh Penjabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), maka tanah wakaf tersebut didaftarkan pada Kantor Pertanahan melalui Kantor Departemen Agama kabupaten/ Kota untuk diproses penerbitan dan sertipikatnya. Adapun tata cara pendaftaran tanah wakaf menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) yang menentukan bahwa pendaftaran sertipikat tanah wakaf dilakukan berdasarkan Akta Ikrar wakaf atau Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf dengan tata cara sebagai berikut : a. Terhadap tanah yang sudah berstatus hak milik didaftarkan menjadi tanah
wakaf atas nama Nazhir.
b. Terhadap tanah hak milik yang diwakafkan hanya sebahagian dari luas keseluruhan harus dilakukan pemecahan sertipikat hak milik terlebih dahulu, kemudian didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nahzir.
c. Terhadap tanah yang belum berstatus hak milik yang berasal dari tanah milik adat langsung didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nahzir. d. Terhadap hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai di atas tanah
negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf (c) yang telah mendapat persetujuan pelepasan hak dari pejabat yang berwenang di bidang pertanahan didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nahzir. e. Terhadap tanah negara yang diatasnya berdiri bangunan masjid, musholla,
makam didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nahzir.
f. Pejabat yang bewenang di bidang pertanahan kabupaten/ kota setempat mencatat perwakafan tanah yang bersangkutan pada buku tanah dan sertipikatnya.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bahwa Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, artinya pemanfaatan tanah harus berdasarkan pada tujuan untuk kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi. AP. Parlindungan menyatakan “dengan fungsi sosial itu dimaksudkan hak atas tanah itu tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan masyarakat. Beliau menyebutkan fungsi soaial sebagai jalan kompromis antara hak multak dari tanah, dengan sistem kepentingan umum atas tanah, di mana tanah tidak diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi, kegunaannya harus disesuaikan dengan sifat dan tujuan haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai, maupun untuk masyarakat dan kepentingan negara”.28
Kembali ke masalah peralihan tanah wakaf, menurut Pasal 41 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, bahwa proses peralihan hak atas tanah wakaf, harus mendapatkan persetujuan dan izin tertulis dari Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia.Izin tertulis dari menteri hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan peundangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
b. Harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf.
c. Pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan medesak.
Jadi perubahan tersebut dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia. Dalam pasal tersebut juga dijelaskan mengenai alasan-alasan dibolehkannya perubahan tersebut, yaitu:
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti yang diikrarkan oleh wakif.
b. Karena kepentingan umum.
Adapun yang dimaksud kepentingan umum, menurut Pasal 1 butir 3 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, disebutkan pengertian Kepentingan umum
adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat, di mana kepentingan umum dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Rincian kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum tersebut diatur dalam Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Untuk Keptningan Umum, yang lengkapnya berbunyi:
Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah atau pemerintah daerah meliputi:
a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/saluran pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendung, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya;
c. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat; d. Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api dan terminal; e. Peribadatan;
f. Pendidikan atau sekolah; g. Pasar umum;
h. Fasilitas pemakaman umum; i. Fasilitas keselamatan umum; j. Pos dan telekomunikasi; k. Sarana olah raga;
l. Stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya;
m. Kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, perserikatan bangsa-bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan perserikatan bangsa-bangsa;
n. Fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; o. Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan;
p. Rumah susun sederhana; q. Tempat pembuangan sampah; r. Cagar alam dan cagar budaya; s. Pertamanan;
t. Panti sosial;
u. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Jadi dalam Perpres tersebut terdapat 21 bidang kegiatan pembangunan yang bersifat kepentingan umum. Dengan demikian kemungkinan terjadinya
peralihan tanah wakaf, dapat terjadi dengan salah satu alasan terpenuhinya kriteria kepentingan umum sesuai yang diatur dalam Perpres di atas.
Namun meskipun pemerintah memberikan kelonggaran terhadap kemungkinan terjadinya perubahan penggunaan tanah wakaf. Tetapi kelonggaran tersebut masih diikuti dengan persyaratan yang cukup ketat, yaitu harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia, itupun ditambah syarat lainnya yaitu selama manfaat hasil tanah wakaf tersebut sudah tak bisa memenuhi tujuan sebagaimana yang dimaksud wakif atau karena adanya kepentingan umum yang menghendaki pemakaian tanah wakaf.
G.Peralihan Penguasaan Yuridis Hak Atas Tanah Wakaf Menurut Hukum